Peran Pemerintah Keunggulan Kompetitif Komoditi Teh Indonesia: Analisis Teori Berlian

99 dengan harga maupun produk tanpa terlebih dahulu mengacu kepada pemimpin pasar atau kepada pesaing-pesaing lainnya. Sebagai pengikut pasar, posisi Indonesia di pasar teh internasional rentan terhadap para penantang pasar. Oleh sebab itu Indonesia harus segera melakukan langkah-langkah strategis untuk mempertahankan pangsa pasar dengan memasuki pasar-pasar baru yang prospektif. Percepatan pengembangan produksi dan ekspor teh dengan memperbaiki mutu teh dalam negeri serta percepatan pengembangan industri hilir teh di Indonesia. Menurut Suprihatini 2004, percepatan pengembangan industri hilir teh di Indonesia merupakan salah satu strategi untuk merebut pasar dalam rangka meningkatkan devisa negara, menjaring nilai tambah, memperkuat struktur ekspor, mengurangi risiko fluktuasi harga komoditas teh curah, dan mencegah penurunan nilai tukar, serta antisipasi terhadap kejenuhan pasar komoditas teh curah di masa mendatang.

7.2.5 Peran Pemerintah

Pemerintah sangat berperan dalam mengembangkan suatu komoditi pertanian khususnya komoditi teh melalui kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah merupakan instrumen untuk mengembangkan sistem dan usaha agribisnis perkebunan khususnya komoditi teh. Kebijakan pemerintah tersebut untuk membantu menciptakan iklim usaha yang kondusif, bersifat proteksi atau promosi dan diharapkan konsisten, serta terkoordinasi. Secara umum, kebijakan pemerintah yang terkait dengan pembangunan perkebunan khususnya komoditi teh dapat dikatakan masih belum kondusif, kurang terkoordinasi, inkonsisten, dan belum efisien dalam perspektif waktu 100 maupun sifat proteksi atau promosi komoditi. Berikut ini menunjukkan kelemahan dari kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan pembangunan perkebunan teh. • Upaya peremajaan atau perluasan areal oleh petani atau calon investor terkendala oleh masalah sumber pembiayaan investasi, akses, dan sistem pembiayaan komersial yang tidak sesuai dengan karakteristik perkebunan. Keberadaan lembaga keuangan perbankan di daerah masih belum menjangkau daerah perkebunan rakyat secara efektif. Apabila menjangkau, pengadaan dan penyaluran kredit menggunakan sistem komersial dan peruntukannya terbatas untuk modal kerja maksimal 5 tahun. • Dalam rangka untuk menggali sumber dana pembangunan, perkebunan teh yang masih perlu didukung pengembangannya masih terkena beban pajak pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak ekspor, serta pajak lainnya dan retribusi yang memberatkan. Kebijakan untuk menghapus PPN, pajak ekspor dan retribusi dihadapkan pada perbedaan pendapat diantara lembaga pemerintah yang terkait. • Pemerintah tidak menciptakan atau memberikan insentif fiskal untuk mendorong pengembangan industri hilir perkebunan. Insentif yang ada berlaku bagi industri yang dibangun di daerahkawasan berikat bukan di daerah sentra produksi perkebunan. Pengembangan industri hilir di Vietnam sedang digalakkan dan investor mendapatkan berbagai insentif pada masa awal operasi; • Tarif atau pajak impor komoditas perkebunan dan produk olahannya cenderung tidak melindungi produsen dan industri pengolahan nasional. Kebijakan harmonisasi tarif yang diharapkan oleh produsen didalamnya termasuk petani dan industri pengolahan tidak kunjung muncul. Sri Lanka dan Vietnam sudah 101 melaksanakan harmonisasi tarif impor komoditas perkebunan dan produk olahannya ; • Dukungan kebijakan infrastruktur di daerah energi, transportasi dan telekomunikasi masih lemah. Kondisi perlistrikan sebagai penggerak mesin pengolahan masih sering terganggu. Kondisi sarana transportasi jalan dan pelabuhan masih sederhana dan saat ini sebagian besar rusak. Jaringan telekomunikasi juga masih terbatas jangkauannya. Cina lebih maju dalam hal dukungan kebijakan infrastruktur ini; • Dalam hal kebijakan investasi, birokrasi investasi Indonesia termasuk untuk investasi perkebunan dinilai buruk. Hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy dalam Kompas 2 Juli 2005 menunjukkan bahwa birokrasi investasi memerlukan prosedur yang panjang sehingga membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Indonesia menduduki peringkat kedua terburuk dalam hal birokrasi investasi, hanya lebih baik dari India. Dalam pendirian usaha, jumlah prosedur yang harus dilalui 12, waktu 151 hari, dan rasio biaya terhadap pendapatan per kapita 130,7 persen. Sedangkan rata-rata di Asia untuk parameter tersebut adalah 8, 51 hari dan 48,3 persen. Dengan mencermati uraian di atas, dukungan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan perkebunan masih mempunyai kelemahan baik dalam hal penciptaan iklim investasi yang kondusif, konsistensi, koordinasi, dan efisiensi. 102

7.2.6 Kesempatan