mas di areal sawah mereka sebagai tambahan pendapatan untuk digunakan kembali dalam membiayai pengusahaan padi mereka.
Pada umur 30 hari ikan pun siap untuk dipanen. Ikan yang dipanen tersebut masih berupa bibit ikan yang ukurannya kurang lebih 4 sampai 5
sentimeter. Para petani umumnya menjual bibit-bibit ikan tersebut kepada pedagang pengumpul bibit ikan. Harga untuk satu kilogaram ikan mas tersebut
adalah Rp. 27.916,19. Berdasarkan Tabel 13, keuntungan rata-rata yang diterima
oleh petani dalam satu hektar sawah adalah Rp. 641.959,23. Tabel 13. Biaya Dan Pendapatan Mina Padi Di Desa Bunikasih Tahun 2007
No. Komponen
Satuan Volume
Harga Rp Jumlah Rp
A Penerimaan Kg
87,71 27.916,19
908.833,52 B
Biaya 1. Benih Ikan
Liter 4,13
142.129,11 211.211,78
2. Tenaga Kerja HKP
4,94 31.730,01
58.493,77
Total Biaya 266.874,29
Pendapatan 641.959,23
Keterangan: per hektar.
6.3. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Beras Pandan Wangi Dan Beras Varietas Unggul Baru
Dalam penelitian ini, daya saing suatu komoditi di ukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan alat analisis Policy
Analysis Matriks PAM. Penyusunan Tabel PAM berdasarkan pada data penerimaan, biaya produksi, dan biaya tataniaga yang dihitung berdasarkan
harga finansial analisis finansial dan harga bayangan analisis sosial. Perhitungan analisis finansial dan analisis sosial beras Pandan Wangi dapat
dilihat pada Lampiran 12 sedangkan untuk beras Varietas Unggul Baru pada Lampiran 13. Hasil dari analisis finansial dan analisis sosial berupa data
penerimaan dan biaya tradable dan non tradable kedua varietas selanjutnya digunakan untuk menyusun matrik analisis kebijakan pada Tabel 14.
Tabel 14. Matrik Analisis Kebijakan pada Pengusahaan Beras Pandan Wangi Dan Beras Varietas Unggul Baru di Desa Bunikasih
Tahun 2007 RpHaTahun
Uraian Penerimaan
Output Biaya Input
Keuntungan Tradable
Non tradable Beras Pandan Wangi
Harga Privat 65.170.525,22
623.708,51 45.111.024,77
19.435.791,94 Harga Sosial
130.341.050,43 1.113.408,80 37.928.354,72
91.299.286,92 Dampak Kebijakan
-65.170.525,22 -489.700,29
7.182.670,05 -71.863.494,97
Beras Varietas Unggul Baru
Harga Privat 69.980.391,00
803.685,60 62.568.638,71
6.608.066,69 Harga Sosial
96.366.330,81 1.443.001,68 52.642.765,26
42.280.563,87 Dampak Kebijakan
-26.385.939,81 -639.316,08
9.925.873,46 -35.672.497,18
Dari matrik analisis kebijakan pada Tabel 14 dapat dilakukan perhitungan- perhitungan yang akan menghasilkan nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tersebut akan
menjadi indikator dari daya saing dan dampak kebijakan pemerintah pada komoditi beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru. Hasil
perhitungan indikator-indikator daya saing dan dampak kebijakan untuk beras Pandan Wangi dapat dilihat pada Lampiran 14 dan beras Varietas Unggul Baru
pada Lampiran 15.
6.3.1. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Komoditi Beras Pandan Wangi Dan Beras Varietas Unggul Baru
Keunggulan kompetitif suatu komoditi ditentukan oleh nilai keuntungan privat KP dan nilai Rasio Biaya Privat PCR. Harga yang digunakan pada
analisis ini adalah harga aktual yang terjadi di pasar, dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Pada Tabel 15 nilai KP untuk padi
Pandan Wangi adalah Rp. 19.435.791,94 per hektar per tahun sedangkan untuk beras Varietas Unggul Baru adalah Rp. 6.608.066,69 per hektar per tahun. Nilai
Keuntungan Privat kedua varietas beras yang bernilai positif tersebut menunjukkan bahwa pengusahaan kedua varietas beras menguntungkan pada
kondisi dimana adanya pengaruh kebijakan pemerintah.
