Sebaliknya, trenggiling yang berukuran tubuh kecil dan memiliki bobot badan rendah cenderung banyak mengonsumsi ransum karena diduga masih dalam masa
pertumbuhan sehingga masih membutuhkan banyak nutrisi dan kelengkapan gizi berimbang.
Selain kondisi bobot badan atau kegemukan tubuh satwa yang berpengaruh terhadap peningkatan dan atau penurunan konsumsi ransum, kondisi
suhu temperature lingkungan juga diketahui berpengaruh terhadap tingkat konsumsi ransum. Suhu turut memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
menentukan besaran konsumsi ransum trenggiling di penangkaran. Hasil pengamatan di penangkaran menunjukkan bahwa suhu rata-rata pada saat
pengamatan di siang hari diperoleh sebesar 33,47
o
C sedangkan kondisi pada malam hari biasanya berkisar antara 30
o
C - 31
o
C. Suhu pada malam hari masih cukup tinggi karena adanya pengaruh iklim
mikro di sekitar kandang pada siang hari. Tingginya suhu pada siang hari mempengaruhi besarnya jumlah konsumsi ransum pada malam harinya, terutama
pada trenggiling dalam kandang berpasangan dengan rata-rata konsumsi 89,1 gekorhari. Kondisi ini terjadi karena pada saat suhu meningkat tinggi dalam
tubuh trenggiling terjadi penimbunan panas sehingga untuk menguranginya konsumsi ransum ditekan dan konsumsi air lebih ditingkatkan agar trenggiling
dapat menuju kondisi nyaman kembali sebagaimana hasil penelitian Kusnadi dan Rahim 2009 pada unggas. Disamping itu, dengan bobot badan trenggiling yang
cukup besar tingkat kegemukan tinggi dan tingginya suhu panas pada siang ataupun malam hari, maka akan terjadi kelebihan panas produksi pada tubuh
trenggiling. Kondisi ini berdampak pada menurunnya kebutuhan danatau konsumsi terhadap pakan. Secara spesifik dapat dinyatakan bahwa meningkatnya
kondisi suhu lingkungan kandang berakibat negatif terhadap berkurangnya selera makan trenggiling, sebagaimana halnya pada satwa ruminansia berdasarkan hasil
penelitian Tobing 2010.
5.2.3 Palatabilitas Pakan
Secara sederhana palatabilitas pakan dapat diartinya sebagai jumlah pakan yang paling banyak dikonsumsi diantara jenis-jenis pakan ransum yang
disediakan. Dalam percobaan ini palatabilitas pakan ditentukan dengan menghitung data jumlah konsumsi ransum percobaan selama penelitian. Dengan
demikian ransum yang paling banyak dikonsumsi disebut sebagai pakan palatable bagi trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi.
Berdasarkan hasil penghitungan terhadap palatabilitas ransum diketahui ransum P2 lebih disukai dibandingkan dengan ransum P1 baik pada kandang
individu P2=63,27 maupun pada kandang berpasangan P2=62,91. Dilihat dari komposisi bahan penyusun ransum, ternyata pakan P2 lebih banyak
mengandung kroto dibanding pakan P1. Hal ini menunjukkan bahwa secara alamiah trenggiling sebagai pemakan semut cenderung memilih makanan sesuai
kebiasaannya habit di alamnya sebagai pemakan semut. Selain itu pakan P1 dengan kandungan serat kasar yang lebih karena tersusun lebih banyak dari dedak
dibandingkan komposisi kroto, menyebabkan jumlah konsumsinya pun menjadi lebih kecil atau kurang disukai. Meskipun demikian, hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata P 0,05 antara kedua jenis ransum yang diujicobakan. Ini berarti bahwa sebenarnya trenggiling tetap
mengonsumsi ransum meskipun komposisi kroto di dalam rasum sedikit. Hasil perhitungan tingkat kesukaan terhadap kedua jenis pakan percobaan P1 dan P2
ditunjukkan pada Gambar 17.
Gambar 17 Tingkat konsumsi ransum trenggiling yang menunjukkan palatabilitas pakan dalam ransum yang diberikan.
