Faktor-faktor yang mempengaruhi Aggressive Driving

batas kecepatan diatas 100 kmjam, mobil balap lain dan lewat di zona dilarang lewat. Sensation seeking dan agresivitas secara signifikan berkorelasi dengan remaja, memiliki skor lebih tinggi daripada orang dewasa dan remaja laki-laki memiliki skor lebih tinggi dari remaja perempuan. Studi ini menemukan tidak hanya hubungan antara trait agresivitas kecenderungan umum untuk menjadi agresif dan mengemudi ugal- ugalan, tetapi juga menemukan bahwa kondisi agresivitas yaitu berada dalam suasana hati yang marah pada waktu tertentu berhubungan dengan episode mengemudi dengan kecepatan tinggi. 5. Gaya hidup Penelitian mengenai faktor gaya hidup belum dapat diaplikasikan secara spesifik untuk perilaku aggressive driving. Menurut Tascca 2000 fokus gabungan antara kepribadian dan faktor sosial yang khas dari penelitian gaya hidup, akan menambah kemampuan untuk mengerti motivasi dari seseorang yang sering memunculkan perilaku aggressive driving seperti pengemudi agresif. Konsep gaya hidup mengarah kepada kelompok perilaku yang khas dilakukan oleh individu dengan berbagai kepribadian. Beirness dalam Tasca, 2000 melakukan peninjauan terhadap berbagai penelitian yang berhubungan dengan gaya hidup, performa mengemudi dan resiko tabrakan yang difokuskan pada pengemudi usia muda. Mereka memiliki gaya hidup seperti minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan terlarang, merokok dan kelelahan karena bersosialisasi sampai larut malam. Dimana gaya hidup tersebut menyerap pada semua aspek kehidupan mereka, termasuk saat mereka berkendara. 6. Sikap pengemudi driver attitude Pengemudi lebih mungkin untuk melakukan pelanggaran lalu lintas secara agresif jika mereka mengalami situasi lalu lintas yang menghambat laju kendaraan mereka atau ketika pengemudi lain menunjukkan permusuhan langsung terhadap mereka. Pengemudi yang berfikir memiliki keterampilan mengemudi yang tinggi, penanganan kendaraan lebih mungkin untuk mengalami kemarahan dalam situasi lalu lintas yang menimbulkan laju kendaraannya terhambat. Sebaliknya, pengemudi yang berfikir untuk memperoleh keselamatan lebih tinggi, mungkin akan sedikit terganggu oleh laju kendaraan lain yang terhambat atau permusuhan dari pengemudi lain. Ini adalah contoh dari pengemudi yang dilaporkan mengemudi lebih defensif misalnya menjaga jarak aman. Hal tersebut dapat diartikan bahwa orang yang memiliki keterampilan yang tinggi dalam menangani kendaraan lebih berpeluang untuk melakukan aggressive driving. Sedangkan orang yang memiliki keterampilan yang tinggi dalam hal keselamatan, kecil kemungkinan untuk melakukan aggressive driving, karena ia lebih mengutamakan keselamatan Tasca, 2000. 7. Faktor Lingkungan Shinar 1999 melaporkan hubungan yang kuat antara kondisi lingkungan dengan manifestasi pengemudi agresif. Pengemudi yang terbiasa dengan kemacetan lebih jarang merasakan emosi marah saat mengemudi. Lajunen dalam Tasca, 2000 menjelaskan kemacetan yang tidak diperkirakan dapat menimbulkan emosi marah pada pengemudi yang kemudian dapat meningkatkan kecenderungan pengemudi untuk melakukan aggressive driving. Ellison-Potter, dkk dalam Lin, 2009 meneliti tentang ciri-ciri agresifitas yang dimanipulasi oleh kemunculan kata-kata agresif atau kata- kata netral pada layar komputer di papan iklan atau tanda di gedung bangunan. Peneliti melihat bahwa perilaku aggressive driving lebih tinggi pada kelompok dengan kata-kata agresif dibandingkan dengan kelompok lain. Kemudian Sarwono 1995 menyatakan bahwa crowd situation kepadatan seringkali memberikan dampak pada manusia, salah satunya yaitu timbulnya perilaku agresif. 