Perubahan para-meiosis nukleus Tahap perbanyakan sitoplasma Morfometrik Kerang Hijau

Selama proses oogenesis terjadi perubahan-perubahan paramiosis, tahap perbanyak sitoplasma, dan pembelahan maturasi, dengan rincian sebagai berikut:

a. Perubahan para-meiosis nukleus

Menurut Webber 1977 bahwa pembentukan oosit, terjadi dalam lima tahap nukleus yaitu: 1. Tahap I fase oogonia, disini tampak kromatin berupa untaian tebal yang panjang dan nukleolus berukuran kecil namun homogen. 2. Tahap II, kromatin tersebar di seluruh nukleus, nukleolus membesar namun tetap homogen. 3. Tahap III, nukleus dan nukleolus membesar dan kromatin menjadi tidak tampak dengan jelas. 4. Tahap IV, awal proses vitellogenesis dalam sitoplasma, nukleolus masih tampak jelas namun tidak homogen. 5. Tahap V, nukleus tampak jernih dan bergerak menuju ke permukaan oosit. Nukleus membesar dan berada dalam bentuk gelembung nutfah germinal vesicle =GV. Pada tahap ini nukleolus menghilang dan tahap ini berakhir pada tahap profase meiosis I.

b. Tahap perbanyakan sitoplasma

Nukleus membesar selama oogenesis, demikian pula massa sitoplasmanya bertambah. Rasio nukleussitoplasma tidak berada dalam keadaan konstan. Selama perkembangan oosit pada Lamellaria perpicua, sebelum vitellogenesis, membran sel- sel folikel dan intinya yang mengelilingi oosit pecah dan sitoplasmanya masuk ke dalam oosit Webber 1977.

c. Pembelahan maturasi

Proses terjadinya pembelahan maturasi pada kelompok Prosobranchia sangat jarang dilaporkan. Penelitian yang cukup lengkap telah dilakukan oleh Conklin 1902 dalam Webber 1977 yang meneliti pada beberapa jenis keong Busycon carica, B. canaliculatum, Crepidula fornicata, C. convexa, C adunca dan Urosalpinx. Pada jenis-jenis keong tersebut, pembelahan maturasi pertama terjadi segera setelah sperma masuk ke dalam sel telur. Sentrosom tampak dan berhubungan dengan gelendong pusat. Butiran kromatin membesar dan membentuk kromosom. Selaput nukleus yang menyelimuti germinal vesicle mulai menghilang. Keping metafase mulai terbentuk dan replikasi kromosom berlangsung. Selanjutnya badan polar pertama akan membelah beberapa kali. Tidak ada waktu istirahat antara pembelahan maturasi pertama dan kedua. Selama tahap anafase tahap pembelahan maturasi kedua, kromosom-kromosom membulat dan bersatu menjadi satu vesikula, setelah dikeluarkan, badan polar kedua tidak membelah. Reproduksi kerang dapat diartikan sebagai jumlah komposisi selluler dari jaringan mantel yang digunakan sebagai teknik steriologikal Pipe 1985, yang memungkinkan untuk melihat pengaruh yang kecil akibat dari kontaminasi, sehingga akan memperlihatkan pengaruh lambatnya berkembang gamet, dengan kata lain secara patologi perkembangan oosit terhambat. Analisis sterologikal yaitu pemberian suatu kontaminan seperti hidrokarbon dosis rendah dapat menyebabkan penyimpanan cadangan pada jaringan mantel dari kerang biru Mytilus edulis Gosling 1992. Sebagaimana kita ketahui hewan moluska bersifat hermaprodit, yang artinya dalam satu tubuh terdapat dua jenis kelamin yaitu pada keadaan tertentu dapat bertindak sebagai jantan atau betina, untuk lebih jelasnya lihat Gambar 11. Gambar 11. Pada ovotestis terjadi spermatogenesis dan oogenesis Barker 2001. OOosit Premiotik Oosit Previtellogenik Spermatogonia Stage II vitellogenik Spermatosit Sel pemelihara leydig Spermatid Stage I vitellogenik Spermatozoa Sel Follikel Oosit Sel Follikuler Kapasitas Folikuler Kapasitas Folikuler

2.6.4. Siklus Epitel Semeniferus

Pada sayatan melintang testis mamalia dewasa bila diwarnai dengan pewarna priodeic acid shiff PAS akan terlihat tubulus semeniferus mengandung sel-sel kelamin dari berbagai perkembangan. Adanya tingkat perkembangan sel-sel germinal pada epitel tubulus semeniferus terutama disebabkan oleh perbedaan waktu proliferasi dan deferensiasi sel-sel induk spermatogonia Soeradi 1987. Kenyataan ini mungkin disebabkan oleh terjadinya sinkronisasi spermatogenesis secara berurutan. Dengan demikian kumpulan sel-sel yang terdapat pada area epitel tersebut tidak tersusun secara acak, melainkan diatur menjadi asosiasi sel dengan susunan sel yang selalu tetap dan teratur Clermont 1962. Setiap asosiasi selalu tersusun dari sel spermatogonia, spermatosit dan spermatid masing-masing dari tingkat perkembangan tertentu Gambar 12. Setiap asosiasi sel merupakan kumpulan sel dan perubahan kumpulan sel-sel kelamin pada epitel semeniferus hubungannya sangat erat pada proses spermatogenesis. Pada hewan lain yakni tikus dewasa, terdapat 14 macam asosiasi stadia epitel semeniferus, lihat Gambar 12 Leblon dan Clermont 1952. + Gambar 12. Stadium dalam proses spermatogenesis pada tikus Perey et al. 1961; Clermont 1962. S T A D I U M D A L A M S I K L U S TIPE SEL 1 A In P 1 15 2 A In P 2 16 3 A In P 3 16 4 A In P 4 17 5 A B P 5 17 6 A B P 6 18 7 A B P 7 19 8 A R P 8 19 9 A L P 9 10 A L P 10 11 A L P 11 12 A L-Z P 12 13 A Z Di 13 14 A Z || o c 14 Penentuan stadia siklus epitel tubulus semeniferus juga telah ditentukan pada hewan mammalia lainnya, seperti pada mencit 12 stadia Oakberg 1956, kera 12 stadia Clermont dan Leblond 1959, domba 8 stadia Linsay et al. 1982, sapi 12 stadia Garner dan Hafez 1987 dan manusia 6 stadia Clermont 1963. Belum dapat informasi tentang stadia epitel semeniferus pada kerang. Lama waktu siklus epitel tubulus semeniferus pada tikus telah ditentukan oleh Clermont dan Harvey 1965 dengan menggunakan zat radioaktif tritium thymidin H 3 -thymidin dan radioautografi. Caranya adalah mengamati kehadiran salah satu sel germinal pada asosiasi sel dari stadia epitel sememiferus tertentu yang ditandai labelled pertama kali. Selanjutnya melacak kapan generasi berikutnya pada asosiasi yang sama “ditandai” setelah satu siklus. Dengan cara tersebut dapatlah ditentukan waktu siklus epitel semeniferus dan waktu spermatogenesis, misalnya pada tikus 12,9 hari untuk satu siklus epitel seminiferus dan 51,6 hari waktu spermatogenesis. Berdasarkan metode diatas para ahli telah dapat menentukan waktu siklus epitel semeniferus dan waktu spermatogenesis beberapa hewan, seperti mencit 8,6 hari dan 35 hari Clermont dan Trott 1969; pada babi 8,6 hari dan 34,4 hari; domba 10,3 hari dan 41,2 hari; kuda 12,2 hari dan 48,8 hari; sapi 13,5 hari dan 54 hari Linsay et al . 1982, manusia 16 hari dan 64 hari Heller dan Clermont 1963. Belum dapat informasi tentang stadia spermatogenesis pada ikan dan kerang karena itu sebagai acuan dipakai stadia spermatogenesis pada tikus. Namun dapat pula mengacu kepada tingkat kematangan gonad TKG atau stadia perkembangan gonad pada kerang ada empat tahap Tabel 8.

