Kajian manajemen penangkaran, tingkat konsumsi, palatabilitas pakan, dan aktivitas harian trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran Ud Multi Jaya Abadi Sumatera Utara

(1)

AKTIVITAS HARIAN TRENGGILING (Manis javanica

Desmarest, 1822) DI PENANGKARAN UD MULTI JAYA

ABADI SUMATERA UTARA

NOVRIYANTI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

level, Feed on Palatability, and Daily Activity of Pangolins (Manis javanica

Desmarest, 1822) at UD Multi Jaya Abadi, Sumatera Utara. Guidance by Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS and Prof. Dr. M. Bismark, MS.

The people’s belief on using pangolin (Manis javanica Desmarest, 1822) for their consumption as a high economic value of medicine and food has been consequence an increasing demand. Wild population has been decreasing and the rescue by in-situ captive was hard to be done, so that ex-situ captive for pangolins conservation becomes an important alternative. Related to captive breeding efforts, information about the technical aspects of captive management include feeding management and daily activity has not been known, therefore a research for these information is needed.

Research has done at pangolins captivity, UD Multi Jaya Abadi, North Sumatra on August-September 2010. Data and information collected includes (1) captive technical aspects that obtained by literature study, observation, and interview; (2) consumption and palatability, which is calculated by using Rancangan Acak Lengkap (RAL) factorial 2 x 2 for 8 (eight) pangolins in two different types of maintenance (individual cages and in pairs cages) and two types of feed (P1 and P2). The total weight of each feed type provided by 150 g/head/day for P1 (50 g of kroto and 100 g of bran) and P2 (80 g of kroto and 70 g bran); (3) daily activity of pangolins by focal animal sampling and scan sampling method.

Technical aspect of pangolins captive which developed at UD Multi Jaya Abadi include (a) artificial habitat: cage size is 500 cm x 186 cm x 208 cm, with

estimated capacity 1−2 animal/m2, flooring and wall enclosure made from cement and roof from asbestos; (b) feeding management: a mixture of bran and kroto which is given every evening at 18.00 WIB; (c) health and diseases maintenance: types of diseases commonly found are ticks, sores, diarrhea, and influenza. Health care consist of some activities periodic medical checkup of pangolins by the animal keeper and medical expert and (ii) prevention by cleaning the cage and keep the cage sanitation; (d) management of reproduction: arrangement of couple and mating is done manually with 1:1 sex ratio. Mating succeeded is characterized by the changes of female body and monitored by CCTV cameras. Furthermore, the gestation period is about 130 days or ±4 months, juvenile pangolin a single birth will produce one pangolin and the weaning period during 3-4 months.

The measurement results show that the average number feed intake of pangolin in captivity is 94,67 g/head/day. The experiment results show that there is no significant differences effect (P>0,05) between two types of feed (containing 50 g and 80 g of kroto) and two types of maintenance (individual and partnership) to consumption even though the pangolins tend to consume feed with the most appropriate number of kroto (palatable) as their habit as ant-eaters. In addition, daily activity of pangolins in captivity show that sleep activity (68-70 %), feeding activity (20%), and 10% activity for defecation and urination, climbing and walking.


(3)

Konsumsi, Palatabilitas Pakan dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi, Sumatera Utara. Dibimbing oleh Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan Prof. Dr. M. Bismark, MS.

Keyakinan masyarakat terhadap pemanfaatan trenggiling (Manis javanica

Desmarest, 1822) sebagai obat dan makanan dengan nilai ekonomi yang tinggi membawa konsekuensi permintaan yang terus meningkat. Populasi di alam semakin menurun dan upaya penyelamatan secara in-situ sejauh ini sulit dilakukan sehingga konservasi secara ex-situ menjadi alternatif penting. Terkait dengan upaya penangkaran, informasi mengenai aspek-aspek teknis pengelolaan penangkaran termasuk pengelolaan pakan dan aktivitas harian belum banyak diketahui sehingga diperlukan suatu kajian terkait hal tersebut.

Penelitian dilaksanakan di Penangkaran Trenggiling UD Multi Jaya Abadi, Sumatera Utara pada Agustus−Sepetember 2010. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi (1) aspek teknis penangkaran diperoleh dengan cara studi kepustakaan, observasi lapang, dan wawancara; (2) konsumsi dan palatabilitas ransum menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial 2 x 2 terhadap 8 (delapan) ekor trenggiling di dalam dua tipe pemeliharaan (kandang individu dan kandang berpasangan) dan dua jenis ransum yakni ransum P1 (kroto 50 g dan dedak 100 g) dan P2 (kroto 80 g dan dedak 70 g). Berat ransum yang diberikan sebesar 150 g/ekor/hari; (3) aktivitas harian dengan metode focal animal sampling

dan scan sampling.

Aspek teknis penangkaran trenggiling yang dikembangkan di UD Multi Jaya Abadi meliputi (a) Perkandangan; ukuran kandang 500 cm x 186 cm x 208 cm, perkiraan kapasitas tampung 1−2 ekor/m2, lantai dan dinding kandang terbuat dari semen dan atap berupa asbes; (b) Pakan/ ransum; campuran dedak dan kroto diberikan pada malam hari pukul 18.00 WIB; (c) Perawatan kesehatan dan penyakit; jenis penyakit yang umum ditemukan adalah caplak, luka, diare, dan pilek. Perawatan kesehatan dilakukan dengan cara (i) pemeriksaan rutin terhadap tubuh trenggiling oleh animal keeper dan ahli medis, dan (ii) tindakan pencegahan melalui pembersihan dan menjaga sanitasi kandang; (d) Manajemen reproduksi; pengaturan pasangan dan perkawinan (mating) dilakukan secara manual dengan sex ratio 1:1. Keberhasilan perkawinan (mating) dilihat dari perubahan tubuh induk betina dan dipantau dengan kamera CCTV. Lama kebuntingan 130 hari (± 4 bulan). Jumlah anak per kelahiran satu ekor dengan masa sapih 3–4 bulan.

Hasil penghitungan menunjukkan bahwa rata-rata jumlah konsumsi ransum trenggiling di penangkaran sebesar 94,67 g/ekor/hari. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P > 0,05) antara dua macam ransum (kandungan kroto 50 g dan 80 g) dan dua tipe pemeliharaan (individu dan berpasangan) terhadap tingkat konsumsi ransum meskipun trenggiling cenderung lebih banyak mengonsumsi ransum berkroto tinggi (palatable) sesuai habitnya sebagai pemakan semut. Aktivitas harian terdiri dari tidur (68-70%), aktivitas makan (20%), dan 10% aktivitas membuang kotoran, memanjat dan berjalan. Kata kunci: Manis javanica, penangkaran, konsumsi, aktivitas harian.


(4)

javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi,

Sumatera Utara

NOVRIYANTI

E34070090

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(5)

v Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Manajemen Penangkaran, Tingkat Konsumsi, Palatabilitas Pakan, dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi Sumatera Utara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan Prof. Dr. M. Bismark, MS. Skripsi ini juga belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan di dalam teks tulisan ilmiah ini dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka yang terdapat di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

Novriyanti E34070090


(6)

Judul Skripsi : Kajian Manajemen Penangkaran, Tingkat Konsumsi, Palatabilitas Pakan, dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi, Sumatera Utara

Nama Mahasiswa : Novriyanti

NRP : E34070090

Program Studi : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, MS NIP. 19581121 198603 1 003

Prof. Dr. M. Bismark, MS NIP. 19540721 198103 1 006

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP 19580915 198403 1 003


(7)

Penulis dilahirkan di Rantau Panjang, Kabupaten Merangin Provinsi Jambi pada 14 November tahun 1989. Sebagai anak pertama yang dilahirkan dari pasangan Isral Miswandi dan Yukarmi (Almh.), penulis memiliki dua saudara kandung yakni Alzi Rahmana Putra dan Elfara Charani.

Setelah menempuh berbagai perjuangan untuk duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, pada tahun 2007 penulis berhasil lulus SMA Negeri 1 Tabir (SMA Negeri 2 Merangin) dan pada tahun yang sama, penulis berkesempatan mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di Institut Pertanian Bogor melalui jalur beasiswa dan berhasil lolos sebagai peserta Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Provinsi Jambi. Penulis resmi menyandang status mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB mulai Juni 2007.

Selama menjadi mahasiswa dan menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiwaan intra kampus dan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus. Penulis pernah menjabat sebagai staff Bidang Kajian Strategis dan Kebijakan Daerah, Badan Eksekutif Mahasiswa KM IPB tahun 2008, Resimen Mahasiswa (Menwa) IPB dengan jabatan sebagai Kepala Kesekretariatan hingga menjadi Wakil Komandan Menwa IPB periode

2010−2011. Di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, penulis juga ikut aktif di dalam organisasi Himpunan Keprofesian Mahasiswa DKSHE yang bernama Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata (HIMAKOVA) tahun 2008−2010 sebagai anggota Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) Tarsius sekaligus sebagai Bendahara Umum pada

periode 2009−2010 dan menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru DKSHE, GEBYAR HIMAKOVA tahun 2009. Sementara itu, penulis juga aktif di organisasi ekstra kampus diantaranya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Cabang Bogor, sebagai Bendahara Umum Kohati tahun 2010−2011, Organisasi


(8)

viii Kehutanan IPB. Tahun 2009, penulis mengikuti ekpedisi ilmiah Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) HIMAKOVA di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, Nusa Tenggara Timur. Penulis juga melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Taman Wisata Alam Gunung Papandayan, Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, dan Praktek Kerja Lapang Profesi di Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat.

Untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul Kajian Manajemen Penangkaran, Tingkat Konsumsi, Palatabilitas Pakan dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi Sumatera Utara yang dibimbing oleh Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan Prof. Dr. M. Bismark, MS.


(9)

berbagai pihak yang mendukung penulis selama menyusunnya. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, Ibunda yang telah melahirkanku hingga meregang nyawa, Yukarmi (Almh.), Kepada Ayahanda Isral Miswandi dan Ibunda Suwarti yang selalu membimbing dan memelihara penulis sampai akhir pendidikan di IPB ini.

2. Pemerintah Provinsi Jambi, khususnya Dinas Pendidikan Provinsi Jambi beserta lembaga/instansi terkait lainnya yang selama 4 tahun telah membiayai penulis secara penuh untuk menuntut ilmu dan menjadi generasi penerus perjuangan pemerintah dan masyarakat Jambi di Institut Pertanian Bogor.

3. Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS selaku pembimbing pertama dan Bapak Prof. Dr. M. Bismark, MS selaku dosen pembimbing kedua yang selalu menyediakan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalani penelitian hingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.

4. Bapak Dr. Ir. Trisna Priadi, M. Eng, Sc selaku penguji dari Departemen Hasil Hutan yang telah menguji penulis dalam proses verbal Ujian Komprehensif Fakultas Kehutanan pada 21 Juni 2011.

5. Bu Mariana Takandjandji, Bu Reni Sawitri, Bu R. Garsetiasih, Pak Sofian, Pak Heri, dan Mbak Anita serta seluruh pegawai dan staf yang ada di lingkungan Kelompok Peneliti Konservasi Kehati, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan yang telah memberikan perhatian, membantu penyelesaian skripsi ini dengan dukungan moril dan materiilnya.

