Berdirinya Pesantren Madinatunnajah PROFIL PESANTREN MADINATUNNAJAH
90
Amin, pesantren ini memiliki dinamika yang majemuk layaknya pondok pesantren lainnya. Pada masa pendiriannya, pesantren ini
diresmikan oleh K.H. Shoiman Lukmanul Hakim, salah satu Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor pada tanggal 20
September 1997.
1
Berdirinya pesantren ini tidak terlepas dari cita-cita pendirinya, yakni keinginan untuk mendirikan seribu pesantren
yang tersebar di manapun. K.H. M. Amin berkisah bahwa suatu ketika, saat ia mengunjungi Masjidil Haram, di dalam Kabah ia
memanjatkan doa agar Allah memberikan kemampuan padanya untuk membangun seribu pesantren di Indonesia, sebagaimana
Allah memberikan
kekuatan kepada
Dzulkarnain yang
memperlebar wilayah kekuasaannya. Sang Kiai juga ingat akan wasiat gurunya, K.H. Imam Zarkasyi Pendiri Pondok Modern
Gontor. Setelah
K.H. Mahrus
Amin merasa
cukup mengembangkan Pesantren Darunnajah Jakarta, ia beralih untuk
1
Wawancara dengan pendiri pesantren Madinatunnajah, KH Makhrus Amin pada 20 Januari 2015 di rumah beliau, Jalan Ulujami Raya No. 86,
Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
91
mendirikan pesantren lain, yakni Madinatunnajah di Tangerang Selatan.
Wasiat dalam hubungan guru dan murid seringkali menjadi suatu hal yang unik untuk diketahui. Wasiat bisa berupa arahan,
pengajaran atau saran bagi para murid sebagai bekal dalam menjalani kehidupan setelah keluar dari tempat belajar. Jika
menelisik dari keberadaan wasiat K.H. Imam Zarkasyi kepada K.H. M. Amin di atas, maka sudah tentu dapat dikatakan bahwa
isi wasiat itu begitu berkesan dalam diri sang murid. Bahkan, tidak hanya sampai pada tahap terkesan, M. Amin muda
mempunyai cita-cita untuk merealisasikan wasiat tersebut. Hubungan yang sedemikian dekat antara murid dengan gurunya
merupakan salah satu ikatan yang kuat dan biasa ditemukan di pesantren abad 19-an. Kedekatan ini muncul dari sifat kasih
sayang guru yang tercermin dalam berbagai kegiatan, misalnya membebaskan para santri tidak mampu untuk belajar di
92
pesantrennya, asalkan mereka membantu di sawah milik gurunya.
2
Lebih lanjut, Zamakhsyari Dhofier mengungkapkan bahwa adalah merupakan suatu kebanggaan jika menyandingkan nasab
ilmiah seorang murid dengan gurunya yang merupakan seorang tokoh mashur dalam penguasaan ilmu agama. Seorang murid
pesantren biasanya mewakili watak dari para gurunya di mana ia belajar. Keabsahan serta bukti bahwa dirinya mempunyai
penguasaan ilmu agama, amat bergantung pada siapa gurunya. Dengan begitu, menyertakan guru dalam harapan dan cita-cita
santri kelak,
adalah sebagian
dari upaya
seseorang menghubungkan dirinya dengan gurunya. Bahkan, dalam kasus
tertentu, ditemukan pula bahwa ada santri yang sampai menulis silsilah transmisi keilmuannya silsilah seseorang mendapatkan
ilmu agama dan siapa gurunya dan ada pula anggapan bahwa
2
Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam Abad 19 Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 162
93
seorang kyai yang tidak mempunyai transmisi keilmuan maka ia tidak akan berguna di masyarakat.