2.6.5. Tingkat Kematangan Gonad

Klasifikasi kematangan gonad secara histologi dilakukan dengan membandingkan prefarat histologi gonad kerang hijau dengan karakter kematangan gonad yang digunakan Chipperfied 1953. Untuk membedakan tingkat kematangan gonad kerang biru, Mythilus edulis deskripsi tingkat kematangan dapat dilihat Tabel 8. Tabel 8. Deskripsi tingkat kematangan gonad TKG kerang hijau secara morfologi dan histologi. Tahap Morfologi Stadium Histologi TKG I Merupakan fase dorman seksual; periode ini dimulai dari pengeluaran gamet ketika hewan mengumpulkan cadangan energi terutama glikogen dan lemak, mantel tampak tidak berbeda dan berwarna krem atau orange, selanjutnya menebal karena terjadi pembentukan folikel-folikel dan saluran gonad, meski belum ada produk genetal. Stadium O Non aktif Pada stadium ini tidak ditemukan folikel beserta sel-sel gametnya, sehingga tidak dapat dibedakan mana sel gamet betina dan jantan. Daerah gonad didominasi oleh sel-sel anyaman penyambung. TKG II Mantel tampak mulai berbeda dengan tahap awal, folikel mulai berkembang dan tampak sebagai jaringan halus. Stadium I Berkem- bang deve- loping • Rongga folikel masih kecil, berisi sel-sel oogenium dan oosit atau spermatogonium dan spermatosit, tetapi belum terlihat adanya sel-sel gamet yang masak. • Sel-sel gamet yang telah masak mulai tampak membesar, rongga folikel sampai 1 3 dari besar keseluruhannya. • Besar rongga folikel ½ dari keseluruhannya dan terisi oleh sel- sel gamet baik yang telah masak maupun yang belum masak dalam jumlah yang sama. • Rongga folikel telah mencapai 2 3 dari besar keseluruhannya. Pembentukan sel-sel gamet masih tetap berlangsung, namun rongga folikel sebagian besar telah terisi oleh sel-sel gamet yang masak. TKG III Folikel menjadi semakin jelas, warna mantel berbeda antar kelamin. Pada betina berwarna orange kemerahan, dan krem kekuningan pada jantan , ova dan sperma tidak terbentuk tetapi masih immature. Stadium II ripe Seluruh rongga folikel terisi oleh sel telur yang bentuknya polygonal atau spermatozoa dengan ekornya. TKG IV Kematangan seksual telah terapai dan gamet siap dipijahkan, gonad dapat saja ditemukan kosong pada satu atau beberapa batch. Jika telah kosong mantel menjadi kemerahan dan translusent. Stadium III spawn- ing • Stadium yg menunjukan sebagian kecil sel telursperma telah dikeluarkan sehingga tampak rongga mulai mengosong. • Separuh dari rongga folikel telah kosong. • Sebagian besar rongga folikel telah kosong. Jumlah sel telursperma hanya tinggal sedikit. • Seluruh sel gamet telah dikeluarkan. Rongga folikel hanya berisi oleh sisa-sisa sel telursperma yg sedang mengalami sitolisis. Sumber: Chipperfield 1953. Sedangkan Perkembangan gonad kerang scaloop Chlamys nobilis kerang gajah menurut petunjuk Seed 1969 dapat diklasifikasikan menjadi enam tingkat perkembangan gonad. Kondisi gonad pada keenam tingkat sebagai berikut: Tingkat I : Belum matang gonad Immature, dimana gonad masih kecil dan kelihat- an transparan. Secara histologi jaringan gonad masih memiliki tubuleslumen yang sempit dengan memiliki sel-sel germinal primer. Tingkat II : Gonad Mulai berkembang Maturing, dimana gonad mulai berkembang dengan ukuran mulai membesar. Folikel mempunyai sel-sel spermatogonia dan oogonia. Testis dan ovarium tidak dapat dibedakan. Tingkat III : Gonad telah membesar Maturing. Tingkat ini kelihatan gonad telah membesar. Jenis kelamin mulai dapat diidentifikasi dimana jantan memiliki warna keputihan Testis dan betina ovariumnya berwarna orange kuning pinang masak. Tingkat IV : Matang mature, dimana gonad telah membesar mencapai kapasitas volume maksimal mengandung folikel yang besar. Testis berwarna kream dengan memiliki sperma yang aktif dan betina memilki warna orange yang cerah dengan memiliki oosit yang matang. Tingkat V : Sebagian telah mengeluarkan sperma dan telur Partially spent, Gonad memiliki sisa produksi sel kelamin, dimana folikel mulai kosong. Tingkat ini berbeda dengan tingkat 3. Tingkat VI : Telah mengeluarkan seluruhnya telur dan sperma Completely spent. Gonad mengecil, mengkerut dan lembut dimana gonad tidak memiliki folikel. Warna gonad kecoklatan dan tidak dapat dibedakan jantan dan betina. Tingkat perkembangan gonad secara histologis pada Reeve Chlamys Nobilis dapat dilihat Gambar 13. Pada gambar tersebut oogenesis perkembangannya hanya lima tingkat, dimikian juga spermatogenesisnya. Gambar 13. Tingkatan Stage oogenesis pada kerang klam skalop = Chlamys nobilis = Reeve pada gambar a sd e. Kerang yang hermaphrodit gambar f. Sedangkan gambar g dan h. stage spermatogenesis 4 dan 5 Nguyen Thi Xuan Thu dan Nguyen Chinh 1999. Tingkat perkembangan gametogenesis pada species dari kelas Bivalva menurut petunjuk Galluci dan Galluci 1982; Braley 1984 perkembangan gametogenesis sama dengan pendapat Seed 1969 yaitu enam tingkat stage. Namun pada pendapat Galluci dan Galluci 1982; Braley 1984 lebih rinci penjelasannya pada kerang jantan dan betina. Lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Tingkat perkembangan gametogenesis pada gonad kerang Kelas Bivalva. TINGKAT BETINA JANTAN Belum matang Immature -belum ada jaringan gonad -Banyak jaring penghubung dan dominan sel-sel granulosa Sama dengan betina 1 Mulai Gametogenesis -Ovari tidak memiliki folikel -Terbentuknya garis-garis bakal oosit -Folikel belum ada -Terbentuk garis-garis bakal spermatogonia, baru mucul spermatosit Primer dan sekunder. 2 Pertengahan Gametogenesis -Ova mulai mengisi lumen folikel Oosit berkembang mendekati dinding folikel. -Oosit kecil dan menjulur. -Spermatosit mulai mendominasi di lumen folikel. -Spermatozoa juga mulai mengisi lumen folikel. 3 Akhir Gametogenesis Sudah terbentuk ova yang dikelilingi sitoplasma berbentuk poligon, namun masih ada yang berbentuk menjulur. -Ova matang, ova berbentuk elipe dan kompak. -Dinding folikel diantara ova tipis dan halus dan ber-crenate dalam ovari. -Hampir semua sperma matang. -Masih banyak terdapat spermatosit dalam folikel. -Bakal spermatozoa mulai berkurang dengan meningkatnya sperma matang. -Acidophilic pada ekor sperma berwarna pink mengarah ketengah lumen folikel. 4 Mulai Istirahat -Folikel pada ovarium menghilang. -Ova dikeluarkan -Dinding folikel antara ova sangat tipis dan crenate hilang. -Beberapa ova mengalami sitolisis -Spermatozoa menghilang dari lumen folikel testis, ruangan diisi dengan amoebocyte paling banyak terlihat atau umumnya kelihatan tidak ada spermatozoa di lumen folikel. 5 IstirahatRegresi -Tidak ada sel-sel gamet -Jaringan insterstial dan amoebosit paling banyak terlihat. -Folikel kosong. -Terdapat sedikit sisa kematangan ova. -Kadang-kadang juga masih ada oosit terlihat di folikel. -Tidak ada terlihat gamet. -Kadang-kadang ada sisa dari kematangan spermatozoa.

