Viabilitas Lactobacillus plantarum BSL dan L. acidophilus 2B4 Terenkapsulasi serta Mutu Yoghurt Tepung Pisang Sinbiotik selama Penyimpanan
VIABILITAS Lactobacillus plantarum BSL DAN L. acidophilus
2B4 TERENKAPSULASI SERTA MUTU YOGHURT TEPUNG
PISANG SINBIOTIK SELAMA PENYIMPANAN
RAUDHATUSSA’ADAH
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
(2)
(3)
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN
HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul viabilitas
Lactobacillus plantarum BSL dan L. acidophilus 2B4 terenkapsulasi serta mutu yoghurt tepung pisang sinbiotik selama penyimpanan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Raudhatussa’adah
(4)
(5)
RAUDHATUSSA’ADAH. Viabilitas Lactobacillus plantarum BSL dan L. acidophilus 2B4 Terenkapsulasi serta Mutu Yoghurt Tepung Pisang Sinbiotik selama Penyimpanan. Dibimbing oleh SRI LAKSMI SURYAATMADJA dan
WIDANINGRUM.
Yoghurt sinbiotik dibuat menggunakan TPUM (Tepung Pisang Uli Modifikasi) kaya pati resisten sebanyak 70% dan probiotik yang terenkapsulasi. Viabilitas probiotik terenkapsulasi pada yoghurt TPUM sinbiotik dianalisis selama 8 minggu penyimpanan dingin dan mutu sensori yoghurt (uji deskripsi kuantitatif dan hedonik) dievaluasi menggunakan 9 panelis terlatih. Dua jenis
probiotik (Lactobacillus plantarum BSL dan Lactobacillus acidophilus 2B4) baik
dengan enkapsulasi (alginat dan agar komersial) maupun tanpa enkapsulasi (kontrol) ditambahkan ke dalam yoghurt TPUM sinbiotik kemudian disimpan
dalam refrigerator(5-10 ºC). Viabilitas L. plantarum BSL dan L. acidophilus 2B4
baik yang dienkapsulasi maupun kontrol cenderung stabil (7 log CFU g-1) selama
8 minggu penyimpanan. Nilai pH yoghurt dengan probiotik L. plantarum BSL
selama penyimpanan relatif stabil (3.53-4.33), sedangkan L. acidophilus 2B4
mengalami penurunan yang nyata (0.05-0.12). Total asam tertirasi yoghurt umumnya berbanding terbalik terhadap nilai pH. Hasil evaluasi panelis menunjukkan yoghurt dengan enkapsulan alginat lebih disukai dibandingkan enkapsulan agar. Pada minggu ke-5, mutu sensori yoghurt baik dengan enkapsulasi maupun kontrol sudah mengalami perubahan yang nyata terutama pada atribut tekstur, aroma, dan rasa, tetapi masih dapat diterima oleh panelis.
Kata kunci: enkapsulasi, Lactobacillus acidophilus 2B4, Lactobacillus plantarum
BSL, tepung pisang Uli modifikasi, yoghurt sinbiotik
ABSTRACT
RAUDHATUSSA’ADAH. The Viability of Encapsulated Lactobacillus
plantarum BSL and L. acidophilus 2B4 and Quality of Synbiotic Banana Flour Yogurt during Storage. Supervised by SRI LAKSMI SURYAATMADJA and WIDANINGRUM.
Seventy percent of modified uli banana flour (MUBF) rich in resistant
starch and encapsulated probiotic had been used to produce synbiotic yoghurt. The viability of encapsulated probiotics of synbiotic MUBF (Modified Uli-Banana Flour) yogurt were analyzed during 8 wk of storage and the sensory quality of yogurt was evaluated (quantitative descriptive and hedonic tests) by 9
trained panelists. Two species of probiotics (L. plantarum BSL and L. acidophilus
2B4) either with encapsulation (alginat and commercial agar) or without encapsulation (control) were added to sinbiotic MUBF yogurt and storage in refrigerator (5-10 ºC). Viability of probiotics in yogurt either encapsulated or
control relatively stable (7 log CFU g-1) during 8 wk of storage. The pH of yogurt
(6)
(7)
general, total titratable acidity of yogurt showed inversely to the value of pH. The results of sensory evaluation by panelists showed that yogurt with alginate encapsulan was preferable to agar. Changes occurred on the sensory quality of synbiotic MUBF yogurt either with encapsulation or not were significantly different especially on the texture, aroma, and taste, but still accepted by the panelists at 5 wk of storage.
Keywords: encapsulation, Lactobacillus acidophilus 2B4, Lactobacillus
(8)
(9)
VIABILITAS Lactobacillus plantarum BSL DAN L. acidophilus
2B4 TERENKAPSULASI SERTA MUTU YOGHURT TEPUNG
PISANG SINBIOTIK SELAMA PENYIMPANAN
RAUDHATUSSA’ADAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
(10)
(11)
Terenkapsulasi serta Mutu Yoghurt Tepung Pisang Sinbiotik selama Penyimpanan
Nama : Raudhatussa’adah
NIM : F24080032
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Dr Ir Feri Kusnandar, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus: 3 April 2013
Prof Dr Ir Sri Laksmi Suryaatmadja, MS Pembimbing I
Widaningrum, STP, MSi Pembimbing II
(12)
(13)
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga pada akhirnya penyusunan skripsi sebagai tugas akhir ini
dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul “Viabilitas Lactobacillus plantarum
BSL dan L. acidophilus 2B4 Terenkapsulasi serta Mutu Yoghurt Tepung Pisang
Sinbiotik selama Penyimpanan” ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2012.
Penghargaan dan rasa terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof Dr Ir Sri Laksmi Suryaatmadja, MS dan Ibu Widaningrum, STP, MSi selaku pembimbing, Ibu Dr Suliantari, MSi selaku dosen tim proyek, serta Ir CC. Nurwitri, DAA selaku penguji yang telah memberikan arahan, masukan dan motivasi selama masa perkuliahan dan penelitian, hingga penyusunan tugas akhir. Terimakasih juga kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui kontrak KKP3T (Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi) yang telah mendanai penelitian ini.
Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Papah Wasiruddin Sihat dan Mamah Ridhwana, kakak-kakakku tercinta (Uni Imel dan Kak Rivai, Uda Azri dan Mba Endang, Uda Amrullah dan Uni Desi, serta Uda Midi), serta keponakanku tersayang (Alia, Ghatfan, Enzri, Vira, Adly, dan Fathan) yang tidak henti mendoakan dan memberikan dukungan baik materi maupun moral kepada penulis selama ini. Penulis juga berterimakasih kepada teman satu penelitian, Priska dan Dio, yang telah memotivasi dan membantu penulis dalam segala hal.
Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada para dosen, teknisi (Teh Nurul, Mbak Vera, Bu Rubiyah, Bu Sri, Bu Antin, Pak Gatot, Pak Wahid, Pak Rozak, Pak Yahya, Pak Sobirin, Mas Edi, Mbak Yane, Mbak Ari, Mas Yerris, dll) dan staf Departemen ITP (Bu Novi, Mbak Ani, Teh Mei, Mbak Darsih, Mbak Ratni, Mbak Tika, Pak Samsu, Bu Mar dll), teman ITP 45 (terutama teman-teman Lab. Mikrob (Lathifah, Bangun, Iin, Rista, Ardy, Ichal, Nisa, Tiur, Fathin, Ahmadun), Hilda, Atikah, Yufi, Hafiz, Gita, Harum, Iqbal, Euis, Ana, Mega dll), kakak-kakak ITP 44 (terutama Kak Yusuf dan Kak Kiki), adik-adik ITP 46, penghuni kos Harmoni, sahabat-sahabat terbaik (Leli, Wulan, Mutiara, Mutia, dan Teguh), serta segenap keluarga bimbingan belajar GENIX yang telah memberikan ilmu, motivasi, dan segala bantuannya yang sangat berharga.
Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu pangan.
Bogor, Mei 2013
(14)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Hipotesis Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tepung Pisang Uli Modifikasi (TPUM) 2.2 Prebiotik
2.3 Probiotik
2.3.1 L. plantarum BSL 2.3.2 L. acidophilus 2B4 2.4 Sinbiotik
2.5 Teknologi Enkapsulasi 2.5.1 Alginat
2.5.2 Agar 2.6 Yoghurt Sinbiotik 3 METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat 3.2 Prosedur Percobaan 3.2.1 Metode Enkapsulasi
3.2.1.1 Pembuatan Kultur Probiotik 3.2.1.2 Enkapsulasi Probiotik 3.2.2 Pembuatan TPUM
3.2.3 Pembuatan Yoghurt TPUM sinbiotik 3.3 Prosedur Analisis
3.3.1 Analisis Kimia 3.3.1.1 Kadar Air
3.3.1.2 Kadar Pati Resisten 3.3.1.3 Pengukuran pH 3.3.1.4 TAT
3.3.2 Analisis Viabilitas Probiotik 3.3.3 Evaluasi Sensori
3.3.3.1 Uji Deskripsi Kuantitatif 3.3.3.2 Uji Aroma Alkohol
3.3.3.3 Uji Rating Hedonik terhadap Enkapsulan 3.3.4 Analisis statistik
3.3.5 Rancangan Percobaan 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Kimia TPUM
4.2 Penentuan Konsentrasi Enkapsulan Agar dan Alginat 4.3 Jumlah Probiotik selama Proses Enkapsulasi
vii vii viii 1 1 3 3 3 3 4 4 5 5 6 6 7 8 9 10 10 10 11 11 12 12 15 17 17 17 17 18 18 19 19 19 20 20 21 21 22 22 23 25
(15)
4.4 Viabilitas Probiotik Terenkapsulasi dan Mutu Kimia Yoghurt TPUM Sinbiotik selama Penyimpanan Dingin 4.4.1 Viabilitas Probiotik
4.4.2 Nilai pH 4.4.3 Nilai TAT
4.4.4 Korelasi Variabel Pengamatan
4.5 Pengaruh Enkapsulasi dan Lama Penyimpanan terhadap Mutu Sensori Yoghurt TPUM Sinbiotik
4.5.1 Uji Deskripsi Kuantitatif 4.5.2 Uji Aroma Alkohol
4.5.3 Uji Rating Hedonik terhadap Enkapsulan
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
26 27 30 33 35 36 36 40 42 42 42 43 43 50 103
DAFTAR TABEL
4.1 Pengaruh konsentrasi agar terhadap sifat fisik (kualitatif)
manik-manik 23
4.2 Jumlah probiotik dalam enkapsulan agar dan alginat dengan
konsentrasi awal 4% dan 20% 25
4.3 Nilai pH dan TAT yoghurt TPUM sinbiotik selama penyimpanan 31
DAFTAR GAMBAR
2.1 Pisang uli mentah 3
2.2 Cara pembentukan manik-manik 7
2.3 Pengaruh kation Ca2+ terhadap struktur alginat 8
3.1 Diagram alir penelitian 11
3.2 Metode pembuatan TPUM dengan perlakuan fermentasi spontan dan
(16)
DAFTAR GAMBAR (LANJUTAN)
3.3 Tahapan pembuatan yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
terenkapsulasi 16
4.1 Yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik terenkapsulasi 26
4.2 Viabilitas probiotik yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. plantarum BSL selama penyimpanan 27
4.3 Viabilitas probiotik yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. acidophilus 2B4 selama penyimpanan 28
4.4 Mutu sensori yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. acidophilus 2B4 terenkapsulasi alginat, agar, dan tanpa
enkapsulasi 40
4.5 Uji aroma alkohol terhadap yoghurt TPUM sinbiotik 41
DAFTAR LAMPIRAN
1 Tabel kadar air TPUM 50