8. Impulsiveness Impulsiveness adalah faktor pribadi lain yang memberikan kontribusi untuk terlibat dalam perilaku mengemudi agresif. Impulsif adalah sebuah konsep yang mirip dengan sensation seeking, tetapi impulsif berhubungan dengan derajat seseorang kontrol atas pikiran dan perilaku Barratt, dalam Lin, 2009. Alasan bahwa impulsif dapat menyebabkan pengambilan risiko adalah bahwa individu mungkin hanya kekurangan pengendalian diri diperlukan untuk menahan diri dari terlibat di dalamnya. Karena sensation seeking dan impulsif yang terkait, beberapa peneliti percaya kedua konsep milik sebuah konstruksi tunggal, misalnya, Zuckerman dalam Lin, 2009. 9. Consideration of future consequences CFC Seseorang dengan CFC rendah, fokus pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka, dan kurang memperhatikan konsekuensi tertunda dari tindakan mereka. Seseorang dengan CFC tinggi menilai konsekuensi keterlambatan tindakan mereka sebagai lebih penting daripada konsekuensi langsung. Sejumlah studi empiris telah dikaitkan dengan berbagai perilaku CFC, seperti tanggung jawab fiskal Joireman, Sinta, Spangenberg, perilaku kesehatan Orbell, Perugini, Rakow; Sirois, kepedulian lingkungan Joireman, Van Lange, Van Vugt, kemarahan Joireman, dan agresi secara umum Joireman, dalam Lin, 2009. 10. Stress Tingkat stres yang tinggi selama mengemudi adalah salah satu faktor potensial yang dapat menyebabkan kemarahan dan aggressive driving. Hennessy dan Wiesenthal 2001 menemukan bahwa pengemudi dengan disposisi untuk melihat mengemudi seperti umumnya mengalami stres lebih mungkin untuk terlibat dalam mengemudi agresi daripada pengemudi yang menganggap mengemudi dalam keadaan kurang stres. Hal ini dapat disebabkan oleh persepsi atau penilaian situasi mengemudi. 11. Perilaku kognitif Bagaimana seseorang memproses informasi mereka di saat mengemudi juga dapat mempengaruhi manifestasi perilaku aggressive driving. Pelabelan merendahkan, pikiran untuk membalas dendam, pembalasan dendam, dan agresi yang ditemukan terkait dengan aggressive driving dan risky driving Lin, 2009. Studi lain terkait sikap positif terhadap melakukan pelanggaran dengan mengemudi ugal-ugalan dan kurang tanggap terhadap kampanye keselamatan lalu lintas . Selain itu, keyakinan tentang reaksi orang lain, diantisipasi penyesalan, dan rasa tanggung jawab pribadi secara signifikan berkorelasi dengan kemungkinan yang dilaporkan sendiri melakukan pelanggaran mengemudi dan aggressive driving Lin, 2009. 12. Agresi secara umum Sejumlah studi empiris telah menunjukkan bahwa agresi umum dikaitkan dengan mengemudi agresif yang dilaporkan sendiri, mengemudi ugal- ugalan, dan mengemudi yang melanggar lalu lintas. Namun, agresi umum tidak selalu berhubungan dengan mengemudi berisiko, dan beberapa pengemudi dengan tingginya tingkat kecelakaan kendaraan bermotor dan pelanggaran lalu lintas tidak memiliki tingkat agresi. Temuan ini menyiratkan bahwa agresi umum mungkin tidak perlu dan tidak cukup untuk berisiko dan aggressive driving dapat terjadi. Seperti halnya dengan impulsif, agresi dapat dimoderasi oleh variabel lain misalnya, sensation seeking untuk mempengaruhi perilaku mengemudi Lin, 2009. 13. Mengemudi dengan marah Deffenbacher, dkk dalam Lin, 2009 telah memberikan bukti untuk mendukung mereka model kondisi sifat mengemudi dengan marah: sifat umum kemarahan mengemudi memprediksi situasi tertentu kemarahan mengemudi dan aggressive driving. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa pengemudi yang agresif yang tinggi biasanya mengalami kemarahan secara umum. Serupa dengan konstruk agresi umum, kemarahan mengemudi tidak selalu memprediksi respon agresif, dan mengemudi dengan marah yang tinggi tidak selalu mengemudi lebih agresif pengemudi dengan kondisi marah yang rendah Ellison-Potter, dkk, dalam Lin, 2009. Selain itu, mengemudi dengan marah hanya sebagian kecil mempengaruhi hubungan antara aggressive driving dan karakteristik lainnya seperti agresi, impulsif, dan sensation seeking. Beberapa jenis mengemudi agresi tidak tampak berhubungan dengan mengemudi dengan marah Deffenbacher, dkk, dalam Lin 2009.