2.6.6. Peran Hormon pada Spermatogenesis

Hormon gonadotropin yang dihasilkan kelenjar hipofisa meliputi FSH folicle stimulating hormone , LHluteinizing hormone dan LTH luteotropik hormone, luteotropin atau Prolaktin berperan merangsang aktivitas gonad untuk berkembang Frandson 1992 dan merupakan kontrol utama pada awal siklus reproduksi hingga terjadi ovulasi dan spermiasi pada ikan Sheton 1989. Gonadotropin yang mengatur reproduksi dalam pematangan tahap akhir oosit, ovulasi dan spermatogenesis adalah FSH dan LH Djojosoebagio 1990. Pada ikan dikenal dengan gonadotropin I GTH I dan LH dikenal dengan gonadotropin II GTH II. Kelenjar pituitari hipofisa sangat esensial dalam mengatur perkembangan testis dan berlangsungnya proses spermatogenesis. Secara fisiologi telah diketahui bahwa dalam proses spermatogenik diatur oleh hormon gonadotropin dan testosteron. Menurut Steinberger dan Dukett 1967 bahwa kebutuhan hormon tidak sama dalam tahap-tahap spermatogenesis, pada tahap miosis dibutuhkan hormon testosteron dan pada tahap akhir yaitu proses spermiogenesis dibutuhkan hormon FSH. Lebih anjut dijelaskan oleh Greep dan Fevold bahwa hormon LH berperanan menstimulasi sel Leydig memproduksi hormon testosteron, sedangkan hormon FSH berperanan menstimulasi pertumbuhan sel-sel epithelium tubulus semeniferus. Selanjutnya menurut Steinberger bahwa hormon FSH juga menstimulasi sel-sel sertoli untuk membelah diri Coutinho dan Fuchs 1974. Pada prinsipnya proses pematangan spermatozoa pada ikan jantan sama dengan proses pematangan sel telur. Dengan adanya gonadotropin yang berasal dari hipofisa FSH dan LH akan meransang testis untuk memproduksi hormon androgen yang berperan dalam pengaturan reproduksi jantan, seks sekunder dan tingkah laku memijah Angka et al. 1991. Susunan saraf pusat berperan merangsang hipotalamus untuk melepaskan gonadotropin releasing hormon Gn-RH, hormon ini akan meransang hipofisa untuk melepaskan gonadotropin yang akan disekresikan ke dalam gonad testis. Dalam gonad gonadotropin akan meransang sel-sel interstitial sel Leydig untuk melepaskan androgen terutama 11 ketotestosteron dan merangsang sel-sel sertoli untuk melepaskan progesteron terutama 17 α - 20β P yang semuanya berperan dalam proses spermatogenesis Coutinho dan Fuchs 1974. Peranan hormonal pada moluska, hasil penelitian Griffond and Gomot 1989 bahwa pemberian ekstrak Tentakel dapat menghambat oogenesis. Pelluet and Lane 1961 bahwa pemberian ekstrak susunan sayaraf pusat central nervous system=CNS pada C. aspersus dan A. subfursers dapat meningkatkan jumlah oosit. Pemberian ekstrak dorsal body DB juga menyebabkan matangnya sel-sel oosit Wijdenes dan Runham 1976. Pada C. aspersus meningkatnya ukuran DB dapat menyebabkan meningkatnya sintesis protein Griffond dan Vincent 1985. Pada Basommaphores termasuk Lymnaea stagnalis diketahui bagian dorsal body DB juga dapat mengontrol perkembangan organ kelamin betina Barker 2001. Gambar 14 . Mekanisme hormon kontrol aktivitas reproduksi pada gastropoda teresterial Barker 2001. Hormon yang terdapat dalam ovotestis dapat mengatur oogenesis Bierbauer 1978 lebih lanjut dikemukakan bahwa pemberian ekstrak ovotestis pada H. pomatia dapat menyebabkan meningkatnya sel-sel oosit tingkat I dan II. Takeda 1983 melakukan penelitian pemberian hormon estradiol dapat mengatur oogenesis pada E. pehomphale . Selanjutnya menurut penelitian Griffond and Gomot 1989 bahwa penyuntikan hormon steroid vetebrata dapat menyebabkan pengaturan oogenesis pada moluska, namun saat ini belum diketahi bagaimana mekanismenya. Percobaan melakukan kastrasi pada Lamacus flavus dan E. pehomphala menyebabkan atropinya organ reproduksi asesoris dan penyuntikan androgen menyebabkan berkembangnya organ kelamin jantan seperti kelenjar prostat, dan spermiduct. Selanjutnya penyuntikan estrogen menyebabkan berkembangnya kelenjar albumen, kelenjar oviduk dan vagina Takeda 1985. Ovotestis dari L. maximus diketahui melepaskan hormon yang menyebabkan berkembangnya organ asesori reproduksi jantan dibawah pengaruh hormon maturation gonadotropin faktor MGF yang berasal dari central nervous system, CNS Barker 2001. Organ cephalic tantacles dapat merangsang perkembangan kelenjar albumen pada C. aspersus. Tentakel dapat menghambat proses organogenesis dari kelenjar albumen Gomot dan Courtot 1979. Pada stylommatophoran chepalic tentacle mengatur fungsi hormonal Pelluet dan Lane 1961. Penyuntikan ekstrak tentakel dapat menyebabkan terjadinya spermatogenesis Pelluet, 1964. Wattez 1980 melakukan pembuktian bahwa cephalic tentacle pada A. subfuscus dapat menstimulasi produksi gamet. Takeda 1982 bahwa Cephalic tentacles menyebabkan stimulasi spermatogenesis. Gottfied dan Dorfman 1970 mengasumsikan bahwa cephalic tentacles menghambat biosentesa steroid di ovotestis. Penelitian Bierbauer and Molnar 1972 dalam Barker 2001 pemberian hormon testosteron dapat menstimulasi terjadinya spermatogenesis, namun dengan perlakuan pemberian ekstrak cephalic tentacles dapat menurunkan spermatogenesis 23 pada H. pomatia. Takeda 1982 menyakatakan bahwa cephalic tentacles adalah sebagai kelenjar optik atau ”optic gland” karena ia terdiri atas sel-sel collar. Barker 2001 bahwa CNS CG=cerebral ganglia + DB=dorsal body mempunyai peranan mengatur perkembangan perkembangan sel-sel kelamin jantan, dengan jalan suatu mekanisme merangsang Stimulatory dan menghambat inhibiting factors, umumnya cephalic tentacles menstimulasi positif pada spermatogenic multiplication SM.

