Kesamaan dalam Kesempatan NILAI BUDAYA DEMOKRASI DI PESANTREN
145
dan hak yang sama. Mereka belajar dengan guru yang sama serta memperoleh informasi serta pengetahuan agama yang sama.
Distribusi hak serta kewajiban yang sama inilah, yang kemudian merekatkan para santri untuk saling berkawan dan bersahabat.
Mereka merasa sedang menjalani periode belajar yang diikat dengan semangat kolektif.
Waktu makan menjadi salah satu yang menyita perhatian penulis. Dengan tertib, para santri antre dengan sabar menunggu
giliran. Antrian panjang tidak lantas membuat mereka saling berebut, secara umum terlihat rapi, jarang sekali ada santri yang
mencoba mendahului yang lainnya. Terlihat, ketertiban ternyata bisa membuahkan keharmonisan. Di atas meja dan bangku yang
sama bangku dan meja makan berbentuk panjang mereka makan sambil bercerita ringan. Suasana begitu akrab jauh dari
kesan individualistik. Kegiatan kolektif semacam ini menjadi faktor kuat mengikat emosi antarindividu menjadi begitu rekat.
Bukan tidak mungkin, kegiatan makan bersama ini akan membekas dalam kehidupan mereka kelak.
146
Sejak masa awal berkembangnya, pesantren merupakan tempat belajar yang diperuntukkan bagi santri dari kelompok
manapun. Mereka hidup bersama layaknya satu keluarga.
11
Sebagaimana keluarga pada umumnya, pengurus asrama, ustadz hingga kepala pengasuh pesantren memperlakukan santri
layaknya anak sendiri. Mereka menegur bahkan tidak segan memberikan hukuman jika mendapati anak didiknya tersebut
melakukan kesalahan atau perbuatan tercela. Sebaliknya, dalam momen-momen tertentu jajaran pengurus Pesantren akan
memberikan reward atau hadiah bagi santri-santri berprestasi, salah satunya melalui ajang-ajang lomba yang diselenggarakan
untuk menyemarakkan hari besar Islam. Pembina asrama dan ustadz pun tidak membeda-bedakan
dalam memberikan perhatian bagi santri-santri Madinatunnajah. Secara berkala mereka mengadakan dialog dengan santri-santri
binaannya, terkadang mereka mengadakan kegiatan-kegiatan yang mempererat kekeluargaan dan membuat para santri semakin
betah bermukim di pesantren. Kegiatan bersama seperti makan
11
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyah, 2008 hlm. 256.
147
bersama atau sekedar bercerita di waktu senggang ketika di asrama merupakan wahana agar para santri menikmati suasana
penuh persaudaraan dan kedekatakan satu sama lain. Perlakukan pengurus asrama yang bijak dan adil membuat para santri
menemukan sosok pengganti orang tua mereka selama hidup di pesantren.
Begitu sentralnya peran pengurus asrama dan ustadz sebagai tempat bernaung serta sumber budi pekerti bagi para
santri sejatinya adalah sebagian dari tradisi pesantren yang masih terjaga hingga kini. Sekitar tahun 1476, di Bintara dibentuk suatu
organisasi perbaikan sosial yang dinamakan Bayangkara Islah Angkatan Pelopor Perbaikan yang mengupayakan memacu
pengembangan pendidikan dan pengajaran Islam secara teratur. Salah tindakan awal yang mereka lakukan yang mereka lakukan
sebelum terjun ke masyarakat adalah menekankan tugas para wali dan para badal pembantu wali untuk menjadi teladan,
senantiasa berakhlak mulia dan mengayomi masyarakatnya.
12
12
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan …, hlm. 240.
148
Perlahan posisi sebagai teladan itu diteruskan pula oleh segenap pengurus pesantren. Oleh sebab itu tugas mereka tidak
hanya memberikan pengajaran agama dan akhlak namun juga menjadi seseorang yang dimintai pelindungan bagi para santri.