2 Tabel kadar pati resisten TPUM 50
3 Tabel ukuran diameter manik-manik 51
4 Tabel jumlah probiotik saat proses enkapsulasi 51
5 Tabel viabilitas L. plantarum BSL tanpa enkapsulasi pada yoghurt
TPUM sinbiotik selama penyimpanan 52
6 Tabel viabilitas L. plantarum BSL dengan enkapsulasi alginat pada
yoghurt TPUM sinbiotik selama penyimpanan 53
7 Tabel viabilitas L. plantarum BSL dengan enkapsulasi agar pada
yoghurt TPUM sinbiotik selama penyimpanan 54
8 Tabel viabilitas L. acidophilus 2B4 tanpa enkapsulasi pada yoghurt
TPUM sinbiotik selama penyimpanan 55
9 Tabel viabilitas L. acidophilus 2B4 dengan enkapsulasi alginat pada
yoghurt TPUM sinbiotik selama penyimpanan 56
10 Tabel viabilitas L. acidophilus 2B4 dengan enkapsulasi agar pada
yoghurt TPUM sinbiotik selama penyimpanan 57
11a Tabel analisis ragam (α= 0.05) viabilitas probiotik yoghurt TPUM
sinbiotik 58
11b Tabel uji lanjut Duncan (α= 0.05) viabilitas probiotik yoghurt
TPUM sinbiotik 58
12 Tabel nilai pH yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. plantarum BSL tanpa enkapsulasi selama penyimpanan 59
13 Tabel nilai pH yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. plantarum BSL dengan enkapsulasi alginat selama penyimpanan 60
14 Tabel nilai pH yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
(17)
DAFTAR LAMPIRAN (LANJUTAN)
15 Tabel nilai pH yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. acidophilus 2B4 tanpa enkapsulasi selama penyimpanan 62
16 Tabel nilai pH yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. acidophilus 2B4 dengan enkapsulasi alginat selama penyimpanan 63
17 Tabel nilai pH yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. acidophilus 2B4 dengan enkapsulasi agar selama penyimpanan 64
18a Tabel analisis ragam (α= 0.05) nilai pH yoghurt TPUM sinbiotik 65
18b Tabel uji lanjut Duncan (α= 0.05) nilai pH yoghurt TPUM sinbiotik 65
19a Tabel nilai TAT yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. plantarum BSL tanpa enkapsulasi selama penyimpanan 66
19b Tabel nilai TAT yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. plantarum BSL tanpa enkapsulasi selama penyimpanan (lanjutan) 67
20a Tabel nilai TAT yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. plantarum BSL dengan enkapsulasi alginat selama penyimpanan 68
20b Tabel nilai TAT yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. plantarum BSL dengan enkapsulasi alginat selama penyimpanan
(lanjutan) 69
21a Tabel nilai TAT yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. plantarum BSL dengan enkapsulasi agar selama penyimpanan 70
21b Tabel nilai TAT yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. plantarum BSL dengan enkapsulasi agar selama penyimpanan
(lanjutan) 71
22a Tabel nilai TAT yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. acidophilus 2B4 tanpa enkapsulasi selama penyimpanan 72
22b Tabel nilai TAT yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. acidophilus 2B4 tanpa enkapsulasi selama penyimpanan (lanjutan) 73
23a Tabel nilai TAT yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. acidophilus 2B4 dengan enkapsulasi alginat selama penyimpanan 74
23b Tabel nilai TAT yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. acidophilus 2B4 dengan enkapsulasi alginat selama penyimpanan
(lanjutan) 75
24a Tabel nilai TAT yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. acidophilus 2B4 dengan enkapsulasi agar selama penyimpanan 76
24b Tabel nilai TAT yoghurt TPUM sinbiotik dengan probiotik
L. acidophilus 2B4 dengan enkapsulasi agar selama penyimpanan
(lanjutan) 77
25a Tabel analisis ragam (α= 0.05) nilai TAT yoghurt TPUM sinbiotik 78
25b Tabel uji lanjut Duncan (α= 0.05) nilai TAT yoghurt TPUM
sinbiotik 78
26 Tabel analisis korelasi (α= 0.01) nilai pH dan TAT yoghurt TPUM
sinbiotik 79
27 Tabel analisis korelasi (α= 0.01) nilai pH dan viabilitas probiotik
yoghurt TPUM sinbiotik 79
28 Tabel analisis korelasi (α= 0.01) nilai TAT dan viabilitas probiotik
(18)
DAFTAR LAMPIRAN (LANJUTAN)
29 Hasil penilaian uji deskripsi kuantitatif pada atribut konsistensi
yoghurt TPUM sinbiotik 80
30 Tabel analisis ragam mutu sensori yoghurt TPUM sinbiotik dengan
atribut konsistensi 81
31 Hasil penilaian uji deskripsi kuantitatif pada atribut warna coklat
yoghurt TPUM sinbiotik 82
32a Tabel analisis ragam mutu sensori yoghurt TPUM sinbiotik dengan
atribut warna coklat 83
32b Tabel uji lanjut Duncan (α=0.05) mutu sensori yoghurt TPUM
sinbiotik dengan atribut warna coklat 83
33 Hasil penilaian uji deskripsi kuantitatif pada atribut tekstur yoghurt 84
34a Tabel analisis ragam mutu sensori yoghurt TPUM sinbiotik dengan
atribut tekstur 85
34b Tabel uji lanjut Duncan (α=0.05) jenis enkapsulan terhadap mutu
sensori yoghurt TPUM sinbiotik dengan atribut tekstur 85
34c Tabel uji lanjut Duncan (α=0.05) lama penyimpanan terhadap mutu
sensori yoghurt TPUM sinbiotik dengan atribut tekstur 85
35 Hasil penilaian uji deskripsi kuantitatif pada atribut aroma asam
yoghurt TPUM sinbiotik 86
36a Tabel analisis ragam mutu sensori yoghurt TPUM sinbiotik dengan
atribut aroma asam 87
36b uji lanjut Duncan (α=0.05) jenis enkapsulan terhadap mutu sensori
yoghurt TPUM sinbiotik dengan atribut aroma asam 87
37 Hasil penilaian uji deskripsi kuantitatif pada atribut rasa asam
yoghurt TPUM sinbiotik 88
38a Tabel analisis ragam mutu sensori yoghurt TPUM sinbiotik dengan
atribut rasa asam 89
38b Tabel uji lanjut Duncan (α=0.05) jenis enkapsulan terhadap mutu
sensori yoghurt TPUM sinbiotik dengan atribut rasa asam 89
38c Tabel uji lanjut Duncan (α=0.05) lama penyimpanan terhadap mutu
sensori yoghurt TPUM sinbiotik dengan atribut rasa asam 89
39 Uji aroma alkohol pada yoghurt TPUM sinbiotik berdasarkan uji
rating 90
40a Tabel analisis ragam uji penyimpangan aroma alkohol 91
40b Tabel uji lanjut Duncan (α=0.05) jenis enkapsulan terhadap aroma
alkohol 91
40c Tabel uji lanjut Duncan (α=0.05) lama penyimpanan terhadap aroma
alkohol 92
41a Kelayakan dan komentar terhadap yoghurt TPUM sinbiotik 93
41b Kelayakan dan komentar terhadap yoghurt TPUM sinbiotik (lanjutan) 94
41c Kelayakan dan komentar terhadap yoghurt TPUM sinbiotik (lanjutan) 95
42 Uji rating hedonik terhadap enkapsulan pada yoghurt TPUM
sinbiotik 96
43 Tabel analisis uji t-independen berdasarkan uji rating hedonik
(19)
DAFTAR LAMPIRAN (LANJUTAN)
44 Syarat mutu yoghurt 98
45 Scoresheet uji deskripsi kuantitatif 99
46 Scoresheet uji aroma alkohol 100
47 Scoresheet uji hedonik terhadap enkapsulan 100
48a Dokumentasi penelitian 101
(20)
(21)
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, tren konsumsi pangan masyarakat Indonesia telah mengalami perkembangan. Menurut Goldberg (1994), masyarakat menuntut suatu bahan pangan yang tidak hanya sekadar bergizi dan lezat, tetapi juga mempunyai khasiat menguntungkan bagi kesehatan, yang dikenal dengan istilah pangan fungsional. Produk pangan fungsional yang sedang berkembang saat ini mengarah pada produk prebiotik, probiotik, ataupun sinbiotik. Efektivitas produk sinbiotik sebagai pangan fungsional dipengaruhi oleh jenis dan jumlah probiotik, serta prebiotik yang digunakan (FAO 2007).
Yoghurt merupakan salah satu produk yang banyak dikembangkan sebagai
produk sinbiotik. Kultur starter yoghurt yaitu L. bulgaricus dan Streptococcus
thermophilus tidak mampu bertahan sampai usus besar sehingga perlu adanya penambahan probiotik, serta prebiotik untuk menghasilkan yoghurt sinbiotik. Bakteri yang digunakan sebagai probiotik pada yoghurt sinbiotik yang telah
diteliti, diantaranya L. acidophilus dan L. plantarum (Sunarlim dan Usmiati
2008).
Prebiotik merupakan sumber nutrisi bagi mikroflora yang menguntungkan dalam usus besar manusia. Pati resisten dan serat adalah nutrisi yang berpotensi sebagai prebiotik. Beberapa bahan pangan memiliki kandungan pati resisten, diantaranya pisang. Pati resisten yang secara alami terdapat dalam pisang adalah pati resisten tipe II, namun kandungannya masih rendah sekitar 1.51 g/100 g bk
(Saguilan et al. 2005) dan mudah hilang selama proses pengolahan sehingga perlu
dilakukan modifikasi. Modifikasi proses pembuatan tepung pisang kaya pati
resisten telah berhasil dikembangkan oleh Jenie et al. (2009) melalui proses
fermentasi irisan pisang dilanjutkan dengan pemanasan dalam otoklaf. Aplikasi
metode Jenie et al. (2009) tersebut menghasilkan TPUM dengan kandungan pati
resisten tipe III sebesar 9.19% (bk) dan serat kasar 17.27% (bk) (Vania 2010). Dengan demikian, TPUM berpotensi untuk berperan sebagai sumber prebiotik dalam pengembangan produk pangan fungsional.
Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang ditambahkan dalam jumlah yang cukup dan mempunyai pengaruh menguntungkan bagi kesehatan inangnya (FAO 2001). Selain itu, probiotik dapat memperbaiki keseimbangan mikroflora usus seperti bakteri asam laktat (BAL), sehingga meningkatkan kualitas kesehatan saluran pencernaan. BAL yang diisolasi dari produk pangan dan memiliki sifat
probiotik, diantaranya L. plantarum dan L. acidophilus.
Berdasarkan penelitian Kusumawati et al. (2003), L. plantarum sa28k
berhasil diisolasi dari pikel yang memiliki ketahanan terhadap garam empedu 5%
dan pH rendah (2.5) dalam lambung. Selain itu, menurut hasil uji secara in vitro,
L. plantarum BSL yang diisolasi dari sauerkraut mampu meningkatkan jumlah laktobasili dan juga menurunkan jumlah bakteri koliform dan stafilokoki pada feses tikus, serta secara nyata dapat menurunkan konsentrasi kolesterol serum
darah tikus. L. acidophilus 2B4 juga berperan sebagai probiotik dengan
(22)
mampu menurunkan jumlah Escherichia coli pada mukosa sekum tikus sebesar 1
log CFU cm-2 selama 3 minggu (Wijayanto 2009, Arief et al. 2010).
