dengan sendirinya akan berdampak positif sekaligus mencegah terjangkitnya penyakit.
5.1.5 Manajemen Reproduksi
Dalam manajemen reproduksi trenggiling di penangkaran terdapat sekurang-kurangnya empat tindakan pengelolaan. Tindakan pengelolaan tersebut
meliputi: a pembentukan pasangan, b teknik mengawinkan trenggiling, c pemantauan perkembangan reproduksi, dan d penanganan anak pasca kelahiran.
Sedangkan dalam penerapan teknik pengembangbiakan trenggiling diperlukan beberapa informasi reproduksi dan breeding trenggiling, meliputi: karakteristik
bioreproduksi usia dewasa kelamin, musim kawin, lama kebuntingan, jumlah anak per kelahiran, determinasi sex dan pilihan teknik pengembangbiakan, baik
secara alami maupun secara buatan artifisial melalui bantuan atau campur tangan manusia.
5.1.5.1 Pembentukan Pasangan
Ditinjau dari
ciri-ciri morfologi
jenis kelaminnya,
trenggiling dikategorikan sebagai satwa yang mudah dibedakan jenis kelaminnya sehingga
disebut sebagai satwa sexual dimorphisme. Trenggiling jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan trenggiling betina. Sebagai mamalia,
pembedaan jenis kelamin sex determination pada trenggiling dapat ditentukan melalui pengamatan terhadap bentuk saluran pembuangan kotoran vulva yang
terletak di bawah perut trenggiling. Trenggiling betina hanya memiliki vulva di pangkal ekornya sedangkan pada trenggiling jantan terdapat tonjolan di depan
vulva. Pembeda jenis kelamin pada trenggiling dapat dilihat di Gambar 15. Proses pembentukan pasangan trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya
Abadi untuk kepentingan pengembangbiakan diawali dengan dimasukannya trenggiling jantan dan betina yang sudah teridentifikasi jenis kelaminnya ke dalam
satu kandang, sehingga nisbah kelaminnya sex ratio 1:1. Penentuan sex rasio ini berbeda dengan pernyataan Medway 1969 bahwa di alam sex rasio trenggiling
adalah 4:1.
a b
Gambar 15 Pembeda jenis kelamin sex determination pada trenggiling a jantan dan b betina Foto: Bismark 2011.
Selanjutnya setelah penempatan pasangan trenggiling tersebut di dalam satu kandang, dilakukan pemantauan secara rutin terhadap kecocokan
pembentukan pasangan tersebut. Pemantauan ini perlu dilakukan agar dapat diambil tindakan sesegera mungkin apabila terjadi ketidakcocokan sehingga
kemungkinan terjadinya perkelahian dan kematian dapat dicegah. Meskipun secara alami trenggiling lebih dikenal sebagai satwa soliter atau pada saat tertentu
musim kawin juga ditemukan berpasangan Medway 1969, namun ada kemungkinan dapat terjadi perkelahiran pada saat proses pembentukan pasangan
akibat ketidakcocokan. Berdasarkan hal itu, maka didalam proses pembentukan pasangan perlu diperhatikan bahwa setiap individu trenggiling pada prinsipnya
memiliki preferensi tersendiri, sehingga tingkat kecocokan pasangan harus dipantau dengan baik untuk mencegah kemungkinan perkelahian atau saling
melukai diantara individu trenggiling yang dipasangkan tersebut. Apabila trenggiling yang dipasangkan tidak terlihat saling mengganggu
atau melukai, pasangan tersebut dikatakan cocok dan pengelola akan membiarkan proses reproduksi berlangsung secara alami. Namun apabila pasangan trenggiling
yang dipasangkan tersebut terlihat tidak cocok atau melukai pasangannya, maka trenggiling tersebut akan dipisahkan dan dicarikan pasangan pengganti sampai
trenggiling tersebut menemukan pasangannya.
Selanjutnya perkawinan trenggiling di UD Multi Jaya Abadi dibiarkan berlangsung secara alami artinya
pasangan trenggiling tersebut dibiarkan kawin secara alami tanpa campur tangan pengelola di dalam penyatuan spermatozoa dan sel telur ovum.
Salah satu pertimbangan penting pada saat pemasangan trenggiling adalah masuknya masa estrus karena memberikan efek yang lebih efektif terhadap
keberhasilan pembentukan pasangan dan proses perkembangbiakannya. Menurut pengelola trenggiling yang dapat dipasangkan dengan berhasil adalah trenggiling
yang sudah masuk masa estrus baik jantan maupun betina. Menurut animal keeper seekor trenggiling betina dinyatakan sedang estrus apabila di sekitar vulvanya
menunjukkan tanda-tanda perubahan warna, yaitu berwarna kemerahan. Berdasarkan hasil wawancara dengan animal keeper, diketahui bahwa
sebagai mamalia trenggiling juga mengalami menstruasi setiap bulannya. Hal ini terlihat dari darah yang dikeluarkan trenggiling di bagian vulva dan biasanya
berlangsung tidak lama. Pada trenggiling jantan, gejala birahi atau libido seksual juga ditunjukkan dengan bentuk vulva yang memerah dan menujukkan perilaku
yang jauh lebih aktif daripada biasanya. Selain itu gejala birahi juga dapat diketahui berdasarkan penampakan fisik lain seperti kecerahan sisik kulit
trenggiling, kekentalan feses dan nafsu makan yang meningkat. Tanda-tanda atau gejala birahi dan reproduksi pada trenggiling betina di
penangkaran dapat terjadi pada usia minimal minimum breeding age 2 tahun, sedangkan menurut Medway 1969 trenggiling di habitat aslinya dapat
bereproduksi pada usia minimal satu tahun. Gejala birahi estrus yang dapat disebut sebagai dimulainya masa pubertas dan tanda-tanda keinginan untuk kawin
pada satwa dipengaruhi oleh faktor nutrisi, musim, dan faktor sosial pemeliharaan Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991. Perbedaan waktu minimum seekor
trenggiling dapat bereproduksi di penangkaran dengan di habitat aslinya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah makanan baik jenis pakan
maupun jumlah konsumsi, suhu dan kelembaban serta teknik penangkaran yang digunakan.
5.1.5.2 Teknik Mengawinkan Trenggiling