6. Bapak Jefri, Direktur Penangkaran Trenggiling UD Multi Jaya Abadi Sumatera Utara dan Bapak Hasan (Pak Cik) beserta keluarga yang telah menyediakan tempat penelitian bagi penulis dan memenuhi kebutuhan hidup penulis selama penelitian berlangsung.

7. Bapak Djati selaku Kepala BBKSDA Sumatera Utara dan Pak Siswarno selaku Kepala Bidang Teknis BBKSDA Sumatera Utara yang telah membantu


(10)

8. Bang Suhud (KSH 36), Bang Juara I, Bang Ernes (KSH 38), Pak Arif, dan seluruh staff pegawai BBKSDA Sumatera Utara yang telah membantu penulis selama penelitian di Medan.

9. Teman-temanku senasib seperjuangan, ada dan tak ada uang tetap bersama-sama, Ana, Merita, Marwa, Eki, Eko, Rahman, Hadi, dan Mahasiswa BUD (Beasiswa Utusan Daerah) Provinsi Jambi lainnya (38 orang) yang senantiasa mencurahkan perhatian dan motivasi, kasih sayang, dan waktunya selama penulis menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Semoga kita dapat bersama-sama berjuang dalam bidang pertanian untuk memajukan Provinsi Jambi.

10.Mbak Atin, Dina, Meli, Mprit, Ririn “batak” dan Windy yang telah bersedia mendengarkan curhat-keluh kesah selama menjalani penelitian, skripsi dan menghadapi hidup ini. Teman-teman KSHE “koak” 44 yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas dukungan dan doa yang selalu tercurah demi keberhasilan kita bersama.

11.Kanti-kanti, abang-ayuk, adek-adek di HIMAJA (Himpunan Mahasiswa Jambi) demi semua kerelaan, kekeluargaan yang kita ciptakan bersama selama penulis menempuh hidup di IPB.

12.Seluruh rekan dan para asisten di Laboratorium Konservasi Eksitu Satwaliar atas bantuannya, bersedia menemani penulis, menjadi penghibur dan pemberi masukan selama penulis menyelesaikan baris demi baris, kalimat demi kalimat dalam skripsi ini.

13.Teman-teman Kohati HMI Cabang Bogor, Kak Indana (Ketum Kohati), Kak Nahrul (Sekum Kohati), Yani (Kabid Eksternal), rekan-rekan HMI Komisariat Fakultas Kehutanan baik Ketua Umum (Arifin), Yasser dkk. atas pengertian dan masukannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini sekaligus sebagai pengurus.

14.Semua pihak yang telah terlibat dan membantu penyelasaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.


(11)

xi penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat, karunia, dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi yang berjudul Kajian Manajemen Penangkaran, Tingkat Konsumsi, Palatabilitas Pakan, dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi Sumatera Utara merupakan laporan akhir dari penelitian yang dilaksanakan pada Agustus−September 2010, disusun sebagai syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Banyak pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian hingga pada penulisan skripsi ini. Penulis pun menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan keterbatasan dalam penulisan skripsi ini. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan, adanya harapan besar dari penulis atas kritik dan saran yang dapat disampaikan untuk pengembangan karya ilmiah ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Bogor, Juni 2011


(12)

xii

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir dan Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Trenggiling 2.1.1 Taksonomi dan Kekerabatan... 5

2.1.2 Morfologi dan Anatomi ... 6

2.1.3 Habitat dan Penyebaran ... 7

2.1.4 Aktivitas Harian dan Perilaku ... 8

2.2 Nilai Ekonomi Trenggiling, Ekologi, dan Sosial Budaya ... 11

2.3 Kegiatan Penangkaran ... 12

2.4 Pengembangan Pakan Trenggiling di Penangkaran ... 14

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15

3.2 Alat dan Bahan ... 15

3.3 Jenis Data dan Informasi yang Dikumpulkan ... 15

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 16

3.4.1 Studi Pustaka dan Wawancara ... 16

3.4.2 Observasi Lapang ... 17

a. Data Aspek Teknis Penangkaran ... 17

b. Data Tingkat Konsumsi dan Palatabilitas Pakan ... 18

c. Data aktivitas harian trenggiling di penangkaran ... 21

3.5 Analisis Data... 21

3.5.1 Aspek Teknis Penangkaran ... 21

3.5.2 Tingkat Konsumsi dan Palatabilitas Pakan ... 21

3.5.3 Aktivitas Harian Trenggiling di Penangkaran ... 25

BAB IV KONDISI LOKASI PENANGKARAN 4.1 Sejarah Penangkaran ... 26

4.2 Manajemen Penangkaran UD Multi Jaya Abadi ... 26


(13)

xiii

5.1 Manajemen Penangkaran Trenggiling di UD Multi Jaya Abadi ... 30

5.1.1 Pengadaan Bibit dan Perkembangannya di Penangkaran... 30

5.1.2 Manajemen Perkandangan ... 33

5.1.3 Manajemen Pakan Trenggiling... 42

5.1.4 Perawatan Kesehatan dan Pengendalian Penyakit ... 48

5.1.5 Manajemen Reproduksi ... 54

5.2 Konsumsi dan Palatabilitas Pakan Trenggiling di Penangkaran ... 60

5.2.1 Kandungan Gizi Bahan Pakan ... 61

5.2.2 Konsumsi Ransum ... 63

5.2.3 Palatabilitas Pakan ... 69

5.3 Aktivitas Harian Trenggiling di Penangkaran ... 73

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 79

6.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(14)

xiv

No. Halaman

1. Rataan konsumsi pakan trenggiling di Penangkaran UD Multi Jaya

Abadi ... 18

2. Rancangan analisis data konsumsi pakan trenggiling ... 22

3. Skema peletakan data penelitian ... 23

4. Daftar analisis sidik ragam eksperimen faktorial a x b ... 25

5. Perkembangan induk trenggiling (Manis javanica) dan keturunan yang dihasilkan di penangkaran UD Multi Jaya Abadi ... 31

6. Jenis kandang trenggiling (Manis javanica) di penangkaran UD Multi Jaya Abadi ... 34

7. Konstruksi kandang pemeliharaan Manis javanica di penangkaran UD Multi Jaya Abadi ... 35

8. Jenis penyakit, gejala, dan pengobatan pada trenggiling (Manis javanica) di UD Multi Jaya Abadi ... 48

9. Hasil analisis proximat kandungan zat makanan ransum penelitian ... 62

10. Rataan jumlah konsumsi ransum trenggiling selama percobaan (per ekor per hari) ... 64


(15)

xv 1. Rangkaian tindakan pengelolaan (management) satwaliar dalam pembatasan

data penelitian. ... 3

2. Trenggiling (Manis javanica) ... 5

3. Aktivitas trenggiling di atas pohon ... 8

4. Weaver ants (Polyrhachis dive)yang disukai oleh Manis pentadactyla .. 9

5. Manis javanica memangsa semut dengan menggunakan cakar kaki ... 10

6. Posisi piring dalam pemberian pakan trenggiling untuk perlakuan pasangan ... 20

7. Struktur Organisasi Pelaksana Aktivitas Penangkaran UD Multi Jaya Abadi ... 27

8. Habitat buatan di Penangkaran Trenggiling Sibolga ... 28

9. Kondisi kandang lokasi penangkaran di Jalan Gerogol, Kecamatan Sunggal ... 29

10a. Bentuk kandang permanen trenggiling di UD Multi Jaya Abadi ... 35

10b. Kandang semi permanen di UD Multi Jaya Abadi ... 35

11. Baskom besar untuk cover trenggiling ... 37

12. Fluktuasi suhu di dalam kandang penangkaran UD Multi Jaya Abadi .... 41

13. Trenggiling sedang mengonsumsi ransum yang diberikan ... 47

14. Trenggiling yang mati akibat infeksi luka (bangkai dibekukan) ... 52

15. Pembeda jenis kelamin (sex determination) pada trenggiling ... 55

16. Induk menggendong anak selama masa penyapihan ... 60

17. Tingkat konsumsi ransum trenggiling yang menunjukkan palatabilitas pakan dalam ransum yang diberikan ... 70

18. Persentase aktivitas harian trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi per hari ... 73

19. Sebaran waktu dalam melaksanakan aktivitas tidur (istirahat) trenggiling ... 75

20. Sebaran waktu aktivitas makan dan tidur (istirahat) trenggiling pada malam hari ... 75

21. Posisi tidur trenggiling (a) di dinding atas (dekat dengan atap kandang), (b) tertidur diatas air ... 78


(16)

xvi

No Halaman

1. Konsumsi trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi pada pengamatan

pendahuluan ... 89

2. Penghitungan konsumsi ransum per perlakuan ... 90

3. Rekapitulasi konsumsi per tipe pemeliharaan ... 93

4. Uji untuk treatment berpasangan ... 93

5. Uji anova untuk treatment per individu ... 95

6. Analisis sidik ragam desain eksperimen faktorial ... 97

7. Pertambahan bobot badan trenggiling selama percobaan ... 98

8. Manajemen penyakit dan kesehatan satwa ... 99

9. Manajemen reproduksi dan breeding ... 100

10. Suhu kandang di kandang penangkaran UD Multi Jaya Abadi pada bulan Agustus 2010 ... 101

11. Panduan wawancara kepada masyarakat ... 102


(17)

1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan hidupan liar sebagai sumber protein hewani dan obat-obatan telah dilakukan sejak dulu. Meskipun telah beralih menuju modernisasi, ternyata kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pengobatan dan penyembuhan yang berasal dari hidupan liar masih tetap dipertahankan, bahkan lebih meningkat dengan adanya proses teknologi modern. Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) adalah satu satwa dilindungi yang dipercaya dapat menjadi obat bagi penyakit tertentu oleh masyarakat Cina, terutama sisik dan dagingnya (Hertanto 2010). Sebagian kalangan meyakini trenggiling dapat dijadikan sebagai obat kuat dan makanan bagi masyarakat pedesaan di Kalimantan Timur (Zainuddin 2008).

Trenggiling adalah satwa yang dilindungi oleh pemerintah (PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar), memiliki status Endangered (langka) menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) Red List dan masuk ke dalam Daftar Lampiran (Appendix) II CITES (Convention on International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna). Trenggiling dilarang diperdagangkan kecuali dengan peraturan dan kuota tertentu yang ditetapkan oleh management authority yaitu Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam atas pertimbangan

scientific authority, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Melihat perkembangan pemanfaatan yang kian meningkat terutama penangkapan dan perdagangan secara ilegal, Kang dan Phipps (2003) dalam Shepherd (2008) menyebutkan ada wacana untuk merubah status trenggiling dari Appendix II CITES menjadi Appendix I CITES. Kondisi ini semakin memperkuat bahwa trenggiling semakin langka dan dilarang untuk diperdagangkan. Meskipun demikian, perdagangan secara ilegal tetap terjadi dan menjadi indikasi bahwa permintaan pasar terhadap satwa ini terus meningkat sehingga suplay trenggiling harus tersedia secara kontinyu dan berkelanjutan.