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada selama 8 bulan Mulai Oktober 2006 sampai Mei 2007. 3.2. Metode Penelitian

3.2.1. Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini dilakukan dengan metoda survey dengan terlebih dahulu dilakukan penetapan stasiun dan titik-titik pengambilan sampel air laut, sedimen dan kerang hijau Perna viridis jantan dan betina. Stasiun S yang ditetapkan adalah tiga stasiun di daerah Teluk Jakarta yaitu stasiun satu S-1 di daerah Kamal, stasiun dua S-2 di daerah Marunda dan stasiun tiga S-3 di daerah Gembong. Sedangkan stasiun keempat S-4 berada di Teluk Banten yaitu desa Karangantu dan stasiun kelima S-5 di Teluk Lada yaitu Desa Panimbang, termasuk wilayah Propinsi Banten Gambar 15. Gambar 15. Peta lokasi stasiun pengambilan sampel di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. S1 S5 S2 S4 S3 Pengambilan sampel air menurut petunjuk Lutan 2004, sedangkan pengambilan contoh sedimen menurut petunjuk Gordon et al. 1992. Setiap stasiun ada 1 titik pengambilan sampel air yaitu air permukaan, air setengah kedalaman dan air dekat dasar serta 3 titik sedimen. Untuk menilai tingkat kualitas air laut di lokasi penelitian, digunakan Baku Mutu Kualitas Air Laut menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Kualitas Air Laut untuk Biota Laut Budidaya Perikanan. Pengambilan sampel sedimen, air laut dan kerang dilakukan secara acak di setiap stasiun penelitian, untuk lebih jelas lihat Tabel 10. Tabel 10. Pengambilan sampel air, sedimen dan kerang hijau Perna viridis. No. Lokasi Sampel Sedimen Air Kerang hijau Morfometrik Histopatologi Jantan Betina Jantan Betina 1. 2. 3. 4. 5. Stasiun I Kamal Stasiun II Marunda Stasiun III Gembong Stasiun IV Karangantu Stasiun V Panimbang 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 120 142 77 60 130 63 164 90 50 85 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor Total 15 15 529 452 20 ekor 20 ekor Sampel kerang hijau untuk analisis histopatologi gonad diambil secara acak di setiap stasiun penelitian. Setiap stasiun diambil 4 ekor kerang hijau jantan dan 4 ekor kerang hijau betina, sehingga jumlah kerang hijau yang diambil dari kelima stasiun adalah 40 ekor. Kerang hijau diperoleh dari daerah Propinsi Banten yaitu satu stasiun di Teluk Banten yaitu desa Karangantu S-4 dan satu stasiun lagi dari Teluk Lada yaitu Panimbang S-5. Ukuran bobot tubuh kerang hijau Perna viridis yang diambil dalam penelitian ini adalah berkisar 5 - 66g, namun gonad yang dianalisa diambil kerang yang besar. Untuk data performan Morfometrik kerang hijau diambil sampelnya secara acak stasiun di Teluk Jakarta yaitu Kamal 183 kerang hijau, Marunda 306 kerang hijau dan Gembong 167 kerang hijau, Teluk Banten yaitu di stasiun Karangantu sebanyak 110 kerang hijau dan Teluk Lada yaitu di Panimbangan sebanyak 215 kerang hijau. Pada sampel air laut, sedimen dan organ gonad kerang hijau dari kelima stasiun dilakukan pemeriksaan kandungan senyawa logam berat. Kandungan logam berat diperiksa dengan menggunakan alat spektropotometer serap atom SSA flame, meliputi unsur Hg, Pb, Cd, Cr dan Hg diperiksa Laboratorium Pasca Panen, Balai Besar Pasca Panen Departemen Pertanian, Cimanggu, Bogor. Pemeriksaan suhu, kecerahah, salinitas dan pH air dilakukan di lokasi stasiun penelitian. Selanjutnya tingkat lapisan minyak, DO, nitrat, amoniak, dan phospat diperiksa di Laboratorium Limnologi, FPIK-IPB Bogor. Parameter yang diamati dan alat analisisnya disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Metode analisis laboratorium untuk masing-masing parameter. No Parameter Alat Analisis 1. Suhu Termometer 2. Salinitas Salinometer 3. pH pH-meter 4. Kecerahan m Secchi disk 5. Lapisan minyak Ekstraksi 6. Oksigen terlarut DO DO-meter 7. Amoniak Spektropotometer 8. Nitrat Spektropotometer 9. Phospat Spektropotometer 10. Pb SSA 11. Cd SSA 12. Cr SSA 13 Hg SSA Parameter kualitas air, sedimen dan sel-sel gonad kerang jantan dan betina yang diamati dapat dilihat Tabel 12. Tabel 12. Parameter yang diamati pada perairan dan kerang hijau. No Peubah Kualitas Air di Teluk Jakarta Peubah pada gonad kerang hijau Perna viridis Jantan Betina 1 2. 