Tabel 15. Nilai Keuntungan Privat KP Dan Rasio Biaya Privat PCR Pengusahaan Beras Pandan Wangi Dan Beras Varietas Unggul
Baru Di Desa Bunikasih Tahun 2007
No. Varietas Beras
KP RpHa PCR
1. Pandan Wangi
19.435.791,94 0,70
2. Varietas Unggul Baru
6.608.066,69 0,90
Keterangan: Per Hektar Per Tahun.
Perbedaan nilai KP yang cukup jauh antara beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru disebabkan oleh harga output yang berbeda dan
besarnya biaya yang dikeluarkan. Harga aktual output beras Pandan Wangi mencapai Rp. 9.000 per kilogram sedangkan harga untuk beras Varietas Unggul
Baru Rp. 5.250 per kilogram. Harga kedua output tersebut akan berpengaruh terhadap besarnya penerimaan yang diperoleh. Sedangkan dari sisi biaya yang
dikeluarkan, ternyata dalam satu tahun beras Varietas Unggul Baru membutuh- kan biaya yang lebih besar dari pengusahaan beras Pandan Wangi. Ini terjadi
karena dalam satu tahun beras Varietas Unggul Baru diproduksi sebanyak tiga kali sedangkan beras varietas Pandan Wangi hanya diproduksi dua kali dalam
satu tahun. Keunggulan kompetitif suatu komoditi dapat dilihat dari bagaimana
alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi finansial dalam pengusahaan suatu komoditi Indriyanti, 2007. Indikator efisiensi finansial dari
pengusahaan kedua output yang dianalisis digambarkan oleh nilai PCR. Pada Tabel 15, terlihat bahwa nilai PCR beras Pandan Wangi bernilai 0,70 sedangkan
untuk beras Varietas Unggul Baru bernilai 0,90. Nilai PCR kedua output yang dianalisis bernilai kurang dari satu, ini berarti pengusahaan beras Pandan Wangi
dan beras Varietas Unggul Baru memiliki keunggulan kompetitif karena secara finansial pengusahaan kedua varietas beras tersebut sudah efisien.
Semakin rendah nilai PCR suatu komoditi maka akan semakin besar keunggulan kompetitif yang dimilikinya. Nilai PCR beras Pandan Wangi lebih
rendah dibandingkan dengan nilai PCR beras Varietas Unggul Baru. Nilai PCR Pandan Wangi sebesar 0,70 memiliki arti bahwa untuk mendapatkan nilai
tambah output satu satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,70 satuan. Begitupun pada beras Varietas Unggul Baru,
untuk mendapatkan nilai tambah output satu satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,90 satuan.
Perbedan nilai PCR beras Pandan Wangi dan PCR beras Varietas Unggul Baru lebih disebabkan oleh adanya pebedaan penerimaan dan total
biaya yang dikeluarkan antara kedua output tersebut. Besarnya penerimaan yang diterima lebih dipengaruhi oleh harga jual output. Sedangkan total biaya
dipengaruhi oleh jumlah kemampuan output tersebut diproduksi dalam satu tahun.
Keunggulan komparatif beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru dapat dilihat dari nilai Keuntungan Sosial KS dan nilai Rasio Sumberdaya
Domestik DRC. Kedua nilai tersebut KS dan DRC menjadi indikator apakah komoditi beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru memiliki daya
saing dan layak diusahakan pada kondisi tanpa ada intervensi dari pemerintah. Data mengenai nilai KS dan DRC dari beras Pandan Wangi dan beras Verietas
Unggul Baru disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Nilai Keuntungan Sosial KS Dan Rasio Sumberdaya Domestik DRC Pengusahaan Beras Pandan Wangi Dan Beras Varietas
Unggul Baru Di Desa Bunikasih Tahun 2007
No. Varietas Beras
KS RpHa DRC
1. Pandan Wangi
91.299.286,92 0,29 2.
Varietas Unggul Baru 42.280.563,87 0,55
Keterangan: Per Hektar Per Tahun.
Nilai Keuntungan Sosial KS menggambarkan keuntungan yang diperoleh jika terjadi pasar persaingan sempurna, dimana efek divergensi
kebijakan pemerintah atau kegagalan pasar tidak terjadi. Pada Tabel 16, nilai KS beras Pandan Wangi mencapai Rp. 91.299.286,92 per hektar per tahun,
sedangkan pada beras Varietas Unggul Baru mencapai Rp. 42.280.563,87 per hektar per tahun. Kedua varietas beras yang dianalisis memiliki keuntungan
sosial yang bernilai positif, ini berarti kedua komoditas tersebut mampu memberikan keuntungan tanpa adanya kebijakan pemerintah. Sama halnya yang
terjadi pada keuntungan privat, perbedaan yang tinggi antar keuntungan sosial kedua varietas lebih disebabkan oleh perbedaan harga bayangan output dan
total biaya yang dikeluarkan secara ekonomi. Bila dicermati nilai Keuntungan Privat KP dari kedua varietas beras yang
dianalisis memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai Keuntungan Sosial KS. Ini disebabkan karena harga sosial kedua output tersebut lebih tinggi
dibandingkan dengan harga privatnya. Selain itu, biaya input non tradable secara ekonomi lebih rendah dibandingkan dengan biaya input non tradable secara
finansial. Hal tersebut dapat disebabkan oleh besarnya biaya tenaga kerja secara ekonomi yang lebih rendah 80 persen dari upah finansialnya dan tidak
diperhitungkannya pajak dan bunga modal sebagai biaya pada analisis ekonomi. Dalam analisis ekonomi komponen pajak tidak dihitung sebagai biaya,
karena dalam analisis ekonomi pengusahaan suatu komoditi dilakukan dengan asumsi tanpa adanya campur tangan pemerintah. Sedangkan, komponen bunga
modal tidak diperhitungkan karena modal yang digunakan untuk pengusahaan beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru bukan berasal dari
pinjaman luar negeri. Selain nilai KS, keunggulan komparatif suatu komoditi dapat dilihat dari
nilai Rasio Sumberdaya Domestik DRC. Nilai DRC menggambarkan efisiensi
pengusahaan suatu komoditas secara ekonomi. Berdasarkan Tabel 16, nilai DRC dari beras Pandan Wangi bernilai 0,29 dan nilai DRC untuk beras Varietas
Unggul Baru bernilai 0,55. Nilai DRC tersebut menjelaskan bahwa untuk memproduksi beras Pandan Wangi di tempat penelitian membutuhkan biaya
sumberdaya domestik sebesar 29 persen terhadap biaya impor yang dibutuhkan. Sedangkan untuk Varietas Unggul Baru, nilai DRC memiliki arti untuk
memproduksi beras Varietas Unggul Baru pada tempat penelitian membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 55 persen terhadap biaya impor yang
dibutuhkan. Nilai DRC dari kedua output yang dianalisis memiliki nilai kurang dari
satu. Kondisi demikian menerangkan bahwa pengusahaan beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru memilki keunggulan komparatif. Sehingga, untuk
memenuhi kebutuhan domestik akan kedua komoditi tersebut lebih baik diproduksi di dalam negeri dari pada mengimpor dari negara lain.
Nilai DRC beras Pandan Wangi lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai DRC beras Varietas Unggul Baru. Ini menunjukkan bahwa beras Pandan
Wangi lebih memiliki keunggulan kompratif dibandingkan dengan beras Varietas Unggul Baru. Nilai DRC yang lebih rendah dari nilai PCR dapat menjelaskan
kebijakan pemerintah yang ada belum mampu meningkatkan efisiensi dalam memproduksi beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru.
Berdasarkan seluruh nilai indikator-indikator yang mencerminkan daya saing, ternyata beras Pandan Wangi memiliki daya saing yang lebih baik jika
dibandingkan dengan beras Varietas Unggul Baru. Kondisi ini terjadi karena harga jual output beras Pandan Wangi lebih tinggi dibandingkan dengan beras
Varietas Unggul Baru. Sedangkan di sisi lain, biaya total untuk pengusahaan beras Varietas Unggul Baru lebih tinggi dari pengusahaan beras Pandan Wangi
karena adanya perbedaan kemampuan produksi dalam satu tahun.