Penurunan populasi trenggiling di alam dapat disebabkan oleh perburuan liar yang belum dapat dikendalikan. Upaya penyelamatan trenggiling dan


(18)

pengelolaan populasi trenggiling secara in-situ sampai saat ini tercakup hanya dalam bentuk pengelolaan kawasan konservasi, sedangkan di luar kawasan konservasi sulit dilakukan. Kesulitan tersebut disebabkan oleh degradasi habitat seperti adanya ladang ataupun perkebunan yang tidak memadai bagi trenggiling sehingga menjadikan ketersediaan pakan di alam terbatas. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya pengembangan secara ex-situ melalui penangkaran dalam rangka penyelamatan dan konservasi satwa ini.

Banyak aspek yang harus diketahui dalam kegiatan penangkaran terutama dalam menyejahterakan satwa. Aspek-aspek tersebut antara lain pengadaan bibit, seleksi bibit, adaptasi, pengelolaan pakan, perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit, reproduksi dan pembesaran anak, serta pemanenan dan pencatatan (studbook) setiap kelahiran. Aspek-aspek penangkaran tersebut sangat penting untuk diketahui, namun belum terlaksana sehingga diperlukan suatu kajian mengenai aspek pengelolaan penangkaran trenggiling. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan oleh Bismark (2009) juga merekomendasikan bahwa perlu dilakukan suatu kajian mengenai teknik pemeliharaan, aktivitas harian, dan pengelolaan pakan satwa tersebut untuk meningkatkan keberhasilan usaha penangkaran trenggiling.

Salah satu aspek yang sangat berpengaruh dalam kegiatan penangkaran adalah penyediaan pakan. Pakan yang diberikan di penangkaran harus sesuai dengan kebiasaan (habit) dan kebutuhan serta perilaku makan trenggiling baik kualitas maupun kuantitasnya. Hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Krisna (2006) diketahui bahwa kebutuhan pakan trenggiling sebanyak 4937 kal/g berat kering dan 72,79 % protein kasar. Bahan pakan yang diberikan hanya berupa rayap sehingga belum dapat mewakili komposisi pakan trenggiling di habitatnya. Jenis pakan utama dan disukai (palatable) trenggiling di penangkaran belum dilaporkan sehingga diperlukan kajian khusus terhadap konsumsi dan palatabilitas disamping mengetahui aspek teknis penangkaran.

Informasi mengenai aspek teknis penangkaran khususnya yang terkait dengan pengelolaan pakan belum banyak diketahui. Hal tersebut dikarenakan usaha penangkaran trenggiling masih terbatas sehingga penelitian mengenai


(19)

kebutuhan, tingkat konsumsi, dan palatabilitas pakan trenggiling di penangkaran ini penting dilakukan. UD Multi Jaya Abadi merupakan salah satu perusahaan yang telah melakukan usaha penangkaran trenggiling dan menjadi salah satu perintis dalam usaha penangkaran trenggiling sehingga penting dikaji praktek pengelolaan penangkaran yang dilakukannya.

Selain kedua hal tersebut yakni aspek teknis penangkaran dan konsumsi ransum serta palatabilitasnya, aktivitas harian merupakan hal mendasar yang penting diketahui dalam mengelola satwaliar, terutama yang berkaitan dengan pakan dan perkandangan. Untuk itu, sangat diperlukan suatu kajian khusus mengenai aktivitas harian trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi agar dalam pengelolaannya kesejahteraan (welfare) trenggiling tetap dapat dilakukan sesuai habit di alamnya.

1.2 Kerangka Pikir dan Tujuan Penelitian

Secara umum diketahui ada lima tindakan (aspek teknis) pengelolaan (management) dalam kegiatan penangkaran yakni pengadaan bibit, perkandangan, pengelolaan pakan, pengelolaan kesehatan dan pengendalian penyakit, serta pengelolaan reproduksi (breeding). Kelima tindakan pengelolaan tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha penangkaran selama kegiatan pembesaran (rearing) dilakukan yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Berdasarkan gambar tersebut, tiap-tiap tindakan manajemen memiliki hubungan saling keterkaitan yang menarik untuk dikaji dan diketahui. Sebagaimana diketahui bahwa pakan menjadi faktor penting yang menentukan efisiensi dan efektivitas pengelolaan trenggiling di penangkaran, maka diperlukan suatu pengamatan khusus terhadap konsumsi dan palatabilias pakan trenggiling di penangkaran. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui manajemen penangkaran trenggiling, (2) mengetahui tingkat konsumsi dan palatabilitas ransum, dan (3) mengetahui pola aktivitas harian trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi.


(20)

Gambar 1 Rangkaian tindakan pengelolaan (management) satwaliar dalam pembatasan data penelitian.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1) Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang trenggiling khususnya yang berkaitan dengan pakan, aktivitas harian dan teknik penangkaran trenggiling. 2) Dapat digunakan sebagai acuan praktis dalam pengembangan penangkaran

trenggiling, sehingga secara bertahap dapat mengurangi pemanfaatan trenggiling dengan penangkapan secara langsung dari alam.

3) Bagi UD Multi Jaya Abadi, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk melakukan perbaikan dan peningkatan pengelolaan penangkarannya, sehingga diharapkan menjadi lebih berhasil.

4) Diketahuinya teknik pelestarian trenggiling secara ex-situ.

Penangkaran Pengadaan

Bibit

Alam

Pembesaran (rearing)

Reproduksi (Breeding)

Anak

restocking

1. Pengelolaan Kandang 2. Pengelolaan Pakan 3. Pengelolaan kesehatan

dan penyakit

Sosial Ekonomi Budaya


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Bioekologi Trenggiling

2.1.1 Taksonomi dan Kekerabatan

Trenggiling adalah satwa dengan klasifikasi; Kingdom: animalia; Filum: Chordata; Class: Mammalia; Order: Pholidota; Family: Manidae; Genus: Manis; dan Spesies: Manis javanica Desmarest, 1822. Sebagai salah satu mamalia yang hidup di hutan tropis, trenggiling tergolong unik diantara mamalia lainnya (Ruhyana 2007). Secara fisik keunikan tersebut ditunjukkan dengan keberadaan sisik yang menutupi seluruh tubuhnya (Gambar 2), tidak memiliki gigi, dan memiliki sistem pertahanan yang baik dengan cara menggulungkan tubuhnya ketika bahaya mengancam.

Gambar 2 Trenggiling (Manis javanica) (Foto: Novriyanti 2010).

Trenggiling pernah diklasifikasikan dengan berbagai bangsa/ordo satwa seperti Xenarthra yang tergolong pemakan semut (anteater) yaitu sloths (Bradypus variegates) dan armadillos (Ordo Cingulata, Suku Dasypodidae, Marga

Dasypus). Akan tetapi pembuktian secara genetik ternyata tidak ada hubungan kekerabatan yang dekat walaupun sama-sama sebagai satwa karnivora (Murphy et al. 2001) dan memiliki bentuk tubuh yang hampir menyerupai satu dengan lainnya. Beberapa ahli Paleontology mengklasifikasikan trenggiling ke dalam bangsa Cimolesta bersama dengan beberapa kelompok satwa yang telah punah.

Trenggiling dapat dikatakan memiliki kedekatan fisiologi dan morfologi dengan satwa yang tidak bergigi. Hal ini dikarenakan dalam adaptasi hidupnya,


(22)

terutama dalam proses perolehan pakan trenggiling hanya menggunakan lidahnya. Melihat dari pola pencarian pakan dan jenis pakan yang digunakan yaitu semut, trenggiling dapat dikatakan dekat dengan mamalia Myrmecophagidae dari hutan tropis di dataran tinggi timur Brazil. Giant anteater atau trenggiling raksasa (Myrmecophaga tridactyla Linnaeus, 1758) merupakan mamalia pemakan semut yang memiliki kecepatan memangsa semut 30,8 detik atau sebanyak 0,6 ekor semut per menit dengan kemampuan jelajah rata-rata 1-2 km (Shaw et al. 1985).

Trenggiling di dunia terdapat tujuh spesies yaitu empat spesies tersebar di Afrika (Manis tricuspis, Manis tetradactyla, Manis gigantea dan Manis temmincki) dan tiga spesies tersebar di Asia (Manis javanica, Manis crassicaudata dan Manis pentadactyla) dan di Indonesia hanya terdapat satu spesies yakni Manis javanica (Rahm 1990). Tetapi menurut Gaubert dan Antunes (2005) terdapat satu spesies lain yang ada di Palawan, yaitu Manis culionensis.

Sebelumnya spesies ini dianggap sebagai spesies Manis javanica, tetapi morfologi spesies ini menunjukkan beberapa perbedaan dengan Manis javanica.

Keanekaragaman trenggiling bukan hanya terlihat dari spesiesnya yang cukup banyak melainkan juga terlihat dari jumlah sub spesies yang beragam. Selain Manis javanica ternyata masih terdapat beberapa sub spesies trenggiling dari spesies Manis pentadactyla, Manis tetradactyla, dan Manis tricuspis yakni 1)

M. pentadactyla aurita, M. pentadactyla dalmanni, M. pentadactyla pentadactyla (Chinese Pangolin), M. pentadactyla pusilla; 2) M. tetradactyla longicaudus; 3) M. tricuspis tricuspis (Tree Pangolin) (Alamendah 2009).

2.1.2 Morfologi dan Anatomi

Trenggiling merupakan satwa sexual dimorphism. Berdasarkan penampakan fisiknya, trenggiling betina lebih pendek dari trenggiling jantan (Payne dan Francis 1998). Tubuh jantan berukuran lebih besar dibandingkan trenggiling betina. Trenggiling memiliki moncong dan hidung yang merupakan daerah sensitif dan aktif. Berdasarkan analisis skeleton dan limbus alveolaris,

moncong hidung yang panjang dan lubang mulut yang sempit menandakan bahwa otot pengunyah tidak berkembang dengan baik sehingga makanan yang masuk ke dalam mulutnya akan langsung ditelan dan dicerna di dalam lambung. Selain itu,


(23)

tulang lidahnya (os hyoideus) yang berukuran panjang namun lebih sederhana dibandingkan dengan os hyoideus pada karnivora lainnya berfungsi untuk membantu menelan atau memasukkan makanan (Cahyono 2008). Trenggiling memiliki lidah yang panjangnya hampir sama dengan tubuhnya, mencapai 56 cm (Attenborough dalam Ruhyana 2007) dan dapat menjulur hingga 25 cm (Breen 2003). Karena tidak memiliki gigi, diduga trenggiling memiliki kebiasaan makan dan kebutuhan serta palatabilitas pakan tertentu sehingga menarik untuk diteliti.

Lidah trenggiling mempunyai dua prinsip kerja yaitu memanipulasi makanan yang berada di mulut serta membantu dalam mengambil dan memilih pakan di habitatnya (Yapp 1965 dalam Sari 2007). Berdasarkan hal tersebut, Sari (2007) juga menemukan bahwa jenis makanan trenggiling merupakan makanan yang tergolong keras karena adanya lapisan kithin pada semut, sesuai dengan anatomi lidahnya yang dilapisi oleh keratin yang tebal untuk mengolah dan menyerap kithin.