Kandang berpasangan Kandang individu
48 50
52 54
56 58
60 62
64 54.36
56.85
62.91 63.27
T ip
e Pe
m e
li h
a r
a a
n
Tingkat Konsumsi
P2 P1
Ada banyak faktor yang mempengaruhi palatabilitas suatu bahan pakan pada satwa. Salah satunya adalah bau dan bentuk pakanransum. P1 memiliki
kandungan kroto yang lebih sedikit dibandingkan P2 sehingga bau yang dihasilkan tidak cukup tajam untuk menarik minat trenggiling dan
mengonsumsinya. Terlebih lagi, mengingat bahwa trenggiling menggunakan indera penciuman yang kuat untuk mendeteksi pakan preferensnya di alam
Nowak 1999, maka ketika trenggiling berada di penangkaran akan lebih memilih pakan dengan bau yang khas seperti semut atau rayap yang terdapat
dalam ransum P2. Sebagaimana yang telah diutarakan Ensminger 1992 dan Tobing 2010
bahwa palatabilitas selain dipengaruhi oleh rasa, bau, dan warna, ternyata tekstur dan bentuk pakan juga menjadi salah satu faktor penentu seperti pada ruminansia
dan pada unggas. Pada unggas, palatabilitas pakan ditentukan dari warna, rasa tekstur, dan kandungan nutrisi dari pakan. Mengingat bahwa trenggiling
merupakan satwa yang tidak bergigi dan sistem pencernaannya lambung memiliki kesamaan fungsi dan sistem kerja seperti halnya pada unggas, maka
palatabilitas pakan trenggiling diduga kuat memiliki kesamaan dengan unggas. Untuk satwa yang tidak memiliki gigi seperti trenggiling, maka pemilihan
pakan lebih didasarkan pada tekstur pakan sebagai faktor penting terhadap besarnya konsumsi atau tingkat kesukaannya. Pakan atau ransum dengan tekstur
kasar tidak terlalu disukai trenggiling di penangkaran. Terbukti dari ransum P1 yang mengandung lebih banyak dedak ternyata lebih sedikit dikonsumsi atau
kurang disukai dibanding P2 yang kandungan dedaknya lebih sedikit. Dengan demikian dedak yang bertekstur kasar, untuk diberikan kepada trenggiling harus
dihaluskan terlebih dahulu dan dicampurkan dengan kroto agar dapat mempertinggi kemungkinan untuk lebih banyak dikonsumsi atau supaya disukai
trenggiling. Kecenderungan memilih ransum yang disajikan dapat mempengaruhi
besarnya konsumsi sebagaimana yang dinyatakan oleh Tilman et al. 1998, bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh palatabilitas atau tingkat kesukaan
terhadap ransum. Pada penelitian pendahuluan sebelum dilakukan pengenakan
perlakuan berupa kedua jenis ransum tersebut juga membuktikan bahwa ransum bertekstur kasar ternyata kurang disukai atau relatif sedikit dikonsumsi dibanding
dengan ransum yang bertekstur lebih halus. Selain itu, secara fisiologis dari sistem pencernaan trenggiling, secara umum diketahui bahwa pakan yang banyak
mengandung serat kasar relatif sulit dicerna oleh lambung satwa North dan Bell 1990 dalam Tanwiriah et al. 2006. Selain itu pakan dengan serta tinggi juga
dapat mempengaruhi peningkatan konsumsi air dan berakibat menurunkan konsumsi ransum Harris dan vanHorn 2003 atau mengurangi selera
konsumsinya. Selain tekstur, faktor kandungan nilai gizi pakan juga diduga berpengaruh
terhadap tingkat kesukaan palatabilitas pakan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ransum dengan kandungan kroto yang lebih banyak dan menjadi ransum
yang disukai preferens juga dikarenakan kandungan gizi khususnya protein dan lemak yang relatif lebih tinggi.
H
asil penelitian Andajani 1984 pada itik juga menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar energi yang terdapat dalam suatu
ransum, maka konsumsi pakan untuk ransum tersebut akan semakin menurun dan sebaliknya apabila kandungan energi pakan rendah maka tingkat konsumsi
ransum tersebut meningkat. Artinya apabila kandungan energi di dalam ransum sedikit, maka satwa memerlukan atau mengkonsumsi ransum tersebut dalam
jumlah yang lebih besar agar kebutuhan energinya dapat dipenuhi. Dengan demikian jelas bahwa tingkat kesukaan suatu pakan yang ditandai oleh lebih
banyaknya pakan itu dikonsumsi antara lain dipengaruhi oleh kandungan gizi dari pakan tersebut.
Disamping dari bahan pakan, tingkat palatabilitas suatu bahan pakan atau ransum yang dipilih juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Diantara faktor-
faktor tersebut adalah: 1 faktor dalam tubuh satwa itu sendiri, bahwa setiap jenis satwa memiliki preferensi yang berbeda dengan jenis lain; 2 kondisi pakan,
apakah pakan dalam keadaan segar atau tidak; dan 3 kesempatan memilih pakan yang lain Ivins 1952 dalam Lovianti 1994. Di alam, trenggiling memiliki
peluang yang besar untuk mencari, menyeleksi, dan memangsa semut atau rayap yang akan menjadi makanannya. Namun di penangkaran, pakan selalu tersedia
dengan menu yang sama setiap harinya sehingga kesempatan memilih pakan
terbatas karena secara umum jenis pakan yang disediakan di penangkaran juga terbatas. Dengan demikian rentang suatu pakan yang dipilih karena disukai
palatable bagi trenggiling menjadi sangat kecil.
5.3. Aktivitas Harian Trenggiling di Dalam Kandang Penangkaran