3
Dengan mengadopsi sebagian dari sistem pendidikan yang diterapkan di Gontor, kyai Mahkrus Amin membawa sesuatu
yang dianggapnya baik untuk diterapkan dalam pesantrennya. Sebagai salah satu murid dari pendiri Gontor, Kyai Makhrus
Amin menganggap memodifikasi kurikulum pesantrennya dengan kurikulum Gontor, sebagai bentuk agar sanad
keilmuannya senantiasa terhubung dengan guru-gurunya. Ini merupakan suatu kejadian dari apa yang diuraikan sebelumnya,
yakni menjadi suatu kepuasan bagi santri yang kelak mendirikan pesantren, dengan membawa pengaruh baik dari pesantren tempat
belajarnya dahulu. Meskipun demikian, perbedaan prinsipil dengan yang ada di Gontor, adalah jika Gontor menggunakan
sistem berjenjang hingga tingkat perguruan tinggi, maka Madinatunnajah hanya sampai pada tingkatan madrasah aliyah
3
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia Jakarta: LP3ES, 2011, hlm.
100.
94
saja, dan setelah lulus membebaskan santrinya untuk memilih perguruan tinggi yang ia cita-citakan.
4
Pesantren Madinatunnajah,
seperti juga
Pesantren Darunnajah, memberikan kesempatan yang luas bagi anak-anak
yang berasal dari keluarga kurang mampu dhuafa untuk bergabung dengan santri lainnya belajar di pesantren ini. K.H.
Mahrus Amin merupakan sosok yang peduli dengan keberadaan para anak miskin. ia mempunyai mimpi bahwa pendidikan Islam
adalah bagi sesama, tidak pandang latar belakang keluarga, ras maupun cakupan geografis tertentu. Ia mengharapkan agar santri
dari berbagai daerah di Indonesia dapat berkumpul di pesantrennya dan belajar bersama. Terlebih lagi bagi mereka
yang datang dari keluarga miskin, maka beliau mengajak mereka untuk datang dan bergabung dengan keluarga besar pesantren.
Mereka yang berasal dari daerah kelak akan menjadi para kader
4
Wawancara dengan pendiri pesantren Madinatunnajah, KH Makhrus Amin pada 20 Januari 2015 di rumah beliau, Jalan Ulujami Raya No. 86,
Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
95
daerah yang mensyiarkan ajaran Islam kelak di kampung halamannya.
5
Dalam bentangan sejarah sosial umat Islam Indonesia, pesantren
mewakili model
pengajaran tradisional
yang menempati posisi penting dalam pergaulan masyarakat
Nusantara. Karel A. Steenbrink mengungkapkan bahwa ketika Gubernur Jenderal Van Der Cappelen pada sekitar bulan Meret
1819, membentuk suatu tim peneliti pendidikan masyarakat Jawa, didapat suatu fakta bahwa pengajaran pendidikan Islam dengan
menggunakan bahasa Arab adalah lembaga paling penting dalam masyarakat Jawa. Bahkan popularitas pendidikan agama Islam
bersendi pada bahasa Arab tersebut, mengungguli popularitas pendidikan berbasiskan pada pengajaran aksara jawa dan Latin.
6
Besar kemungkinan kedua aksara tersebut Jawa dan Latin banyak dikuasai kalangan elit Jawa ningrat yang jumlahnya
sedikit jika dibandingkan masyarakat Jawa kelompok menengah ke bawah.
5
Wawancara dengan pendiri pesantren Madinatunnajah, KH Makhrus Amin pada 20 januari 2015.
6
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen Jakarta, LP3ES, 1986 hlm. 2.
96
Sekitar seabad kemudian, Brugmans membahas penelitian tersebut dan mengambil kesimpulan bahwa Gubernur Jenderal
Van Der Cappelen berencana membentuk suatu model pendidikan “yang berbasiskan pribumi murni, secara teratur dan
diselaraskan dengan masyarakat desa, yang dihubungkan secara erat dengan model pendidikan Islam yang sudah terlebih dahulu
ada dan berkembang.” Dengan nada optimis Brugmans berketetapan bahwa pendidikan semacam itu harus dapat
terhubung dengan
seluruh kebijakan
politik Belanda.