2.1.3 Habitat dan Penyebaran

Trenggiling hidup di berbagai habitat seperti di hutan primer, hutan sekunder, bahkan di areal perkebunan seperti perkebunan karet dan di daerah-daerah terbuka (Foenander 1953; Lekagul dan McNeely 1977; Zon 1977; Bain dan Humphrey 1982; Davies dan Payne 1982). Di Indonesia trenggiling tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan beberapa pulau kecil di Kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung, Nias, Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali dan Lombok (Corbet dan Hill 1992 dalam Junandar 2007). Selain itu trenggiling juga terdapat di Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam.

Trenggiling memiliki wilayah jelajah yang luas dan biasanya menempati sarang selama beberapa bulan saja. Trenggiling memiliki kekerabatan dekat dengan trenggiling raksasa (Myrmecophaga tridactyla) sehingga diduga pola daerah jelajah trenggiling menyerupai daerah jelajah trenggiling raksasa. Menurut Medri dan Mourão (2005), trenggiling raksasa (giant anteater) betina memiliki wilayah yang lebih luas dari pada jantan. Hasil yang sama juga ditunjukkan dari pengamatan sarang trenggiling yang berada di atas pohon, di lubang-lubang yang


(24)

berada di bagian akar-akar pohon besar atau membuat lubang di dalam tanah yang digali dengan menggunakan cakar kakinya. Trenggiling juga seringkali ditemukan menempati lubang-lubang bekas hunian binatang lain dan pintu masuk ke lubang sarang selalu tertutup (Lim dan Ng 2008).

2.1.4 Aktivitas Harian dan Perilaku

Trenggiling termasuk satwa nocturnal yakni aktif mencari makan pada malam hari. Umumnya ditemukan hidup soliter (sendiri), meskipun kadangkala ditemukan hidup berpasangan (Medway 1969). Trenggiling tidak banyak melakukan aktivitas pada siang hari. Biasanya, pergerakan mereka sangat perlahan kecuali jika dalam keadaan terancam dan dapat bergerak cepat dengan bantuan ekornya dan membentuk bola untuk melindungi tubuh. Ekor tersebut juga digunakan untuk membantu memanjat pohon (Heath 1992) (Gambar 3). Sebagai satwa yang aktif pada malam hari, maka trenggiling biasanya tidur sepanjang hari dalam lubang-lubang yang dibuat sendiri di tanah atau berada pada cabang dan batang di atas pohon, dan pada malam hari mulai keluar dari lubangnya untuk mencari mangsanya berupa semut atau rayap (Breen 2003).

Gambar 3 Aktivitas trenggiling di atas pohon (sumber: http://www.ksda-bali.go.id/?p=386).

Trenggiling dapat berjalan dengan cepat, terkadang terlihat mengangkat kedua kaki depannya yang bertumpu pada kaki belakang untuk membaui sesuatu


(25)

di udara. trenggiling juga diketahui dapat berenang, memiliki kebiasaan memanjat yang baik dengan menggunakan kaki dan ekornya untuk berpegangan pada kulit dan cabang pohon. Seluruh aktivitas dan perilaku trenggiling di habitatnya mengarahkan pada aktivitas mencari makan sedangkan aktivitas makan dilakukan agar trenggiling mampu berkembang biak (reproduksi dan breeding) (Dickman dan Richer 2001).

(a) Perilaku Makan

Ketersediaan pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan populasi satwa dan habitatnya penyebarannya (Borror et al.

1992). Pakan utama trenggiling adalah semut (Ordo Hymenoptera) dan rayap (Ordo Isoptera) dan semut merah tanah diketahui adalah pakan yang disukai (Heryatin 1983 dalam Sari 2007). Sementara itu, pada trenggiling China (Manis pentadactyla) jenis rayap yang disukai adalah rayap tanah (Coptotermes formosanus), rayap kayu kering (Macrotermes barneyi), dan weaver ants

(Polyrhachis dive)(Wu et. al 2005) yang terdapat pada Gambar 4.

Gambar 4 Weaver ants (Polyrhachis dive)yang disukai oleh Manis pentadactyla

(sumber:http://www.discoverlife.org/20/q?search=Polyrhachis+dives

[20 April 2011]).

Trenggiling diketahui sangat kuat dalam menggali lubang terutama untuk mendapatkan semut dan rayap dengan menggunakan indera penciumannya. Sebelum menemukan mangsa, trenggiling biasanya membaui daerah yang diduga merupakan tempat bersarangnya mangsa kemudian menggali sarang yang ada di bawah permukaan tanah maupun di atas pohon dengan menggunakan cakar dari kaki depan hingga semut dan rayap keluar (Gambar 5). Lidah trenggiling bersiap


(26)

untuk menangkap mangsanya dengan bantuan lendir yang ada pada lidah (Rahm 1990; Nowak 1999). Selain itu, dengan perilaku ini juga menunjukkan bahwa trenggiling dapat membantu dalam aerasi tanah (Heath 1992). Perilaku minum pada trenggiling tidak jauh berbeda dengan cara memperoleh mangsanya. Trenggiling mengeluarkan lidahnya dan memasukkannya kembali dengan cepat ketika minum (Nowak 1999). Menurut Nisa (2005) makanan yang dicerna di dalam lambung sepenuhnya dilakukan hingga menjadi halus dengan bantuan kerikil atau butiran pasir yang tertelan.

Gambar 5 Manis javanica memangsa semut dengan menggunakan cakar kaki (sumber: http://www.savepangolins.org/what-is-a-pangolin/).

Ditambah lagi, ternyata trenggiling China (Manis pentadactyla) diketahui memiliki perilaku mencari makan yang dikategorikan ke dalam enam kategori yakni berjalan (walking), mencari (searching), berjalan/mencari (walking/searching), menggali (digging), makan (feeding) dan jeda (pause). Tempat-tempat mencari makan berada di sekitar rumput, pohon-pohon dan semak-semak, di bawah serasah, di pohon atau ranting dan cabang yang jatuh, tunggul mati, dan dalam sarang rayap (Wu et. al 2005).

(b)Perilaku Reproduksi dan Breeding

Sistem perkawinan pada trenggiling adalah poligamus yang terjadi pada betina (poliandri). Trenggiling jantan tidak memiliki peluang yang besar dalam mengawini banyak betina. Antar jantan biasanya sering terjadi persaingan untuk


(27)

mendapatkan betina, bahkan tak jarang ada jantan yang tidak bisa kawin. Hal ini menjadikan betina memiliki peluang besar untuk berpoligini (Medway 1969).

Trenggiling diperkirakan berkembangbiak pada musim gugur atau musim kemarau dan melahirkan di musim hujan atau musim semi. Tidak banyak informasi reproduksi yang dapat dilaporkan. Lama kebuntingan rata-rata 130 hari atau sekitar 4 bulan. Jumlah anak yang dilahirkan umumnya satu ekor. Berat lahir anak bisa mencapai 100-500 gram. Masa sapih anak sekitar 3 bulan dan kematangan seksual dicapai pada saat anak berumur satu tahun. Induk trenggiling diperkirakan dapat bereproduksi sepanjang tahun (Nowak 1999).

2.2Nilai Ekonomi Trenggiling, Ekologi, dan Sosial Budaya

Trenggiling memiliki nilai yang cukup tinggi baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Secara ekologi, trenggiling dapat dijadikan sebagai pengendali hama ulat dan serangga di pohon karena merupakan satwa insektivora pemakan semut, rayap atau serangga lainnya. Sebagai satwa pemakan serangga, trenggiling bermanfaat untuk penggemburan tanah karena dalam mencari mangsa, trenggiling menggali atau membuat lubang di dalam tanah. Tanah yang sering tergali dan tertimbun kembali oleh cakaran trenggiling lama-kelamaan dapat menjadi lebih gembur karena di dalam tanah terjadi siklus oksigen yang baik atas bantuan dari aktivitas makan trenggiling (Heath 1992).

Menurut Mondadori (1988) dalam Farida (2010), biasanya trenggiling dapat menggali tanah untuk membuat sarang atau mencari makan dengan kedalaman 3,5 meter. Selain membantu menyuburkan dan menggemburkan tanah di dalam hutan, di Riau trenggiling memangsa serangga perusak pohon seperti semut dan binatang kecil lainnya di dalam pohon sejenis rayap yang dapat membuat batang pohon mudah rapuh atau keropos. Keberadaan trenggiling ini secara tidak langsung dapat menjaga kelangsungan regenerasi ratusan jenis pepohonan yang ada di hutan Riau.

Trenggiling juga termasuk satwa yang memiliki potensi ekonomi tinggi karena banyak diperdagangkan. Secara ekonomi, trenggiling termasuk sumberdaya alam hewani yang memiliki nilai jual tinggi di pasaran internasional.


(28)

Hal ini dikarenakan manfaat secara sosial dan budaya yang diberikan trenggiling seperti penyediaan protein hewani, kebutuhan sebagai obat tradisional, dan kepentingan permintaan lain seperti tonics di beberapa negara. Soewu dan Ayodele (2009), trenggiling di Nigeria digunakan untuk mengobati total 42 jenis penyakit termasuk infertilitas, gangguan gastro-usus, gangguan nifas, radang perut, rematik dan fibroid. Selain itu, trenggiling di Nigeria juga digunakan secara tradisional sebagai bahan yang dipercaya dapat meningkatkan penjualan, kepercayaan gaib, menghapus nasib buruk, meredam kekuatan-kekuatan jahat dan

money ritual.

Kulit atau jangat trenggiling dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan barang-barang yang berasal dari kulit seperti tas, sepatu, dan sebagainya. Disamping itu, sisik dan bagian tubuh trenggiling yang dibuat dalam bentuk bubuk dapat digunakan sebagai anti afrodisiak. Trenggiling merupakan satwa yang juga digunakan sebagai local folk-law rituals atau satwa yang digunakan dalam sebuah tradisi upacara adat masyarakat lokal tertentu (NHM tanpa tahun).

Permintaan terhadap satwaliar cenderung meningkat (Soehartono dan Mardiastuti 2003) sehingga mendorong harga daging trenggiling per kilogram di pasar Internasional mencapai USD 600 (Hertanto 2010). Namun menurut Martin dan Phipps (1996), harga satu ekor trenggiling di tingkat Internasional dapat mencapai puluhan juta. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa daging seekor trenggiling hidup tanpa kulit dijual seharga USD 2 per Kg. Di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang memiliki daya ekonomi lemah, trenggiling malah dijual dengan harga yang cukup murah dari tangan pengumpul dan pemburu trenggiling lokal. Menurut Zainuddin (2008), di wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah trenggiling dihargai sekitar Rp 50.000,- per ekor. Sedangkan untuk trenggiling yang sudah dikuliti dapat dijual dengan harga tinggi, sekitar Rp 200.000,- sampai Rp 400.000,-.

2.3Kegiatan Penangkaran

Kegiatan penangkaran merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam konservasi eks-situ satwaliar. Dari berbagai definisi yang diperoleh diketahui


(29)

bahwa penangkaran adalah suatu usaha atau kegiatan mengembangbiakkan jenis-jenis satwaliar yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan tetap mempertahankan kemurnian genetiknya di luar habitat alaminya.

