Kemandirian NILAI BUDAYA DEMOKRASI DI PESANTREN

152 sudah demikian, mereka bisa dikatakan telah hanyut dalam kesibukannya dan karena telah menjadi kebiasaan, maka sudah tidak lagi dianggap sebagai suatu peraturan yang harus ditaati, melainkan sudah menjadi kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan. Jika sudah dijalankan, maka dalam satu hari saja terasa ada yang berbeda. Salah satu bentuk kemandirian pesantren awal, bisa ditelusuri dari pemberdayaan ekonomi pesantren. Beberapa pesantren tradisional di Jawa, Tebu Ireng ketika dipimpin K.H. Hasyim Asy’ari salah satunya, mendapatkan dana untuk mendanai operasional pesantren dari hasil pertanian. Sang kyai tidak lantas hanya menggantungkan diri pada pemberiaan orang berupa sedekah, melainkan menghidupi pesantren dengan para santrinya dengan hasil pertanian dan perniagaan. Oleh sebab para santri yang belajar di pesantren umumnya berasal dari kalangan miskin, maka sebagian kebutuhan mereka ditanggung pesantren. Secara bergiliran, di luar waktu belajar mereka juga diberi tugas mengurus pertanian. Selain kelak untuk bekal mereka sendiri, kegiatan ini juga bisa dikatakan sebagai pembelajaran cara 153 bercocok tanam, jika sampai masanya mereka lebih memilih jalur pertanian sebagai penghidupannya. 13 Manfred Ziemek menyebutkan bahwa pesantren kerap menyertakan kursus keahlian praktis yang merupakan bagian dari pendidikan alternatif. Dalam penelitiannya di Pesantren Pabelan, Ziemek mengatakan bahwa para santri di Pabelan, selain belajar ilmu umum seperti matematika, fisika, kimia, bahasa asing modern Arab dan Inggris, mereka juga diajari teknik pertanian, perkebunan, perunggasan, perikanan kolam dan sebagainya. 14 Pendidikan alternatif macam itu amat banyak dilakukan bertumpu pada keahlian individu, yang hanya bisa didapat dari latihan- latihan langsung. Bisa dikatakan belajar secara aplikatif lebih besar porsinya ketimbang muatan teoritisnya. Azhari menyebutkan bahwa pada umumnya pesantren mendidik agar agar santri memiliki sikap hidup sendiri, yang terlepas dari lingkungan struktural di luar pesantren. 15 Guna menuju ke arah tersebut para santri diharuskan mengikuti 13 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam ..., hlm. 84. 14 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Terj. Butje B. Soendjojo Jakarta: P3M, 1986 hlm. 186. 15 Azhari, “Eksistensi Sistem Pesantren Salafi dalam Menghadapi Era Modern” dalam Islamic Studies Journal, hlm. 51. 154 kegiatan demi kegiatan di pesantren sesuai dengan yang ditentukan. Dari kebiasaan itulah yang menempa para santri untuk bisa mengatur waktunya dengan baik. Meskipun para santri mengikuti kegiatan yang sama, namun tetap saja di antara mereka memiliki perbedaan agenda keseharian. Misalnya saja, jika sehabis mengaji Subuh beberapa ada yang mandi, yang lain menyempatkan olahraga, atau membaca buku sekitar setengah jam. Santri yang pandai mengatur waktunya, tentu saja tidak mengalami kesulitan dalam menjalani setiap kegiatan di pesantren. Sebaliknya, mereka yang malas dan sering terlambat, jadwal pesantren tidak lebih diartikan sebagai kehidupan serba ketat dan berat untuk dijalani. Kesederhanaan di lingkungan santri pesantren sangat kental hubungannya dengan kemandirian. 16 Hidup serba kurang, membuat para santri harus menerapkan pola hidup hemat. Waktu makan yang sudah di atur, membuat santri yang sudah terbiasa hidup kekurangan, menganggap masalah makan sudah tertanggulangi, tanpa harus mengeluarkan uang untuk jajan. Hal 16 Azhari. “Eksistensi Sistem Pesantren ...”, hlm. 56. 155 berbeda mungkin saja dilakukan bagi santri golongan menengah ke atas yang tidak segan untuk jajan. Meskipun begitu, secara umum memang tidak terlihat perbedaan derajat yang signifikan dari penampilan dan keseharian para santri. Tidak ditemukan perbedaan stratifikasi sosial yang mencolok. Mereka hidup dalam kesamaan dan kebersamaan. Hampir setiap tugas yang dilakukan para santri dikerjakan secara mandiri. Meskipun pengurus pesantren bertindak sebagai pengganti orang tua, bukan berarti mereka merupakan tempat bermanja-manja. Tugas mereka tentu saja tidak bisa menggantikan peran orang tua secara penuh. Oleh sebab itu, sedari awal kemandirian merupakan hal utama yang ditanamkan para santri, mengingat mereka akan menjalani fase kehidupan yang serba dilakukan sendiri, bertanggungjawab sendiri dan siap menerima sanksi apabila melakukan suatu kesalahan. Kuntowijoyo menerangkan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim. Suatu kepribadian yang bertumpu pada keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Para pelajar diharapkan dapat 156 senantiasa menunjukkan akhlak mulia, serta mendedikasikan ilmu serta amalnya bagi masyarakat. Mereka harus bisa tampil layaknya rasul seperti juga Nabi Muhammad SAW yang melayani kebutuhan umat. Ketika sudah tamat belajar, hendaknya para santri bisa berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat serta mencintai ilmu yang nantinya dimanfaatkan dalam upaya pembenahan kepribadian manusia lainnya. 17 Kemandirian merupakan unsur penting dalam demokrasi. Masyarakat yang berdemokrasi merupakan sekumpulan manusia yang mempraktikkan pola hidup mandiri dalam memberikan saran, terlepas dari intimidasi atau keterwakilan. Mudahnya, bisa dilihat tatkala Pemilu atau Pilkada, berlangsung secara berduyun- duyun mereka menggunakan hak suara secara mandiri tanpa harus diwakilkan oleh orang lain. Jika terpilih, pemerintah eksekutif dan legislatif juga mendisribusikan tugas dan wewenang yang kemudian dijalankan secara mandiri oleh 17 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi Bandung: Mizan, 1991 hlm. 57. 157 lembaga atau badan-badan terkait. Presiden memberikan kebebasan bagi tiap-tiap menteri merumuskan berbagai program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat secara mandiri. Ilustrasi pemerintahan di atas mempunyai kemiripan dalam pengelolaan Pesantren Madinatunnajah. Kyai sebagai figur pemimpin pesantren memiliki dewan kerja yang membantunya dalam manajemen pesantren. Mulai dari pendidikan, sosial, hubungan masyarakat hingga tata usaha, merupakan beberapa fungsi bagian yang bebas melakukan kerja-kerja terkait, dengan tetap mempertanggungjawabkan pekerjaannya pada kyai. Bisa dikatakan, sudah ada distribusi wewenang dan tugas kerja yang terorganisir dan masing-masing fungsinya berhak menjalankan dan memutuskan program atau kerja apa yang dilakukan untuk memajukan pesantren. Distribusi wewenang ini merupakan bagian dari kemandirian, mengingat masing-masing bagian pada umumnya menjalankan tugasnya dengan mandiri, meskipun dalam beberapa kesempatan mereka masih membutuhkan arahan dari kyai. 158 Kyai menempati posisi penting dalam kemandirian pengelolaan pesantren, apalagi hubungannya dengan realitas sosial di sekitarnya. Selain pemimpin pesantren, kyai juga dianggap sebagai pemimpin non formal sekaligus pemimpin spiritual. Dirinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di desa atau pemukiman sekitar. Sebagai salah satu elemen tokoh masyarakat, biasanya kyai memiliki jamaah komunitas dan massa yang diikat oleh hubungan paguyuban yang erat dan ikatan budaya paternalistik. Petuah serta arahannya selalu didengar, diikuti dan dilaksanakan oleh jemaah, komunitas dan massa yang dipimpinnya. Dengan kata lain, kyai menjadi sosok yang dituakan oleh masyarakat, atau menjadi bapak masyarakat. 18 Kemandirian dalam tata kelola pesantren, ditunjukkan dari kebebasan sang kyai dalam merancang kurikulum, bangunan serta visi misi pesantren. Sang kyai membentuk pesantren sesuai dengan keinginannya, tidak ada intervensi dari pihak luar. Kyai beserta jajarannya secara mandiri menyusun kurikulum sendiri 18 Mujamil Qomar, Pesantren; Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007 hlm. 29. 159 tanpa mengikuti atau dibantu sekolah lain. Setelah itu, kyai membentuk unit-unit kerja yang bertugas secara mandiri menentukan kebijakan, kegiatan serta langkah kerja secara bebas asal tidak berseberangan dengan visi misi pesantren. 19

D. Menghargai Perbedaan

Seperti diketahui, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang biasanya dihuni oleh para santri yang berasal dari daerah yang saling berbeda. Beberapa ada yang tinggal tidak jauh dari pesantren, namun tidak sedikit yang berasal dari luar kota atau luar pulau Jawa. Mereka dipertemukan di satu tempat di mana mereka harus berbaur, berkomunikasi dengan baik, menjalin keakraban dan saling membantu satu dengan yang lain. Ikatan pertemanan di pesantren terjalin dengan kuat mengingat intensitas pertemuan yang sering di antara mereka. Pertemanan di pesantren tidak ubahnya seperti saudara, begitu dekat dan akrab, meskipun pilihan akan sahabat tertentu sesuai kriteria mereka masih sering ditemukan. 19 Azhari, “Eksistensi Sistem Pesantren ...”, hlm. 62. 160 Pesantren Madinatunnajah merupakan lembaga belajar yang diikuti oleh santri dari berbagai daerah. Mereka berasal dari latar belakang profesi orang tua yang berbeda, kultur dan budaya yang berbeda dan lingkungan yang juga berbeda. Beberapa berasal dari kawasan pedesaan, dan yang lain berasal dari lingkungan urban. Mereka terlibat dalam hubungan yang menyenangkan, menjalani beragam kegiatan pesantren dengan tanpa meributkan identitas dari mana mereka berasal. Pengurus pesantren memperlakukan santri tanpa pandang bulu. Mereka mendapat perlakuan yang sama. Zamaksyari Dhofier membedakan dua jenis santri yang belajar di pesantren: 1. Santri mukim Santri mukim merupakan murid-murid pesantren yang berasal dari daerah yang jauh yang menetap dalam komplek pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren, biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang diberi tugas mengurusi kepentingan harian pesantren. Mereka juga bertugas memberikan pelajaran santri-santri muda dengan kitab-kitab dasar dan menengah. Dalam sebuah pesantren yang besar dan

Dokumen yang terkait

Strategi komunikasi Kh. M. Agus Abdul Ghofur dalam meningkatkan nilai akhlak pada masyarakat lingkungan pondok pesantren madinatunnajah Jombang Ciputat Tangerang Selatan

0 30 101

Manajemen Kurikulum Pondok Pesantren Madinatunnajah Jombang Tangerang Selatan

2 26 105

PERBANDINGAN PENERAPAN NILAI-NILAI AKHLAQ DAN ETIKA DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PONDOK PESANTREN Perbandingan Penerapan Nila-nilai Akhlaq dan Etika dalam Pendidikan Agama Islam di Pondok Pesantren Ta'mirul Islam Tahun Pelajaran 2014/2015.

0 4 27

PERBANDINGAN PENERAPAN NILAI-NILAI AKHLAQ DAN ETIKA DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PONDOK PESANTREN Perbandingan Penerapan Nila-nilai Akhlaq dan Etika dalam Pendidikan Agama Islam di Pondok Pesantren Ta'mirul Islam Tahun Pelajaran 2014/2015.

0 3 15

PENANAMAN NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI KMI PONDOK PESANTREN DARUSY SYAHADAH SIMO PENANAMAN NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI KMI PONDOK PESANTREN DARUSY SYAHADAH SIMO BOYOLALI TAHUN PELAJARAN 2015/2016.

0 3 20

PENANAMAN NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI KMI PONDOK PESANTREN DARUSY SYAHADAH PENANAMAN NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI KMI PONDOK PESANTREN DARUSY SYAHADAH SIMO BOYOLALI TAHUN PELAJARAN 2015/2016.

0 2 14

INTERNALISASI NILAI-NILAI IBADAH SYAUM DI PONDOK PESANTREN : Studi Kasus Kesalehan Sosial di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta.

0 1 48

NILAI NILAI DEMOKRASI DALAM ISLAM

0 0 10

NILAI NILAI DEMOKRASI DALAM ISLAM UNTUK (1)

0 0 13

nilai tradisi dan nilai demokrasi

1 1 12