Jumlah probiotik diharapkan dapat stabil selama penyimpanan produk agar tetap memiliki manfaat saat dikonsumsi. Probiotik juga diharapkan tahan terhadap pH asam dalam lambung, enzim dan garam empedu dalam usus halus, sehingga
masih bermanfaat saat berada pada usus besar. Sultana et al. (2000) melaporkan
bahwa viabilitas probiotik dalam yoghurt mengalami penurunan sebesar 1 log
CFU ml-1 selama 8 minggu penyimpanan dingin. Selain itu, jumlah probiotik juga
menurun sebesar 1-5 log CFU ml-1 setelah melewati kondisi asam (pH 2.0) dan
konsentrasi garam empedu 2% sebagai simulasi kondisi lambung dan usus halus
pada saluran pencernaan (Sultana et al. 2000). US FDA merekomendasikan
jumlah minimum probiotik yaitu sebesar 106 CFU ml-1 (Bhadoria dan Mahapatra
2011). Oleh karena itu, perlu adanya teknologi untuk mengurangi faktor yang dapat mengganggu keberlangsungan hidup probiotik baik selama penyimpanan maupun dalam saluran pencernaan.
Enkapsulasi merupakan salah satu teknologi yang digunakan untuk melindungi probiotik dari pengaruh lingkungan yang merugikan dengan cara
menyalutnya dengan enkapsulan tertentu. Mandal et al. (2006) melaporkan bahwa
probiotik terenkapsulasi dalam manik-manik alginat lebih tahan panas (60 ºC), asam (pH 1.5), dan garam empedu 2% dibandingkan probiotik tanpa enkapsulasi.
Kemampuan bertahan probiotik terenkapsulasi (menurun 2 log CFU ml-1) dalam
yoghurt lebih baik dibandingkan probiotik tanpa enkapsulasi (menurun 4 log CFU
ml-1) selama 8 minggu penyimpanan dingin (Kailasapathy 2006). Dalam teknologi
enkapsulasi, setiap jenis enkapsulan memiliki karakter, ketahanan dan kompatibilitas terhadap sel yang berbeda.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa probiotik terenkapsulasi terutama dengan manik-manik alginat dalam yoghurt memiliki ketahanan hidup lebih baik dibandingkan probiotik tanpa enkapsulasi selama penyimpanan dingin
(Kailasapathy 2006; Krasaekoopt et al. 2006; Jayalalitha et al. 2011).
Manik-manik alginat bersifat kuat karena adanya hubungan saling silang dengan ion garam (kalsium). Selain itu, gel alginat juga bersifat biokompatibel dan murah
(Shoichet et al. 1996). Selain alginat, agar yang mengandung serat dan selulosa
dapat membentuk gel yang kompak. Gel tersebut dapat digunakan untuk memerangkap sel, namun penggunaannya belum luas seperti alginat (Nussinovitch 2010).
Hasil penelitian Jenie et al. (2011) menunjukkan bahwa jumlah probiotik
(Bifidobacterium bifidum dan L. plantarum BSL) tanpa enkapsulasi pada yoghurt TPUM sinbiotik selama 4 minggu penyimpanan dingin (10 °C) masih cukup
tinggi yaitu 8 log CFU ml-1. Oleh karena itu, perlu diupayakan untuk
memperpanjang ketahanan produk yoghurt TPUM sinbiotik dengan penambahan
L. plantarum BSL dan L. acidophilus 2B4 terenkapsulasi dalam alginat dan agar selama penyimpanan dingin dalam jangka waktu lebih dari 4 minggu.
(23)
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. menguji kemampuan jenis enkapsulan untuk mengenkapsulasi L. plantarum
BSL dan L. acidophilus 2B4, serta pengaruhnya terhadap mutu yoghurt
TPUM sinbiotik selama 8 minggu penyimpanan dingin
2. menguji viabilitas L. plantarum BSL dan L. acidophilus 2B4 baik
terenkapsulasi maupun tanpa enkapsulasi pada yoghurt TPUM sinbiotik selama 8 minggu penyimpanan dingin
3. mengevaluasi pengaruh lama penyimpanan terhadap mutu yoghurt TPUM
sinbiotik
1.3 Hipotesis Penelitian
Enkapsulasi merupakan teknologi yang dapat melindungi bahan inti (probiotik) dari kondisi yang tidak menguntungkan. Alginat dan agar berpotensi untuk membentuk gel dengan kekuatan yang cukup baik. Dengan demikian, teknologi enkapsulasi probiotik pada yoghurt TPUM sinbiotik baik dengan alginat maupun agar dapat mempertahankan viabilitas probiotik selama 8 minggu
penyimpanan dingin (5-10 ºC). Selain masih memiliki efek positif bagi kesehatan
inang, yoghurt ini juga masih diterima secara sensori oleh panelis.
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tepung Pisang Uli Modifikasi (TPUM)
Pisang uli adalah salah satu jenis pisang plantain yang banyak terdapat di
daerah Bogor. Jenis pisang ini memiliki karakteristik fisik dan kimia yang baik, ketersediaan tinggi, harga murah dan berpotensi sebagai bahan baku industri dalam bentuk tepung. Derajat kematangan pisang yang dapat diolah menjadi tepung adalah tua, belum matang, kulit berwarna hijau dan kira-kira berumur 90 hari setelah tanaman pisang berbunga seperti pada Gambar 2.1 (Widaningrum 2012).
(24)
Pisang plantain baik utuh maupun tepung memiliki kandungan pati dan serat yang relatif tinggi. Kandungan pati tersebut dapat dimodifikasi menjadi pati resisten sehingga berpotensi sebagai prebiotik yang dapat meningkatkan kesehatan saluran pencernaan (Nurhayati 2011). Modifikasi yang dilakukan yaitu fermentasi baik spontan maupun terkendali (menggunakan BAL) dengan atau tanpa kombinasi perlakuan pemanasan bertekanan (dalam otoklaf).
Berdasarkan penelitian Vania (2010), kadar pati resisten TPUM dengan pemanasan bertekanan (otoklaf) diperoleh sebesar 7.02% bk, sedangkan dengan kombinasi fermentasi dan otoklaf sebesar 9.19% bk. Kadar pati resisten ini lebih tinggi dibandingkan tepung pisang tanpa modifikasi yaitu sebesar 6.17% bk. Peningkatan kadar pati resisten ini diduga disebabkan adanya perubahan derajat polimerisasi amilosa dan linierisasi amilopektin dari pati tepung pisang. Hal ini diakibatkan oleh hidrolisis asam yang diproduksi BAL selama berlangsungnya proses fermentasi spontan 24 jam. Tepung pisang modifikasi dengan kadar RS tipe III yang tinggi berpotensi sebagai kandidat prebiotik karena dapat
meningkatkan pertumbuhan L. plantarum BSL, L. fermentum 2B4, dan L.
acidophilus sebesar 3 unit log pada media 2,5% tepung pisang modifikasi (Jenie
et al.2009).
2.2 Prebiotik
Prebiotik adalah makanan yang tidak dapat dicerna yang menguntungkan dengan merangsang secara selektif pertumbuhan aktifitas sejumlah bakteri dalam kolon sehingga meningkatkan kesehatan tubuh (FAO 2007). Bahan pangan sumber prebiotik yang sudah diproduksi secara komersial sampai saat ini adalah
dari golongan oligosakarida seperti fruktooligosakarida (FOS) dan
galaktooligosakarida (GOS), serta pati resisten. Kelebihan pati resisten dibandingkan FOS dan GOS diantaranya tidak menyebabkan sembelit, menurunkan indeks glikemik dan menurunkan kolesterol darah (Anggraini 2007). Bahan pangan yang diklasifikasikan sebagai prebiotik harus memenuhi syarat-syarat berikut, yaitu, 1) tidak dihidrolisis dan tidak diserap di bagian atas traktus gastrointestinal, 2) substrat yang selektif untuk satu atau sejumlah mikroflora komensal yang menguntungkan dalam kolon, jadi pemicu pertumbuhan bakteri yang aktif melakukan metabolisme, 3) mampu merubah mikroflora kolon menjadi komposisi yang menguntungkan kesehatan (Sudarmo
2003). Prebiotik dapat dimanfaatkan oleh probiotik seperti Lactobacillus dan
Bifidobacteria, sebaliknya tidak dapat dimanfaatkan oleh bakteri lainnya yang
hidup di usus terutama bakteri perusak atau patogen seperti E. coli dan
Bacteroides (Hamilton 2004).
2.3 Probiotik
Probiotik diklasifikasikan sebagai GRAS (Generally Recognized As Safe)
(25)
probiotik yang dikonsumsi berdasarkan International Dairy Federation (IDF)
adalah 107 CFU g-1 produk atau 109 sel/takaran saji (Manojlovic et al. 2010). US
FDA juga merekomendasikan jumlah minimum probiotik sebesar 106 CFU ml-1.
Probiotik umumnya terdiri dari golongan Lactobacillus dan Bifidobacterium.
Lactobacillus diklasifikasikan sebagai bakteri dominan dalam golongan BAL. BAL merupakan bakteri yang menghasilkan asam laktat sebagai produk akhir
fermentasi karbohidrat. Lactobacillus dan Bifidobacterium terdapat dalam saluran
pencernaan manusia secara normal dan memiliki ketahanan yang bervariasi terhadap garam empedu. BAL berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem mikroflora dalam usus. Hasil penelitian Harti (2009) menunjukkan
bahwa penambahan L. acidophilus mampu menghambat pertumbuhan bakteri
diaregenik E. coli.
2.3.1 L. plantarum BSL
L. plantarum merupakan salah satu BAL yang dapat ditemukan dalam
produk fermentasi sosis dan susu. L. plantarum diklasifikasikan dalam grup III
yaitu heterofermentatif fakultatif karena kemampuannya untuk memfermentasi berbagai macam karbohidrat. Menurut Fardiaz (1989), bakteri ini dapat tumbuh secara optimum pada suhu 30-37 °C. Pertumbuhan bakteri ini pun didukung oleh ketersediaan mineral mangan dalam lingkungannya. Mangan dijadikan sebagai pertahanan mikroba untuk menghadapi toksisitas oksigen dengan mereduksi oksigen radikal menjadi hidrogen peroksida (Molin 2006). Hidrogen peroksida dapat merusak susunan membran lipid dan meningkatkan permeabilitas membran
mikroba yang tidak diinginkan. Lucke (1985) menyatakan bahwa L. plantarum
merupakan penghasil hidrogen peroksida tertinggi dibanding BAL lainnya pada
medium pepton water 1%, sehingga dapat menghambat bakteri perusak atau
patogen.
L. plantarum memiliki toleransi tinggi terhadap kondisi yang sangat asam.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kusumawati et al. (2003) yang
menunjukkan bahwa L. plantarum BSL memiliki ketahanan terhadap kondisi
asam lambung (2.5) dan kandungan garam empedu yang tinggi (5%). Selain itu,
juga menunjukkan aktivitas penghambatan yang tinggi terhadap Bacillus cereus,
S. cereus dan E. coli dengan menurunkan jumlahnya pada feses tikus, serta mereduksi total kolesterol serum darah tikus sebesar 19.1 mg/dl. Spesies ini berperan dalam penghambatan inflamasi usus pada interleukin tikus percobaan (Jae et al. 2007).
2.3.2 L. acidophilus 2B4
L. acidophilus 2B4 merupakan salah satu jenis BAL yang berpotensi
sebagai probiotik. Hal ini ditunjukkan dengan sifat ketahanan L. acidophilus 2B4
pada pH rendah (2.0) dan garam empedu 0.3% (Wijayanto 2009). Arief et al.