Usaha penangkaran trenggiling diketahui belum banyak dilaporkan sehingga data dan informasi mengenai teknis penangkaran satwa ini belum banyak diketahui. Namun ada yang menyebutkan bahwa trenggiling dapat bertahan hidup dengan kuat dan baik. Spesies Manis crassicaudata dilaporkan dapat hidup di penangkaran selama hampir 20 tahun (Nowak 1999).

Aspek teknis penangkaran meliputi seleksi bibit, adaptasi, perawatan kesehatan dan penyakit, penyediaan pakan, perkembangbiakan dan pembesaran, serta pengadaan sarana dan prasarana. Pengadaan bibit adalah suatu tindakan menyeleksi dan memperoleh bibit yang dapat dikembangbiakkan dengan baik di suatu areal penangkaran atau pusat rehabilitasi. Pengadaan bibit satwa di penangkaran bertujuan untuk memperoleh hasil satwa yang diinginkan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya yang dapat dikembangkan di penangkaran. Menurut Pujananto dan Syukur (2006) kegiatan pengadaan bibit merupakan tindakan penyeleksian satwa dengan memberikan kriteria dan persyaratan tertentu pada satwa yang akan dikembangbiakkan. Kriteria tersebut dapat meliputi penetapan satwa untuk kebutuhan induk dan satwa untuk kebutuhan pemeliharaan yang mudah beradaptasi dengan sumber pakan yang tersedia menurut hasil perkembangbiakan.

Keberhasilan suatu organisasi baik organisasi kecil maupun organisasi besar ditentukan bukan hanya oleh sumberdaya alam yang tersedia melainkan banyak ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang berperan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan organisasi yang bersangkutan (Manullang 1990). Keberhasilan penangkaran trenggiling di UD Multi Jaya Abadi sebagian besar ditentukan oleh jumlah dan kualitas tenaga kerja. Pemenuhan akan jumlah dan kualitas tenaga kerja tersebut sebelum dilakukan atau terbentuknya usaha penangkaran merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi. Hal ini dikarenakan secara umum operasional di penangkaran ditangani oleh tenaga kerja, baik tenaga kerja ahli maupun tenaga kerja komplementer.


(30)

2.4Pengembangan Pakan Trenggiling di Penangkaran

Selain semut, di penangkaran trenggiling juga diketahui mengonsumsi kroto (Oecophylla smaragdina). Kroto biasa diartikan sebagai campuran pupa dan larva semut rangrang yang dijual atau dimanfaatkan sebagai pakan burung berkicau dan umpan memancing. Kandungan protein kroto basah (telur dan larva semut rangrang) tergolong tinggi yakni mencapai 47,8% (Paimin dan Paimin 2002

dalam Sari 2005).

Aspek pengadaan pakan merupakan faktor pembatas dalam kegiatan penangkaran. Menurut Thohari (1987) faktor makanan merupakan pemegang peranan kunci dalam suatu usaha penangkaran. Usaha penangkaran memerlukan biaya penyediaan pakan sekitar 75% dari total biaya produksi. Trenggiling di UD Multi Jaya Abadi diberi pakan berupa telur semut atau kroto yang dicampur dengan dedak dan tepung jagung. Satu ekor trenggiling dewasa menghabiskan sebanyak 1 Kg per hari dengan harga pakan Rp 20.000,- sampai Rp 40.000,-. Pakan tidak langsung yang diberikan berupa semangka dan berbagai jenis buah-buahan lain yang dapat mendatangkan semut merah sehingga dapat dimakan langsung oleh trenggiling seperti di habitat alaminya (Bismark 2009). Banyak para penangkar trenggiling yang tidak dapat melakukan penangkaran satwa ini dengan baik karena trenggiling sulit beradaptasi terhadap jenis pakan yang tersedia di penangkaran sehingga pengelolaan trenggiling di penangkaran sulit dipertahankan (Yang et al. 2007).


(31)

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Penangkaran Trenggiling UD Multi Jaya Abadi di Medan, Sumatera Utara. Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama adalah pengambilan data lapangan yang dilakukan mulai bulan Agustus hingga September 2010. Tahap kedua dilakukan pada bulan November 2010 – Februari 2011 untuk melengkapi data sekunder dan analisis data lapangan.

3.2Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tempat pakan berupa piring plastik sebanyak 32 buah, tempat air minum berupa baskom kecil sebanyak 8 buah, kertas label, plastik, thermo-hygrometer, pita ukur, timbangan (pegas dan dudukan), kamera digital, kalkulator, panduan wawancara, dan alat tulis menulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah trenggiling sebanyak 8 (delapan) ekor dan pakan trenggiling yaitu kroto dan dedak yang dicampur dengan tepung jagung.

3.3Jenis Data dan Informasi yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari:

1. Aspek teknis penangkaran meliputi:

a) Kandang dan/atau habitat buatan (jenis, konstruksi, jumlah dan ukuran, peralatan dan perlengkapan dalam kandang, suhu, kelembaban, daya tampung kandang, dan perawatan kandang).

b) Pakan meliputi jenis pakan (sesuai umur, berat tubuh atau kondisi kesehatan), sumber pakan, jumlah pemberian pakan, waktu pemberian pakan, frekuensi pemberian pakan, dan cara pemberian pakan (dalam keadaan segar).

c) Perawatan kesehatan dan penyakit meliputi jenis penyakit pada masing-masing umur trenggiling, bentuk pencegahan, upaya pengobatan, dan alat yang digunakan untuk mengobati dan mencegah penyakit.


(32)

d) Reproduksi dan breeding meliputi musim kawin di penangkaran, sex ratio

yang digunakan, perilaku reproduksi, jumlah anak per kelahiran, kondisi anak saat lahir, dan perlakuan yang diberikan terhadap anak.

e) Adaptasi trenggiling di penangkaran meliputi teknik/cara adaptasi dan lama waktu adaptasi.

2. Tingkat konsumsi dan palatabilitas pakan meliputi jenis pakan yang diberikan, bentuk pakan, dan komposisi pakan yang diberikan setiap hari.

3. Aktivitas harian trenggiling di dalam kandang dan/atau habitat buatan meliputi aktivitas bergerak (berjalan, makan, minum), istirahat, defekasi dan urinasi, aktivitas sosial.

Adapun data sekunder meliputi kondisi lokasi penangkaran, sejarah dan dasar hukum pelaksanaan kegiatan penangkaran UD Multi Jaya Abadi, jumlah tenaga kerja dan data mengenai penduduk setempat yang dapat mempengaruhi kegiatan penangkaran.

3.4Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Studi Pustaka dan Wawancara

Studi pustaka dilakukan untuk mengetahui berbagai informasi yang terkait dengan aspek-aspek penangkaran satwa. Studi pustaka juga dilakukan untuk mempertajam dan memperkuat analisis terhadap hasil-hasil penelitian. Dalam studi pustaka juga dilakukan penelusuran informasi mengenai kebutuhan pakan trenggiling baik kebutuhan untuk energi metabolis maupun protein kasar, palatabilitas pakan, dan aktivitas harian.

Wawancara dilakukan kepada pengelola penangkaran UD Multi Jaya Abadi di Medan terutama animal keeper. Wawancara juga dilakukan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar penangkaran UD Multi Jaya Abadi sebanyak 10 orang masyarakat untuk mengetahui penilaian mereka terhadap keberadaan penangkaran. Kegiatan wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara berupa daftar pertanyaan mengenai dampak positif (sisi ekonomi dan kenyamanan) dan dampak negatif (limbah/sampah dan bau) dari kegiatan penangkaran (Lampiran 11). Wawancara dilakukan secara mendalam, santai, terbuka dan tidak kaku.


(33)

3.4.2 Observasi Lapang

Observasi lapang dilakukan secara langsung di lokasi penangkaran trenggiling. Ada tiga kelompok data dan informasi yang dikumpulkan melalui kegiatan observasi lapang. Ketiga data dan informasi tersebut terdiri dari (a) aspek-aspek teknis penangkaran, (b) tingkat konsumsi dan palatabilitas pakan, dan (c) aktivitas harian trenggiling di penangkaran.

a. Data Aspek Teknis Penangkaran

Data dan informasi mengenai teknis penangkaran diperoleh dengan cara mengamati setiap trenggiling di dalam kandang dan aktivitas pengelolaannya oleh animal keeper. Disamping mengamati, informasi mengenai tekns penangkaran juga dilakukan dengan wawancara terhadap

animal keeper selama penelitian. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi perkandangan, pengelolaan pakan di penangkaran, manajemen kesehatan dan penyakit, manajemen reproduksi dan breeding, dan adaptasi trenggiling di penangkaran.

Data mengenai kandang atau habitat buatan trenggiling dilakukan dengan cara mengukur panjang, lebar, dan tinggi kandang. Selain itu dilakukan pengukuran terhadap suhu dan kelembaban di dalam kandang pada pagi hari (08.00), siang (13.00), sore hari (17.30), dan malam hari (22.30) dengan menggantungkan thermo-hygrometer di areal yang diukur. Informasi mengenai jenis kandang, konstruksi, dan daya tampung kandang serta perawatan kandang dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara dengan animal keeper.

Demikian juga untuk data dan informasi mengenai pengelolaan pakan, manajemen kesehatan dan penyakit, serta manajemen reproduksi dan breeding dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lokasi dan wawancara dengan

animal keeper, termasuk mengenai daya adaptasi trenggiling di penangkaran. Disamping pengamatan secara langsung dan wawancara dengan animal keeper, perolehan data juga dilakukan dengan penelusuran dokumen-dokumen mengenai kegiatan penangkaran di UD Multi Jaya Abadi karena merupakan salah satu bagian dari system recording di penangkaran.


(34)

b. Data Tingkat Konsumsi dan Palatabilitas Pakan 1) Tingkat Konsumsi Pakan

Data dan informasi mengenai tingkat konsumsi pakan diperoleh melalui pengamatan secara langsung pada setiap trenggiling di penangkaran. Untuk mengetahui besarnya tingkat konsumsi trenggiling dilakukan melalui studi pendahuluan. Hal ini disebabkan oleh jenis pakan di dalam ransum yang diberikan harus memiliki berat yang sama untuk mempermudah konversi pakan. Kondisi ini disesuaikan dengan berat ransum yang diberikan pengelola. Disamping itu, mengingat bahwa pakan trenggiling merupakan faktor penting dalam penangkaran, besarnya konsumsi per ekor trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi menjadi dasar rancangan percobaan yang terkait dengan aspek ekonomi penangkaran.

Pengamatan pendahuluan dilakukan selama lima hari dengan jumlah trenggiling percobaan sebanyak 10 ekor. Rataan konsumsi pakan trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi sebelum dilakukan treatment terdapat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Rataan konsumsi pakan trenggiling pada pengamatan pendahuluan di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi

Objek Pengamatan Rata-rata Konsumsi (g/hari *)

T1 119

T2 62

T3 128

T4 71

T5 59

T6 141

T7 123

T8 149

T9 137

T10 112

Jumlah 1101

Rata-rata 110.1

*) Pengukuran dilakukan selama lima hari pemberian pakan dengan jumlah pemberian 200 g/ekor/hari.

