Kondisi Permintaan Keunggulan Kompetitif Komoditi Teh Indonesia: Analisis Teori Berlian

94 teknologi mekanisasi pemetikan, teknologi pasca panen, dan kurangnya peralatan pengemasan dan transportasi untuk pengiriman jarak jauh. Masih kurangnya dukungan dari transportasi nasional untuk ekspor juga merupakan kendala dalam meningkatkan ekspor produk komoditi teh Indonesia. Jika dilihat dari kenyataan yang ada, maka masih perlu beberapa peningkatan dalam kualitas sarana dan prasarana penunjang daya saing teh Indonesia, terutama dalam hal sarana transportasi yang sangat berperan penting dalam memasarkan hasil komoditi teh.

7.2.2 Kondisi Permintaan

Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu daya saing industri nasional, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik merupakan sarana pembelajaran perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing di pasar global. Mutu permintaan persaingan yang ketat di dalam negeri memberikan tantangan bagi setiap perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya sebagai tanggapan mutu persaingan di pasar domestik. Komoditi primer perkebunan teh selain diekspor juga untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hilir perkebunan. Kebutuhan bahan baku ini sangat tergantung dari perkembangan industri hilir perkebunan. Disamping untuk keperluan industri pengolahan, pasar domestik komoditi perkebunan adalah untuk konsumsi langsung. Untuk keperluan industri pengolahan, komoditas perkebunan nasional memiliki saingan dengan produk serupa yang berasal dari impor. Selain jumlah, pasar domestik juga sangat tergantung dari kontinyuitas pasokan dan harga, disamping mutu. 95 Tabel 31 menunjukkan perkembangan konsumsi teh dalam negeri semakin menurun dan tergolong rendah, jika dibandingkan dengan negara lain yang memiliki tingkat konsumsi teh per kapita cukup tinggi, seperti India telah mencapai di atas 660 gram, Sri Lanka 1400 gram, Inggris 2120 gram, Irlandia 2790 gram, Polandia 820 gram, Bahrain 1250 gram, Hongkong 1380 gram, Negara Arab di atas 2000 gram, Pakistan 844 gram, Jepang 1350 gram, dan New Zealand 970 gram ITC, 2006. Banyak faktor yang sangat mempengaruhi rendahnya konsumsi per kapita nasional tersebut antara lain: faktor internal konsumen seperti budaya, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kinerja bauran pemasaran seperti produk, harga,saluran distribusi, dan promosi serta produk subtitusi air mineral, susu, kopi dan coklat. Tabel 31. Perkembangan Konsumsi Teh Per kapita Indonesia Tahun 1997- 2005 Tahun Konsumsi Per KapitaTahun gram 1997 250 1998 310 1999 320 2000 310 2001 300 2002 310 2003 320 2004 310 2005 200 Sumber: International Tea Commitee ITC, 2006. Tradisi minum teh telah berkembang di Indonesia, tetapi penghargaan terhadap teh berkualitas masih rendah, dibandingkan dengan masyarakat di Taiwan yang meyakini minum teh identik dengan kesehatan serta penghargaan terhadap teh pada masyarakat Jepang dengan upacara minum teh. Fakta ini 96 dibuktikan dengan rata-rata konsumsi susu per kapita masyarakat Indonesia lebih tinggi yaitu 6,50 kg per tahun, dibandingkan konsumsi susu negara China 2,96 kg, Philipina 0,25 kg, Malaysia 3,82 kg, dan Thailand 2,04 kg. Secara umum saat ini kebutuhan pasar domestik untuk teh sekitar 30 persen dari produksi Bappenas, 2005. Pasar domestik ini akan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya industri hilir perkebunan teh di Indonesia. Mencermati pertumbuhan pasar domestik komoditas perkebunan di atas, maka dapat dikatakan pasar domestik menyimpan kekuatan bagi pengembangan komoditas perkebunan, walaupun masih belum dapat diandalkan dibandingkan pasar internasional.

7.2.3 Industri Pendukung dan Terkait