(2010) melaporkan bahwa L. acidophilus 2B4 yang diisolasi dari daging sapi
menunjukkan kemampuan untuk menghambat populasi E. coli pada mukosa dan
isi sekum tikus dengan menurunkan total E. coli sebesar 1 log CFU cm-2.
Penghambatan ini terjadi karena adanya asam laktat sebagai hasil metabolik L.
(26)
L. acidophilus 2B4 pada tikus yang diinfeksi Enteropatogenik Escherichia coli
(EPEC) dapat mencegah terjadinya diare (Arief et al. 2010).
Penelitian yang dilakukan Astawan et al. (2011) juga menunjukkan bahwa
L. acidophilus 2B4 dapat mempertahankan jumlah eritrosit, nilai hematokrit, serta kadar hemoglobin tikus dalam jumlah normal. Selain itu, yoghurt sinbiotik yang
diberi L. acidophilus 2B4 sebagai probiotik juga menunjukkan mutu yang masih
baik selama 15 hari dalam kondisi penyimpanan pada suhu rendah (10 ºC) dengan
adanya efek antibakteri yang cukup tinggi untuk mencegah pertumbuhan EPEC (Septiawan 2011).
2.4 Sinbiotik
Sinbiotik merupakan kombinasi sinergis antara prebiotik dan probiotik. Efek kesinergisan ini bermanfaat bagi inang dengan meningkatkan daya tahan hidup probiotik dalam usus besar karena adanya prebiotik yang dapat difermentasi oleh probiotik. Jenis serta jumlah prebiotik dan probiotik mempengaruhi efektifitas produk sinbiotik dalam meningkatkan kualitas kesehatan manusia (FAO 2007).
Barlianto (2005) melaporkan bahwa sinbiotik berperan dalam peningkatan respon imun dalam tubuh dan resistensi kolonisasi mikroba probiotik dalam usus besar. Selain itu, produk sinbotik dapat mempersingkat lama diare terhadap anak yang mengalami intoleransi laktosa. Hal ini disebabkan adanya upaya pencegahan
kolonisasi dan pelekatan oleh EPEC dan bakteri enteroinvasif Salmonella
typhimurium, Yersinia, dantuberkulosis. Contoh produk sinbiotik yang telah ada di pasaran adalah yoghurt, keju, dan es krim. Yoghurt sinbiotik merupakan produk yang paling banyak dikembangkan dan diteliti.
2.5 Teknologi Enkapsulasi
Enkapsulasi adalah suatu teknologi yang digunakan untuk menyalut suatu
bahan inti dengan enkapsulan tertentu (Rizqiati et al. 2009). Teknologi ini
berperan dalam melindungi bahan inti dari lingkungan yang merugikan. Bakteri probiotik merupakan salah satu jenis komponen bioaktif yang sebaiknya dilindungi kehidupannya agar dapat dimanfaatkan oleh inangnya. Manfaat enkapsulasi bagi probiotik yaitu untuk mempertahankan viabilitas dan melindunginya dari kerusakan akibat kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan (Wu et al. 2000). Chavarri et al. (2010) melaporkan bahwa
enkapsulasi probiotik dalam alginat-kitosan dapat memperbaiki ketahanannya dalam kondisi saluran pencernaan.
Probiotik terenkapsulasi dalam produk pangan juga dapat memperpanjang umur simpan bakteri tersebut, sehingga umur produk pun lebih lama.
Vidhyalaskmi (2009) melaporkan bahwa ketahanan hidup L. acidophilus dan
Bifidobacterium sp. masing-masing meningkat hingga 15.9% dan 16.6%. Metode
(27)
adalah metode yang paling umum digunakan untuk enkapsulasi, namun biasanya produk yang dihasilkan kering dan biayanya pun mahal.
Probiotik dapat dienkapsulasi dalam matriks butiran-butiran yang
berukuran kecil yang dikenal dengan metode ekstrusi (Krasaekoopt et al. 2003).
Metode ekstrusi juga disebut dengan teknik manik-manik atau metode tetes. Pada metode ini, bahan inti (probiotik) dicampur dengan hidrokoloid lalu diekstrusi
dengan menggunakan atomizer, vibration nozzle atau syringe tanpa jarum. Proses
pembentukan manik-manik tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti terlihat pada Gambar 2.2. Metode ekstrusi lebih dikenal dibandingkan metode lainnya karena metodenya yang praktis, mudah dilakukan, alat-alatnya mudah
ditangani dan biaya murah untuk skala kecil (Manojlovic etal. 2010).
Gambar 2.2 Cara pembentukan manik-manik. (a) dengan pipet atau vibrating
nozzle, (b) Gel dijatuhkan ke dalam larutan CaCl2 0,05-1,5 M, (c)
dengan atomizing disk, (d) coaxial air-flow, dan (e) electrostatic
potential (Zuidam dan Shimoni 2010)
Bahan yang umum digunakan sebagai enkapsulan, diantaranya alginat, gum arab, pati, agar, gelatin, karagenan, albumin dan kasein. Masing-masing bahan tersebut memiliki karakter tertentu sehingga perlu adanya pertimbangan agar cocok bila digunakan untuk menyalut suatu bahan inti tertentu.
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai enkapsulasi bakteri probiotik dengan menggunakan enkapsulan tertentu, diantaranya
enkapsulasi Bifidobacteria dan Lactobacillus dalam alginat-pati (Sultana et al.
2000), L. casei dalam alginat-tepung polard dan terigu (Widodo et al. 2003), L.
acidophilus dan B. lactis dengan alginat (Kailasapathy 2006), L. acidophilus, L. helveticus, B. longum dan B. lactis dalam alginat, gelatin dan pati pada produk
yoghurt dengan metode ekstrusi dan emulsi (Jayalalitha et al. 2011) dan L.
plantarum dengan enkapsulan campuran susu skim dan gum arab (Rizqiati et al. 2009). Dalam hal ini, metode enkapsulasi juga dapat memperbaiki karakteristik
sensori produk akhir terutama atribut teksturnya (Mortazavian et al. 2007).
2.5.1 Alginat
Alginat merupakan salah satu jenis hidrokoloid yang dihasilkan dari
(28)
sp.). Alginat telah diaplikasikan secara luas pada produk pangan sebagai penyalut. Bentuk alginat terdiri dari dua yaitu asam alginat dan garam alginat. Asam alginat merupakan kopolimer liniar yang tersusun atas asam D-manuronat dan asam L-guluronat. Dalam suatu larutan, alginat mengadakan interaksi antara kopolimernya dengan kation divalen (garam) seperti kalsium, sehingga terbentuk gel kalsium alginat. Gel tersebut dipengaruhi oleh jumlah kation divalen yang
dapat berinteraksi dengan alginat (Nussinovitch 2010). Pengaruh kation Ca2+
terhadap struktur alginat dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Pengaruh kation Ca2+ terhadap struktur alginat (Lersch 2011)
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa metode ekstrusi dan/atau emulsi menggunakan enkapsulan alginat dapat meningkatkan ketahanan probiotik selama penyimpanan pada suhu rendah (Godward dan Kailasapathy 2003;
Krasaekoopt et al. 2006; Kailasapathy 2006; Purwandhani et al. 2007; Aqilah dan
Akhiar 2010; Jayalalitha et al. 2011). Ketahanan hidup bakteri probiotik
meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi alginat. Mandal et al. (2006)
mengemukakan bahwa L. acidophillus dapat lebih bertahan hidup saat konsentrasi
alginatnya ditingkatkan dari 2% menjadi 4%. Probiotik yang dienkapsulasi dengan alginat juga dapat bertahan pada kondisi asam dalam saluran pencernaan.
Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Chavarri et al. (2010) bahwa L. gasseri
dan B. bifidum dengan enkapsulasi alginat-kitosan dapat bertahan selama penyimpanan dingin dan pada kondisi simulasi saluran pencernaan (pH 2) dan konsentrasi larutan empedu (3%) selama 2 jam. Dengan demikian, probiotik masih dapat hidup dan berperan dalam melawan bakteri yang tidak diinginkan dalam usus besar.
2.5.2 Agar
Agar adalah komponen berupa gel yang diolah dari rumput laut atau alga.
Jenis rumput laut yang umumnya diolah menjadi agar di Indonesia yaitu Hypnea,
Gracilaria dan Gelidium (Indriany 2000). Apabila dilarutkan dalam air panas dan didinginkan, agar-agar akan bersifat seperti gelatin yaitu menjadi padatan lunak dengan banyak pori-pori di dalamnya sehingga bertekstur kenyal. Kekuatan gel tersebut bergantung pada perbandingan agarosa terhadap agarpektin. Menurut
Winarno (2008), Gel agar yang berasal dari Gracilaria bersifat lebih kokoh dan
kuat dibandingkan gel lainnya.
Faktor-faktor yang memengaruhi sifat gel agar yaitu suhu, konsentrasi agar, pH, kandungan gula dan ester sulfat (Ramadhan 2011). Gel agar bersifat
(29)
seiring meningkatnya konsentrasi agar, dan kandungan gula. Sementara itu, peningkatan keasaman dan kandungan ester sulfat akan menurunkan kekuatan gel. Bahan ini juga dapat digunakan sebagai penyalut dalam proses enkapsulasi namun penggunaannya belum terlalu luas. Hal ini disebabkan kekuatan gel agar
akan melemah apabila terdapat sel di dalam matrik gel tersebut (Shoichet et al.
1996). Aplikasi agar dalam metode enkapsulasi, diantaranya enkapsulasi sel Calf
adrenal chromaffin (CAC) dengan 2% agarosa (Shoichet et al. 1996), inulin
dengan 1.5% dan 3% agar Sigma-Aldrich (Dobre et al. 2008), vanilin dengan
diameter agar antara 2.5-7 mm (Chirilus et al. 2008), bakteri B. pumilis MTCC
2296 dengan agar-agar (Kumari et al. 2009), dan E. coli dengan 2% v/v agarosa
(Eun et al. 2011). Manik-manik agar memiliki kisaran diameter 2.5-7 mm.
Diameter yang besar memungkinkan difusi bahan ke luar gel pun lebih besar.
2.6 Yoghurt Sinbiotik
Yoghurt adalah produk pangan hasil fermentasi susu sapi dengan BAL
sebagai kultur starter yaitu L. bulgaricus dan S. thermophilus. Kedua mikroba ini
menghasilkan enzim yang dapat mengatasi intoleransi laktosa, namun tidak berpotensi sebagai probiotik karena tidak dapat bertahan dalam kondisi asam lambung dan garam empedu (Gilliland 1979).
Tahapan utama dalam proses pembuatan yoghurt meliputi homogenisasi, pasteurisasi, pendinginan, inokulasi dan inkubasi (fermentasi). Homogenisasi
dilakukan menggunakan homogenizer dengan kecepatan 2000-2500 psi. Proses ini
bertujuan untuk memecah globula-globula lemak menjadi kecil dan seragam, sehingga produk yang dihasilkan lebih stabil dan teksturnya pun halus. Pasteurisasi pada suhu 85 °C selama 30 menit dilakukan untuk menginaktifkan enzim dan membunuh mikroba patogen yang terdapat pada susu. Pada proses ini juga terjadi degradasi laktosa menjadi asam sehingga dapat menurunkan pH (Tamime dan Robinson 1999).