2.1.4 Pengukuran Aggressive Driving

Pengukuran terhadap aggressive driving telah dilakukan dengan berbagai metode. Menurut Tasca 2000 penelitian terhadap aggressive driving dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu: 1 survei driving public, berupa self report para responden, dan 2 eksperimen berskala kecil yang melibatkan sedikit sampel pengemudi, yang pada umumnya dirancang untuk memunculkan perilaku agresif dalam setting yang direncanakan. Pengukuran terhadap aggressive driving selanjutnya dilakukan oleh Houston, Harris, dan Norman 2003 yang mengembangkan alat ukur perilaku aggressive driving dengan nama Aggressive Driving Behavior Scale ADBS. Skala dibuat dengan cara melakukan self-report terhadap 200 orang responden berusia 18-24 tahun yang kemudian menghasilkan 11 item baru yang dikatakan sebagai aggressive driving. ADBS memiliki dua subskala yaitu perilaku konflik conflict behavior dan mengebut speeding. Selain itu, penelitian lain mengenai alat ukur aggressive driving dilakukan oleh Dula dalam Willemsen, Dula, Declerc, dan Verhaeghe, 2007 dengan nama Dula Dangereous Driving Index DDDI, penelitian dilakukan di Belgia dan USA. Subskala dari DDDI adalah Risky Driving mengemudi beresiko, Negative CognitiveEmotional Driving mengemudi dengan kognitifemosi negatif, dan aggressive driving mengemudi agresif. Dalam penelitian ini, penulis mengadaptasi dan modifikasi aggressive driving behavior scale ADBS oleh Houston, Harris, dan Norman 2003, dengan reliabilitas cronbach α sebesar 0.80, oleh karena itu menurut penulis lebih sesuai dan cocok sesuai karakteristik pengemudi sepeda motor untuk mengukur aggressive driving di Indonesia.

2.2 Self-Control

2.2.1 Definisi self-control

Averill 1973 mendefinisikan self-control sebagai kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri behavior control, kemampuan untuk mengolah informasi cognitive control, dan kemampuan untuk memilih suatu tindakan yang diyakininya decisional control. Calhoun dan Acocella 1990 mendefinisikan self-control sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Menurut teori low self- control oleh Gottfredson dan Hirschi dalam Grasmick, Tittle, Bursik, Arneklev, 1993, ada enam aspek penting, yaitu: individu dengan low self-control cenderung impulsif impulsive, lebih memilih tugas-tugas sederhana prefer simple tasks, memiliki potensi mencari resiko yang tinggi have a high risk- seeking potential, mendukung kegiatan fisik sebagai pengganti untuk kegiatan mental, menjadi egois self-centered, dan memiliki emosi temper yang berubah-ubah. Masing-masing karakteristik ini menyebabkan orang untuk fokus terhadap perbedaan pada manfaat langsung dari perilaku kriminal daripada konsekuensi yang lebih jauh terkait dengan tindakan mereka. Hurlock 2000 menyebutkan bahwa self-control berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Menurut konsep ilmiah, pengendalian emosi berarti mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial. Ada tiga kriteria emosi, yaitu dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial, dapat memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai degnan harapan masyarakat, dan dapat menilai secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan cara beraksi terhadap situasi tersebut. Dari beberapa pengertian yang telah dijelaskan oleh para ahli sebelumnya, peneliti memberikan kesimpulan self-control dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, mengolah informasi, memilih suatu tindakan, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi, dan orang dengan low self-control, memiliki perilaku yang cenderung impulsif, memilih tugas-tugas sederhana, memiliki potensi mencari resiko yang tinggi, mendukung kegiatan fisik, menjadi egois, dan memiliki emosi yang berubah-ubah.

2.2.2 Aspek-Aspek Self-Control

Averill 1973 mengemukakan aspek-aspek self-control, yaitu: 1. kontrol perilaku kontrol perilaku merupakan kesiapan terjadinya suatu respons yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu: a. mengatur pelaksanaan regulated administration, merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan. Apakah dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal.