Nilai Ekonomi Trenggiling, Ekologi, dan Sosial Budaya

mendapatkan betina, bahkan tak jarang ada jantan yang tidak bisa kawin. Hal ini menjadikan betina memiliki peluang besar untuk berpoligini Medway 1969. Trenggiling diperkirakan berkembangbiak pada musim gugur atau musim kemarau dan melahirkan di musim hujan atau musim semi. Tidak banyak informasi reproduksi yang dapat dilaporkan. Lama kebuntingan rata-rata 130 hari atau sekitar 4 bulan. Jumlah anak yang dilahirkan umumnya satu ekor. Berat lahir anak bisa mencapai 100-500 gram. Masa sapih anak sekitar 3 bulan dan kematangan seksual dicapai pada saat anak berumur satu tahun. Induk trenggiling diperkirakan dapat bereproduksi sepanjang tahun Nowak 1999.

2.2 Nilai Ekonomi Trenggiling, Ekologi, dan Sosial Budaya

Trenggiling memiliki nilai yang cukup tinggi baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Secara ekologi, trenggiling dapat dijadikan sebagai pengendali hama ulat dan serangga di pohon karena merupakan satwa insektivora pemakan semut, rayap atau serangga lainnya. Sebagai satwa pemakan serangga, trenggiling bermanfaat untuk penggemburan tanah karena dalam mencari mangsa, trenggiling menggali atau membuat lubang di dalam tanah. Tanah yang sering tergali dan tertimbun kembali oleh cakaran trenggiling lama-kelamaan dapat menjadi lebih gembur karena di dalam tanah terjadi siklus oksigen yang baik atas bantuan dari aktivitas makan trenggiling Heath 1992. Menurut Mondadori 1988 dalam Farida 2010, biasanya trenggiling dapat menggali tanah untuk membuat sarang atau mencari makan dengan kedalaman 3,5 meter. Selain membantu menyuburkan dan menggemburkan tanah di dalam hutan, di Riau trenggiling memangsa serangga perusak pohon seperti semut dan binatang kecil lainnya di dalam pohon sejenis rayap yang dapat membuat batang pohon mudah rapuh atau keropos. Keberadaan trenggiling ini secara tidak langsung dapat menjaga kelangsungan regenerasi ratusan jenis pepohonan yang ada di hutan Riau. Trenggiling juga termasuk satwa yang memiliki potensi ekonomi tinggi karena banyak diperdagangkan. Secara ekonomi, trenggiling termasuk sumberdaya alam hewani yang memiliki nilai jual tinggi di pasaran internasional. Hal ini dikarenakan manfaat secara sosial dan budaya yang diberikan trenggiling seperti penyediaan protein hewani, kebutuhan sebagai obat tradisional, dan kepentingan permintaan lain seperti tonics di beberapa negara. Soewu dan Ayodele 2009, trenggiling di Nigeria digunakan untuk mengobati total 42 jenis penyakit termasuk infertilitas, gangguan gastro-usus, gangguan nifas, radang perut, rematik dan fibroid. Selain itu, trenggiling di Nigeria juga digunakan secara tradisional sebagai bahan yang dipercaya dapat meningkatkan penjualan, kepercayaan gaib, menghapus nasib buruk, meredam kekuatan-kekuatan jahat dan money ritual. Kulit atau jangat trenggiling dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan barang-barang yang berasal dari kulit seperti tas, sepatu, dan sebagainya. Disamping itu, sisik dan bagian tubuh trenggiling yang dibuat dalam bentuk bubuk dapat digunakan sebagai anti afrodisiak. Trenggiling merupakan satwa yang juga digunakan sebagai local folk-law rituals atau satwa yang digunakan dalam sebuah tradisi upacara adat masyarakat lokal tertentu NHM tanpa tahun. Permintaan terhadap satwaliar cenderung meningkat Soehartono dan Mardiastuti 2003 sehingga mendorong harga daging trenggiling per kilogram di pasar Internasional mencapai USD 600 Hertanto 2010. Namun menurut Martin dan Phipps 1996, harga satu ekor trenggiling di tingkat Internasional dapat mencapai puluhan juta. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa daging seekor trenggiling hidup tanpa kulit dijual seharga USD 2 per Kg. Di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang memiliki daya ekonomi lemah, trenggiling malah dijual dengan harga yang cukup murah dari tangan pengumpul dan pemburu trenggiling lokal. Menurut Zainuddin 2008, di wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah trenggiling dihargai sekitar Rp 50.000,- per ekor. Sedangkan untuk trenggiling yang sudah dikuliti dapat dijual dengan harga tinggi, sekitar Rp 200.000,- sampai Rp 400.000,-.

2.3 Kegiatan Penangkaran