Setelah pasteurisasi selesai, dilakukan proses pendinginan sampai mencapai suhu 30-45 °C untuk menghindari terjadi kontaminasi. Suhu tersebut merupakan suhu optimal bagi pertumbuhan kultur starter yoghurt. Kultur starter diinokulasikan dengan perbandingan 1:1 sebesar 2% (v/v) untuk menghasilkan flavor dan tekstur optimum. Tahap selanjutnya yaitu fermentasi yang dilakukan sampai mencapai pH 4.4-4.5 pada suhu 30-45 °C sehingga terbentuk flavor asam yang khas akibat adanya pembentukan asam seperti asam laktat, asam asetat, asetaldehid, diasetil, dan lainnya selama proses tersebut (Tamime dan Robinson 1999). Selanjutnya, susu fermentasi yang telah menggumpal disimpan pada suhu 4-5 °C dengan tujuan untuk menghentikan proses fermentasi. Selama proses penyimpanan memungkinkan terjadinya kenaikan derajat keasaman, sehingga flavornya pun berubah. Yoghurt yang dihasilkan sebaiknya memenuhi persyaratan SNI (Lampiran 32).
Elisabeth (2003) mengemukakan bahwa yoghurt sinbiotik dengan kultur
campuran S. thermophilus, B. breve dan L. casei strain shirota memiliki viabilitas
BAL sekitar 109 CFU ml-1. Viabilitas ini akan menurun seiring dengan lamanya
(30)
secara sensori, yoghurt sinbiotik tersebut dapat bertahan hingga 2 minggu bila disimpan pada suhu refrigerasi, sedangkan hanya bertahan selama 2 hari bila disimpan di suhu ruang.
3
METODE PENELITIAN
3.1 Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan tepung pisang adalah pisang uli yang berasal dari daerah Bogor. Derajat kematangan pisang yang dipilih yaitu tua, belum matang, kulit berwarna hijau, dan kira-kira berumur 90 hari setelah tanaman pisang berbunga. Bahan utama yang digunakan untuk pembuatan yoghurt seperti TPUM, susu skim, glukosa, gula pasir, dan kultur
starter yaitu L. bulgaricus dan S. thermophilus yang diperoleh dari laboratorium
Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB. Probiotik
yang ditambahkan dalam yoghurt, diantaranya L. plantarum BSL (Laboratorium
Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB) dan L.
acidophilus 2B4 (Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Peternakan, IPB).
Bahan penyalut yang digunakan untuk menyalut probiotik yaitu alginat
komersial (food grade) dan agar komersial. Bahan kimia yang digunakan yaitu
kalsium karbonat (CaCO3), kalsium klorida (CaCl2), larutan fisiologis natrium
klorida (NaCl) 0,85%, indikator fenolftalein, bahan kimia lain untuk analisis.
Media yang digunakan untuk analisis mikrobiologi adalah de Man Rogosa and
Sharpe Agar (MRSA), de Man Rogosa and Sharpe Broth (MRSB), dan ekstrak khamir.
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan TPUM, proses enkapsulasi,
dan pembuatan yoghurt adalah pengering kabinet, otoklaf, refrigerator, disc mill,
vibrator screen, ayakan 100 mesh, syringe (tanpa jarum) ukuran 10 ml dan 20 ml,
cup plastik kecil ukuran 120 ml, heavy duty laboratory mixer emulsifier (Silverson
Machines model L4R), inkubator suhu 37 ºC, serta alat lainnya. Alat yang diperlukan untuk analisis mikrobiologi dan kimia meliputi mikropipet 100-1000
µ m, inkubator suhu 37 ºC dan 50 ºC, stomacher, pH meter, dan alat gelas lainnya.
3.2 Prosedur Percobaan
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap utama yaitu enkapsulasi
probiotik (L. plantarum BSL dan L. acidophilus 2B4) dengan alginat dan agar,
pembuatan TPUM, dan pembuatan yoghurt TPUM sinbiotik. Yoghurt TPUM sinbiotik tanpa enkapsulasi (kontrol) juga dipersiapkan dengan cara yang sama. Tahapan penelitian tersebut dilakukan sebanyak dua kali ulangan.
Produk yoghurt TPUM sinbiotik yang telah diberi perlakuan selanjutnya dianalisis. Analisis yang dilakukan yaitu analisis mikrobiologi, kimia, evaluasi sensori, dan statistik. Analisis mikrobiologi meliputi viabilitas probiotik,
(31)
sedangkan analisis kimia meliputi pengukuran derajat keasaman (pH) dan total asam tertitrasi (TAT) pada produk akhir (minggu ke-0) dan selama penyimpanan 2, 4, 5, 6, 7, 8 minggu. Selain itu, kadar air dan pati resisten TPUM juga diukur sebanyak dua kali ulangan. Evaluasi sensori terhadap produk meliputi uji
deskripsi kuantitatif, uji aroma alkohol, dan uji rating hedonik terhadap
enkapsulan. Uji deskripsi kuantitatif dan uji aroma alkohol dilakukan pada
minggu ke-0, 4, dan 5, sedangkan uji rating hedonik terhadap enkapsulan hanya
pada produk 0 minggu. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian
3.2.1 Metode Enkapsulasi
3.2.1.1 Pembuatan Kultur Probiotik(Modifikasi Hariyadi et al. 2001)
Pemeliharaan kultur probiotik dilakukan terlebih dahulu dengan menginokulasikannya sebanyak 1% (dari media MRSB) atau satu ose (dari media agar tegak MRSA) pada media MRSB steril. Selanjutnya, media MRSB tersebut diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 24 jam. Media MRSB yang telah ditumbuhi bakteri (ditandai dengan media menjadi keruh) diinokulasi sebanyak 1-2 ose dengan menggunakan ose lurus dan ditusukkan pada media agar tegak MRSA.
Mediatersebut diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 24 jam. Kultur probiotik telah
tumbuh dalam media agar tegak MRSA ditandai dengan kekeruhan yang Studi ketahanan probiotik pada yoghurt TPUM sinbiotik selama penyimpanan
dingin (0, 2, 4, 5, 6, 7, 8 minggu) meliputi analisis pH, total asam tertitrasi, viabilitas probiotik, dan evaluasi sensori pada minggu ke-0, 4, 5
Pembuatan TPUM
Pembuatan yoghurt TPUM 70%
Enkapsulasi probiotik Probiotik : L. plantarum BSL,
L. acidophilus 2B4 Enkapsulan : alginat, agar Kontrol : tanpa enkapsulasi Yoghurt TPUM
Yoghurt TPUM sinbiotik
Kontrol dan probiotik terenkapsulasi
(32)
terbentuk pada bekas tusukan ose. Media yang telah ditumbuhi bakteri kemudian disimpan dalam refrigerator. Kultur ini dapat bertahan selama 1-2 bulan.
Kultur probiotik L. plantarum BSL dan L. acidophilus 2B4 dalam media
agar tegak MRSA tersebut diinokulasi sebanyak 1-2 ose ke dalam 10 ml media MRSB steril. Media MRSB yang berisi kultur diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 24 jam lalu disimpan dalam refrigerator. Kultur ini disebut kultur induk.
Selanjutnya, kultur induk diambil sebanyak 5% untuk ditumbuhkan dalam larutan susu skim 10% steril dengan penambahan 3% glukosa. Kemudian kultur tersebut diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 24 jam dan kultur ini dinamakan kultur kerja. Kultur kerja ini dapat langsung diaplikasikan dalam pembuatan yoghurt.
3.2.1.2 Enkapsulasi Probiotik (Krasaekoopt et al. 2003)
Enkapsulasi masing-masing dilakukan menggunakan metode ekstrusi dengan dua enkapsulan yang berbeda yaitu alginat dan agar. Konsentrasi agar yang digunakan yaitu 1%, 1.5%, 2%, 2.5%, dan 3% (b/v), sedangkan konsentrasi alginat sebesar 3% (b/v). Penentuan konsentrasi agar yang terbaik berdasarkan
pada kemudahan pembuatan dan penampakan manik-manik secara visual. Syringe
yang digunakan untuk proses penetesan saat enkapsulasi agar berukuran 20 ml, sedangkan untuk enkapsulasi alginat berukuran 10 ml dan 20 ml. Enkapsulasi
dengan perlakuan berbagai konsentrasi dan ukuran syringe tersebut dilakukan
tanpa penambahan probiotik.
Proses enkapsulasi dengan penambahan probiotik dilakukan setelah
memperoleh konsentrasi enkapsulan dan ukuran syringe terbaik. Penambahan
kultur probiotik dilakukan sebanyak 4% dan 20% (v/v) untuk memperoleh konsentrasi probiotik terbaik. Kultur probiotik tersebut dimasukkan ke dalam suspensi alginat steril. Campuran tersebut diratakan hingga homogen, kemudian
dilakukan penetesan secara perlahan melalui syringe ke dalam wadah yang berisi
larutan CaCl2 0.1 M sehingga terbentuk manik-manik. Jarak tetes antara ujung
syringe dengan larutan CaCl2 yaitu 1 cm. Manik-manik tersebut didiamkan hingga
30 menit untuk menstabilkan gel. Setelah itu, manik-manik dibilas dengan larutan fisiologis NaCl 0.85% steril. Pembilasan ini dilakukan sebanyak dua kali. Selanjutnya, manik-manik dibilas kembali sebanyak satu kali dengan akuades steril, lalu ditiriskan dan disimpan dalam wadah steril pada suhu 5-10 °C.
Metode enkapsulasi dengan agar juga mengacu pada metode enkapsulasi dengan alginat secara ekstrusi. Namun, proses enkapsulasi dengan agar menggunakan akuades dingin steril sebagai media tetes untuk membentuk manik-manik. Pembilasan dengan larutan fisiologis NaCl tidak dilakukan dalam proses enkapsulasi ini. Setelah penstabilan dalam akuades dingin steril, manik-manik
hanya ditiriskan dan disimpan pada suhu 5-10 ºC.
3.2.2 Pembuatan TPUM
Pemilihan buah pisang uli dilakukan terlebih dahulu dengan derajat kematangan tertentu yaitu tua, belum matang, dan kulit berwarna hijau. Proses pembuatan tepung pisang uli modifikasi diawali dengan tahap pengupasan dan pengirisan buah pisang. Irisan pisang uli direndam dalam akuades steril dengan
(33)
perbandingan 3:4 (pisang:air) dalam erlenmeyer 1 liter, lalu difermentasi secara spontan pada suhu ruang selama 24 jam. Setelah itu, irisan pisang tersebut ditiriskan dan dipanaskan dalam otoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit kemudian didinginkan pada suhu 5-10 °C (dalam refrigerator) selama 24 jam. Irisan pisang yang telah dingin didiamkan dahulu pada suhu ruang sehingga terjadi pemisahan gumpalan pisang akibat suhu rendah. Lalu irisan pisang tersebut dikeringkan menggunakan pengering kabinet pada suhu 50-60 °C hingga kadar airnya mencapai 8-12% (bk). Selanjutnya, irisan pisang kering digiling
menggunakan disc mill lalu diayak menggunakan vibrator screen dengan ayakan
ukuran 100 mesh. Setelah pengayakan selesai, maka dihasilkan TPUM untuk kemudian diaplikasikan sebagai substitusi susu skim pada komposisi produk yoghurt sebanyak 70%. Tahapan pembuatan TPUM terdapat pada Gambar 3.2.
