Aktivitas Harian Trenggiling di Dalam Kandang Penangkaran

terbatas karena secara umum jenis pakan yang disediakan di penangkaran juga terbatas. Dengan demikian rentang suatu pakan yang dipilih karena disukai palatable bagi trenggiling menjadi sangat kecil.

5.3. Aktivitas Harian Trenggiling di Dalam Kandang Penangkaran

Hasil pengamatan menunjukkan terdapat lima aktivitas umum yang dilakukan trenggiling setiap hari. Kelima aktivitas harian tersebut antara lain aktivitas makan, berjalan, memanjat, tidur dan membuang kotoran defekasi dan urinasi. Dari kelima aktivitas harian trenggiling yang dipelihara dalam sistem kandang individu dan berpasangan tersebut diketahui sebagian besar 68−72 waktu pada siang hari digunakan untuk tidur istirahat dan hanya 20 waktu digunakan untuk makan, sisanya 10 digunakan untuk berjalan, memanjat dan membuang kotoran defekasi dan urinasi. Adapun persentase aktivitas harian trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18 Persentase aktivitas harian trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi per hari. Aktivitas harian biasanya ditunjukkan oleh adanya penempatan waktu pada masing-masing perilaku yang terlihat. Santosa 1993 menyebutkan pola penggunaan waktu harian ternyata bervariasi secara individu menurut umur, siklus biologi, status sosial, musim, dan karakteristik ekologi habitatnya. Perbedaan kelas individu mempengaruhi pola aktivitas harian. Selama pengamatan berlangsung, kondisi trenggiling percobaan dalam keadaan normal. Hanya terdapat 1−2 ekor trenggiling dewasa yang terlihat kurang aktif bergerak. 22 3 3 72 24 3 4 68 1 10 20 30 40 50 60 70 80 Makan Berjalan Memanjat Tidur Membuang kotoran L a m a A k ti v it a s Bentuk Aktivitas Kandang Berpasangan Kandang individu Trenggiling tersebut lebih sering ditemukan dalam keadaan tidur daripada beraktivitas terutama yang berada di dalam kandang berpasangan. Kondisi ini sesuai pernyataan Santoso 1993 bahwa individu dewasa lebih banyak istirahat dari pada individu muda. Aktivitas makan adalah salah satu aktivitas harian yang juga memberi pengaruh terhadap keberhasilan kegiatan penangkaran trenggiling. Ini berkaitan dengan kemampuan tindakan pengelolaan dalam mengakomodir waktu dan perilaku makan di penangkaran. Tipe pemeliharaan trenggiling di dalam kandang individual dan berpasangan diduga memiliki pengaruh terhadap pola aktivitas makan. Berdasarkan Gambar 18 pada kedua tipe pemeliharaan, trenggiling yang berada dalam kandang individu ternyata memiliki persentase aktivitas makan lebih tinggi dibandingkan apabila dipelihara dalam kandang berpasangan. Hal ini dikarenakan sebagai makhluk soliter Medway 1969, trenggiling cenderung terlihat kurang aktif dalam kelompok yang diduga akibat keberadaan individu lain dalam satu kandang. Namun demikian, hasil pengamatan ternyata menunjukkan bahwa tidak ditemukan banyak aktivitas yang menunjukkan interaksi antar trenggiling sosial di dalam kandang berpasangan. Jarang ditemukan intervensi individu lain dalam kandang yang sama terutama pada aktivitas istirahat dan makan. Berdasarkan aktivitas hariannya Gambar 18, trenggiling di penangkaran pun tetap tergolong sebagai satwa nocturnal sebagaimana halnya di alam. Terlihat dari hasil pengamatan pada siang hari hingga pukul 16.00 –17.00 trenggiling tidak menunjukkan aktivitas yang mengeluarkan banyak energi seperti memanjat, berjalan, ataupun aktivitas lainnya yang sering dilakukan pada malam hari. Trenggiling banyak menggunakan waktunya di siang hari untuk beristirahat dengan menggulungkan badan seperti bola. Aktivitas istirahat trenggiling diduga tersebar dalam waktu-waktu tertentu pada siang hari. Sebaran waktu dalam melaksanakan aktivitas tidur trenggiling mulai pukul 06.00−18.00 WIB disajikan secara lengkap pada Gambar 19. Adapun sebaran waktu aktivitas makan dan tidur pada malam hari pada Gambar 20. Gambar 19 Sebaran waktu dalam melaksanakan aktivitas tidur istirahat trenggiling pada siang hari. Dilihat dari sebaran penggunaan waktu tidur istirahat Gambar 19 diketahui bahwa puncak aktivitas tidur terjadi mulai pukul 06.00 –07.00 WIB kemudian pukul 09.00 –11.30 WIB sedangkan pada malam hari, rata-rata puncak aktivitas tidur dimulai pukul 22.00 WIB baik untuk kandang individual maupun berpasangan Gambar 20. Puncak aktivitas tidur ini tidak begitu berbeda dengan hasil penelitian Lim dan Ng 2008 terhadap aktivitas trenggiling di Singapura, yakni terjadi pada pukul 03.00-06.00 waktu Singapura atau sekitar pukul 04.00 – 07.00 WIB. Gambar 20 Sebaran waktu aktivitas makan dan tidur istirahat trenggiling pada malam hari. 20 40 60 80 100 120 Pe r sent a se a k ti v it a s Waktu WIB Kandang berpasangan Kandang individu 20 40 60 80 100 120 makan pasangan makan individu tidur pasangan tidur individu Grafik pada Gambar 19 yang menunjukkan menurunnya aktivitas istirahat mulai pukul 15.00 –18.00 yang dapat dinyatakan sebagai pertanda bahwa trenggiling akan berpindah aktivitas dari diurnal siang hari ke nokturnal malam hari. Perubahan aktivitas dari siang ke malam hari ditandai dengan adanya pergerakan dari tidur menuju bergerak berjalan atau memanjat. Pada waktu- waktu tersebut, mulai pukul 18.00 WIB aktivitas bergerak makan, berjalan, memanjat, dan membuang kotoran mencapai puncaknya yang ditunjukkan dengan penurunan grafik aktivitas tidur. Sebagaimana menurut Challender tanpa tahun, puncak aktivitas bergerak trenggiling di penangkaran terjadi pada malam hari mulai pukul 18.00 sampai pukul 21.00. Perubahan aktivitas trenggiling di penangkaran dapat diartikan sebagai akibat dari kegiatan penangkaran termasuk perubahan cara pemberian dan perolehan pakan. Di alam, trenggiling dapat menghabiskan waktunya terutama pada malam hari dengan aktivitas mencari mangsa di lubang-lubang pohon, di bawah akar atau di batang pohon rubuh yang sudah lapuk untuk menemukan semut dan rayap sedangkan di penangkaran pakan disediakan setiap saat. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa secara bertahap trenggiling dapat mengalami perubahan pola aktivitas hariannya melalui proses adaptasi pemberian pakan. Di alam, trenggiling memakan semut dan rayap pada malam dan pagi hari dengan jarak jelajah 0,7 –1,8 km per hari Bismark 2009. Jika dihubungkan dengan aktivitas harian di penangkaran, maka aktivitas makan seharusnya memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan dengan aktivitas lain. Hal ini dapat disesuaikan dengan pernyataan Hafez 1969 meskipun perilaku satwa animal behaviour bersifat genetis akan tetapi dapat berubah karena pengaruh lingkungan dan proses belajar learning process. Selain dipengaruhi oleh kegiatan penangkaran terutama teknik pemberian pakan, persentase aktivitas harian dan sebaran waktu aktivitas tidur trenggiling juga diduga akibat adanya perubahan dan fluktuasi suhu di dalam kandang. Suhu merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kenyamanan satwa di dalam kandang, termasuk trenggiling. Terkait dengan proses adaptasi, trenggiling memiliki batasan suhu yang dapat ditoleransi dalam hidupnya. Suhu pada siang hari berkisar antara 29 −33,47 o C dengan kelembaban 47. Berdasarkan hal tersebut ternyata ditemukan respon yang berbeda terhadap aktivitas hariannya karena 29 −33,47 o C termasuk suhu yang cukup tinggi bagi perkembangan trenggiling. Pada pukul 12.00 −13.00 WIB sebagian besar trenggiling tetap melakukan aktivitas tidur istirahat dan hanya beberapa ekor trenggiling yang bergerak meskipun pada pukul 08.00 −09.00 WIB secara keseluruhan terjadi aktivitas gerak tidak tidur. Meskipun demikian kondisi ini menunjukkan bahwa sebenarnya trenggiling memiliki daya adaptasi tinggi karena mampu beradaptasi dengan cepat sebagaimana yang dinyatakan Smith 1970 dalam Heruwatno 1982, mamalia memiliki temperatur yang lebih rendah dan kemampuan adaptasi tinggi terhadap iklim panas dibandingkan dengan unggas. Pada trenggiling di penangkaran, kemampuan adaptasi terhadap peningkatan suhu diduga telah terjadi sejak trenggiling tersebut masih berada di alamnya sehingga ketika berada dalam kandang penangkaran, proses adaptasi terhadap iklim panas ini terjadi dengan mudah. Mengingat bahwa suhu di dalam kandang yang cukup tinggi tersebut, maka terjadi perubahan posisi tidur yang ditandai dengan adanya pergerakan peralihan seperti berjalan, memanjat ke atas kandang, atau hanya memanjangkan tubuh di atas lantai kandang semen. Perubahan posisi tidur tersebut dibedakan dari posisi tubuh tergulung dengan posisi tubuh terentang mulai dari ujung ekor hingga kepala dan mulut di lantai atau di dinding paling atas kawat terdekat dengan atap. Namun terkadang sering juga ditemui trenggiling tertidur di atas air yang terdapat di dalam baskom. Posisi tidur trenggiling sebagai akibat dari penyesuaian terhadap suhu disajikan pada Gambar 21. Aktivitas bergerak pada waktu-waktu tersebut dinyatakan sebagai salah satu bentuk adaptasi tingkah laku atas perubahan suhu dari pagi hari suhu rendah ke siang hari suhu tinggi dan sebagai suatu mekanisme untuk menyeimbangkan suhu tubuh dengan suhu lingkungan. Pada Gambar 21b, trenggiling di penangkaran membutuhkan air untuk membantu menyeimbangkan suhu tubuhnya dengan suhu kandang sehingga kebutuhan terhadap air bagi trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi menjadi meningkat. Kondisi tersebut sesuai menurut Russel 1986, di habitat alaminya, air jarang dimanfaatkan satwa termasuk pada trenggiling meskipun ketersediaannya cukup kecuali jika cuaca terlalu panas, kebutuhan terhadap air dapat meningkat. a b Gambar 21 Posisi tidur trenggiling a di dinding atas dekat dengan atap kandang, b tertidur diatas air Foto: Novriyanti 2010. Selain itu, satwa termasuk trenggiling membutuhkan air untuk efisiensi maksimum dalam tubuhnya sebagai pelumas transformasi pakan dan metabolisme urinasi dan defekasi termasuk pengeluaran keringat. Air berfungsi dalam mentransfer panas dan pengaturan suhu di dalam tubuh satwa Harris dan vanHorn 2003. Menurut Anggraeni 2006, pada suhu lingkungan tinggi akan terjadi proses evaporasi penguapan air tubuh sehingga tubuh sangat membutuhkan air. Guna pemenuhan kebutuhan air tersebut bagi trenggiling, maka air yang terdapat didalam tubuhnya diupayakan tidak banyak dikeluarkan sehingga dapat mencegah terjadinya kekurangan air dalam tubuh dehidrasi. Dengan kondisi demikan maka dapat mempengaruhi rendahnya aktivitas urinasi pada trenggiling saat itu. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa aktivitas harian trenggiling di dalam kandang erat kaitannya dengan faktor internal seperti suhu tubuh dan faktor eksternal seperti aspek teknis pengelolaan pemberian pakan, pembersihan kandang, dan sebagainya, kapasitas kandang, hubungan sosial sociality pattern, suhu lingkungan dan daya adaptasi.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Aspek teknis penangkaran trenggiling yang dikembangkan di UD Multi Jaya Abadi sebagai berikut: a Perkandangan; ukuran kandang 500 cm x 186 cm x 208 cm atau dengan perkiraan kapasitas tampung 1−2 ekorm 2 , lantai dan dinding kandang terbuat dari semen dan atap berupa asbes. b Pakan ransum; berupa campuran dedak dan kroto, diberikan pada malam hari pukul 18.00 WIB sesuai aktivitas trenggiling sebagai satwa nocturnal. c Perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit; jenis penyakit yang umum ditemukan pada trenggiling adalah caplak, luka, diare, dan pilek. Perawatan kesehatan dilakukan dengan cara i pemeriksaan rutin terhadap tubuh trenggiling oleh animal keeper dan ahli medis, dan ii tindakan pencegahan melalui pembersihan kandang dan menjaga sanitasi kandang. d Manajemen reproduksi dan breeding; pengaturan pasangan dan perkawinan mating dilakukan secara manual dengan sex ratio 1:1. Masa berbiak terjadi sekitar bulan Juli. Keberhasilan perkawinan mating ditandai dengan melihat perubahan tubuh induk betina dan dipantau dengan bantuan kamera CCTV. Lama kebuntingan sekitar 130 hari atau ± 4 bulan. Jumlah anak per kelahiran sebanyak satu ekor dengan masa sapih 3 –4 bulan. 2. Rata-rata jumlah konsumsi ransum trenggiling di penangkaran per ekor per hari sebesar 94,67 gekorhari. Hasil percobaan pemberian dua macam ransum dengan kandungan kroto 50 g dan 80 g menunjukkan pengaruhnya tidak berbeda nyata P0,05 terhadap tingkat konsumsi ransum meskipun trenggiling cenderung lebih banyak mengonsumsi ransum dengan jumlah kroto terbanyak sesuai habitnya sebagai pemakan semut. Perbedaan sistem pemeliharaan trenggiling secara individual 1 ekor dan berpasangan 2 ekor juga diketahui pengaruhnya tidak berbeda nyata P 0,05 terhadap konsumsi ransum. Hasil percobaan juga menunjukkan tidak ada perbedaan nyata