Kurikulum Pesantren PROFIL PESANTREN MADINATUNNAJAH
124
3. Madrasah Ibtidaiyahsekolah dasar
4. Madrasah tahfidz al-Qur’an
5. Tarbiyatu al-Muta’allimin wa al-Muta’allimat al-
Islamiyah, yakni setingkat dengan MTsSLTP dan MASLTA
6. Ma’had Aly Perguruan Tinggi
Keberadaan jenjang pendidikan layaknya sekolah pada umumnya ini, diadakan untuk menjawab pertanyaan umat
mengenai model sekolah pesantren yang mengadopsi sistem perjenjangan seperti sekolah pada umumnya. Tidak bisa
dipungkiri, keinginan luhur dari para santri adalah bisa melanjutkan pendidikannya hingga jenjang yang paling tinggi.
Untuk itu, ia diharuskan mengikuti pelajaran dari sekolah yang menyelenggarakan pembelajaran dengan metode jenjang tingkat
SD, SLTP, SLTA pada umumnya. Adapun kurikulum yang digunakan oleh pesantren adalah
perpaduan antara kurikulum pendidikan pesantren dengan kurikulum pemerintah Kementerian Agama. Melalui kurikulum
tersebut, memungkinkan para santri melanjutkan pendidikan ke
125
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, baik di dalam, maupun di luar negeri. Oleh sebab itulah, salah satu hal yang diunggulkan
pesantren ini adalah penggunaan aktif bahasa Arab maupun Inggris, agar para santrinya mempunyai modal untuk bisa
melanjutkan studi ke luar negeri atau berperan aktif di forum lomba-lomba skala nasional maupun internasional yang
menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantarnya. Penggunaan bahasa Arab dan Inggris secara aktif di
lingkungan pondok pesantren ini, tidak bisa dipungkiri, adalah salah satu pengaruh dari kurikulum Pesantren Gontor. K.H. M.
Amin, yang pernah belajar di Pesantren Gontor, membawa model belajar ini ke Pesantrennya, Darunnajah, lalu dikembangkan pula
ke Pesantren Madinatunnajah. Pesantren Gontor bisa dikatakan sebagai salah satu pelopor pendidikan modern di Nusantara.
Sejak masa awal berdirinya, yakni tahun 1926, pesantren ini menggunakan metode belajar bahasa aktif, baik bahasa Arab
126
maupun Inggris, di kalangan santri-santrinya. Cara belajar ini dikenal sebagai sistem metode langsung.
21
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang pada awalnya mengedepankan metode hafalan sebagai sarana
memperoleh ilmu. Dalam mempelajari al- Qur’an misalnya,
metode hafalan begitu dikedepankan, sehingga santri yang tergolong pandai dalam bidang ini dinilai dari banyaknya jumlah
ayat atau surat yang dihafalnya. Begitu pula terhadap mata pelajaran agama lainnya seperti ilmu alat nahwu dan shorof
juga bertumpu pada metode hafalan, baik itu berupa syair, ataupun kaedah-kaedah tertentu, disamping praktek. Metode
penghafalan memiliki akar sejarah yang kuat dalam tradisi intelektual Islam Nusantara. Menurut Karel A. Steenbrink,
penghafalan dan pemahaman al- Qur’an merupakan metode
belajar Islam paling sederhana, yang harus dilalui para santri atau pelajar. Dengan kata lain, menghafal merupakan kegiatan yang
wajib ada dalam pendidikan Islam. Di Pesantren Madinatunnajah,
21
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: P.T. Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008 hlm. 276-277.
127
kegiatan menghafal ayat Al- Qur’an, hadis, beriringan dengan
pemahaman yang diberikan para guru kepada santrinya. Selain dibekali dengan pengetahuan agama berupa baca al-
Qur’an, hadis, tauhid, aqidah, fiqih, ilmu alat gramatika bahasa Arab, para santri juga mendapatkan pengetahuan umum di
sekolah formal. Di sekolah mereka diberikan pelajaran berhitung, IPA fisika, kimia, biologi, IPS sosiologi, geografi, sejarah dan
lain-lain. Oleh sebab mengikuti model pendidikan Kementerian Agama, di sekolah para santri mendapatkan pendidikan agama
tambahan yakni Aqidah akhlak, Fiqih, al- Qur’an hadis, Bahasa
Arab dan lain-lain, dengan menggunakan buku ajar sebagai pegangannya.
Pesantren ini juga memiliki perhatian lebih terhadap pendididkan keahlian santri. Beberapa kegiatan keahlian ini
dimasukkan ke dalam ekstra kurikuler, seperti menyulam, tata boga serta kaligrafi. Santri yang berminat di bidang wirausaha,
bisa menimba ilmu dan pengalaman di koperasi pesantren. Kemahiran pidato menjadi kebutuhan teknikal santri yang juga
ditekankan. Pendidikan keahlian ini diikuti hampir seluruh santri,
128
sebagai bekal mereka untuk berkarya di masyarakat kelak. Amaliyah tadris praktek mengajar juga menjadi materi yang
diikuti para santri tingkat senior. Mereka dibekali pengetahuan mengajar serta bagaimana menjadi guru yang baik.
22
Menurut Nurcholis Madjid, pengetahuan teknikal atau ketrampilan yang di dapat para santri di Pesantren merupakan
bagian dari penyiapan SDM sumber daya manusia. Pengetahuan intelektual saja tidak cukup dalam menjawab perkembangan
zaman yang serba cepat. Di sisi lain, penguasaan akan keahlian teknikal hanya akan membuat seseorang menjadi tenaga teknis
tanpa inisiatif
berwirausaha atau
mengembangkan kemampuannya ke tingkat lebih tinggi. Menggabungkan
pengetahuan intelektual dan pengetahuan teknikal adalah keahlian yang membentuk pribadi seseorang secara utuh.
23
22
Hasil wawancara dengan Kepala Biro Pengasuhan, Ust. Sobar, pada 15 Maret 2015.
23
Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nusrcholis Madjid, Jilid III Jakarta: Democracy Project, 2012 hlm. 2670-2671.
129