per tahun. Tingginya permintaan CPO baik lokal maupun internasional sebagai input industri minyak goreng, biodiesel dan potensi kelapa sawit lainnya yang
besar dalam perekonomian mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, kebutuhan minyak sawit mentah dan turunannya di Indonesia dan
pasar dunia juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati lain, seperti: minyak kedelai, minyak kelapa, dan minyak bunga matahari dan lain-lain
Lampiran 2.
2.2 Produksi CPO
Kebijakan pemerintah khususnya dalam perluasan areal kelapa sawit merupakan respon positif yang dapat mempengaruhi produksi CPO yang semakin
meningkat. Meningkatnya luas areal kelapa sawit di Indonesia tidak terlepas dari campur tangan para pengusaha ataupun investor dengan maksud agar dapat
meningkatkan faktor produksinya. Pada sisi produksi, Arifin 2001 menyatakan bahwa teknologi dapat
berupa suatu proses produksi atau bagaimana faktor-faktor produksi input dikombinasikan untuk menghasilkan suatu produk output. Perubahan teknologi
yang demikian merupakan cara mengkombinasikan faktor produksi. Sementara itu, produktivitas dimaksudkan sebagai suatu ukuran efisiensi yang berupa rasio
produk dengan faktor produksi tertentu. Inovasi dan perubahan teknologi biasanya mampu meningkatkan tingkat produksi sekaligus produktivitasnya meningkatnya
faktor produksi mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas.
2.3 Produktivitas CPO
Peningkatan produktivitas sektor pertanian merupakan kemajuan dan perubahan teknologi. Adopsi teknologi pertanian yang padat karya penggunaan
benih unggul, pupuk, dan pestisida serta teknologi mekanis yang padat modal penggunaan traktor sederhana dan pembangunan sarana irigasi teknis, dan
sebagainya secara langsung ataupun tidak langsung telah mewarnai peningkatan produktivitas itu sendiri Arifin, 2001.
Ketersediaan input pupuk memegang peranan penting dalam meningkatkan produktivitas. Kebutuhan akan pupuk dalam meningkatkan
produktivitas tersebut diikuti oleh perkembangan harga pupuk yang cenderung meningkat. Hal ini secara langsung akan mempengaruhi harga suatu komoditi
CPO sebagai hasil produk pertanian. Harga CPO yang tinggi di pasar internasional mengakibatkan para pengusaha lebih memilih untuk mengekspor
CPO dari pada menjual CPO di dalam negeri.
2.4 Ekspor CPO
Secara teori suatu negara akan mengekspor suatu komoditi misalnya CPO, jika di negara asalnya mengalami kelebihan produksi. Kenyataannya,
pengusaha akan tetap mengekspor jika harga minyak sawit di pasar dunia jauh lebih tinggi harganya dibandingkan dengan harga di pasar domestik.
Kecenderungan harga yang selalu meningkat ini dipengaruhi oleh keadaan perekonomian Indonesia yang belum stabil.
Secara luas, Kindleberger dan Lindert 1995 mendefinisikan bahwa penawaran ekspor suatu negara merupakan kelebihan penawaran domestik
produksi barang dan jasa yang tidak dikonsumsi oleh konsumen dari negara yang
bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk persediaan. Berdasarkan teori tersebut, maka fungsi ekspor suatu negara dapat dituliskan sebagai berikut:
X
t
= Q
t
– C
t
+ S
t
Dimana: X
t
= Jumlah ekspor komoditas suatu negara pada tahun ke-t Q
t
= Jumlah produksi komoditas suatu negara pada tahun ke-t C
t
= Jumlah konsumsi komoditas suatu negara pada tahun ke-t S
t
= Jumlah persediaan komoditas suatu negara pada tahun ke-t Untuk membatasi ekspor CPO maka pemerintah mengenakan pajak ekspor
terhadap eksportir. Tujuannya, untuk menjamin kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumberdaya alam, mengantisipasi kenaikan harga di pasar
internasional, hingga menjaga stabilitas harga dalam negeri. Kebijakan tarif ekspor CPO dimulai pada tahun 1978 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan
Bersama SKB Mendagkop No.275KPBX178, Mentan No.764KptsUM121978 dan Menperindag No.252MSK121978. Nilai
tukar dan harga bahan bakar minyak dunia diduga menjadi bahan pertimbangan oleh pengusaha dalam mengekspor CPO.
2.5 Harga CPO Domestik