Manajemen Pakan Trenggiling Manajemen Penangkaran Trenggiling di UD Multi Jaya Abadi

Terhadap fluktuasi suhu kandang dan kondisi trenggiling seperti itu, maka tindakan penyesuaian yang biasa dilakukan pengelola animal keeper di penangkaran UD Multi Jaya Abadi adalah membasahi tubuh trenggiling dengan air, mencuci tubuhnya memandikannya, dan melepaskan kotoran yang menempel di sisik di seluruh tubuh trenggiling. Selain itu peningkatan suhu atau panas produksi di dalam kandang dinetralisasi dengan menyemprotkan danatau menyiramkan air ke dalam kandang. iii Pembersihan fasilitas pendukung dalam kandang Fasilitas pendukung yang ada di dalam kandang seperti tempat pakan, tempat minum, dan tempat beristirahat juga harus terjaga kebersihannya. Kegiatan pembersihan fasilitas ini biasanya dilakukan secara bersamaan dengan waktu pembersihan kandang danatau pada saat kegiatan penyesuaian suhu di dalam kandang. Pembersihan fasilitas pendukung tersebut dilakukan dengan cara mencuci alattempat makan dan minum, membersihkan sarana memanjat dan cover dari sisa pakan yang menempel. Berdasarkan uraian tentang perawatan kandang tersebut di atas, maka ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk menjamin kondisi kandang agar dapat berfungsi optimal sebagai habitat buatan untuk tempat hidup dan perkembangan trenggiling dengan baik, yakni: a pembersihan kandang dan fasilitas pendukung di dalamnya secara teratur minimal 4 empat kali seminggu, b tindakan penyesuaian suhu tubuh trenggiling dan kondisi suhu di dalam kandang pada saat terjadi peningkatan suhu di atas 29 o C dengan cara menyiramkan danatau menyemprotkan air ke dalam kandang, dan c konstruksi lantai kandang di dalam maupun di halaman luar kandang sebaiknya dibuatkan dari pasir bukan dari semen, dengan tinggi dan luas lantai kandang yang memadai untuk memungkinkan terjadinya sirkulasi udara dan pertukaran panas produksi di dalam kandang secara optimal.

5.1.3 Manajemen Pakan Trenggiling

Hasil pengamatan dan wawancara dengan pengelola diketahui bahwa pakan trenggiling diberikan dalam bentuk ransum yang tersusun dari kroto dan dedak yang telah dicampur dengan tepung jagung. Tidak ada pakan tambahan lain yang diberikan, namun dilaporkan bahwa dalam pemeliharaan trenggiling pada saat masih berlokasi di Sibolga pernah diberikan makanan tambahan berupa buah- buahan seperti pepaya dan semangka. Buah-buahan ini sekaligus juga berfungsi sebagai pemancing umpan untuk mengundang semut sebagai pakan utama trenggiling yang biasa dimangsa di habitat alaminya. Waktu pemberian pakan biasa dilakukan pada malam hari sekitar pukul 18.00 WIB sesuai dengan kebiasaan trenggiling sebagai satwa nokturnal. Jumlah pakan yang diberikan untuk seluruh individu trenggiling yang dipelihara, masing-masing untuk kroto sejumlah rata-rata 1 −2 kghari dan dedak sebanyak 2−3 kghari. Terkait dengan manajemen pakan, maka hal terpenting yang harus diperhatikan adalah jenis pakan, jumlah konsumsi dan kualitas gizi pakan. Di penangkaran trenggiling, ada 4 empat hal yang sangat mempengaruhi gizi pakan diantarnya kuantitas bahan pakan, kualitas pakan penyimpanan, bentuk, dan rasa bau, penyediaan pakan yang teratur, dan teknik pemberian pakan. Jenis pakan yang disediakan di penangkaran disesuaikan dengan kebiasaan habit dan kesukaan preferensi trenggiling di habitat alaminya. Kroto yang diberikan di penangkaran adalah telur semut rangrang. Pemilihan jenis kroto ini antara lain didasarkan pada pertimbangan bahwa di alam, trenggiling memiliki preferensi sangat sedikit terhadap semut dari seluruh jenis semut dan rayap yang ada, karena ternyata tidak semua jenis semut dan rayap disukai trenggiling. Wu et al. 2005 melaporkan bahwa berdasarkan hasil pengamatannya, trenggiling hanya menyukai beberapa jenis semut dan rayap sebagai pakan, berturut-turut persentase ketidaksukaan terhadap semut dan rayap masing-masing 83.87 2631 untuk semut dan 53.85 713 pada rayap. Laporan Heryatin 1983 dalam Sari 2007 menjelaskan bahwa jenis pakan yang disukai trenggiling di alam adalah semut Ordo Hymenoptera, rayap Ordo Isoptera dan semut merah tanah. Sementara itu, menurut Wu et al. 2005, untuk trenggiling China jenis rayap yang disukai adalah rayap tanah Coptotermes formosanus, rayap kayu kering Macrotermes barneyi, dan weaver ants Polyrhachis dive. Soewu dan