(34)
Gambar 3.2 Metode pembuatan TPUM dengan perlakuan fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf (Saputra 2012)
Pisang uli
Pengirisan (tebal 5-6 mm)
Irisan pisang uli
Fermentasi spontan dalam akuades steril (pisang:akuades = 3:4, suhu ruang, 24 jam)
Pemanasan bertekanan dengan otoklaf (suhu 121 °C, 15 menit)
Pendinginan (suhu 5-10 °C, 24 jam)
Pengeringan suhu 50-60 °C hingga ka ≤ 12% (±10 jam)
Penggilingan dengan disc mill
Pengayakan hingga 100 mesh
Tepung pisang Uli modifikasi Pembuangan air rendaman
Dibiarkan (suhu ruang, 30 menit) dan pemisahan gumpalan Pengupasan
(35)
3.2.3 Pembuatan Yoghurt TPUM Sinbiotik
Proses pembuatan yoghurt TPUM sinbiotik diawali dengan pembuatan
kultur starter yaitu L. bulgaricus dan S. thermophilus. Pembuatan kultur starter
mengacu pada pembuatan kultur probiotik yang telah dijelaskan sebelumnya. Selanjutnya, bahan baku yoghurt yang terdiri dari 10% susu skim dan TPUM dengan perbandingan 3:7, 5% gula pasir dan akuades steril dicampur dan diaduk dalam erlenmeyer 1 liter hingga merata. Campuran tersebut dihomogenisasi
menggunakan mixer emulsifier dengan skala 4 selama 15 menit. Campuran yang
sudah homogen dipasteurisasi pada suhu 90 ºC selama 30 menit, lalu didinginkan
hingga suhu 45 ºC. Campuran diinokulasi dengan 2% kultur starter dengan
perbandingan 1:1 pada suhu ± 45 ºC, kemudian difermentasi pada suhu 37 ºC selama 24 jam sehingga menghasilkan yoghurt TPUM.
Yoghurt TPUM dipasteurisasi pada suhu 90 ºC selama 30 menit dengan tujuan untuk menghilangkan kultur starter yoghurt (Saputra 2012). Lalu yoghurt tersebut didinginkan hingga suhu 45 ºC. Setelah itu, manik-manik probiotik dimasukkan ke dalam kemasan cup plastik ukuran 120 ml yang telah dipasteurisasi terlebih dahulu. Selanjutnya, yoghurt TPUM ditambahkan ke dalam masing-masing kemasan cup tersebut sehingga mennghasilkan yoghurt TPUM sinbiotik. Perbandingan jumlah manik-manik probiotik dengan volum yoghurt TPUM sebesar 1:3. Yoghurt TPUM sinbiotik tersebut disimpan pada suhu rendah (5-10 ºC). Proses pembuatan yoghurt TPUM sinbiotik secara skematis dapat dilihat pada Gambar 3.3.
(36)
Gambar 3.3 Tahapan pembuatan yoghurt TPUM sinbiotik dengan
probiotik terenkapsulasi (Jenie et al. 2011)
10% Susu skim dan TPUM (3:7)
Pencampuran dan pengadukan
Pendinginan (~ suhu 45 °C)
Inokulasi 2% kultur starter (1:1) Homogenisasi (skala 4, 15 menit)
5% Gula
pasir 100%
Akuades steril
Fermentasi (37 °C selama 24 jam)
Yoghurt TPUM
Penambahan manik-manik probiotik dalam yoghurt TPUM (1:3) pada kemasan cup plastik ukuran 120 ml
Yoghurt TPUM sinbiotik
Penyimpanan dingin (5-10 °C) Pasteurisasi (90 °C selama 30 menit) Pasteurisasi (90 °C selama 30 menit)
(37)
3.3 Prosedur Analisis 3.3.1 Analisis Kimia
Analisis kimia yang dilakukan pada penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu analisis kimia pada TPUM dan yoghurt TPUM sinbiotik. Analisis kimia yang dilakukan pada TPUM meliputi kadar air dan kadar pati resisten. Analisis kimia dilakukan pada yoghurt TPUM sinbiotik meliputi pengukuran pH dan TAT.
3.3.1.1 Kadar Air (AOAC 1999)
Pengukuran kadar air menggunakan metode oven. Cawan alumunium kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel TPUM sebanyak 1-2 gram ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah dikeringkan. Cawan yang berisi sampel
tersebut dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105 ºC selama semalam (± 16
jam). Setelah itu, cawan dipindahkan ke dalam desikator, didinginkan dan ditimbang kembali. Pengukuran kadar air dilakukan duplo pada setiap ulangan TPUM. Kadar air sampel dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Kadar air (% bb) = x 100%
Kadar air (% bk) = W3
W2 x 100%
Keterangan:
W1= bobot sampel sebelum dikeringkan
W2= bobot sampel setelah dikeringkan (g)
W3= W1 - W2 (g)
3.3.1.2 Kadar Pati Resisten (AOAC 1995)
Persiapan sampel TPUM bebas lemak dan gula sederhana dilakukan terlebih dahulu. Sampel TPUM sebanyak 3 gram ditimbang lalu dicuci dengan ± 30 ml etanol 80% dengan cara maserasi pada suhu ruang selama 15 menit untuk menghilangkan gula sederhana. Suspensi sampel tersebut disaring dengan kertas saring kemudian residunya dicuci dengan akuades hingga volume filtrat mencapai 250 ml. Selanjutnya, residu tersebut dicuci lagi sebanyak 5 kali dengan 10 ml eter untuk menghilangkan lemak. Setelah itu, residu sampel yang telah dicuci dibiarkan agar eter dalam residu menguap, lalu dicuci lagi dengan 150 ml alkohol 10% untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat yang terlarut. Residu pada kertas saring kemudian dikeringkan dengan menggunakan cahaya matahari selama 3-4 jam. Sampel TPUM bebas lemak dan gula sederhana ini dapat kemudian digunakan dalam analisis kadar pati resisten.
Pengukuran kadar pati resisten metode enzimatik-gravimetri ini diawali dengan menimbang sampel yang sudah bebas lemak sebanyak 0.5 gram. Sampel
tersebut ditambah dengan buffer fosfat sebanyak 25 ml dan thermamyl sebanyak
50 µl. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu 95 °C selama 15 menit dengan dilakukan pengadukan setiap 5 menit sekali. Setelah itu, didinginkan sampai
(38)
campuran mencapai suhu ruang (± 25 °C), kemudian ditambahkan NaOH 0.275 N sebanyak 5 ml dan enzim protease sebanyak 0.05 ml. Campuran selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu 60 °C selama 15 menit, lalu ditambahkan HCl 0.325 N sebanyak 5 ml dan amiloglukosidase (AMG) sebanyak 0.15 ml. Campuran kemudian diinkubasi kembali pada suhu 60 °C selama 30 menit. Setelah itu, campuran tersebut disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit.
Sementara sentrifus berlangsung, persiapkan dua kertas saring
whatman-bucher no. 42 untuk diberi perlakuan berbeda. Kertas saring 1 ditimbang lalu dimasukkan dalam oven untuk mengetahui kadar airnya sebagai faktor koreksi. Sedangkan, kertas saring 2 ditimbang lalu diletakkan dalam penyaring pada pompa vakum yang digunakan untuk menyaring hasil sentrifus tersebut. Setelah itu, cuci residu dengan menggunakan 2 kali 10 ml aseton, 2 kali 10 ml etanol 95% dan 2 kali 10 ml air. Kemudian, kertas saring 2 tersebut dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama semalam. Keesokan harinya, timbang kembali kertas saring 1 (W1) dan kertas saring 2 yang berisi pati resisten (W2). Sementara itu, dua cawan porselen disiapkan dan ditimbang untuk wadah kertas saring dalam tanur. Kedua kertas saring tersebut dipindahkan ke dalam cawan porselen yang
telah ditimbang lalu dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 500 ºC dan
didiamkan selama semalam. Kedua cawan porselen yang berisi abu ditimbang kembali untuk menentukan kadar abu sebagai faktor koreksi. Kadar pati resisten dapat diperoleh melalui perhitungan berikut:
Kadar pati resisten (%) = [W2 -W1 – kadar abu residu] (g) x 100%
[bobot sampel] (g)
3.3.1.3 Pengukuran pH (AOAC 1999)
Kalibrasi pH meter harus dilakukan terlebih dahulu, sebelum dilakukan pengukuran pH sampel. Kalibrasi dilakukan menggunakan buffer fosfat pH 4 dan pH 7. Sampel yang memiliki kepekatan tinggi perlu diencerkan terlebih dahulu, sedangkan sampel encer dan semi solid seperti yoghurt TPUM sinbiotik dapat diukur langsung pH-nya. Sampel yoghurt TPUM yang diukur pH-nya sebanyak ± 50 ml. Pengukuran tersebut dilakukan secara duplo.
3.3.1.4 TAT (Modifikasi AOAC 1999)
Pengukuran total asam tertitrasi dilakukan dengan prinsip titrasi asam basa. Sebanyak 10 gram sampel yoghurt TPUM sinbiotik ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditepatkan sampai tanda tera. Setelah itu, sampel tersebut disaring menggunakan kertas saring. Selanjutnya, sebanyak 25 ml filtrat dari sampel tersebut dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalein 1%. Selanjutnya, sampel dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N yang telah distandarisasi dengan larutan kalium hidrogen ftalat (KHP) hingga terbentuk warna merah muda. Tepat saat warna merah muda terbentuk, titrasi dihentikan. Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam laktat. Total asam dapat diperoleh melalui perhitungan berikut.
(39)
% asam laktat = V NaOH x N NaOH x FP x BM asam laktat x 100% Bobot sampel x 1000
Keterangan: BM asam laktat = 90,08
3.3.2 Analisis Viabilitas Probiotik (ISO 2003)
Analisis viabilitas probiotik dilakukan pada kultur probiotik, manik-manik probiotik, dan yoghurt TPUM sinbiotik. Analisis ini menggunakan metode tuang atau pemupukan. Media spesifik yang digunakan yaitu MRSA. Kultur probiotik yang belum dienkapsulasi sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam 9 ml larutan
buffer fosfat pH 6.8 sehingga menjadi pengenceran 10-1 lalu dilakukan
pengenceran kembali hingga 10-8. Sementara itu, sampel manik-manik probiotik
dan yoghurt TPUM sinbiotik yang telah dihancurkan terlebih dahulu dalam
stomacher ditimbang sebanyak 10 gram dan dimasukkan ke dalam 90 ml larutan
buffer fosfat pH 6.8 sehingga menjadi pengenceran 10-1 lalu dilakukan
pengenceran kembali hingga 10-6 atau 10-7. Pemupukan dilakukan secara duplo
pada tiga pengenceran terakhir menggunakan media MRSA dalam cawan petri.
Pada sampel yoghurt minggu ke-0 dan 2 digunakan pengenceran 10-5, 10-6, dan
10-7, sedangkan penyimpanan minggu selanjutnya sampai minggu ke-8 digunakan
pengenceran 10-4, 10-5, dan 10-6. Cawan petri tersebut diinkubasi pada suhu 37 °C
selama 48-72 jam. Setelah 48-72 jam, koloni yang tumbuh pada media dihitung
berdasarkan perhitungan dengan metode BAM (2001) dalam satuan CFU ml-1.
