Pemantauan Perkembangan Reproduksi Manajemen Reproduksi

masih terbatas. Secara umum, pengelola penangkaran UD Multi Jaya Abadi hanya mengetahui morfologi trenggiling dan perilakunya berdasarkan pengalaman tanpa melalui proses pendidikan danatau pelatihan khusus, sehingga benar-benar dijalankan berdasarkan coba-coba trial and error. Tidak ada teknik khusus yang digunakan untuk membantu reproduksi dan breeding trenggiling. Trenggiling yang berada di dalam kandang pemeliharaan berpasangan dan tidak menunjukkan perilaku antagonistik terhadap pasangannya dapat ditetapkan oleh animal keeper sebagai trenggiling yang akan dikawinkan. Secara alami, trenggiling termasuk satwa kawin bermusim seasonal breeder yakni kawin pada bulan April −Juni, namun di penangkaran tidak menutup kemungkinan terjadi perkawinan sepanjang tahun non seasonal breeder. Secara alami kondisi ini dapat dimungkinkan terutama karena ketersedian pakan di penangkaran yang selalu ada sementara di alam sangat tergantung pada musim. Dengan adanya anggapan bahwa trenggiling sulit dikembangbiakkan di penangkaran Wilson 1994, maka diperlukan suatu upaya atau teknik khusus yang dapat mempercepat dan meningkatkan kelahiran serta menekan tingkat kematian. Untuk itu, teknik perkawinan trenggiling perlu diketahui dan dikembangkan dengan baik. Di penangkaran, kemajuan teknologi reproduksi dimungkinkan untuk dilakukan. Bentuk-bentuk teknologi reproduksi yang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam upaya meningkatkan perkembangbiakan trenggiling di penangkaran adalah inseminasi buatan IB, transfer embrio TE, pemisahan jenis kelamin, pemisahan spermatozoa X dan Y, In Vitro Fertilization IVF atau lebih dikenal dengan bayi tabung, kloning dan sebagainya.

5.1.5.3 Pemantauan Perkembangan Reproduksi

Setelah terbentuk pasangan yang cocok dan perkawinan berlangsung secara alami tanpa campur tangan pengelola, maka dilakukan pemantauan terhadap perkembangan keberhasilan reproduksinya. Apabila perkawinan berhasil maka terjadi kebuntingan dan akan terlihat perubahan kondisi tubuh pada trenggiling betina. Trenggiling yang sedang bunting ditandai dengan membesarnya dimensi tubuh terutama di bagian perut. Trenggiling betina yang sedang bunting mudah dibedakan dengan trenggiling betina yang tidak sedang bunting. Trenggiling betina yang sedang bunting memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan jantannya sedangkan yang tidak sedang bunting biasanya berukuran lebih kecil dibandingkan trenggiling jantan. Berdasarkan hasil wawancara dengan animal keeper, seekor trenggiling diketahui diduga bunting sejak Juli 2010 dan baru melahirkan sekitar awal Desember 2010. Berdasarkan hal tersebut, maka lama kebuntingan trenggiling di penangkaran di duga sekitar 4−5 bulan atau sekitar 120−150 hari. Lama kebuntingan trenggiling di penangkaran tersebut sesuai dengan lama kebuntingan trenggiling di habitat aslinya yang menurut Medway 1969 sekitar 130 hari atau selama ±4 bulan belum termasuk penghitungan masa estrus. Lamanya waktu yang dibutuhkan oleh trenggiling dalam bereproduksi juga hampir sama dengan lama kebuntingan pada kerabat dekatnya, Myrmecophaga tridactyla. Pada trenggiling raksasa giant anteater tersebut, lama kebuntingan mulai dari estrus sampai pada proses kelahiran adalah 184 hari atau sekitar 6 enam bulan Patzl et al. 1998. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi aspek yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan reproduksi. Ada dua hal yang teridentifikasi dapat mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan reproduksi trenggiling di penangkaran yang dapat mempengaruhi masa atau lama kebuntingan, yaitu: i manajemen stress. Kegagalan reproduksi pada trenggiling rentan terjadi apabila stress kurang diperhatikan dan tidak dikelola dengan baik sehingga masa kebuntingan menjadi lebih lama dan kelahiran menjadi terlambat. Disamping itu juga dikuatirkan juga dapat terjadi kemungkinan adanya cacat pada anak atau kesulitan pada saat melahirkan. Hal ini mengingat bahwa trenggiling adalah satwa yang memiliki tingkat reproduksi rendah, sulit dikembangbiakkan di penangkaran dan memiliki resiko kepunahan yang cukup tinggi, sama seperti trenggiling China Manis pentadactyla Wu et al. 2004. Untuk itu, tindakan pemantauan perkembangan reproduksi harus benar- benar diperhatikan dengan memantau parameter-parameter yang dapat mempengaruhinya. ii suhu temperature dan kelembaban di dalam kandang. Suhu dan kelembaban juga termasuk dalam salah satu hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan reproduksi. Trenggiling yang sedang bunting biasanya tidak menyukai cuaca yang panas dan berkelembaban rendah kering. Hal ini terkait dengan mekanisme metabolisme tubuh trenggiling sehingga dapat mempengaruhi pola reproduksinya sebagaimana menurut Richard 1970 dalam Heruwatno 1982, mamalia dengan kelembaban lingkungan yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada pola reproduksinya. Diperkuat juga oleh Barnes dan Gemmell 1984 yang mengungkapkan bahwa suhu sangat mempengaruhi kecepatan breeding pada satwaliar. Dengan demikian, trenggiling di penangkaran dapat memiliki masa kebuntingan yang lebih lama akibat adanya peningkatan suhu dan kelembaban dalam kandang. iii jenis dan teknik pemberian pakan. Hal tersebut terkait dengan metabolisme tubuh trenggiling, kecepatan aliran energi dan perpindahan materi dari tubuh induk ke dalam tubuh janin. Untuk itu diperlukan suatu teknik pemberian pakan dan inovasi jenis pakan. Pengembangan kroto dan inovasi dalam pemberian pakan kroto di penangkaran dapat menjadi salah satu pilihan untuk mempercepat masa kebuntingan. Hal ini dianggap tepat dan mudah dilakukan karena menurut Wawo et al. 2009 berdasarkan hasil penelitiannya pada jalak Bali, kroto terbukti mempercepat jarak kawin dan bertelur pada jalak Bali di penangkaran tanpa mengurangi kualitas anak yang dihasilkan.

5.1.5.4 Penanganan Anak Pasca Kelahiran