3. Kimia; Logam berat 1. Pb 2. Cd 3. Cr 4. Hg Juga Sedimen Fisik 1.Suhu 2. Kecerahan 3. Salinitas 4. lapisan minyak Kimia 1.pH 2.DO 3.Amoniak 4.Nitrat 5.Phospat 1. Logam berat: 1. Pb 2. Cd 3. Cr 4. Hg 2. Sel-sel kelamin: -Spermatogonia, -spematosit primer, -Spermatosit sekunder, -Spermatozoa. -Diameter Lumen -Luas Lumen -Volume lumen 1. Logam berat: 1. Pb 2. Cd 3. Cr 4. Hg 2.Sel-sel Kelamin: -Oogonia -Oosit Primer -Oosit Sekunder -Diameter Lumen -Luas Lumen -Volume lumen Sampel kerang hijau yang diambil diukur morfometriknya seperti bobot tubuh, panjang, lebar, tinggi, bobot cangkang dan bobot daging kerang hijau. Sampel kerang hijau diperiksa secara visual organ reproduksinya apakah mengalami abnormalitas. Sampel organ reproduksi jantan dan betina kerang hijau dibuat preparat histologi untuk melihat kelainan gametogenesis spermatogenesis dan oogenesis. Sel-sel kelamin jantan yang diamati adalah spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatozoa. Sedangkan sel-sel kelamin betina yang diamati adalah sel- sel oogonia, oosit primer dan oosit sekunder. Selanjutnya juga diamati diameter folikel, luas folikel dan volume folikel gonad jantan dan betina. Sumber data sekunder kualitas air pantai Teluk Jakarta, Banten dan Lada diperoleh dari hasil pemantauan Departemen Kelautan dan Perikanan, pemerintah DKI Jakarta dan Propinsi Banten.

3.2.2. Cara Kerja Pembuatan Preparat Histologi

Pembuatan preparat histologi berpedoman kepada metoda mikroteknik Gunarso, 1989 dengan proses sebagai berikut: 1. Fiksasi Gonad ovotestis diambil dan dicuci dengan NaCl fisiologi 0,65, difiksasi dalam larutan bouin 15 ml asam pikrat jenuh + 5 ml formalin pekat + 1 ml cuka pekat, dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70 beberapa kali sampai warna kuning hilang. 2. Dehidrasi Organ direndam dalam larutan alkohol bertingkat 80, 85, 90 masing-masing selama dua jam dan dipindahkan ke dalam alkohol 100 sebanyak empat kali masing-masing selama satu jam. 3. Clearing I Organ direndam dalam alkohol 100 + xylol 1:1 selama 45 menit, kemudian ke xylol I, II, dan III masing-masing selama 45 menit. 4. Infiltrasi Organ direndam dalam xylol + parafin 1:1 selama 45 menit pada suhu 60 ºC. Kemudian renam ke dalam parafin I, II, dan III masing-masing 45 menit. 5. Embiding Organ ditanam ke dalam balok parafin cair pada suhu 60 ºC sampai parafin mengeras selama 24 jam. 6. Pemotongan Spesimen dipotong setebal 6 mikron, ditempelkan pada gellas objek yang telah ditetesi ewit, renggangkan di atas alat pemanas lalu keringkan 24 jam pada suhu 45 ºC. 7. Deparafinisasi Prefarat direndam berturut-turut xylol I, II dan II, alkohol 100 I dan II, 95, 90, 85, 80, 70 dan 60 masing-masing dua menit dan cuci sampai warna putih. 8. Pewarnaan Prefarat direndam dalam larutan hematoksilin selama 2 menit, dicuci dengan air keran mengalir, rendam dalam larutan eosin selama 2 menit, cuci dengan air keran mengalir. 9.Dehidrasi Prefarat direndam berturut-turut di dalam alkohol 70, 60, 85, 90, 95 I, 95 II, 100 I, 100 II masing-masing selama satu menit. 10.Clearing Prefarat direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama satu menit. 11. Penutupan dengan kaca penutup Preparat diberi perekat canada balsem, ditutup dengan gelas penutup, keringkan selama 10 menit. Preparat diberi lebel sesuai dengan perlakuan sehingga didapatkat prefarat permanen histologi gonad testis dan ovarium yang dapat diamati di bawah mikroskop.

