Konsumsi Ransum Konsumsi dan Palatabilitas Pakan Trenggiling di Penangkaran

kimia suatu bahan pakan belum tentu menjamin kebutuhan energi dapat terpenuhi, karena tidak semua zat makanan dalam bahan pakan tersebut dapat diserap dan dicerna dengan baik oleh tubuh satwa. Terkait dengan penjelasan di atas, maka hal terpenting yang harus diperhatikan dalam penyusunan ransum bagi satwa di penangkaran adalah keseimbangan kandungan gizi dan terpenuhinya kebutuhan dan keuntungan biologis satwa Sukria dan Krisnan 2009. Dalam prakteknya diperlukan suatu strategi penyediaan ransum dengan formulasi yang tepat agar kebutuhan energi dan gizi trenggiling di penangkaran dapat dipenuhi. Menurut Andajani et al. 1984, semakin tinggi kadar energi dalam ransum maka diharapkan semakin tinggi pula kadar protein yang harus disediakan untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi yang maksimal. Disamping itu, didalam penyusunan ransum juga perlu diperhatikan persentase atau porsi suatu zat makanan. Persentase komposisi bahan kering dalam suatu ransum juga merupakan salah satunya yang penting diperhatikan karena ternyata berpengaruh terhadap tingkat konsumsi ransum ataupun konsumsi air. Hasil penelitian Sudarman et al. 2008 pada domba diketahui bahwa tingkat konsumsi air selain dipengaruhi oleh tingkat konsumsi bahan kering juga dipengaruhi oleh adanya kandungan lemak dalam ransum. Harris dan vanHorn 2003 menyatakan bahwa pakan yang mengandung serat tinggi dapat mempengaruhi peningkatan konsumsi air dengan meningkatnya kehilangan air melalui feses.

5.2.2 Konsumsi Ransum

Pakan pada satwa digunakan sebagai sumber energi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup satwa baik untuk hidup pokok life maintenance seperti bernapas, bergerak, maupun untuk berbagai kebutuhan dan aktivitas lainnya termasuk untuk pertumbuhan dan perkembangan reproduksi. Dengan demikian pakan yang diberikan harus diperhitungkan sedemikian rupa agar berkualitas dan mampu memenuhi kebutuhan trenggiling secara efisien. Dalam hal ini tingkat konsumsi pakan berhubungan erat dengan pemenuhan kebutuhan tersebut. Hasil percobaan pemberian dua jenis pakan P1 dan P2 pada trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi dalam sistem pemeliharaan tunggal individual dan sistem pemeliharaan berpasangan menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi ransum sebanyak 94,67 gekorhari. Dilihat dari jenis pakan, hasil percobaan menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi pakan P2 relatif lebih banyak 98,38 gekorhari daripada pakan P1 90,9616 gekorhari, sedangkan ditinjau dari sistem pemeliharaan diketahui bahwa rata-rata konsumsi ransum trenggiling yang dipelihara secara individual lebih banyak yakni 100,24 gekorhari daripada trenggiling yang dipelihara berpasangan yakni 89,10 gekorhari. Hasil perhitungan rataan konsumsi ransum trenggiling di penangkaran selama percobaan disajikan dalam Tabel 10. Tabel 10 Rataan jumlah konsumsi ransum trenggiling selama percobaan per ekor per hari Sistem pemeliharaan Jenis ransum g Jumlah g Rata-rata g P1 P2 Kandang berpasangan 83.8462 94.3654 178.2116 89.1058 Kandang individu 98.0769 102.4039 200.4808 100.2404 Jumlah g 181.9231 196.7693 Rata-rata g 90.9616 98.3847 94.6732 Keterangan: P1=ransum dengan campuran 50 g kroto, P2=ransum dengan campuran 80 g kroto. Meskipun nilai rata-rata konsumsi ransum dari kedua jenis pakan percobaan menunjukkan hasil yang berbeda, yakni ransum P2 kroto 80 g dan dedak 70 g lebih banyak dikonsumsi dibandingkan ransum P1 kroto 50 g dan dedak 100 g, tetapi hasil analisis statistik membuktikan kedua jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata P0,05 pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi ransum. Hasil yang sama juga diperoleh dari hasil percobaan terhadap sistem pemeliharaan individual dan berpasangan yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata P0,05 terhadap konsumsi ransum. Dengan kalimat lain dapat dinyatakan bahwa kedua jenis ransum tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tingkat konsumsi ransum, begitu pula halnya dengan sistem pemeliharaan individual dan berpasangan. Ini berarti bahwa meskipun dipelihara dalam berbagai tipe pemeliharaan dan diberikan ransum dengan jumlah kroto lebih banyak atau sedikit, jumlah ransum yang dikonsumsi trenggiling stabil. Meskipun tipe pemeliharaan dan jenis ransum yang diberikan tidak mempengaruhi besaran konsumsi, ternyata jumlah yang dikonsumsi tersebut mempengaruhi efisiensi penggunaan makanan pada trenggiling. Hasil pengukuran bobot badan trenggiling setelah perlakuan pemberian pakan diketahui bertambah rata-rata sebesar 50 g selama 13 hari percobaan dengan rataan efisiensi sebesar 1,82 g. Angka ini menunjukkan bahwa pakan percobaan memberikan efek positif terhadap peningkatan bobot badan trenggiling di penangkaran. Artinya tingkat konsumsi pakan yang diberikan secara relatif dapat dikonversi menjadi bobot badan secara bermakna, sehingga kedua jenis ransum ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan didalam manajemen pemberian pakan trenggiling di penangkaran. Menurut Siagian 1990, efisiensi penggunaan makanan merupakan parameter penting karena dapat menentukan kemampuan ransum diubah menjadi daging. Perubahan ini ditunjukkan oleh laju pertambahan berat badan. Semakin kecil nilai konversi ransum terhadap bobot badan rataan efisiensi kecil maka akan semakin efisien ransum tersebut diberikan. Besarnya konsumsi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal. Diantara hal tersebut adalah kesukaan terhadap ransum, kandungan gizi ransum, kondisi tubuh satwa, dan kapasitas kandang. Berdasarkan tingkat kesukaan, trenggiling cenderung mengonsumsi lebih banyak pada bahan pakan yang disukai dibandingkan dengan pakan yang kurang disukai. Kondisi ini, paling tidak sesuai dengan pernyataan Tilman et al. 1998 bahwa, konsumsi ransum dipengaruhi oleh palatabilitas atau tingkat kesukaan terhadap ransum. Tillman et al. 1998 juga menyatakan bahwa nilai gizi ransum juga turut diperhitungkan dalam besarnya konsumsi ransum, artinya pemenuhan terhadap kebutuhan energi juga menjadi penentu besarnya konsumsi ransum. Terkait dengan pernyataan ini, maka melihat hasil percobaan konsumsi ransum pada trenggiling di penangkaran seperti ditunjukkan di atas, dapat diduga kuat bahwa trenggiling cenderung mengonsumsi lebih banyak ransum yang mengandung protein tinggi daripada ransum yang berprotein rendah, karena secara alami pakan trenggiling di alam diketahui lebih banyak berupa semut dan rayap yang mengandung kithin. Dengan demikian dapat dipahami hasil percobaan ini menunjukkan bahwa ransum P2 lebih banyak mengandung kroto ternyata juga secara relatif lebih banyak dikonsumsi dibandingkan dengan ransum P1 yang lebih sedikit mengandung kroto. Berdasarkan kondisi ini, maka dapat dinyatakan bahwa semakin rendah kandungan protein suatu ransum, maka tingkat konsumsi tersebut akan rendah pula. Disamping itu, juga diketahui bahwa suatu bahan pakan yang memiliki kandungan nutrisi rendah antara lain ditandai oleh kandungan serat kasar yang tinggi. Dalam hal pakan percobaan untuk trenggiling yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pakan yang disusun dari dedak yang lebih banyak P1 ternyata memberikan efek tingkat konsumsi yang relatif rendah pula. Pada dasarnya ransum yang memiliki kandungan serat kasar tinggi – dalam hal ini P1 karena banyak mengandung dedak, maka ransum tersebut menjadi amba sehingga dapat membuat konsumsi rendah North dan Bell 1990 dalam Tanwiriah et al. 2006. Bahan makanan dengan kandungan serat kasar tinggi ini sulit dicerna oleh trenggiling disamping kecepatan konsumsi menjadi berkurang mengingat cara