Komentarnya lebih lanjut adalah bahwa meskipun terkadang mengalami kendala, sebisa mungkin pendidikan yang dibentuk
pemerintah Hindia Belanda harus menghormati unsur pribumi dalam masyarakat dan menghindari penolakan kebudayaan asli
dalam kaitannya dengan kebudayaan asing yang bercorak Barat.
7
Ilustrasi historis di atas menunjukkan bahwa pesantren sudah menjadi lembaga pendidikan terkemuka sejak masa yang lama.
Sematan pusat pendidikan agama Islam, baik secara teoritis maupun praktis praktek setidaknya masih menjadi gelar bagi
7
Karel Steenbrink, Pesantren ..., hlm. 2.
97
pesantren. Lembaga ini memadukan aspek nilai sosial khas keindonesiaan
dengan pengajaran
Islam. Nilai
sosial keindonesiaan sendiri berkaitan dengan pola hidup dan tradisi
masyarakat Indonesia itu sendiri. Dengan kata lain lembaga pendidikan adalah lahir dari jantung tradisi pribumi yang sifatnya
asli. Adapun penggunaan bahasa Arab, sebagaimana yang dimaksud di atas, menjadi ciri utama pesantren, terlebih melihat
pada materi kitab-kitab kuning yang merupakan sumber hukum Islam adalah ditulis menggunakan aksara dan bahasa Arab.
Elemen – elemen tersebut sedikit banyak masih ditemukan di
pesantren-pesantren dewasa ini. Madinatunnajah, meskipun tidak bersifat tradisional,
sebagaimana yang dimaksudkan Steenbrink di atas, ternyata juga menjadi kebutuhan tersendiri di tengah masyarakat. Pesantren
menjadi pilihan alternatif bagi pendidikan anak. kyai Makhrus Amin mengungkapkan bahwa dewasa ini, semakin banyak orang
tua yang menyekolahkan anaknya di pesantren dan semakin banyak orang yang mencari pesantren. Untuk itu, pendidikan
pesantren diharapkan masyarakat bisa lebih baik dari sekolah
98
biasa, bukan semata-mata hanya bertumpu pada model klasikal sebagaimana yang diuraikan di atas. Jika pesantren dalam setiap
zamannya bisa menyesuaikan diri, bukan tidak mungkin akan semakin banyak anak yang masuk Pesantren meskipun dengan
biaya yang mahal.
8
Meskipun ada perubahan dalam kurikulumnya, Pesantren Madinatunnajah,
tetaplah mengemban
semangat bahwa
keberadaannya adalah juga sebagai pencetak santri yang peka terhadap bangsanya. Nuansa keagamaan dipadukan dengan
simbol-simbol keindonesiaan, sebagaimana yang tercermin dalam acara Khutbatul Arsy dan PORSEKA Pekan Olahraga Seni dan
Pramuka tahun
2012, suatu
perayaan tahunan
santri Madinatunnajah yang salah satu agendanya adalah parade budaya
yang mewakili beberapa provinsi di Indonesia. Nuansa keragaman sebagai basis dari wawasan keindonesiaan juga
ditampilkan, dalam
rangka pembelajaran
bahwa santri
Madinatunnajah adalah juga bagian dari Indonesia, negara yang
8
Wawancara dengan pendiri pesantren Madinatunnajah, KH Makhrus Amin pada 20 Januari 2015 di rumah beliau, Jalan Ulujami Raya No. 86,
Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
99
terdiri dari banyak suku bangsa serta agama, budaya dan kepercayaan yang berbeda. Perayaan ini menjadi salah satu
pembibitan nasionalisme berbasiskan keindonesiaan di Pesantren Madinatunnajah.
Taufik Abdullah dalam pengantar buku Agama dan Perubahan Sosial 1983 mengatakan bahwa agama mempunyai
banyak pranata dan lembaga yang memungkinkan materi ajarannya dapat diserap oleh individu-individu yang kemudian
terpantul dalam pengaturan hubungan dan sistem perilaku sosial.