Ayodele 2009 menambahkan, selain semut dan rayap, trenggiling juga menyukai serangga bertubuh ringan dan larva serangga. Dengan demikan, pemberian kroto sebagai pakan utama trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi dapat dikatakan sesuai karena kroto sebenarnya juga termasuk dalam jenis semut yang disukai trenggiling. Kroto diperoleh dari pengumpul yang memasok kebutuhan kroto di penangkaran setiap hari. Jumlah pasokan kadangkala tidak mencukupi total kebutuhan kroto di penangkaran, terutama pada musim sulit yakni pada musim kering kemarau dan musim sulit buah. Kekurangan pasokan kroto dapat mempengaruhi perkembangan penangkaran trenggiling, karena kroto sebagai pakan utama dapat dinyatakan sebagai faktor pembatas limiting factor bagi hidup dan perkembangan trenggiling di penangkaran. Ketersediaan pakan trenggiling di alam bergantung pada musim, sedangkan di penangkaran, pakan dapat disediakan setiap saat. Di alam, menurut Borror et al. 1992 ketersediaan pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan kelimpahan satwa dan kualitas habitatnya termasuk penyebarannya. Ketersediaan pakan di alam tersebut memberikan pengaruh yang juga hampir menyerupai kondisi di penangkaran. Ketersediaan pakan dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangbiakan dan jumlah satwa yang dapat bertahan di penangkaran. Selain itu, ketersediaan pakan yang ada setiap saat juga dapat mempengaruhi pola perilaku alaminya. Berdasarkan hal tersebut maka penyediaan stok kroto yang cukup sebagai pakan utama di penangkaran harus menjadi perhatian pengelola penangkaran trenggiling. Hal ini juga berarti bahwa apabila persediaan danatau suplai kroto terbatas, maka pengelola penangkaran trenggiling harus dapat melakukan inovasi dan pengembangan pakan alternatif berupa pakan buatan yang dapat disusun dari beberapa bahan penyusun dari sumber bahan hewani dan dicampur dengan bahan nabati. Dalam penyediaan pakan buatan ini setidaknya harus memperhatikan dua prinsip penting, yakni: a secara teknis biologis harus sesuai kebiasaan dan preferensi trenggiling sebagai pemakan semut hewani, dan memenuhi tingkat konsumsi dan kebutuhan gizi trenggiling sesuai umur dan status produksinya seperti kebutuhan untuk pertumbuhan dan reproduksi; dan b secara teknis ekonomis bahan pakan tersebut harus murah dan mudah diperoleh serta sekecil mungkin tidak kompetitif dengan kebutuhan satwa lain danatau kebutuhan manusia. Harga kroto sebagai pakan satwa berfluktuatif. Pada kondisi normal dimana ketersediaan dan suplai kroto cukup, maka harga kroto umumnya sekitar Rp 40.000,- hingga Rp 50.000,- per kg. Namun apabila kroto sulit diperoleh sehingga suplai dari para pengumpul terbatas, maka harga kroto dapat mencapai Rp 90.000,- hingga Rp 150.000,- per kg. Kondisi yang sama juga pernah dinyatakan oleh Hariyanto 2010 bahwa biaya kebutuhan kroto sebagai pakan trenggiling yang dipelihara di ex-situ atau penangkaran dapat mencapai Rp 12 juta rupiah per bulan untuk setiap individu trenggiling. Mengingat ketersediaan kroto sebagai pakan bersifat fluktuatif dan tingginya harga kroto, maka diperlukan inovasi dan kreativitas pengelola dalam usaha penyediaan pakan bagi trenggiling di penangkaran yang memenuhi syarat karakteristik biologis trenggiling dan secara teknis ekonomis murah dan mudah didapat. Menurut Thohari 1987 dan Damron 2006, pakan merupakan salah satu komponen produksi dalam suatu unit penangkaran yang membutuhkan biaya terbesar dari seluruh biaya produksi, yakni dapat mencapai 65−70 dari seluruh biaya produksi, sehingga dalam manajemen penyediaannya harus mendapat perhatian dan penanganan yang baik dan tepat. Dalam mengatasi hal tersebut di atas, maka upaya penyediaan pakan dapat juga dilakukan dengan memulai uji coba terhadap bahan pakan berprotein tinggi yang berasal dari hewan lain protein hewani yang sesuai dengan habit trenggiling seperti pemberian jangkrik, belalang, dan semut. Selain itu juga dapat dilakukan pengaturan pola pemberian pakan agar tercapai efisiensi dan efektivitas biologis maupun ekonomis, sekaligus dapat mencegah satwa dari stress dan penyakit. Jenis pakan yang diberikan, harga dan ketersediaan kroto di penangkaran seperti diuraikan di atas secara keseluruhan saling berkaitan satu sama lain dan mempengaruhi keberhasilan kegiatan pengelolaan penangkaran