Mereka akan dengan terbuka memberikan solusi atau jalan keluar bagi para santri, sehingga membuat mereka bukan hanya sekedar
menjalankan tugas mereka untuk menuntut ilmu, tetapi juga belajar untuk membina kehidupan yang baik dengan sesama.
Tugas para pengurus Pesantren menjadi pemandu hidup santri serta memandang sama anak-anak didiknya itulah yang
menyokong kehidupan egaliter di Pesantren Madinatunnajah. Sejak masuk pesantren, tradisi kesamaan sudah
diperkenalkan oleh pengurus. Di mulai dari penempatan kamar yang diisi oleh lebih dari satu santri dan menggunakan fasilitas
umum yang sama. Bukan hanya itu, banyak santri yang melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi dan mencuci
pakaian dalam waktu yang sama. Perjumpaan yang kian intens ini, menumbuhkan solidaritas para santri, sehingga dapat
memperkecil individualisme di lingkungan pesantren. Awalnya,
149
para santri baru memang merasakan gagap budaya dengan keseharian Pesantren yang serba bersama-sama, namun seiring
berjalannya waktu, mereka dapat larut dan menikmati kehidupan pesantren.
Pemahaman akan
persamaan membawa
pada kebersamaan dalam kesempatan. Seluruh santri mempunyai hak
yang sama menggunakan fasilitas pesantren. Lapangan, kelas hingga masjid menjadi simbol-simbol di mana persatuan santri
tercipta. Di tempat-tempat itu, mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam mengekspresikan kesungguhan belajar dan
beraktifitas. Akses yang luas dalam berkarya seringkali memunculkan kebersamaan bentuk lain di tiga tempat tersebut.
Di kelas umpamanya, selain menjadi tempat belajar formal, kelas juga digunakan sebagai tempat belajar mandiri santri di malam
hari. Bahkan, kelas menjadi tempat yang cukup nyaman, bagi santri untuk berbagi cerita di kala senggang. Membahas
kesenangan, atau menceritakan problem yang dihadapi kepada kawan dekatnya.
150
Lapangan, selain sebagai tempat berolahraga, juga digunakan sebagai tempat ekstra kurikuler lainnya, seperti
Pramuka, Paskibra atau ektra kurikuler yang membutuhkan kegiatan outdoor lainnya. Lapangan menjadi vital sebagai lokasi
di mana para santri merasakan bentuk pengajaran lain, selain model belajar formal pesantren. Melalui ekstra kurikuler outdoor
mereka memperoleh
kesempatan yang
sama dalam
mengembangkan bakat serta minatnya. Secara berkala dan bergantian, seluruh santri bisa menggunakan lapangan untuk
olahraga sore hari. Adakalanya santri senior mengadakan pertandingan futsal atau sepakbola dengan para juniornya,
sehingga iklim kolektivitas senantiasa terjaga. Selain digunakan sebagai tempat ibadah dan kegiatan
pengajian, masjid juga kerap digunakan sebagai fasilitas umum santri lainnya. Kegiatan rapat OSMN, takmir masjid serta ekstra
kurikuler seperti pelatihan ceramah dilakukan di masjid. Bangunan ini tidak ubahnya seperti pusat kegiatan santri di
pesantren. Sebagai sarana pengembangan akhlak serta pribadi Muslim, melalui kewajiban shalat lima waktu, para santri
151
berkesempatan melatih peran sosio-keagamaannya kelak di masyarakat, sebagai imam shalat, memimpin yasin dan tahlil,
pembacaan maulid serta manaqib. Masjid menjadi tempat terbuka yang melampaui perannya lebih dari hanya sekedar tempat
ibadah. Kesamaan dan kesempatan bagi santri Madinatunnajah
seperti dua sisi mata uang. Keduanya sangat lekat dalam kehidupan para santri. Kesamaan perlakuan mengindikasikan
budaya kolektivitas yang kuat, yang kemudian tercermin dalam kesempatan yang bisa diakses oleh para santri, baik di bidang
pengembangan bakat, intelektual serta kepribadian. Dua hal tersebit menjadi penyokong adanya nilai-nilai demokrasi di
pesantren ini.