6.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Pada Pengusahaan Beras Pandan Wangi Dan Beras Varietas Unggul Baru
6.3.2.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output Kebijakan pemerintah berupa subsidi atau pajak pada suatu komoditi
agribisnis dapat berpengaruh positif atau pun negatif bagi para pelaku- pelakunya. Indikator dapak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat
dengan menggunakan nilai TO Transfer Output dan NPCO Nominal Protection Coefficient on Output. Nilai TO dan NPCO untuk beras Pandan Wangi dan beras
Varietas Unggul Baru ditampilkan pada Tabel 17.
Tabel 17. Nilai Transfer Output TO dan Nominal Protection Coefficient on Output NPCO Pengusahaan Beras Pandan Wangi Dan
Beras Varietas Unggul Baru Di Desa Bunikasih Tahun 2007
No. Varietas Beras
TO RpHa NPCO
1. Pandan Wangi
-65.170.525,22 0,50
2. Varietas Unggul Baru
-26.385.939,81 0,73
Keterangan: Per Hektar Per Tahun.
Nilai Transfer Output beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru secara berturut-turut adalah negatif Rp. 65.170.525,22 per hektar per tahun
dan negatif Rp. 26.385.939,81 per hektar per tahun Tabel 17. Kedua nilai TO komoditas beras menunjukan nilai yang negatif, ini berarti harga privat beras
lebih rendah dibandingkan dengan harga sosialnya. Kondisi tersebut menunjukan bahwa dengan adanya kebijakan atau intervensi pemerintah pada output
terhadap usahatani tersebut lebih menguntungkan konsumen. Karena konsumen membeli kedua komoditas beras tersebut dengan harga yang lebih rendah dari
harga yang sebenarnya. Dengan kata lain, terjadi pengalihan surplus dari produsen ke konsumen.
Kerugian terbesar dialami oleh komoditas beras Pandan Wangi. Terjadi peralihan surplus dari produsen kepada konsumen hingga Rp. 65.170.525,22.
Hal tersebut terjadi karena selisih antara harga privat output dan harga sosial
output yang cukup tinggi. Selisih antara harga privat dan harga sosial untuk beras Pandan Wangi mencapai Rp. 9000. Sedangkan pada komoditas beras
unggul nasional selisih antara harga privat output dan harga sosial output hanya sebesar Rp. 1.979,50, sehingga pengurangan penerimaan produsen beras
Varietas Unggul Baru tidak terlalu besar. Berdasarkan Tabel 17, nilai NPCO untuk beras Varietas Unggul Baru
adalah 0,73, ini berarti produsen beras Varietas Unggul Baru menerima harga 73 persen dari harga yang seharusnya diterima. Sedangkan nilai NPCO untuk beras
Pandan Wangi adalah 0.50, yang berarti produsen beras Pandan Wangi hanya menerima 50 persen harga yang seharusnya diterima. Berdasarkan nilai NPCO
tersebut, ternyata produsen beras Varietas Unggul Baru relatif lebih diuntungkan bila dibandingkan dengan produsen beras Pandan Wangi. Kedua varietas beras
memiliki nilai NPCO yang bernilai kurang dari satu. Artinya perlindungan dari pemerintah untuk produsen beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul
Baru belum berjalan secara afektif, sehingga terjadi pengurangan penerimaan produsen.
6.3.2.2. Dampak Kebijakan Terhadap Input
Kebijakan pemerintah tidak saja berlaku untuk harga output namun berlaku pula untuk harga input. Bentuk kebijakan pemerintah terhadap input
seperti subsidi atau hambatan perdagangan diterapkan dengan harapan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan dapat
melindungi produsen dalam negeri Indriyati, 2007. Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat intervensi pemerintah terhadap input produksi adalah
nilai Transfer Input TI, Transfer Faktor TF dan Koefisien Proteksi Nominal pada Input NPCI. Tabel 18 menyajikan nilai Transfer Input TI, Transfer Faktor
TF dan Koefisien Proteksi Nominal pada Input NPCI dari kedua output yang dianalisis.
Tabel 18. Nilai Transfer Input TI, Transfer Faktor TF dan Nominal Protection Coefficient on Input NPCI Pengusahaan Beras
Pandan Wangi Dan Beras Varietas Unggul Baru Di Desa Bunikasih Tahun 2007
No. Varietas Beras
TI RpHa NPCI
TF RpHa
1. Pandan Wangi
-489.700,29 0,56
7.182.670,05 2.
Varietas Unggul Baru -639.316,08
0,56 9.925.873,46
Keterangan: Per Hektar Per Tahun.
Nilai Transfer Input TI menggambarkan kebijakan subsidi atau pajak yang terjadi pada input produksi tradable. Nilai TI untuk beras Pandan Wangi
adalah negatif Rp. 489.700,29 per hektar per tahun, sedangkan nilai TI untuk beras Varietas Unggul Baru adalah negatif Rp. 639.316,08 per hektar per tahun.
Nilai TI yang bernilai negatif untuk kedua varietas menunjukan bahwa terdapat kebijakan subsidi terhadap input produksi tradable pupuk anorganik dalam
kedua pengusahaan verietas beras. Hal tersebut menguntungkan bagi kedua produsen beras, karena terdapat kebijakan pemerintah berupa subsidi atas input
tradable pupuk anorganik yang menyebabkan harga yang dibayarkan oleh petani terhadap input tersebut lebih rendah dari pada harga yang sebenarnya.
Bila dicermati nilai TI kedua pengusahaan beras tersebut, ternyata pengusahaan beras Varietas Unggul Baru relatif lebih besar menerima subsidi
dibandingkan dengan pengusahaan beras Pandan Wangi. Pengusahaan beras Varietas Unggul Baru menerima subsidi input tradable sebesar Rp. 639.316,08
per hektar per tahun, sedangkan beras Pandan Wangi menerima subsidi input tradable sebesar Rp. 489.700,29 per hektar per tahun. Hal tersebut disebabkan
karena dalam satu tahun beras Varietas Unggul Baru di produksi sebanyak tiga kali, sehingga membutuhkan sumber daya pupuk anorganik input tradable yang
lebih besar dari pengusahaan beras Pandan Wangi yang hanya di produksi dua kali dalam setahun.
Koefisien proteksi input nominal NPCI merupakan rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga sosial dengan harga finansial. Nilai NPCI
menunjukkan seberapa besar insentif yang diberikan pemerintah terhadap input produksi tradable. Berdasarkan Tabel 18, nilai NPCI untuk beras Pandan Wangi
dan beras Varietas Unggul Baru memiliki nilai yang sama yaitu 0,56. Nilai NPCI pada kedua output yang dianalisis memiliki nilai kurang dari satu. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat kebijakan proteksi terhadap konsumen input berupa subsidi yang menyebabkan harga finansial input lebih rendah
dibandingkan harga bayangannya. Produsen beras Pandan Wangi dan Beras Varietas Unggul Baru di desa
Bunikasih menerima harga input tradable yang lebih murah sebesar 56 persen dari harga yang seharusnya. Nilai NPCI yang sama untuk kedua output tersebut
terjadi karena input pupuk anorganik input tradable yang digunakan pada pengusahaan kedua varietas beras tersebut sama yaitu Urea, KCL, TSPSp-36
dan Phonska. Selain itu, pengusahaan kedua varietas beras tersebut dilakukan pada daerah yang sama yaitu di desa Bunikasih.
Selain menggunakan input tradable, produsen beras Pandan Wangi dan petani beras Varietas Unggul Baru menggunakan input non tradable domestik
seperti tanaga kerja, benih, peralatan, lahan, dan input domestik lainnya. Nilai Transfer Faktor TF mampu menggambarkan intervensi pemerintah terhadap
input non tradable. Berdasarkan Tabel 18 nilai Transfer Faktor untuk beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru dalam satu hektar secara
berturut-turut adalah Rp. 7.182.670,05 dan Rp. 9.925.873,46. Nilai Transfer Faktor yang bernilai positif tersebut menggambarkan bahwa harga input non
tradable yang dikeluarkan pada harga finansial lebih tinggi dibandingkan dengan input non tradable pada harga sosial.
Pada pengusahaan beras Varietas Unggul Baru, produsen harus membayar input non tradable lebih tinggi dari yang seharusnya dibayarkan,
mereka mengalami kerugian sebesar Rp. 9.925.873,46 per hektar per tahun. Hal itu pun berlaku pula pada pengusahaan beras Pandan Wangi, produsen
mengalami kerugian sebesar Rp. 7.182.670,05 per hektar per tahun. Jika diperhatikan nilai TF untuk beras Varietas Unggul Baru lebih tinggi jika
dibandingkan dengan nilai TF beras Pandan Wangi. Ini menunjukan bahwa produsen beras Varietas Unggul Baru mengalami yang lebih besar kerugian jika
dibandingkan dengan beras Pandan Wangi dari segi penggunaan biaya input non tradable. Hal tersebut terjadi karena dalam satu tahun beras Varietas Unggul
Baru diproduksi sebanyak tiga kali sehingga membutuhkan sumber daya domestik yang lebih banyak.
Nilai TF yang bernilai positif disebabkan karena komponen biaya tenaga, pajak dan bunga modal yang dihitung secara berbeda dalam analisis finansial
dan anlisis ekonomi. Biaya tenaga kerja pada harga sosial analisis ekonomi lebih murah 20 persen dari biaya tenaga kerja pada harga privat analisis
finansial. Selain itu, komponen pajak dan bunga modal tidak diperhitungkan sebagai biaya pada analisis ekonomi, sedangkan pada analisis finansial kedua
komponen tersebut dihitung sebagai biaya.
6.3.2.3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output
Koefisien Proteksi Efektif EPC, Transfer Bersih TB, Koefisien Keuntungan PC dan Rasio Subsidi bagi Produsen SRP merupakan nilai-nilai
yang menjadi indikator dari dampak kebijakan input-output. Hasil perhitungan indikator dampak kebijakan terhadap input-output terhadap pengusahaan
komoditas beras yang dianalisis dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Koefisien Proteksi Efektif EPC, Transfer Bersih TB, Koefisien Keuntungan PC dan Rasio Subsidi bagi Produsen SRP
Pengusahaan Beras Pandan Wangi Dan Beras Varietas Unggul Baru Di Desa BunikasihTahun 2007
No. Varietas Beras
TB RpHa EPC
SRP PC
1. Pandan Wangi
-71,863,494.97 0,50
-0,55 0,21 2.
Varietas Unggul Baru -35,672,497.18
0,73 -0,37
0,16
Keterangan: Per Hektar Per Tahun.
Di dalam alat analisis PAM, indikator yang mampu menjelaskan pengaruh dampak kebijakan terhadap surplus produsen adalah nilai Tranfer Bersih TB.
Nilai Transfer Bersih merupakan selisih dari nilai keuntungan privat dengan nilai keuntungan sosial. Pada Tabel 19 terlihat bahwa nilai Trasnfer Bersih untuk
untuk kedua pengusahaan beras yang di analisis bernilai negatif. Nilai TB untuk beras Varietas Unggul Baru adalah negatif Rp 35,672,497.18 per hektar per
tahun, sedangkan untuk beras Pandan Wangi mencapai nilai negatif Rp. 71,863,494.97 per hektar per tahun.
Nilai TB yang negatif tersebut menunjukkan bahwa surplus produsen pada kedua output yang dianalisis berkurang. Dalam satu tahun surplus
produsen beras Pandan Wangi berkurang hingga Rp. 71,863,494.97. per hektar, sedangkan untuk beras Varietas Unggul Baru Rp. 35,672,497.18 per hektar.
Surpus produsen yang hilang untuk beras Pandan Wangi relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan beras Varietas Unggul Baru. Tingginya surplus yang hilang
pada komoditas beras Pandan Wangi disebabkan oleh harga sosial output yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga privat outputnya.
Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi produksi domestik secara efektif. Jika nilai EPC kurang dari satu,
maka kebijakan tersebut tidak berjalan secara efektif atau menghambat produsen untuk berproduksi. Hal itulah yang terjadi pada pengusahaan kedua varietas
beras yang dianalisis. Nilai EPC untuk beras Pandan Wangi adalah 0,50 dan
untuk beras Varietas Unggul Baru adalah 0,73. Penerapan kebijakan pemerintah terhadap input-output pada beras Varietas Unggul Baru lebih memberikan
insentif jika dibandingkan pada pengusahaan beras Pandan Wangi. Hal tersebut terlihat dari nilai EPC komoditas baras Varietas Unggul Baru yang mendekati
nilai satu. Indikator dampak kebijakan terhadap input-output selanjutnya adalah
SRP atau Rasio Subsidi bagi Produsen. Berdasarkan Tabel 19, nilai SRP kedua varietas beras yang di analisis bernilai negatif. Nilai SRP untuk beras Pandan
Wangi adalah negatif 0.55 dan nilai SRP untuk beras Varietas Unggul Baru adalah negatif 0,37. Nilai SRP yang negatif menunjukkan bahwa kebijakan
pemerintah berpengaruh negatif terhadap struktur biaya produksi, karena biaya yang diinvestasikan produsen lebih besar dari pada nilai tambah keuntungan
yang dapat diterimanya. Berdasarkan nilai SRP, dampak kebijakan pemerintah lebih berpengaruh
negatif pada output beras Pandan Wangi jika dibandingkan dengan beras Varietas Unggul Baru. Kondisi tersebut disebabkan oleh selisih keuntungan yang
cukup besar antara keuntungan privat dan keuntungan sosial yang dialami oleh output beras Pandan Wangi. Bila diperhatikan, selisih tersebut salah satunya
disebabkan oleh faktor perbedaan harga jual output, dimana harga jual output sosial lebih tinggi dari harga jual output privatnya.
Melalui Koefisien Keuntungan PC mampu menjelaskan dampak insentif dari seluruh kebijakan output, kebijakan input asing tradable dan input domestik
net policy transfer. Berdasarkan nilai PC pada Tabel 19, bahwa kedua komoditas beras memilki nilai PC kurang dari satu. Ini berarti kebijakan
pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih rendah jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
Nilai PC untuk masing-masing varietas beras adalah 0,21 untuk beras Pandan Wangi dan 0,16 untuk beras Varietas Unggul Baru. Nilai PC tersebut
berarti keuntungan yang diterima produsen beras Varietas Unggul Baru lebih rendah jika dibandingkan dengan produsen beras Pandan Wangi. Produsen
beras Pandan Wangi memperoleh 21 persen dari keuntungan yang seharusnya diterima tanpa adanya kebijakan sedangkan produsen beras Varietas Unggul
Baru hanya 16 persen dari keuntungan yang seharusnya diterima tanpa adanya kebijakan.
VII. ANALISIS SENSITIVITAS TERHADAP DAYA SAING BERAS PANDAN WANGI DAN BERAS VARIETAS UNGGUL BARU
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam pengusahaan beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru sedikit banyak akan berpengaruh pada
daya saing kedua komoditi tersebut. Keterbatasan Matriks Analisis Kebijakan PAM yaitu analisis yang dilakukan bersifat statis hanya berlaku pada musim
bersangkutan. Untuk menutupi keterbatasan tersebut maka dilakukanlah analisis sensitivitas. Analisis Sensitivitas digunakan untuk mengetahui daya saing
komoditi beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru apabila terjadi perubahan-perubahan pada variabel biaya maupun variabel penerimaan.
Didalam penelitian ini analisis sensitivitas dilakukan dengan dua cara yang berbeda. Analisis sensitivitas cara pertama dilakukan mengetahui daya
saing kedua output yang dianalisis berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi di tempat penelitian. Sedangkan analisis sensitivitas cara kedua dilakukan
untuk mengetahui variabel-variabel apakah yang paling berpengaruh pada daya saing beras Pandan Wangi dan Varietas Unggul Baru. Analisis sensitiviatas cara
kedua tersebut dilakukan dengan memberikan perlakuan prosentase perubahan yang sama 16 persen pada setiap variabel yang dianggap berpengaruh pada
daya saing kedua varietas beras.
7.1. Analisis Sensitivitas Berdasarkan Perubahan Yang Terjadi Di Tempat Penelitian
7.1.1. Penurunan Jumlah Output Simulasi pertama yang dilakukan adalah penurunan jumlah output beras
Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru, ceteris paribus. Penurunan yang terjadi adalah sebesar 20 persen. Penurunan jumlah output tersebut akan
berpengaruh pada daya saing kedua output yang dianalisis. Tabel 20