Koloni yang dihitung berada dalam kisaran 15–300 koloni (ISO 2003). Jumlah koloni dicatat dan dihitung dengan rumusan sebagai berikut:
= ∑
( 1 + 0.1 2)
Keterangan:
N : Jumlah koloni (CFU) per ml atau gram sampel
Σ C : Total seluruh koloni pada cawan yang dapat dihitung
n1 : Jumlah cawan dari pengenceran pertama yang dihitung
n2 : Jumlah cawan dari pengenceran kedua yang dihitung
d : Nilai pengenceran dari penghitungan pertama yang digunakan
3.3.3 Evaluasi Sensori
3.3.3.1 Uji Deskripsi Kuantitatif (Setyaningsih et al. 2010)
Uji deskripsi kuantitatif didasarkan pada kemampuan panelis dalam mengekspresikan persepsi produk dengan kata-kata menggunakan cara yang terpercaya. Uji ini cocok digunakan untuk mengetahui kualitas produk pada pengujian umur simpan (Mason and Nottingham 2002). Panelis yang digunakan adalah panelis terlatih sebanyak 9 orang yang telah mengikuti tahap seleksi
panelis, meliputi uji pencocokan, uji pembedaan, dan uji rangking/rating
(Meilgaard 1999). Kemudian, panelis terlatih mengikuti focus grup discussion
(FGD) untuk pengenalan atribut sensori yoghurt TPUM sinbiotik dan menyamakan persepsi antarpanelis.
(40)
Kontrol pada uji ini adalah sampel yoghurt TPUM sinbiotik yang belum mengalami penyimpanan (minggu ke-0). Parameter yang diuji antara lain konsistensi, warna coklat, tekstur, aroma asam dan rasa asam. Penentuan nilai yang tepat bagi kontrol juga dilakukan melalui FGD menggunakan skala garis
pada scoresheet (Lampiran 32). Selanjutnya, panelis diminta untuk memberi
tanggapan terhadap enam sampel yoghurt TPUM sinbiotik yang berbeda berupa skala garis yang dibandingkan dengan garis kontrol. Pada saat menyajikan sampel, kontrol harus diberi label “kontrol” agar dapat diidentifikasi oleh panelis, sedangkan sampel lainnya diberi label dengan 3 digit kode acak.
Evaluasi mutu sensori dengan uji deskripsi kuantitatif dilakukan pada produk yoghurt TPUM sinbiotik berumur 0, 4, dan 5 minggu. Panelis menuliskan hasil penilaian sensori terhadap sampel pada lembaran nilai yang dapat dilihat
pada Lampiran 1. Data hasil uji tersebut ditampilkan dalam spider web. Selain itu,
data yang diperoleh juga diolah menggunakan Analysis of Variance (ANOVA).
Jika hasil uji menggunakan ANOVA menyatakan bahwa terdapat signifikansi perbedaan pada taraf 0.05, maka uji tersebut dilanjutkan dengan uji Duncan. Data-data tersebut dievaluasi dengan menggunakan SPSS 21.0.
3.3.3.2 Uji Aroma Alkohol (Mason dan Nottingham 2002)
Uji aroma alkohol terhadap yoghurt TPUM sinbiotik dilakukan
berdasarkan prosedur uji rating. Pada uji ini panelis mengevaluasi 3 sampel dan
mengidentifikasi kemunculan aroma alkohol yang terjadi pada masing-masing sampel tanpa dibandingkan antarsampel. Panelis yang digunakan yaitu panelis terlatih sejumlah 9 orang. Panelis ini sama dengan panelis yang digunakan pada uji deskripsi kuantitatif.
Panelis mengidentifikasi kemunculan aroma alkohol tersebut dengan cara
memberi nilai terhadap masing-masing sampel pada scoresheet uji rating
(Lampiran 33). Skala yang digunakan 1-7 yang berarti nilai 1 untuk tidak adanya aroma alkohol, nilai 4 untuk sampel yang beraroma alkohol, dan nilai 7 untuk sampel yang sangat beraroma alkohol. Skala diantaranya menyesuaikan berdasarkan tingkat kekuatan aroma alkohol yang dapat dideteksi. Data hasil uji
yang diperoleh diolah dengan menggunakan analysis of variance (ANOVA). Jika
hasil uji menggunakan ANOVA menyatakan bahwa terdapat signifikansi perbedaan pada taraf 0.05, maka uji tersebut dilanjutkan dengan uji Duncan. Data-data tersebut dievaluasi dengan menggunakan SPSS 21.0.
3.3.3.3 Uji Rating Hedonik terhadap Enkapsulan (Mason dan Nottingham 2002)
Uji rating hedonik ini digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kesukaan panelis terhadap keberadaan enkapsulan pada produk yoghurt TPUM sinbiotik tanpa membandingkan antarsampel. Sampel yoghurt yang diuji adalah sampel yang berumur 0 minggu. Panelis yang digunakan adalah panelis terlatih sebanyak 9 orang. Panelis ini sama dengan panelis yang digunakan pada uji deskripsi kuantitatif. Skala kategori pada uji terdiri dari 7 skala. Skala 1 menunjukkan sangat tidak suka, sedangkan skala 7 menunjukkan sangat suka (Lampiran 34).
(41)
Data hasil uji yang diperoleh diolah dengan uji t independen. Data-data tersebut dievaluasi dengan menggunakan SPSS 21.0.
3.3.4 Analisis Statistik
Proses pengolahan data secara statistik dilakukan dengan bantuan program
Microsoft Excel 2007dan program SPSS 21.0. Data hasil analisis pengukuran pH, TAT, viabilitas probiotik, serta analisis sensori dengan uji deskriptif kuantitatif dan uji aroma alkohol diolah menggunakan program SPSS 21.0 dengan analisis
ragam yang disebut ANOVA (Analysis of Variance) mode analisis General
Linear Model Univariate pada taraf nyata 5%. Jika terdapat perbedaan yang nyata maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf nyata 5%. Data hasil uji
rating hedonik terhadap enkapsulan diolah menggunakan program SPSS 21.0
dengan mode analisis uji t independenpada taraf nyata 5%.
3.3.5 Rancangan Percobaan
Yoghurt TPUM sinbiotik dengan enkapsulan terbaik selama penyimpanan dingin ditentukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap faktorial dengan tiga faktor perlakuan yaitu penggunaan jenis probiotik (P), jenis enkapsulan (E), dan lama penyimpanan produk (T). Masing-masing faktor memiliki beberapa taraf sebagai perlakuan. Setiap perlakuan tersebut dilakukan sebanyak dua kali ulangan.
Faktor jenis probiotik terdiri dari 2 taraf yaitu L. plantarum BSL (P1) dan
L. acidophilus 2B4 (P2). Faktor jenis enkapsulan terdiri dari 3 taraf yaitu tanpa enkapsulasi (E1), alginat (E2), dan agar (E3). Sementara itu, faktor lama penyimpanan terdiri dari tujuh taraf yaitu 0 minggu (T0), 2 minggu (T1), 4 minggu (T2), 5 minggu (T3), 6 minggu (T4), 7 minggu (T5), dan 8 minggu (T6). Model linear rancangan acak kelompok lengkap faktorial yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yijkl= μ+ αi+ βj+ γk+(αβ)ij+ (αγ)ik+ (βγ)jk+ (αβγ)ijk+ κl + εijkl
Keterangan :
Yijk = nilai pengamatan pada perlakuan enkapsulasi probiotik, jenis probiotik,
dan lama penyimpanan yang digunakan.
µ = nilai rataan umum
αi = pengaruh perlakuan jenis probiotik taraf ke-j
βj = pengaruh perlakuan jenis enkapsulan taraf ke-i
γk = pengaruh perlakuan lama penyimpanan taraf ke-k
αβij = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor P dan taraf ke-j faktor E
αγik = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor P dan taraf ke-k faktor T
βγjk = pengaruh interaksi taraf ke-j faktor E dan taraf ke-k faktor T
(αβγ)ijk= pengaruh interaksi taraf ke-i faktor P, taraf ke-j faktor E dan taraf ke-k
faktor T
έijk = galat (error)
i = jenis enkapsulan
(42)
k = lama penyimpanan yoghurt
l = ulangan I dan ulangan II
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Kimia TPUM
Jenis pisang uli yang dijadikan sebagai bahan baku pembuatan tepung pisang yaitu pisang yang sudah tua tetapi belum matang, kulitnya berwarna hijau, dan diperkirakan berumur 90 hari setelah tanaman pisang panen (Widaningrum 2012). Pada tingkat kematangan ini, pembentukan pati mencapai maksimum dan sebagian besar kandungan tanin terurai menjadi ester aromatik dan fenol, sehingga dihasilkan rasa asam dan manis yang seimbang (Crowther 1979). TPUM ini dihasilkan dengan dua perlakuan utama yaitu fermentasi dan pemanasan otoklaf. Analisis kadar air dan kadar pati resisten TPUM dianalisis dalam penelitian ini. Kedua analisis tersebut dapat menunjukkan karakteristik kimia TPUM.
Berdasarkan hasil pengukuran, kadar air TPUM yang digunakan untuk bahan baku penelitian ini sebesar 9.44% (bk). Nilai ini memenuhi syarat SNI 01-3841-1995 yang menyatakan bahwa tepung pisang yang diperoleh dari penepungan pisang sudah tua dan tidak matang melalui proses pengeringan disyaratkan memiliki kadar air maksimum sebesar 12% (bk). Kadar pati resisten TPUM diperoleh sebesar 14.50% (bk). Kadar pati resisten ini hampir sama dengan kadar pati resisten yang dihasilkan pada penelitian Saputra (2012) sebesar 14.82% (bk) dengan menggunakan metode yang sama yaitu mengacu pada metode
pembuatan tepung pisang (Jenie et al. 2009). Penampakan TPUM kaya pati
resisten yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 48a.
Pisang dalam keadaan belum matang secara alami memiliki kadar pati
resisten tipe II dan daya cerna yang rendah (Ashraf et al. 2012). Akibat
pengolahan saat proses pembuatan tepung pisang yang meliputi pemanasan dan pendinginan, jenis pati resisten tersebut berubah menjadi tipe III. Pemanasan otoklaf dapat menyebabkan granula pati rusak sehingga terjadi pelepasan amilosa dari granula ke dalam larutan yang disebut gelatinisasi. Pada saat pendinginan,
rantai polimer terpisah sebagai ikatan ganda (double helix) dan mengalami
pembentukan kembali ke struktur awal secara perlahan yang distabilkan oleh
ikatan hidrogen yang dikenal dengan retrogradasi (Sajilata et al. 2006).
Pembentukan pati resisten tipe III dipilih karena jenis pati ini dapat mempertahankan karakteristik organoleptik suatu makanan ketika ditambahkan
pada makanan (Lehmann et al. 2002).
Pati resisten yang dihasilkan dari tepung pisang modifikasi telah terbukti memenuhi beberapa persyaratan sebagai kandidat prebiotik dan memiliki indeks prebiotik yang lebih baik daripada pati resisten tepung pisang tanpa modifikasi (Nurhayati 2011). Hal ini juga berlaku pada potensi TPUM yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Widaningrum (2012) bahwa isolasi pati resisten TPUM yang
difermentasi secara spontan mampu meningkatkan pertumbuhan probiotik (L.
(43)
inkubasi 24 jam. TPUM memiliki komposisi sebagai berikut kadar karbohidrat (92.41%), total pati (60.57%), total serat pangan (18.38%), serat tidak larut (10.05%), serat larut (7.43%), pati resisten (9.19%), air (10.14%), abu (2.12%), protein (5.27%), dan lemak (0.21%) (Vania 2010). Beberapa penelitian telah mengaplikasikan TPUM sebagai prebiotik dalam pembuatan produk pangan, diantaranya kukis (Rosephin 2010), brownies kukus (Vania 2010), dan yoghurt sinbiotik (Saputra 2012; Widaningrum 2012). Viabilitas probiotik pada yoghurt sinbiotik dapat stabil hingga penyimpanan 4 minggu diduga salah satu alasannya yaitu karena mengandung pati resisten dari TPUM.
