mengetahui tingkat konsumsi dan palatabilitas pakan satwa di penangkaran dengan memberikan suatu formula ransum. Ransum tersebut dibuat dari beberapa
bahan penyusun pakan yang dipilih berdasarkan kebiasaan habit satwa tersebut dan tingkat kebutuhan pakannya.
Mengingat pakan menjadi salah satu faktor produksi dalam kegiatan penangkaran, pakan memerlukan biaya terbesar yakni mencapai 60-70 dari
seluruh biaya produksi. Oleh sebab itu pakan yang diberikan pada trenggiling di penangkaran juga harus benar-benar mendapat perhatian dan penanganan yang
tepat. Hal ini ditujukan agar secara teknis pengelolaannya dapat tercapai prinsip efisiensi dan efektivitasnya, baik dilihat dari segi teknis biologi-fisiologis yang
berdampak positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan trenggiling maupun dari segi ekonomi-finansial memberikan harga yang semurah mungkin.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan percobaan pemberian pakan trenggiling di penangkaran
untuk mengetahui tingkat konsumsi dan tingkat kesukaan palatabilitas pakan. Dalam percobaan ini diberikan dua macam ransum yang disusun dari kroto dan
dedak dengan komposisi berbeda. Di bawah ini diuraikan hasil-hasil percobaan tersebut.
5.2.1 Kandungan Gizi Pakan Percobaan
Besar kecilnya ransum yang dikonsumsi oleh trenggiling di penangkaran sekurang-kurangnya harus memenuhi kebutuhan gizi trenggiling. Di dalam pakan
satwa, belum ada standar baku yang digunakan untuk menentukan besarnya nilai gizi yang seharusnya dapat dipenuhi dalam suatu ransum yang dikonsumsi Sukria
dan Krisnan 2009, terutama pada trenggiling karena belum banyak penelitian mengenai satwa ini. Hasil analisis proksimat dari kedua macam ransum yang
dicobakan menunjukkan bahwa persentase kandungan gizi kedua jenis ransum atau pakan percobaan tersebut ternyata berbeda-beda, baik protein, serat kasar,
abu, energi, lemak dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen BETN, seperti ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil analisis proksimat kandungan zat makanan ransum penelitian
Zat makanan Komposisi
kimia kroto
Komposisi kimia dedak
jagung Komposisi
ransum P1 Komposisi
ransum P2
Abu 4,20
2,30 2,93
3,31 Protein
47,80 9,80
22,47 30,06
Lemak 14,84
6,40 9,22
10,9 Serat kasar
9,50 9,80
9,7 9,64
BETN 23,66
61,80 49,07
41,46 Energi total kkalkg
5143 2400
3314 3863
Lovianti 1994
Kandungan abu, protein, lemak dan energi metabolis dalam ransum P2 lebih tinggi dibandingkan P1, sedangkan kandungan serat kasar P1 sedikit lebih
tinggi daripada P2. Perbedaan persentase kandungan gizi dari kedua jenis pakan ini antara lain diduga karena perbedaan porsi kroto sebagai bahan penyusunnya.
Dengan demikian apabila komposisi kroto sebagai bahan penyusun pakan tinggi, maka secara relatif kandungan protein dalam pakan percobaan tersebut juga
tinggi. Pada Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa karena persentase kandungan protein pada kroto cukup besar yakni 47,80 dibandingkan dengan zat-zat
makanan lainnya, maka pakan percobaan P2 yang disusun dengan jumlah kroto lebih banyak menyebabkan kandungan protein pada pakan P2 juga relatif lebih
banyak daripada P1. Meskipun demikian secara umum dapat dinyatakan bahwa komposisi zat makanan dari kedua pakan percobaan tersebut P1 dan P2 relatif
sama atau tidak berbeda jauh. Belum ada informasi rinci tentang standar minimum kebutuhan zat
makanan bagi trenggiling di penangkaran baik untuk hidup pokok maintenance, pertumbuhan growth, perkembangbiakan danatau produksi tertentu. Dengan
demikian belum dapat dinyatakan bahwa komposisi zat pakan percobaan tersebut sudah atau belum memenuhi berbagai standar minimum kebutuhan trenggiling di
penangkaran seperti dimaksudkan di atas. Meskipun masih diperlukan kajian yang lebih mendalam terkait dengan kebutuhan zat makanan secara tepat untuk
trenggiling di penangkaran, namun secara teknis dengan memperhatikan komposisi zat makanan tersebut kedua jenis ransum yang diujicobakan dapat
dijadikan sebagai acuan didalam manajemen pemberian pakan trenggiling di penangkaran. Pond et al. 1995 menyatakan bahwa tingginya nilai komposisi
kimia suatu bahan pakan belum tentu menjamin kebutuhan energi dapat terpenuhi, karena tidak semua zat makanan dalam bahan pakan tersebut dapat diserap dan
dicerna dengan baik oleh tubuh satwa. Terkait dengan penjelasan di atas, maka hal terpenting yang harus
diperhatikan dalam penyusunan ransum bagi satwa di penangkaran adalah keseimbangan kandungan gizi dan terpenuhinya kebutuhan dan keuntungan
biologis satwa Sukria dan Krisnan 2009. Dalam prakteknya diperlukan suatu strategi penyediaan ransum dengan formulasi yang tepat agar kebutuhan energi
dan gizi trenggiling di penangkaran dapat dipenuhi. Menurut Andajani et al. 1984, semakin tinggi kadar energi dalam ransum maka diharapkan semakin
tinggi pula kadar protein yang harus disediakan untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi yang maksimal. Disamping itu, didalam penyusunan ransum juga
perlu diperhatikan persentase atau porsi suatu zat makanan. Persentase komposisi bahan kering dalam suatu ransum juga merupakan salah satunya yang penting
diperhatikan karena ternyata berpengaruh terhadap tingkat konsumsi ransum ataupun konsumsi air. Hasil penelitian Sudarman et al. 2008 pada domba
diketahui bahwa tingkat konsumsi air selain dipengaruhi oleh tingkat konsumsi bahan kering juga dipengaruhi oleh adanya kandungan lemak dalam ransum.
Harris dan vanHorn 2003 menyatakan bahwa pakan yang mengandung serat tinggi dapat mempengaruhi peningkatan konsumsi air dengan meningkatnya
kehilangan air melalui feses.
5.2.2 Konsumsi Ransum