trenggiling makan menggunakan lidahnya. Meskipun ada perbedaan tingkat konsumsi dari kedua jenis ransum percobaan, namun kondisi ini belum menjadi jaminan bahwa pakan yang lebih banyak dikonsumsi tersebut dapat memenuhi kebutuhan energinya. Pond et al. 1995 mengingatkan bahwa ransum yang disukai belum tentu menjamin pemenuhan kebutuhan energi karena tidak semua zat makanan dalam ransum dapat diserap dan dicerna dengan baik oleh tubuh trenggiling. Faktor lain yang diketahui berpengaruh terhadap tingkat konsumsi ransum adalah kondisi satwa, karena terkait dengan metabolisme yang terjadi dalam tubuh dan tingkat kebutuhan gizinya. Menurut Tobing 2010 pada ruminansia, faktor umur, jenis kelamin, kondisi tubuh misalnya bunting atau dalam keadaan sakit sangat mempengaruhi konsumsinya. Faktor ini juga berlaku sama pada trenggiling. Hal ini dibuktikan dengan pada saat pengamatan dan pengukuran konsumsi ransum diketahui bahwa di dalam salah satu kandang berpasangan K1, dimana ada trenggiling betina sedang bunting 90 hari ternyata menunjukkan tingkat konsumsi yang lebih rendah dibandingkan dengan trenggiling di dalam kandang lainnya. Kondisi yang ditemukan pada trenggiling ini berbeda dengan umumnya pada kebanyakan satwa yang bunting. Pada satwa yang bunting, biasanya nafsu makan menjadi meningkat karena adanya tuntutan pemenuhan gizi dan kebutuhan nutrisi yang cukup bagi induk maupun embrio yang ada di dalam kandungannya. Hasil penelitian Musofie et al. 1990 pada induk domba ekor gemuk yang bunting juga membuktikan bahwa ada kecenderungan terjadinya peningkatan konsumsi selama masa kebuntingan. Sementara itu pada kasus trenggiling yang ditemukan dalam percobaan di penangkaran UD Multi Jaya Abadi ini, peningkatan nafsu makan tidak terlalu signifikan dan cenderung tidak terlihat. Betina yang bunting cenderung memiliki nafsu makan yang lebih rendah bahkan konsumsi ransumnya cenderung menurun dibandingkan dengan trenggiling jantan sebagaimana pasangannya di dalam satu kandang. Kondisi ini diduga karena pengaruh adanya embrio dan suhu tubuh induk yang meningkat, disamping kemungkinan karena kandungan gizi ransum yang tidak seimbang dan belum dapat memenuhi kebutuhan trenggiling dan embrionya. Perbedaan rata-rata tingkat konsumsi ransum dalam sistem pemeliharaan berpasangan yang lebih rendah dibanding dengan pemeliharaan individual, diduga berkaitan dengan kondisi kenyamanan dan adanya persaingan kompetisi antara individu dalam sistem pemeliharaan berpasangan. Hasil pengamatan diketahui bahwa ada perilaku saling mengganggu atau berebutan makan bersama-sama dalam satu piring, juga terlihat trenggiling betina menaiki tubuh pasangannya atau mengendus-endus hidungnya pada saat trenggiling jantan sedang makan. Akibatnya aktivitas makan trenggiling pasangannya tergangggu dan berdampak pada rata-rata jumlah konsumsi yang berkurang atau lebih sedikit. Kondisi berpasangan ini tentu berbeda dengan kebiasaan trenggiling di alam yang lebih dikenal sebagai satwa soliter, bukan sebagai satwa yang hidup berkelompok dan berperilaku sosial tinggi Medway 1969, sehingga apabila dipelihara secara berpasangan besar kemungkinan terjadi gangguan atau persaingan aktivitas individu khususnya didalam mencari danatau mengonsumsi pakan. Dengan adanya penguasaan atau persaingan dalam perolehan pakan dapat membuat total ransum yang dimakan per individu menjadi sedikit karena kebebasan menikmati makanannya sangat terbatas. Adanya intervensi atau kompetisi dalam memilih dan mengonsumsi pakan juga dipengaruhi oleh kapasitas satwa dalam kandang. Pada burung, menurut Haryoko 2008 hal yang sama juga terjadi yakni jumlah individu dalam kandang mempengaruhi jumlah konsumsi pakan. Konsumsi pakan terbanyak ditemukan pada kandang dengan jumlah individu yang lebih sedikit, sedangkan untuk individu satwa yang berjumlah lebih banyak 2 ekor pakan yang dikonsumsi jauh lebih sedikit. Berdasarkan hal tersebut, kenyamanan dalam mengonsumsi pakan dan ada atau tidaknya proses kompetisi dalam perolehan makanan menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam besarnya konsumsi pakan di dalam kandang pemeliharaan berpasangan. Selain kenyamanan dalam mengonsumsi pakan dan kompetisi saat makan, terdapat faktor lain yang mempengaruhi besaran konsumsi ransum. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan tingkat konsumsi pada satwa menurut Tobing 2010 adalah keadaan satwa termasuk bobot badan yang juga erat kaitannya dengan temperatur lingkungan dan kesehatan satwa. Parakkasi 1983 dalam Novriyanti et al. 2010 juga menyatakan bahwa semakin besar ukuran satwa maka konsumsi terhadap ransum dapat meningkat. Tobing 2010 juga menyatakan bahwa selera satwa dan bentuk pakan juga menjadi salah satu faktor yang menentukan besar kecil konsumsi ransum. Terkait dengan pengaruh ukuran bobot badan satwa terhadap tingkat konsumsi ransum, diketahui bahwa trenggiling dengan rata-rata ukuran bobot badan yang lebih besar yakni 5,5 kg pada sistem pemeliharaan berpasangan ternyata cenderung mengkonsumsi ransum lebih banyak dibandingkan dengan trenggiling dengan bobot badan lebih rendah 3,7 kg pada sistem pemeliharaan individual. Kondisi ini ditemukan berbeda pada kasus trenggiling betina yang sedang bunting dengan bobot badan mencapai 6,7 kg. Ternyata tingkat konsumsi rata-rata pada trenggiling tersebut lebih rendah sedikit dibandingkan individu lain. Kemungkinan kondisi ini dipengaruhi oleh cadangan lemak yang ada di dalam tubuh trenggiling tersebut. Artinya trenggiling yang berukuran dan memiliki bobot lebih besar memiliki cadangan energi dan lemak yang lebih banyak, sehingga sebagian kebutuhan ransumnya dipenuhi melalui pemanfaatan cadangan energi pada tubuhnya melalui mekanisme katabolisme energi tubuh. Sebaliknya, trenggiling yang berukuran tubuh kecil dan memiliki bobot badan rendah cenderung banyak mengonsumsi ransum karena diduga masih dalam masa pertumbuhan sehingga masih membutuhkan banyak nutrisi dan kelengkapan gizi berimbang. Selain kondisi bobot badan atau kegemukan tubuh satwa yang berpengaruh terhadap peningkatan dan atau penurunan konsumsi ransum, kondisi suhu temperature lingkungan juga diketahui berpengaruh terhadap tingkat konsumsi ransum. Suhu turut memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menentukan besaran konsumsi ransum trenggiling di penangkaran. Hasil pengamatan di penangkaran menunjukkan bahwa suhu rata-rata pada saat pengamatan di siang hari diperoleh sebesar 33,47 o C sedangkan kondisi pada malam hari biasanya berkisar antara 30 o C - 31 o C. Suhu pada malam hari masih cukup tinggi karena adanya pengaruh iklim mikro di sekitar kandang pada siang hari. Tingginya suhu pada siang hari mempengaruhi besarnya jumlah konsumsi ransum pada malam harinya, terutama pada trenggiling dalam kandang berpasangan dengan rata-rata konsumsi 89,1 gekorhari. Kondisi ini terjadi karena pada saat suhu meningkat tinggi dalam tubuh trenggiling terjadi penimbunan panas sehingga untuk menguranginya konsumsi ransum ditekan dan konsumsi air lebih ditingkatkan agar trenggiling dapat menuju kondisi nyaman kembali sebagaimana hasil penelitian Kusnadi dan Rahim 2009 pada unggas. Disamping itu, dengan bobot badan trenggiling yang cukup besar tingkat kegemukan tinggi dan tingginya suhu panas pada siang ataupun malam hari, maka akan terjadi kelebihan panas produksi pada tubuh trenggiling. Kondisi ini berdampak pada menurunnya kebutuhan danatau konsumsi terhadap pakan. Secara spesifik dapat dinyatakan bahwa meningkatnya kondisi suhu lingkungan kandang berakibat negatif terhadap berkurangnya selera makan trenggiling, sebagaimana halnya pada satwa ruminansia berdasarkan hasil penelitian Tobing 2010.

5.2.3 Palatabilitas Pakan