9
Apa yang dilakukan K.H. M. Amin dalam menerima kaum miskin, merupakan sebagian dari kontribusinya membangun
hubungan sosial yang sama dan setara di lingkungan pesantrennya. Perilaku sosial di kalangan santri yang berasal dari
keluarga mampu dan tidak mampu, sedikit banyak mempunyai karakteristik yang berbeda. Adalah tugas kyai beserta jajarannya
agar kesenjangan sosial di antara mereka tidak terus menganga. Upaya membaurkan para santri dalam pesantren, merupakan satu
9
Taufik Abdullah dalam pengantar buku Taufik Abdullah, ed, Agama dan Perubahan Sosial Jakarta: C.V. Rajawali, 1983 hlm. vii
– viii.
100
sendi dari pengaturan hubungan sosial yang terarah, agar perilaku sosial di antara mereka dapat terjalin secara harmonis.
Secara umum, Pesantren Madinatunnajah memiliki tujuan yakni mendidik para santrinya agar kelak menjadi pemimpin
umat dan bangsa. Harapan ini tercermin dalam nama pesantren ini, Madinatunnajah
, yang berarti “Kota Kesuksesan”. Ibarat sebuah kota, maka masyarakat atau penduduk di dalamnya agar
senantiasa memperoleh kesuksesan. Kehidupan kota bercirikan pada keramaian manusia, sesuatu yang menjadi pemandangan
sehari-hari di pesantren, di mana para santri berlalu – lalang.
Mereka bersama
melewati suatu
proses belajar
yang berkesinambungan mulai dari kamar, masjid dan kelas. Hakikat
dari keramaian yang bermanfaat itulah yang menjadi modal menjemput kesuksesan.
10
Kemudian, hampir sama dengan pesantren lainnya, pendidikan di pesantren Madinatunnajah berlangsung selama 24
jam, atau dengan kata lain sehari penuh. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar di dalam jati diri para santri terbentuk
10
Wawancara dengan pendiri pesantren Madinatunnajah, K.H. Makhrus Amin pada 20 Januari 2015.
101
karakter kepemimpinan dan mental keahlian di kalangan para santri. Mental keahlian dimaknai sebagai kebulatan tekad bahwa
apa yang dikerjakan dalam setiap waktu hendaknya membawa manfaat, bukan hanya bagi dirinya melainkan bagi orang banyak.
Oleh karena itu, penekanan bahwa belajar 24 jam menjadi pemahaman bersama di tengah lingkungan Pesantren, sebagai
sarana memperoleh manfaat menuntut ilmu.
11
Pendidikan pesantren merupakan cerminan dari pelatihan diri agar mandiri. Tentu tidak semua santri mampu melewati fase
ini dengan mudah, mengingat beragamnya karakter dan sifat bawaan santri serta dari latar belakang keluarga serta budaya
mana mereka berasal. Penekanan 24 jam sebagai waktu belajar, sebagaimana yang dimaksud pendiri Madinatunnajah, bisa
dikatakan sebagai suatu gagasan untuk membiasakan para santri dari manapun ia berasal, untuk tunduk dan patuh terhadap
peraturan pesantren. Peraturan-peraturan inilah yang kemudian dikatakan sebagai wahana belajar lain, di luar pengajian atau
belajar formal di sekolah. Dengan menaati ketentuan santri wajib
11
Wawancara dengan pendiri pesantren Madinatunnajah, K.H. Makhrus Amin pada 20 januari 2015.