4.2 Penentuan Konsentrasi Enkapsulan Agar dan Alginat
Pada penelitian ini dilakukan proses enkapsulasi dengan menggunakan enkapsulan agar dalam berbagai konsentrasi, mulai dari 1%, 1.5%, 2%, 2.5%,
hingga 3% (b/v). Proses enkapsulasi dilakukan dengan menggunakan syringe
(tanpa jarum) berukuran 20 ml. Pengaruh konsentrasi agar terhadap sifat fisik (kualitatif) manik-manik dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Pengaruh konsentrasi agar terhadap sifat fisik (kualitatif) manik-manik Konsentrasi
Agar (%)
Sifat fisik Kemudahan
pembentukan Bentuk Keseragaman Tekstur
1 Sulita Bulat Tidak seragam Sangat rapuh
1.5 Sulit Bulat Tidak seragam Rapuh, agak
lembut
2 Sulit Bergerigi Tidak seragam Rapuh
2.5 Mudahb Agak
bergerigi
Agak seragam Rapuh
3 Mudah Bulat Agak seragam Agak rapuh,
permukaan halus
a
Manik-manik mudah hancur pada proses penetesan ke dalam air dingin
Berdasarkan hasil penilaian tersebut, manik-manik dengan konsentrasi suspensi agar 3% (b/v) (Lampiran 48a) menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan konsentrasi lainnya. Konsentrasi suspensi enkapsulan memengaruhi baik bentuk, kekuatan manik-manik yang dihasilkan, maupun proses pembentukannya. Pembentukan gel pada agar terjadi saat suhu pembentukan (30-40 ºC) dibawah titik didih gel tersebut (85-95 ºC) (Nussinovitch 2010). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi suspensi agar maka semakin kuat gel yang terbentuk sehingga tidak mudah rapuh.
Pada umumnya, agar menghasilkan gel yang tidak mudah rapuh pada konsentrasi 1% (b/b) (Nussinovitch 2010). Namun, kemampuan pemerangkapan sel dalam gel agar akan tercapai pada konsentrasi agar sebesar 2-4%. Agar
(44)
memiliki kandungan serat dan selulosa yang cukup tinggi sehingga dapat membentuk gel yang kompak. Selain itu, agar memiliki kemampuan membentuk gel yang baik pada pH yang rendah dan kemurnian yang tinggi (Scholten and
Pierik 1998). Shoichet et al. (1996) melaporkan bahwa kekuatan gel yang
dibentuk agarosa dengan konsentrasi 2% akan menurun sekitar 25% apabila terdapat sel di dalamnya. Kekuatan gel ditentukan dengan pengukuran keretakan akibat tekanan yang direkam oleh software pada alat Vitrodyne V1000 (Liveco). Sel hidup tersebut dapat terganggu dengan adanya pembentukan ikatan hidrogen dalam gel agar.
Konsentrasi agar 3% dalam penelitian ini diharapkan dapat mengantisipasi penurunan kekuatan gel agar saat diberi probiotik di dalamnya. Berdasarkan pengamatan secara visual pada penyimpanan 8 minggu, manik-manik agar yang memerangkap probiotik masih mampu mempertahankan bentuk dan kekuatan gelnya yang ditunjukkan dengan keutuhan manik-manik dan kestabilan viabilitas probiotik dalam manik-manik agar (Gambar 4.2 dan 4.3). Konsentrasi agar 3%
juga digunakan untuk mengenkapsulasi inulin (Dobre et al. 2008).
Bahan enkapsulan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah alginat.
Perlakuan pada enkapsulan alginat yaitu ukuran syringe (10 ml dan 20 ml).
Ukuran syringe yang berbeda tersebut dapat memengaruhi sifat fisik manik-manik
yang dihasilkan. Manik-manik yang dihasilkan melalui syringe 10 ml
menghasilkan bentuk yang bulat, seragam, dan berukuran kecil. Sementara itu,
syringe berukuran 20 ml menghasilkan manik-manik yang bulat, agak seragam, dan berukuran agak besar.
Berdasarkan sifat fisik tersebut, manik-manik yang dihasilkan enkapsulan
alginat dengan menggunakan syringe 10 ml memiliki bentuk, ukuran, dan
keseragaman yang lebih baik dibandingkan syringe 20 ml. Hal ini dipengaruhi
oleh ukuran diameter syringe yang berbeda. Ukuran diameter syringe 10 ml lebih
kecil dibandingkan syringe 20 ml.
Manik-manik hasil enkapsulasi dengan agar (5.7 mm) memiliki diameter yang lebih besar dibandingkan hasil enkapsulasi dengan alginat (5 mm) walaupun
konsentrasi larutannya sama, yaitu 3% (b/v). Sementara itu, ukuran syringe yang
digunakan pada enkapsulasi dengan alginat dan agar berbeda yaitu 10 ml dan 20 ml.
Konsentrasi larutan alginat yang digunakan yaitu 3% (b/v) (Krasaekoopt et
al. 2003). Alginat dengan konsentrasi 3% memiliki kekuatan gel yang baik dan
bentuk seragam sehingga dapat mempertahankan jumlah sel yang berada di dalam manik-maniknya. Berbeda dengan agar, keberadaan sel dalam manik-manik
alginat tidak memengaruhi kekuatan gel alginat (Shoichet et al. 1996).
Penampakan manik-manik alginat dengan konsentrasi 3% (b/v) dapat dilihat pada Lampiran 36a.
Purwandhani et al. (2007) melaporkan bahwa probiotik L. acidophilus
SNP 2 yang dienkapsulasi dalam alginat dengan konsentrasi 3% menggunakan metode ekstrusi satu lapis dapat mempertahankan jumlah probiotik sebesar 3.4 x
109 CFU ml-1 dari konsentrasi awal sebelum enkapsulasi sebesar 1.4 x 1011 CFU
ml-1. Penelitian Ding dan Shah (2008) juga menggunakan konsentrasi alginat 3%
dalam proses enkapsulasi probiotik pada produk jus jeruk dan apel. Pada penelitian tersebut, manik-manik alginat 3% dapat mempertahankan viabilitas
(1)
(2)
Lampiran 45 Scoresheet uji deskripsi kuantitatif
SCORE SHEET UJI ORGANOLEPTIK UNTUK UMUR SIMPAN
PRODUK YOGURT TPUM (TEPUNG PISANG ULI MODIFIKASI) SINBIOTIK Nama :
Kode sampel : Minggu ke- : Instruksi :
1. Lakukan pencicipan sampel satu persatu dari kiri ke kanan.
2. Evaluasi intensitas warna. aroma. keasaman. dan tekstur dari masing-masing sampel dengan membandingkannya dengan garis kontrol.
3. Beri tanda berupa garis vertikal serta tuliskan diatas garis vertikal tersebut nomor kode dari masing-masing sampel uji.
4. Netralkan indra pengecap anda dengan air mineral setiap selesai mencicip satu sampel.
5. Jangan membandingkan antar sampel.
6. Beri pendapat anda. apakah produk ini masih layak dikonsumsi atau tidak. dengan cara melingkari jawaban yang diinginkan.
7. Berikan komentar anda pada kolom yang tersedia Konsistensi (keseragaman padatan dan cairan)
Warna cokelat
Tekstur (Kekentalan produk)
Aroma asam
Rasa Asam
1. Menurut anda. apakah produk ini masih layak dikonsumsi? (ya/tidak) 2. Bagaimana pendapat anda terkait adanya butiran enkapsulan dalam
yoghurt? Komentar :
Sangat tua Sangat muda K Sangat kental Sangat encer K Aroma kuat Tidak beraroma K Sangat asam Tidak asam K Sangat seragam Tidak seragam K
(3)
Lampiran 46 Scoresheet uji aroma alkohol yoghurt TPUM sinbiotik SCORE SHEET UJI IDENTIFIKASI KERUSAKAN UNTUK UMUR SIMPAN PRODUK YOGURT TPUM (TEPUNG PISANG ULI MODIFIKASI) SINBIOTIK
Nama :
Minggu ke- : Instruksi :
1. Amati adanya indikator kerusakan pada produk yoghurt.
2. Beri tanda check (v) pada skala yang anda anggap menginterpretasikan produk
Aroma alkohol
Penilaian Skor Kode sampel
254 492 549
Tidak beraroma 1
2 3
Beraroma 4
5 6
Sangat beraroma 7
Lampiran 47 Scoresheet uji hedonik terhadap enkapsulan
Suka atau tidak sukakah anda terhadap produk yoghurt yang diberi enkapsulan dibandingkan dengan produk tanpa enkapsulan?
Penilaian Skor Kode sampel
492 549
Tidak suka 1
2 3
Suka 4
5 6
Sangat suka 7
Bagaimana pendapat anda tentang produk yoghurt TPUM sinbiotik yang diberi enkapsulan?
(4)
Lampiran 48a Dokumentasi penelitian
Kupasan pisang Uli Irisan pisang Uli
Pisang Uli saat fermentasi Pisang Uli setelah pemanasan otoklaf
Pisang Uli sebelum pengeringan Tepung pisang Uli modifikasi
Manik-manik agar dengan Manik-manik alginat dengan konsentrasi 3% (b/v) (diameter 5.7 mm) konsentrasi 3% (b/v) (diameter 5 mm)
(5)
Lampiran 48b Dokumentasi penelitian (lanjutan)
Koloni L. acidophilus 2B4 Koloni L. plantarum BSL
L. acidophilus 2B4 L. acidophilus 2B4 Yoghurt TPUM sinbiotik terenkapsulasi agar terenkapsulasi alginat saat penyimpanan dalam dalam MRSB dalam MRSB refrigerator (5-10 ºC)
Yoghurt TPUM sinbiotik Yoghurt TPUM sinbiotik Yoghurt TPUM sinbiotik dengan L. plantarum BSL dengan L. plantarum BSL dengan L. plantarum BSL tanpa enkapsulasi terenkapsulasi agar terenkapsulasi alginat
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 30 Agustus 1991. Penulis bernama lengkap Raudhatussa’adah merupakan anak kelima dari lima bersaudara pasangan Wasiruddin Sihat dan Ridhwana. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Depok tahun 2002-2004. Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Cibinong tahun 2004-2005. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bogor tahun 2005-2007. dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sitiung tahun 2007-2008. Kemudian pada tahun 2008. penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa. penulis tergabung dalam UKM Gentra Kaheman periode 2008-2009. Dewan Musholah Asrama Putri 2 sebagai anggota departemen informasi dan komunikasi periode 2008-2009. Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) periode 2009-2010 sebagai bendahara 1. periode 2010-2011 sebagai bendahara umum. dan periode 2011-2012 sebagai badan pengawas. Selain itu. penulis juga pernah mengikuti berbagai kegiatan seperti staf hubungan masyarakat Gebyar Sosial BEM FATETA 2009. staf kesekretariatan National Student Paper Competition (NSPC) 2010. ketua divisi acara ACCES (temu alumni) 2010. staf divisi dana usaha Orde dan Malam Keramat HIMITEPA 2010. dan staf divisi quality control kimia PT BAKERY ISLAND. Penulis juga pernah mengikuti seminar dan lomba tingkat nasional dan internasional.
Penulis pernah aktif sebagai asisten Praktikum Kimia dan Biokimia Pangan. Penulis merupakan penerima Beasiswa provinsi Sumatra Barat sejak tahun 2008 hingga tahun 2012 dan Beasiswa Penelitian BNI. Sebagai tugas akhir. penulis melakukan penelitian yang berjudul skripsi “Viabilitas Lactobacillus plantarum BSL dan L. acidophilus 2B4 Terenkapsulasi serta Mutu Yoghurt