Berdasarkan hasil pengamatan pendahuluan (Tabel 1) diketahui rata-rata konsumsi trenggiling di penangkaran 110 g/ekor/hari atau berkisar antara


(35)

percobaan ditetapkan 150 g/ekor/hari. Jumlah ini ditetapkan dengan pertimbangan bahwa jumlah tersebut adalah batas maksimal ransum yang dikonsumsi disamping juga mengingat ketersediaan kroto yang mahal dan terbatas, strategi ini diasumsikan tepat agar efisiensi dan efektivitas pakan yang diberikan dapat tercapai dan memenuhi kebutuhan trenggiling.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan dua perlakuan masing-masing memiliki dua taraf. Kedua perlakuan tersebut adalah tipe pemeliharaan dan jenis/macam ransum. Tipe pemeliharaan memiliki dua taraf yakni kandang individual (satu ekor) dan kandang berpasangan (dua ekor) sedangkan macam/jenis ransum terdiri dari ransum P1 (kandungan kroto 50 g, dedak 100 g) dan P2 (kandungan kroto 80 g, dedak 70 g). Berikut rancangan percobaan dengan perlakuan (t) = 2 dan ulangan (r) = 6 dalam masing-masing kandang:

K1 K2 I1 I2 I3 I4

P1 P1 P1 P1 P1 P1

P2 P2 P2 P2 P2 P2

Ket: P1= ransum dengan komposisi kroto 50g; P2= ransum dengan komposisi kroto 80g; K1= kandang perlakuan ke-1; K2= kandang perlakuan ke-2; I1= kandang perlakuan individu ke-1; I2= perlakuan individu ke-2; I3= perlakuan individu ke-3; I4= perlakuan individu ke-4.

Kedua jenis perlakuan (P1 dan P2) diberikan setiap hari pada pukul 19.00 WIB pada masing-masing tipe pemeliharaan baik kandang berpasangan maupun kandang individu. Ransum P1 dan P2 disajikan secara prasmanan di dalam piring-piring plastik yang ada di penangkaran. Di dalam kandang, ransum diletakkan berjauhan dari tempat aktivitas memanjat trenggiling. Keesokan harinya ransum sisa yang terdapat di dalam masing-masing piring pada hari sebelumnya ditimbang untuk mengetahui jumlah konsumsi ransum tersebut.

Posisi piring dalam pemberian pakan dalam kandang individu (I1, I2, I3, dan I4) dapat diletakkan dimana saja. Untuk perlakuan berpasangan, posisi piring pakan yang diberikan dibedakan mengingat bahwa dengan adanya dua individu dalam satu pengamatan, bias yang diperoleh mungkin akan jauh lebih besar. Oleh karena itu, untuk memudahkan mengetahui besarnya pakan yang


(36)

dikonsumsi oleh masing-masing individu, pemberian pakan harus dipisahkan. Adapun posisi piring tersebut dapat dilihat dalam Gambar 6:

Ket: P1 ♂: Pakan P1 (komposisi kroto 50 g) untuk ♂

P2 ♂: Pakan P2 (komposisi kroto 80 g) untuk ♂

P1 ♀: Pakan P1 (komposisi kroto 50 g) untuk ♀

P2 ♀: Pakan P2 (komposisi kroto 80 g) untuk ♀

Gambar 6 Posisi piring dalam pemberian pakan trenggiling untuk perlakuan pasangan.

Pada Gambar 6 di atas, posisi piring dalam pemberian pakan diatur sedemikian rupa setelah peletakan tempat minum. Pemisahan pakan untuk jantan dan betina dilakukan untuk mengatasi adanya kemungkinan intervensi terhadap pakan dari jantan ke betina atau dari betina ke jantan sehingga diperlukan upaya pengawasan lebih dalam pemberian pakan untuk perlakuan ini. Disamping itu, pemisahan dilakukan agar pengamatan palatabilitas terhadap ransum P1 dan P2 yang diberikan di dalam kandang berpasangan mudah dilakukan.

2) Palatabilitas Pakan

Data dan informasi mengenai palatabilitas diperoleh dengan cara pengamatan langsung dan pengukuran terhadap besarnya konsumsi pakan dari masing-masing trenggiling dengan metode cafetaria. Dalam hal ini, palatabilitas ditentukan berdasarkan banyaknya ransum yang dikonsumsi, bukan jenis pakan (kroto atau dedak). Pengamatan dilakukan selama 13 hari untuk memperoleh nilai konsumsi yang diukur dari selisih berat ransum awal dengan berat ransum sisa. Selanjutnya dihitung tingkat konsumsi ransum dengan menggunakan persentase perbandingan antara konsumsi dengan berat ransum awal. Tingkat konsumsi ransum tertinggi pada setiap trenggiling yang diamati dinyatakan sebagai pakan yang disukai oleh trenggiling.

P1

P1

P2

P2


(37)

c. Data aktivitas harian trenggiling di penangkaran

Pengamatan aktivitas harian trenggiling di penangkaran dilakukan dengan metode focal animal sampling dan scan sampling yang biasa digunakan dalam pengamatan aktivitas dan perilaku satwa menurut frekuensi waktu tertentu (Altmann 1974). Pengamatan dilakukan per 5 menit selama tiga hari untuk masing-masing unit kandang (kandang berpasangan dan kandang individu). Total unit kandang yang diamati sebanyak 6 unit kandang.

Pengamatan dilakukan mulai pukul 06.00−18.00 WIB dan dilanjutkan pada

pukul 18.00−24.00 WIB. Seluruh trenggiling yang ada di dalam kandang diasumsikan dapat teramati pada waktu tersebut.

3.5Analisis Data

Data dan informasi yang diperoleh berdasarkan hasil observasi dianalisis berdasarkan jenis dan klasifikasi data yang dikumpulkan. Data yang dikumpulkan tersebut terbagi dalam kelompok, yakni (a) aspek teknis penangkaran, (b) tingkat konsumsi dan palatabilitas pakan, dan (c) aktivitas harian trenggiling di penangkaran.

3.5.1 Aspek Teknis Penangkaran

Data dan fakta mengenai pengadaan bibit dan perkandangan disajikan secara naratif kualitatif sedangkan data dan informasi mengenai perawatan kesehatan dan penyakit termasuk teknik reproduksi trenggiling di penangkaran disajikan secara naratif deskriptif dan naratif kualitatif yang ditunjang dengan bagan-bagan, tabel, dan gambar.

3.5.2 Tingkat Konsumsi dan Palatabilitas Pakan 1. Tingkat konsumsi pakan

Untuk mendapatkan besaran konsumsi, data dilakukan analisis secara kuantitatif. Banyaknya pakan yang dikonsumsi oleh masing-masing trenggiling per hari dihitung rata-ratanya selama pengamatan dan dihitung selisih antara sebelum dan sesudah pemberian pakan. Besaran konsumsi setiap jenis pakan dihitung dengan cara sebagai berikut:

- ; BK0 adalah berat kering pakan mula-mula, BK1 adalah berat kering pakan sisa.


(38)

Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial digunakan untuk mengetahui beda nyata antara faktor macam/jenis ransum (P1 dan P2) yang diberikan terhadap konsumsi dan pengaruh faktor tipe pemeliharaan (kandang individu dan kandang berpasangan) terhadap konsumsi maupun interaksi antara kedua faktor. Interaksi dapat dikatakan sebagai bentuk hubungan yang timbul antara dua tipe pemeliharaan yang dianggap sebagai variabel respon yang berbeda pada masing-masing jenis ransum yang diberikan (Sudjana 1991). Adapun desain eksperimen tersebut berupa desain eksperimen faktorial dengan dua buah faktor, faktor pertama terdapat dua taraf dan faktor ke-2 juga memiliki dua taraf. Desainnya menjadi desain faktorial 2 2 atau eksperimen faktorial 22. Rancangan analisis data konsumsi disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Skema peletakan analisis data penelitian

Tipe pemeliharaan Ulangan Jenis perlakuan Jumlah Rata-rata

P1 P2

Kandang berpasangan (a)

1 Ya11 Ya21 2 Ya12 Ya22

Jumlah Ja1n Ja2n Ja12

Rata-rata Ỹa1n Ỹa2n Ỹa12

Kandang individu (b)

a Yb1a Yb2a b Yb1b Yb2b c Yb1c Yb2c d Yb1d Yb2d

Jumlah Jb1n Jb2n Jb12

Rata-rata Ỹb1n Ỹb2n Ỹb12

Jumlah besar Jab1n Jab2n Jab12

Rata-rata besar Ỹab1n Ỹab2n Ỹab12

Model linear yang digunakan untuk desain faktorial 2 2 atau eksperimen faktorial 22 adalah:

Ket:

i = kandang berpasangan, kandang individu j = ransum P1, ransum P2

= pengamatan pada pengaruh perlakuan ke-k yang terjadi karena pengaruh bersama tipe pemeliharaan ke-i dan efek pemberian ransum ke-j.

= rataan umum pada pengamatan.

= efek berbagai jenis tipe pemeliharaan. = efek berbagai jenis pemberian ransum.


(39)

= efek unit eksperimen ke-k dalam kombinasi antara jenis tipe pemeliharaan dan jenis pemberian ransum.

Tabel 3 Daftar analisis sidik ragam eksperimen faktorial a x b

Sumber Keragaman

Derajat bebas JK KT Fhitung

Rata-rata 1 Ry R

Perlakuan

A a-1 Ay A A/E

B b-1 By B B/E

AB (a-1) (b-1) ABy AB AB/E

Galat ab (n-1) Ey E

Total abn ΣY2 - -

Analisis sidik ragam dari tabel 4 dilakukan dengan menggunakan Model Tetap atau Model I karena semua faktor dan taraf yang ada digunakan seluruhnya dalam eksperimen (Sudjana 1991). Hipotesis nol yang harus diuji dalam eksperimen ini adalah sebagai berikut:

H01 : Ai = 0 ; (i = kandang berpasangan, kandang individu)

H02 : Bj = 0 ; (j = ransum P1, ransum P2)

H03 : ABij = 0 ; (i = kandang berpasangan, kandang individu dan j = ransum

P1, ransum P2)

Hipotesis alternatifnya adalah :

H11 : Ai ≠ 0 ; (i = kandang berpasangan, kandang individu)

H12 : Bj ≠ 0 ; (j = ransum P1, ransum P2)

H13 : ABij ≠ 0 ; (i = kandang berpasangan, kandang individu dan j = ransum

P1, ransum P2)

Daerah kritis pengujian hipotesis ini ditentukan oleh:

Fα(a-1, ab(n-1)) ; untuk H01, Fα(b-1, ab(n-1)) ; untuk H02, dan Fα((a-1)(b-1), ab(n-1)) ; untuk H03.

Jika hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa Fα (Fhitung) > Ftabel

maka tolak H0 dan terima H1. Jika H0 ditolak maka dalam pengujian ini berarti

terdapat pengaruh atau efek yang ditimbulkan oleh faktor pemeliharaan, faktor pemberian pakan, atau faktor interaksi antara pemeliharaan dan pemberian pakan.


(40)

2. Palatabilitas pakan

Palatabilitas pakan diketahui dengan melihat jenis pakan yang disukai berdasarkan bentuk dan komposisi pakan yang diberikan. Untuk mengetahui komposisi pakan yang diberikan, masing-masing jenis pakan dalam berbagai bentuk diambil sampelnya dan dilakukan analisis proximat. Analisis proximat ini dilakukan untuk mengetahui kandungan nilai gizi sebelum menentukan persentase kebutuhan pakan dan menyusun ransum sesuai kebutuhan energi yang diperlukan.

Tingkat palatabilitas merupakan tingkat konsumsi masing-masing jenis ransum sedangkan untuk menghitung besarnya tingkat konsumsi adalah dengan rumusan sebagai berikut:

Keterangan:

K : Konsumsi pakan trenggiling dalam keadaan kering (g) BK0 : Berat kering pakan sebelum diberikan (g)

BK1 : Berat kering pakan setelah diberikan (pakan sisa) (g)

TK : Tingkat Konsumsi kering pakan (%)

Untuk mengetahui perbedaan tingkat palatabilitas pada tiap-tiap jenis ransum, maka dilakukan uji t:

Hipotesa: H0: μ1= μ2 ; H1: μ1≠ μ2, dengan μ1= tingkat palatabilitas ransum

1 dan μ2= tingkat palatabilitas ransum 2.

Untuk ragamnya dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Keterangan:

= tingkat konsumsi ransum 1 = tingkat konsumsi ransum 2 = ragam contoh ransum 1


(41)

= ragam contoh ransum 2 = jumlah pengamatan ransum 1 = jumlah pengamatan ransum 2

Jika thitung ≠ ttabel maka terima H1, berarti tingkat palatabilitas

ransum 1 berbeda nyata dengan palatabilitas ransum 2.

3.5.3 Aktivitas Harian Trenggiling di Penangkaran

Data hasil pengamatan aktivitas trenggiling di dalam kandang dianalisis secara naratif deskriptif dalam bentuk persentase untuk menjelaskan secara rinci mengenai aktivitas yang dilakukan. Untuk mempermudah dalam penginterpretasian data maka data disajikan dalam bentuk gambar atau grafik.


(42)

4.1 Sejarah Penangkaran

Penangkaran UD Multi Jaya Abadi terletak di Jalan Gerogol Dusun XI, Desa Purwodadi, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. Kabupaten Deli Serdang secara geografis terletak diantara 2°57’− 3°16’ Lintang Utara dan antara

98°33’ − 99°27’ Bujur Timur. Penangkaran UD Multi Jaya Abadi mulai dioperasikan/dibuka pada bulan Maret 2007 di Sibolga, Sumatera Utara. Berdirinya penangkaran ini dan dilakukannya kegiatan penangkaran bermula dari adanya keinginan untuk melindungi satwa ini dari kegiatan perdagangan liar satwa langka, khususnya trenggiling (Manis javanica). Adanya kebiasaan masyarakat setempat (Sibolga) memburu trenggiling secara illegal menggunakan jerat berpaku mengakibatkan luka di tubuh trenggiling yang tertangkap sulit disembuhkan. Hal ini menjadi perhatian UD Multi Jaya Abadi untuk mengumpulkan trenggiling yang terlantar tersebut dan memintanya beberapa ekor dari masyarakat setempat untuk dipelihara.

Selanjutnya dari kegiatan pengumpulan trenggiling ini, diarahkan untuk dijadikan sebuah penangkaran dengan rekomendasi legal dari Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara. Surat keputusan yang menandakan bahwa kegiatan penangkaran ini legal dilakukan adalah Surat Keputusan dari Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) Nomor: 114/ IV/ SET-3/ 2007 tanggal 22 Mei 2007 tentang Pemberian Izin Usaha Penangkaran Trenggiling (Manis javanica) yang dilindungi undang-undang kepada UD Multi Jaya Abadi. Kegiatan penangkaran pada awalnya berada di Sibolga (Lampiran 12).

4.2 Manajemen Penangkaran UD Multi Jaya Abadi

Pengelolaan penangkaran secara umum berada di bawah naungan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA), Kementerian Kehutanan. Penangkaran UD Multi Jaya Abadi merupakan penangkaran trenggiling (Manis javanica) yang dikelola oleh swasta. Meskipun demikian, pertanggungjawaban


(43)

seluruh kegiatan penangkaran dilaporkan kepada BBKSDA Sumatera Utara. Struktur organisasi pengelola penangkaran trenggiling UD Multi Jaya Abadi disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Struktur organisasi pelaksana aktivitas penangkaran UD Multi Jaya Abadi.

Tenaga kerja yang dipekerjakan di penangkaran trenggiling UD Multi Jaya Abadi Jalan Gerogol hanya berjumlah dua orang. Satu orang merupakan tenaga kerja utama yang melakukan kegiatan pemeliharaan secara keseluruhan mulai dari pemberian pakan, mengatur jadwal pemberian pakan, memeriksa kesehatan dan penyakit (sebelum diperiksa oleh dokter hewan yang ditugaskan), membersihkan kandang dan memandikan trenggiling (membersihkan tubuh) hingga pada kegiatan reproduksi trenggiling. Tenaga kerja kedua bertugas sebagai pembantu yang hanya melakukan kegiatan pemeliharaan yang diperintahkan oleh tenaga kerja pertama seperti membuka kandang di pagi hari, membuang pakan sisa dan kotoran jika berserakan di lantai, dan menutup kandang pada malam hari.

Umur kedua pekerja tersebut masing-masing sekitar 40 tahun dan 22 tahun. Faktor umur biasanya terkait bahkan dapat identik terhadap produktivitas kerja. Seseorang yang berada pada usia produktif, biasanya cenderung memiliki produktivitas yang tinggi. Kedua pekerja di penangkaran trenggiling ini dianggap telah memasuki usia kerja produktif karena menurut Sehabudin dan Agustian (1998) umur mereka berada pada kisaran 15−54 tahun. Dalam selang umur ini, tenaga kerja tersebut diharapkan dapat menjadi SDM yang mampu mengembangkan kemampuan dengan baik untuk meningkatkan keberhasilan penangkaran.

Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam

Sumatera Utara

Tenaga Medis Animal Keeper Tenaga Harian Direktur UD. Multi


(44)

4.3 Kondisi Fisik Lokasi Penangkaran

Pada tahap awal, kegiatan penangkaran yang dilakukan di Sibolga masih terbatas dengan luas areal penangkaran berukuran 12 m x 14 m. Bedeng perlindungan di areal dibuat dari potongan saluran air dari semen disertai dengan tempat makan di dalamnya. Lantai bedeng hanya berupa lantai tanah biasa yang ditumbuhi beberapa tumbuhan bawah (Gambar 8). Selain itu untuk melindungi dirinya di siang hari, trenggiling biasa menggali lubang sendiri (Bismark 2009).

Gambar 8 Habitat buatan di Penangkaran Trenggiling Sibolga (Foto: Bismark 2009).

Setelah melakukan kegiatan penangkaran di Sibolga selama kurang lebih 2 tahun, UD Multi Jaya Abadi berencana menambah areal penangkaran dalam bentuk yang lebih baik. Rencana ini direalisasikan pada tahun 2009 dengan memindahkan beberapa ekor trenggiling dari Sibolga ke Jalan Gerogol, Kecamatan Sunggal sebanyak 12 ekor yang menjadi pusat penangkaran trenggiling saat ini. Pemindahan ini dilakukan karena populasi trenggiling yang dipelihara di Sibolga terus menurun hingga jumlahnya menjadi 26 ekor akibat penyakit bawaan dari alam.

Kondisi kandang yang ada di penangkaran UD Multi Jaya Abadi di Sunggal berbeda dengan yang berada di Sibolga. Kandang atau habitat buatan di Sunggal disajikan pada Gambar 9. Untuk memudahkan pengelolaan dan pengawasan terhadap trenggiling, pihak UD Multi Jaya Abadi memiliki empat buah kamera tersembunyi di empat kandang (CCTV). Kamera ini terutama diletakkan pada kandang yang di dalamnya terdapat trenggiling yang hamil dan trenggiling yang masih anakan (umur < 1 tahun).


(45)

Gambar 9 Kondisi kandang lokasi penangkaran di Jalan Gerogol, Kecamatan Sunggal (Foto: Novriyanti 2010).

4.4Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Lokasi Penangkaran

Masyarakat di sekitar lokasi penangkaran UD Multi Jaya Abadi, mayoritas bermatapencaharian sebagai petani dan peternak. Selain itu, sebagian kecil masyarakat lainnya memiliki mata pencaharian sebagai pedagang, guru, mekanik, dan buruh pabrik. Hal ini sesuai dengan kondisi sosial−ekonomi Kecamatan Sunggal. Kecamatan Sunggal merupakan salah satu kawasan dataran rendah Kabupaten Deli Serdang yang memiliki potensi utama yakni pertanian pangan, perkebunan besar, perkebunan rakyat, peternakan, industri, perdagangan, dan perikanan darat. Penduduk Kabupaten Deli Serdang terdiri dari berbagai suku bangsa antara lain Melayu, Karo, Simalungun, Toba, Mandailing, Jawa, dan Minangkabau. Umumnya penduduk tersebut memeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.

Masyarakat di sekitar lokasi penangkaran mayoritas tidak mengetahui adanya penangkaran trenggiling di lingkungan tempat tinggal mereka. Saat masyarakat mengetahui keberadaan penangkaran UD Multi Jaya Abadi tersebut, masyarakat pun tidak dapat ikut andil dalam upaya pengelolaan. Pengelola penangkaran trenggiling UD Multi Jaya Abadi memang tidak berupaya menyosialisasikan keberadaan penangkaran karena jumlah trenggiling yang berada di penangkaran dianggap masih wajar, sehingga tidak mengkuatirkan warga dari segi limbah pemeliharaan trenggiling sehari-hari.


(46)

5.1Manajemen Penangkaran Trenggiling di UD Multi Jaya Abadi

Secara umum ada beberapa aspek teknis manajemen penangkaran satwa yang diketahui sangat menentukan keberhasilan penangkaran suatu jenis satwa. Diantara aspek teknis penangkaran tersebut adalah pengadaan bibit, manajemen perkandangan, manajemen pakan, perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit, serta manajemen reproduksi (breeding). Adapun deskripsi lengkap tentang praktek pengelolaan setiap aspek teknis penangkaran trenggiling (Manis javanica) yang dilakukan di UD Multi Jaya Abadi berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan pihak pengelola disajikan di bawah ini.

5.1.1 Pengadaan Bibit dan dan Perkembangannya di Penangkaran

Pengadaan bibit merupakan kegiatan awal dari rangkaian pelaksanaan suatu usaha penangkaran satwa. Sumber bibit satwa untuk penangkaran pada prinsipnya dapat berasal dari dua sumber utama yakni hasil penangkapan dari alam (wild caugth) dan/atau hasil pembiakan (reproduksi) di penangkaran (captive bred). Terkait dengan usaha penangkaran trenggiling di UD Multi Jaya Abadi, berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa sumber bibit yang digunakan semuanya berasal dari alam. Semua bibit tersebut merupakan hasil tangkapan dari alam yang dilakukan oleh masyarakat Sibolga.

Berdasarkan hasil wawancara dan laporan Bismark (2009) diketahui bahwa jumlah bibit trenggiling yang dipelihara pada awal pembangunan penangkaran tahun 2009 yang berlokasi di Sibolga sebanyak 110 ekor terdiri dari 45 ekor jantan dan 65 ekor betina. Namun dalam perkembangannya, ternyata jumlah trenggiling yang dipelihara di Sibolga ini terus mengalami penurunan drastis akibat kematian sehingga jumlah yang tersisa menjadi 26 ekor. Dari 26 ekor bibit trenggiling yang tersisa di penangkaran Sibolga, 12 ekor (6 ekor jantan dan 6 ekor betina) dipindahkan dan dijadikan sebagai bibit untuk pengembangan penangkaran trenggiling di Kecamatan Sunggal pada tahun 2009.

Hasil pengamatan, wawancara dan penelusuran dokumen (recording management) diketahui bahwa dari 12 ekor bibit trenggiling yang ditangkarkan di


(47)

penangkaran UD Multi Jaya Abadi Kecamatan Sunggal selama 2 tahun (2009-2010) ternyata jumlah bibit (induk) juga terus mengalami penurunan akibat kematian meskipun juga diketahui ada kelahiran anak trenggiling di penangkaran. Gambaran mengenai perkembangan jumlah bibit dan anak trenggiling yang lahir di penangkaran seperti disajikan pada Tabel 5. Secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa perkembangan jumlah induk trenggiling menunjukkan trend

penurunan. Ada dua faktor yang diduga sebagai penyebab utama dari kematian induk trenggiling tersebut, yakni penyakit caplak yang dibawa dari habitat asalnya dan infeksi luka yang timbul karena penangkapan dengan jerat oleh masyarakat Sibolga (Lampiran 8).

Tabel 5 Perkembangan induk trenggiling (Manis javanica) dan keturunan yang dihasilkan di penangkaran UD Multi Jaya Abadi, Kecamatan Sunggal

Perkembangan

Generasi

Jumlah

Induk Anak (F1)

Stok induk awal 2009*) 6 6 - - 12

Stok Januari 2010**) 5 5 4 - 14

Stok Februari 2010**) 5 5 4 - 14

Stok Maret 2010**) 5 5 4 - 14

Stok April 2010**) 5 5 4 - 14

Stok Mei 2010**) 5 5 4 - 14

Stok Juni 2010**) 5 5 4 - 14

Stok Juli 2010***) 5 3 1 2 11

Stok Agustus 2010 4 2 1 2 9

Stok September 2010 4 2 1 2 9

*) Sumber: laporan hasil Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) Tahun 2009.

**) Sumber: laporan perkembangan penangkaran satwaliar dilindungi undang-undang, Manis javanica milik UD Multi Jaya Abadi tahun 2010.

***) Sumber: pengamatan Takandjandji dan Sawitri (2010, komunikasi pribadi).

Terkait dengan syarat-syarat bibit dalam proses pengadaannya, diketahui bahwa pengelola penangkaran UD Multi Jaya Abadi belum menetapkan syarat atau kriteria khusus dalam pengadaan trenggiling sebagai bibit. Hal ini karena masih terbatasnya sumber bibit dan pengetahuan mengenai pengelolaan trenggiling di penangkaran. Akibatnya bibit trenggiling yang diadakan umumnya berkualitas rendah karena hampir semuanya mengalami luka jerat. Disamping itu, melihat populasi trenggiling yang digunakan berjumlah 8 ekor, maka sebagai bibit di penangkaran jumlah ini diperkirakan memiliki variabilitas genetik yang rendah


(1)

97

Lampiran 6. Analisis sidik ragam desain eksperimen faktorial

Tipe Pemeliharaan Ulangan Pakan Jumlah Rata-rata

P1 P2

Kandang Berpasangan 1 67.30769 85.38462 2 81.15385 86.92308 3 90.76923 100.5385 4 96.15385 104.6154

Jumlah 335.3846 377.4615 712.8461

Rata-rata 83.8462 94.3654 89.1058

Kandang Individu

1 103.0769 101.9231 2 35.7692 65 3 94.6154 108.8462 4 158.8462 133.8462

Jumlah 392.3077 409.6155 801.9232

Rata-rata 98.07693 102.403875 100.2404 Jumlah besar 727.6923 787.077 1514.7693

Rata-rata besar 90.9616 98.3846 94.6732

ΣY2

= (67.30769)2 + (85.38462) 2 +….+ (158.8462)2 + (133.8462)2 = 154963.5065

Ry = = 143407.877

Ay = = 495.9206

By = = 220.4089

Jab =

= 754.6738

ABy = Jab − Ay − By = 754.6738 – 495.9206 – 220.4089 = 38.3443 Ey = ΣY2 – Ry – Ay – By – ABy

= 154963.5065 − 143407.877 − 495.9206 − 220.4089 − 38.3443 = 10800.9557


(2)

98

Tabel ANOVA Desain Eksperimen Faktorial

Sumber Keragaman Db JK KT F hitung Ftabel

α=0.05(1,12)

Rata-rata 1 143.407,88 143.407,88 Perlakuan

Tipe pemeliharaan 1 495,92 495,92 0,55 4,75

Jenis ransum 1 220,41 220,41 0,24

Interaksi antara tipe pemeliharaan dan jenis ransum

1 38,34 38,34 0,04

Galat 12 10.800,96 900.08

Total 16 154.963,51 - -

Berdasarkan nilai statistik uji, nilai Fhitung < Ftabel. Hal ini berarti bahwa tidak ada

pengaruh yang ditimbulkan dari ketiga faktor, baik faktor tipe pemeliharaan, faktor jenis ransum yang diberikan, maupun faktor interaksi yang mungkin dapat timbul dari kedua faktor sebelumnya.

Lampiran 7. Pertambahan bobot badan trenggiling selama percobaan

No. Trenggiling Berat sebelum

(g)

Berat sesudah (g) Pertambahan (g)

1. K1 jantan 5700 5700 0

2. K1 betina 6700 6400 -300

3. K2 jantan 5300 5500 200

4. K2 betina 4100 4300 200

5. I1 3000 3000 0

6. I2 3600 3700 100

7. I3 2800 3000 200

8. I4 5100 5100 0

Jumlah 400


(3)

99

Lampiran 8. Manajemen penyakit dan kesehatan satwa

No. Umur trenggiling Jenis penyakit Bentuk

pencegahan

Upaya pengobatan

Alat yang

digunakan Keterangan

1. Belum diketahui Luka

Perawatan kandang dan pemberian pakan yang baik

Pemberian obat luka

Pinset, gunting, kapas

Luka dibersihkan, dikontrol setiap

hari, dijauhkan dari air.

2. Belum diketahui Luka

Perawatan kandang dan pemberian pakan yang baik

Pemberian obat dan suntik pada bagian yang luka

Jarum suntik, pinset, kapas

Trenggiling mati setelah luka berumur ±1

minggu.

3. ± 3 tahun Infeksi luka

Perawatan kandang dan pemberian pakan yang baik

Pemberian obat dan suntik pada bagian yang luka

Jarum suntik, pinset, kapas

Trenggiling mati setelah luka berumur ±1


(4)

100

Lampiran 9. Manajemen reproduksi dan breeding

No. Musim kawin Sex ratio Perilaku

Jumlah anak dan Bulan Lahir Kondisi anak Perlakuan yang diberikan Keterangan 1. Diperkirakan Oktober-November 1:1

Jantan meletakkan tubuhnya diatas tubuh betina. Tak jarang menarik pangkal ekor

betina dengan kedua kaki depannya (bergayut)

1 ekor di Bulan Maret

2009

Panjang: tidak diukur Berat badan

rata-rata: mencapai 300 gram Anak tetap diasuh oleh induknya, tidak diberikan perlakuan khusus 2. Diperkirakan Februari-Maret 1:1

Jantan meletakkan tubuhnya diatas tubuh betina. Tak jarang menarik pangkal ekor

betina dengan kedua kaki depannya (bergayut)

1 ekor di Bulan Juli 2009 3. Diperkirakan Februari-Maret 1:1

Jantan meletakkan tubuhnya diatas tubuh betina. Tak jarang menarik pangkal ekor

betina dengan kedua kaki depannya (bergayut)

1 ekor di Bulan Juli


(5)

101

Lampiran 10. Suhu kandang di kandang penangkaran UD Multi Jaya Abadi pada bulan Agustus 2010

No. Tanggal

SK dan H per Waktu

Keterangan 08.00 WIB 13.00 WIB 17.30 WIB 22.30 WIB

(oC) % (oC) % (oC) % (oC) % 1 11 Agustus 2010 31 56 38 56 34 79 28 89 2 12 Agustus 2010 31 70,5 40 41 29 81 29 90 3 13 Agustus 2010 28 90 36 53 28 90 28 92 4 14 Agustus 2010 28 89 38 56 30 56 28 70 5 15 Agustus 2010 29 85 39 40 34 68 34 68 6 16 Agustus 2010 28 90 35 51 34 56 33 56 7 17 Agustus 2010 28 79 30 80 29 80 28 89 8 18 Agustus 2010 28 89 37 44 35 59 30 81 9 19 Agustus 2010 28 80 38 56 30 78 28 89 10 20 Agustus 2010 28 80 40 30 35 66 30 80 11 21 Agustus 2010 29 89 37,5 46 34 70 30 82 12 22 Agustus 2010 30 75 35 72 33 70 31 82 13 23 Agustus 2010 32 74 39,5 40 31,5 69 35 82 14 24 Agustus 2010 31 73 41 26 37 62 31 62 15 25 Agustus 2010 31 69 42 28 35 64 31 82 16 26 Agustus 2010 30 78 40 38 36 56 32 74 17 27 Agustus 2010 32 62 40 40 35 68 28 83 Rata-rata 29.53 74 33.47 47 31.06 69 30.23 79 SK= suhu kandang, H= kelembaban


(6)

102

Lampiran 11. Panduan wawancara kepada masyarakat 1. Apakah anda mengetahui mengenai trenggiling?

2. Apakah anda mengetahui ada penangkaran di daerah anda? Apakah anda mengenal para pekerja atau pengelola penangkaran tersebut?

3. Sudah berapa lama anda tinggal di sekitar Penangkaran UD Multi Jaya Abadi? Apakah anda dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan?

4. Bagaimana pengaruh keberadaan penangkaran UD Multi Jaya Abadi? 5. Apakah ada kerugian yang anda rasakan dengan adanya penangkaran UD

Multi Jaya Abadi? Jika ada, kerugian seperti apa?

6. Pernahkah anda memberitahukan hal tersebut (kerugian yang anda rasakan) kepada pengelola penangkaran?

7. Bagaimana respon pengelola?

8. Pernahkah anda masuk kedalam lokasi penangkaran? Apakah masyarakat setempat pernah dipungut biaya untuk berkunjung ke UD Multi Jaya Abadi?

9. Bagaimana menurut anda pengelolaan trenggiling dipenangkaran UD Multi Jaya Abadi?