trenggiling secara keseluruhan. Oleh karena itu dalam manajemen pemberian pakan diperlukan suatu strategi yang tepat dengan tetap memperhatikan konsumsi dan kebutuhan gizi, preferensi dan harga serta kemungkinan sifat kompetitif dari pakan tersebut. Menurut Sukria dan Krisnan 2009, bahwa di dalam menetapkan strategi pemberian pakan satwa harus mengacu pada kebutuhan satwa dan bergizi berimbang, dapat memenuhi kebutuhan dan keuntungan biologis termasuk keuntungan secara ekonomi. Untuk mempertinggi efisiensi dan efektivitas pemberian pakan, maka di dalam strategi pemberian pakan trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi dilakukan dengan mengupayakan agar pakan atau ransum yang diberikan selalu berada dalam kondisi segar. Secara teknis, maksimal 3 tiga hari sebelum diberikan dedak terlebih dahulu dihaluskan dengan gilingan manual dengan batu dan induk batu. Setelah digiling halus, dedak tersebut disimpan di dalam baskom dan tidak ditutup rapat dengan lama penyimpanan maksimal tiga hari dengan tujuan agar udara dapat masuk dan dedak tidak cepat busuk. Praktek ini dapat dipandang bertentangan dengan pernyataan Irianingrum 2009 bahwa dedak yang disimpan dalam keadaan anaerob dapat mempertahankan kualitas dedak dan menurunkan kandungan asam fitat serta meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Tindakan penyimpanan dedak yang tidak kedap udara yang dilakukan pengelola diduga agar dedak yang akan diberikan pada trenggiling tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering. Namun sesungguhnya trenggiling di penangkaran memiliki preferensi sendiri dalam pemilihan pakan. Dedak yang terlalu kering dapat menjadi kasar sedangkan dedak yang terlalu basah dapat menimbulkan bau tengik sebagaimana menurut pernyataan Amrullah 2002 bahwa kandungan minyak yang tinggi pada dedak dapat menimbulkan ketengikan. Bau tengik tersebut diduga dapat mengurangi nafsu makan trenggiling karena tidak disukai trenggiling di penangkaran. Disamping jenis pakan, kualitas dan kuantitas bahan pakan, penyediaan pakan yang teratur serta teknik pemberian pakan penting diketahui karena berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan trenggiling baik untuk kebutuhan pokok tubuh atau pemeliharaan tubuh maintenance maupun untuk reproduksi satwa. Metode atau sistem pemberian pakan juga berhubungan erat dengan prinsip kesejahteraan satwa animal welfare. Terkait dengan prinsip, dalam praktek penyajian pakan atau ransum di penangkaran trenggiling UD Multi Jaya Abadi dilakukan dengan cara diletakkan pada piring plastik seukuran piring makan biasa Gambar 13. Ransum yang diberikan adalah kroto dan dedak giling yang telah dicampur sesuai komposisinya. Piring-piring plastik tersebut terlebih dahulu dibersihkan dari sisa pakan sebelum diisi dengan ransum yang baru dan diletakkan di atas lantai di pojok kandang. Kadangkala trenggiling membuang kotoran feses dan urin ke dalam piring, sehingga makanan tercemar dengan kotorannya, menjadi tidak higines sehingga dapat menimbulkan penyakit dan gangguan kesehatan trenggiling. Gambar 13 Trenggiling sedang mengkonsumsi ransum yang diberikan Foto oleh: Novriyanti 2010. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa waktu pemberian pakan di penangkaran dilakukan pada malam hari yakni pukul 18.00 −19.00 WIB yang disesuaikan dengan waktu aktivitas trenggiling mencari makan pada malam hari nocturnal animal Medway 1969, pengelola tetap memberikan pakan yang disesuaikan dengan kondisi dan aktivitas trenggiling. Apabila trenggiling masih terlihat istirahat tidur atau belum menunjukkan perilaku memanjat dan berjalan, maka pemberian pakan belum dilakukan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar pakan yang diberikan benar-benar segera dapat dimakan trenggiling sehingga menjadi efektif dan efisien. Pengalaman menunjukkan bahwa apabila pakan yang telah diberikan tidak segera dimakan, karena trenggiling masih tidur dan belum beraktivitas, maka pakan tersebut menjadi cepat basi, tidak dimakan dan dapat menjadi sumber berkembangnya bibit penyakit. Dengan demikian ketepatan waktu pemberian pakan penting diperhatikan agar pakan yang diberikan efisien dan efektif serta tidak memberikan efek negatif terhadap kesehatan dan perkembangan trenggiling di penangkaran.

5.1.4 Perawatan Kesehatan dan Pengendalian Penyakit