102
mengikuti shalat jamaah di masjid misalnya, maka di dalamnya terkandung pelajaran agar santri menghargai waktu dan mampu
mengalokasikan waktunya secara tertib. Di lihat secara tata letak kawasan berdirinya pesantren,
sejatinya masih bisa dikategorikan sebagai wilayah yang cocok untuk berdiri dan berjalannya proses belajar dan mengajar secara
full day sehari penuh. Bahkan, sematan kata full day dalam pemebelajaran pesantren, jumlah waktunya lebih banyak jika
dibandingkan sekolah-sekolah terpadu modern yang lazim menggunakan istilah serupa sebagai cerminan panjang dan
lamanya seorang murid belajar secara formal. pesantren menawarkan pembelajaran full day, dalam arti yang sebenar-
benarnya, artinya selama 24 jam. Keterlibatan orang tua yang minim dalam dinamika kehidupan santri, diharapkan mampu
membentuk para santri agar mandiri dan menjadi sosok pembelajar yang pandai mengatur waktunya dan menyedikitkan
segala perbuatan yang berpotensi melanggar aturan pesantren. Wilayah Jombang bisa dikategorikan sebagai wilayah urban
pinggiran, yakni lokasi di mana nuansa desa dan perkotaan
103
saling mempengaruhi. Memang, secara administratif, Jombang adalah bagian dari Kota Tangerang Selatan, namun ditinjau dari
keadaan masyarakat serta kondisi kepadatan serta kesibukannya tentu masih jauh jika dibandingkan dengan daerah terpadu di
mana hampir setiap sektor keramain manusia terhubung secara dekat, contohnya seperti Jakarta Pusat atau kawasan Bumi
Serpong Damai. Keadaan eksternal pesantren yang cukup kondusif, berpengaruh pada kehidupan pesantren yang juga tertib
dan layak sebagai sarana pendidikan anak berbasiskan pada kepatuhan dan pengajaran berbasiskan nilai-nilai Islam.
Dilihat dari model penyelenggaraan pendidikannya, pendiri pesantren cenderung memadukan sistem pendidikan modern
dengan tradisional. Ciri yang paling terlihat adalah keikutsertaan siswa dalam pendidikan Islam modern di jenjang Madrasah
Tsanawiyah setingkat SLTP dan Madrasah Aliyah setingkat SLTA. Di samping mendalami kajian agama, para santri juga
mendapatkan pengetahuan umum seperti matematika, sosiologi, fisika dan lain sebagainya. Meteri mata pelajaran umum tersebut
tentunya sangat berguna dalam memperkaya khazanah keilmuan
104
para santri. Ini merupakan suatu manfaat tersendiri bagi para santri agar mereka juga mendapatkan pengetahuan layaknya para
murid dari sekolah non-pesantren. Azyumardi Azra berkomentar mengenai latar belakang
pesantren mengadopsi model pendidikan umum. Sekitar tahun 1970-an, Departemen Agama yang saat itu dijabat Mukti Ali
berupaya merubah kurikulum madrasah juga Pesantren melalui program yang dinamakan Modernisasi Madrasah dan Pesantren.
Sejak itu, secara berangsur-angsur, beberapa mata pelajaran ilmu pengetahuan umum dan teknologi mulai dimasukkan dalam
kurikulum Madrasah dan Pesantren. Awalnya, prosentase yang ditemukan adalah 70 agama dan 30 pendidikan umum,
namun seiring berjalannya waktu, berubah menjadi 70 umum dan 30 agama. Puncaknya, adalah pada momen penetapan
undang-undang pendidikan nasional pada tahun 1989, yang menetapkan
bahwa kedudukan
Madrasah adalah
sama
105
equivalen dengan Sekolah-Sekolah, begitu pula mengenai kurikulumnya yang berada di bawah Depdikbud.
12
Pesantren Madinatunnajah bisa dikategorikan sebagai pesantren modern, oleh karena lebih banyak menekankan pada
metode pendidikan modern. Hanya saja untuk pembagian prosentasenya tentu tidaklah sama persis dengan angka yang
disampaikan Azyumardi Azra di atas. Terlihat dalam kurikulum pembelajarannya adalah terinspirasi dari kurikulum Pesantren
Gontor. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari geneologi asal muasal intelektual Kiai Mahrus Amin yang pernah menimba ilmu di
Pesantren Gontor, terlebih pendirian Pesantren Madinatunnajah adalah cara Kiai Mahrus Amin menerjemahkan wasiat mendiang
gurunya.