3.2.3. Penilaian Gametogenesis.

Sampel preparat histologi gonad kerang hijau jantan dan betina yang berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada dianalisis histopatologinya. Untuk mengetahui akibat pengaruh akumulasi logam berat Hg, Pb dan Cd terhadap gametogenesis spermatogenesis dan oogenesis maka diperiksa setiap preparat histologi ovotestis dengan melakukan penilaian secara kuantitatif terhadap sel-sel spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatozoa dan oogonia, oosit primer, oosit sekunder. Pada kerang hijau dilakukan menurut petunjuk Chipperfied 1953 bahwa untuk dapat menghitung sel-sel kelamin pada tingkat kematangan gonad. Dari keempat stadium yaitu stadium III yang tepat diguna untuk menghitung sel-sel kelamin dimana pada stadium tersebut gonad kerang jantan mengandung spermatogonia, spermatosit primer, sekunder, dan spermatozoa. Sedangkan pada kerang hijau betina mengandung oogonia, oosit primer, oosit sekunder Tabel 8. Demikian juga menurut petunjuk Galluci dan Galluci 1982; Braley 1984 bahwa tingkat perkembangan gonad untuk maksud menghitung sel-sel kelamin sebaiknya pada stadium 3 Tabel 9, selanjutnya menurut Seed 1969 dapat dilihat pada stadium 4. Penilaian sel-sel germinal pada stadium 4 pada lumen folikel hanya dilakukan pada sayatan melintang, bentuk bulat dan mempunyai lumen yang teratur sebanyak 20 potong folikel per gonad. Selanjutnya untuk memperoleh jumlah tiap sel germinal yang mendekati populasi sebenarnya, maka jumlah tiap sel germinal yang diperoleh dari hasil pengamatan, dikoreksi dengan menggunakan rumus Abercrombie 1946: M P = A [----------] L + M keterangan; P = Jumlah rata-rata sel peririsan lumen folikel yang sebenarnya A = Jumlah sel yang diperoleh sebelum dikoreksi. M = Tebal irisan lumen folikel dalam satuan mikron. L = Rata-rata diameter inti sel yang dihitung dalam satuan mikron.. Untuk menentukan apakah gametogenesis oogenesis dan spermatogenesis terpengaruh akibat bioakumulasi logam berat maka dibandingkan dengan jumlah sel- sel kelamin diantara Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. Kalau hasilnya diperoleh berbeda signifikan maka disimpulkan bahwa akumulasi logam berat dalam ovotestis berpengaruh terhadap gametogenesis.

3.2.4. Prosedur Pemeriksaan Logam Berat

Sampel uji air atau sedimen dipreparasi dengan menggunakan metoda destruksi asam. Sampel uji yang sudah diketahui volumenya maupun beratnya ditambahkan asam pekat HNO 3 , H 2 SO 4 , HCLO 4 dan dipanaskan pada suhu sekitar 120 ºC dengan menggunakan penangas air sampai sampel uji yang mengandung senyawa-senyawa organik terdekomposisi dengan sempurna yang memakan waktu antara 1,5 – 2 jam. Larutan contoh uji disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman 4B dan kemudian ditambahkan air distilasi sampai dengan tanda tera dalam labu ukuran 100 ml. Larutan ini siap untuk dianalisis dengan menggunakan alat spektrofotometer serap atom SSA baik menggunakan tipe nyala flame atau tanpa nyala flameless tergantung dari kadarnya. Penentuan kosentrasi logam berat dilakukan dengan menggukan alat SSA. Alat ini bekerja dengan prinsip penyerapan cahaya pada gelombang tertentu dan tingkat penyerapan cahaya ini berbanding lurus dengan kosentrasi atom yang ada di dalam sampel uji. Pada saat analisis, larutan sampel diatomisasi dalam nyala dan intensitas penyerapan cahaya lampu katoda dibaca oleh detektor. Alat SSA yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hitachi Polarized Atomic Absorption Spectrophotometer model Z-6100. Alat ini merupakan teknik yang memanfaatkan fenomena penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral dalam bentuk gas sebagai dasar pengukurannya. Atom-atom bebas dihasilkan dengan jalan menyemprotkan ke dalam nyala dari contoh yang berupa larutan suspensi. Besarnya kepekatan analit ditentukan dari besarnya absorpsi berkas sinar garis resonansi yang melewati nyala Edvantoro et al. 2001. 3.3. Analisis Statistik 3.3.1. Uji t-student Untuk melihat perbedaan ukuran tubuh morphometric seperti berat tubuh, berat cangkang, berat daging, panjang, lebar dan tinggi kerang hijau Perna viridis setiap stasiun digunakan uji t-student menurut petunjuk Steel dan Torrie 1995. Dalam penelitian ini jumlah sampel kerang hijau jantan dan betina dari setiap stasiun tidak sama, maka dengan demikian n 1 ≠ n 2 sehingga keragamannya: ∑ Y 1 2 – ∑ Y 2 n 1 + ∑ Y 2 2 – ∑ Y 2 n 2 S 2 = -------------------------------------------------- n 1 - 1 + n 2 - 1 db = n 1 - 1 + n 2 - 1 S y1 – y2 = √ S 2 n 1 - n 2 n 1 . n 2 Y 1 - Y 2 t hit = -------------- : t tabel 5 atau 1 S y1 – y2 Demikian juga untuk membedakan perbedaan antar lokasi akibat dari pencemaran dari peubah jumlah populasi oogonia, oosit primer, oosit sekunder, jumlah sel-sel kelamin betina, spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, jumlah spermatozoa, jumlah sel-sel kelamin jantan, dan diameter, luas, volume lumen folikel gonad betina dan jantan digunak uji-t berpasangan. Analisa uji-t berpasangan antara peubah pengamatan antar lokasi digunakan software SPSS versi 13.

3.3.2. Analisis Regresi dan Korelasi

Untuk melihat hubungan antara peubah performan kerang hijau yaitu peubah berat tubuh, berat cangkang, berat daging, panjang, lebar dan tinggi kerang hijau digunakan analisa regresi dan korelasi menurut petunjuk Steel dan Torrie 1995. Demikian juga untuk melihat hubungan antara pengaruh logam berat terhadap jumlah sel-sel kelamin jantan dan betina digunakan analisa tersebut. Untuk menghitung atau menganalisa regresi dan korelasi mengunakan software SPSS versi 13. 1V. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Jakarta di Propinsi DKI Jakarta, Teluk Banten dan Lada di Propinsi Banten. Daerah ini menurut beberapa peneliti telah mengalami pencemaran logam berat. Stasiun pengambilan sampel kerang hijau Perna viridis dan air laut kualitas air laut di Teluk Jakarta adalah Kamal S1, Marunda S2, dan Gembong S3, Teluk Banten di Desa Karangantu S4 dan Teluk Lada di Desa Panimbang S5. Deskripsi wilayah penelitian sebagai berikut:

4.1.1. Teluk Jakarta

Teluk Jakarta terletak pada 06º00’40” LS dan 05º54’40” serta 106º40’45” BT dan 107º01’19” BT. Teluk ini berbatasan dengan Tanjung Pasir di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur, serta mempunyai rentangan pantai sepanjang kurang lebih 40 km dan luas kira-kira 490 km². Bagian yang jauh menjorok ke dalam, berjarak kurang lebih 18 km dari garis pantai yang menghubungkan kedua ujung teluk. Teluk ini juga merupakan muara dari beberapa sungai yaitu Sungai Angke, Ciliwung, Sunter, Bekasi dan cabang anak Sungai Citarum. Umumnya daerah tangkapan hujan dari sungai ini sudah banyak dipengaruhi oleh aktivitas penduduk dan industri Riani et al. 2004. Menurut laporan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DPPK, DKI Jakarta tahun 2006 bahwa kondisi batimetri kedalaman perairan Teluk Jakarta memiliki kedalaman 0-20 meter dengan kemiringan landai 0,0033. Sedimen dasar terdiri atas material berbutir halus dan memiliki kemampuan meredam energi gelombang yang besar. Kontur batimetri relatif sejajar dengan garis pantai melengkung sesuai dengan bentuk perairan Teluk Jakarta. Pada wilayah perairan Teluk Jakarta tidak ditemukan palung atau tonjolan yang dapat mengubah pola gelombang datang akibat refraksi dan difraksi. Tipe pasang surut wilayah perairan Teluk Jakarta termasuk kategori pasang surut harian tunggal diurnal tide, dengan air tertinggi dan terendah terjadi hanya satu kali dalam dua puluh empat jam. Kisaran tunggang pasang tertinggi adalah sebesar 0,9 – 1,5 meter. Dalam kondisi tertentu tunggang pasang dapat lebih besar dari kisaran tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh kenaikan muka air akibat badai storm surge. Kecepatan arus musim berkisar antara 20 sampai 40 cms. Pasang surut di perairan Teluk Jakarta masih dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang merambat masuk melalui perairan Selat Sunda. Dengan demikian, maka secara umum arus yang ditimbulkan oleh pasang surut diperkirakan bergerak ke arah utara dalam kondisi pasang, dan sebaliknya ke arah selatan dalam kondisi surut. Pengaruh kedalaman perairan lokal dan morfologi pantai dapat memodifikasi arus tersebut. Gelombang yang terjadi di Teluk Jakarta terutama disebabkan oleh angin yang pembentukannya dapat terjadi sekitar lokasi atau dari lokasi yang jauh, kemudian merambat ke arah pantai. Di wilayah Teluk Jakarta, gelombang yang terjadi dalam periode musim Timur yaitu bulan Juli sampai September lebih rendah dari pada musim Barat yaitu bulan Desember sampai Februari. Gelombang datang sesuai dengan arah mata angin yaitu pada musim barat datang dari arah barat laut dan pada musim timur datang dari arah timur laut dan sebagian datang dari arah utara. Tinggi gelombang dominan berkisar antara 0,5 – 1 meter dengan periode antara 3 – 5 detik. Salah satu perairan laut yang kualitasnya sudah melewati batas ambang baku mutu kualitas perairan menurut kriteria Keputusan Menteri Lingkungan Hidup 1988 adalah Teluk Jakarta. Hal ini disebabkan banyak limbah yang masuk ke dalam perairan Teluk Jakarta yang dibawa oleh 13 sungai yang bermuara ke dalamnya. Menurut laporan Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan hidup KPPL tahun 1997 bahwa limbah yang masuk ke perairan ini adalah limbah dari kegiatan industri pengelola sekitar 97,82 yakni 1.632.896,47 ribu m³tahun, domestik 2,17 yakni 36.229,90 ribu m³tahun, dan limbah industri pertanian 0,01 yakni 232,25 m³tahun. Namun limbah yang masuk ke dalam perairan Teluk jakarta ini bukan saja limbah organik yang untuk menguraikannya memerlukan oksigen, tetapi juga limbah yang termasuk katagori B3 yang tercampur dalam limbah tersebut Riani et al. 2004. Menurut Firmansyah 2007 sumber pencemaran air di Teluk DKI Jakarta berasal dari landbased disebabkan oleh tiga kategori limbah antara lain limbah domestik, limbah industri dan limbah pasar. Selain itu adanya penurunan debit sungai menyebabkan pengenceran atau daya perbaikan sungai tidak berlangsung baik dan berkesinambungan, serta adanya kegiatan di sepanjang Pantai Pantura Jakarta. Lebih lanjut kontribusi sumber pencemaran di Teluk Jakarta berasal dari limbah domestik 27.09, limbah industri 14,04 dan limbah pasar 46,70. Menurut laporan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah BPLHD, DKI Jakarta tahun 2004 bahwa perairan Teluk Jakarta berdasarkan indeks keanekaragaman, menunjukan zona D mengalami pencemaran berat, zona C mengalami pencemaran sedang dan zona B dan A mengalami pencemaran ringan. Daerah Muara Teluk Jakarta, muara Angke, Cengkareng, dan Muara Sunter telah mengalami pencemaran berat, sedangkan Muara Kamal, Muara Karang, Muara Ancol, Muara Cakung, Muara Marunda mengalami pencemaran sedang dan Muara Gembong mengalami pencemaran ringan.

4.1.2. Teluk Banten

. Menurut laporan DPPK DKI Jakarta tahun 2006 bahwa kondisi batimetri perairan di Propinsi Banten pada dasarnya termasuk dalam perairan dangkal yang dikenal dengan paparan sunda. Paparan adalah zona di laut mulai dari garis surut terendah sampai pada kedalaman sekitar 120-200 meter, yang umumnya diikuti oleh lereng yang lebih curam ke arah laut. Bagian utara propinsi Banten yaitu Teluk Banten pada umumnya mempunyai dasar yang rata dan melandai dari arah Barat ke Timur. Sedangkan untuk perairan muara Karangantu adalah muara dari Sungai Cibanten. Substrat di kawasan ini adalah lumpur. Lumpurnya relatif berwarna hitam karena pengaruh buangan organik di sekitar sungai. Daerah hulu sungai merupakan daerah pemukiman yang banyak membuang sisa aktivitasnya ke sungai. Perairan relatif dangkal dan keruh, lalu lintas perahu nelayan relatif kurang lancar terutama saat surut akibat pendangkalan. Tipe pasang surut wilayah perairan Propinsi Banten merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda yang dikenal sebagai tipe pasut campuran. Pasang surut yang terdapat di perairan Propinsi Banten dan sekitarnya bertipe campuran terutama semidiurnal dengan bilangan formzahl berkisar antara 0,25-1,25. Tunggang pasang bervariasi antara 30 cm pada saat pasang perbani dan lebih dari 100 cm pada saat pasang purnama. Di wilayah perairan Teluk Banten arah arus yang dominan adalah arah arus yang keluar dari laut Jawa menuju Samudera Hindia. Pasang surut di perairan Teluk Banten juga masih dipengaruhi dari Samudera Hindia yang merambat masuk melalui perairan Selat Sunda. Secara umum arus yang ditimbulkan oleh pasang surut diperkirakan bergerak kearah utara dalam kondisi pasang dan sebaliknya ke arah selatan dalam kondisi surut. Di wilayah utara perairan Banten, gelombang yang terjadi dalam periode musim timur yaitu bulan Juli sampai September lebih rendah dari pada musim barat yaitu bulan Desember sampai Februari. Pada musim barat tinggi gelombang maksimum bisa mencapai 2,6 m dengan rataan sekitar 1,03 m, sedangkan pada musim timur sekitar 1,9 m dengan rataan sekitar 0,76 m, dengan arah rambatan gelombang tidak jauh berbeda dengan arah datangnya angin. Pada musim peralihan, tinggi gelombang yang terbentuk relatif lemah yang tingginya kurang dari 0,5 m. Teluk Banten perairan lautnya telah mengalami pencemaran karena ada indikasi mengandung Hg 0.05 ugL, Cd 0.064 mgL dan Pb 0.153 mgL Setyobudiandi 2004. Menurut laporan Akbar tahun 2005 dalam Tempo Interaktif Jawa-Madura bahwa Pencemaran di Teluk Banten akibat buangan limbah cair ke sungai Ciujung, Cibanten dan Cidurian dari 44 industri. Menurut Anang dalam laporan tersebut bahwa Sungai Ciujung menerima 67.397 m 3 buangan limbah cair per hari dari 30 industri di wilayah Serang Timur, dari 30 industri itu lima industri langsung membuang limbahnya ke sungai. Sungai Cibanten menerima limbah cair 501,2 m 3 hari dari lima pabrik, sedangkan sungai Cidurian menerima limbah cair 1.790 m 3 hari dari 10 pabrik secara tidak langsung.

4.1.3. Teluk Lada.

Menurut laporan DPPK, DKI Jakarta tahun 2006 bahwa perairan Selat Sunda memiliki lebar di bagian tersempitnya sekitar 24 km, dengan kedalaman yang lebih besar dari Laut Jawa serta memiliki topografi dasar perairan yang sangat tidak beraturan. Wilayah perairan Selat Sunda yaitu antara Cigading, Anyer dengan Pulau Sangiang memiliki kedalaman perairan bervariasi antara 20 m di dekat pantai Anyer sampai 150 m di bagian tengah antara Anyer dan Sangiang. Rona dasar laut menunjukkan bentuk undulasi dasar laut yang sangat tidak beraturan. Di wilayah barat Propinsi Banten jenis pasutnya adalah campuran yang condong ke harian ganda. Jenis pasut ini berarti dalam satu hari terdapat dua kali pasang dan surut, dimana tinggi pasang pertama tidak sama dengan pasang kedua, dan surut pertama juga berbeda dengan surut kedua. Kisaran tinggi muka laut pada air pasang tertinggi higher high water level, HHWL di sekitar Suralaya adalah sekitar 108 cm. Di bagian barat Propinsi Banten, perairan ini berupa selat, yang menghubungkan antara laut Jawa dengan samudera Hindia. Dalam periode musim Timur yang berlangsung antara bulan Juli sampai September, sebagian massa air Laut Jawa yang relatif lebih hangat dan tawar mengalir ke samudera Hindia. Sebaliknya dalam periode musim barat yaitu pada bulan Desember sampai Februari sebagian massa air dari samudera Hindia dapat mempengaruhi perairan selat Sunda ini. Oleh karena itu perairan Selat Sunda memiliki sifat ambang antara perairan samudera dan laut. Di bagian barat Perairan Banten gelombang yang lebih besar diperkirakan terjadi dalam periode musim barat karena secara geografis garis pantai di bagian barat Banten berhadapan langsung dengan laut kearah barat. Besarnya gelombang yang terbentuk akan tergantung antara lain kepada besarnya kekuatan angin, lamanya angin bertiup, dan panjang perlintasan angin. Menurut Muawanah et al. 2005 bahwa Teluk Lada perairan lautnya telah mengalami pencemaran logam berat seperti kandungan Hg 0.09 mgL, Pb 0.015 mgL dan Cu 0.0276 mgL.

4.1.4. Kualitas Air

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh data beberapa parameter kualitas air, khususnya terkait dengan parameter pencemar yang dapat mempengaruhi kehidupan kerang hijau dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas daging dan gonadnya. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 13. Menurut laporan DPPK DKI Jakarta tahun 2006 bahwa suhu dan salinitas merupakan faktor penting yang secara langsung berpengaruh terhadap aspek biologi perairan. Hasil penelitian menunjukan suhu air laut di Teluk Jakarta berkisar 31-32 o C dan tidak jauh berbeda dengan Teluk Banten dan Teluk Lada Gambar 16. Demikian juga salinitas air laut di Teluk Jakarta berkisar 32-33 PSU dan Teluk Banten 34 PSU dan Teluk Lada 33 PSU. Di wilayah tropis pada umumnya suhu per- Tabel 13. Parameter fisika dan kimia kualitas air di lokasi penelitian Kamal, Marunda, Gembong, Karangantu dan Panimbang. No. Parameter Satuan STASIUN PENGAMATAN Teluk Jakarta Teluk Banten Teluk Lada 1 2 3 4 5 BM FISIKA : 1 Salinitas PSU 33,00 32,00 33,00 34,00 33,00 2 Kecerahan m 2,20 1,.90 2,10 3,10 2,30 3 3 Suhu air oC 31,00 31,00 32,00 31,00 30,00 alami 4 Lapisan minyak - - - - - - nihil K I M I A : 1 pH - 7,9 7,3 7,4 7,6 7,7 7 – 8,5 2 DO mgL 4,200 3,500 4,200 4,800 4,900 5 – 6 3 Ammonia NH 3 -N mgL 0,568 0,683 0,481 0,281 0,275 0,3 4 Nitrat NO 3 -N mgL 0,052 0,047 0,023 0,043 0,054 0,008 5 Phosphat mgL 0,001 0,010 0,001 0,001 0,001 0,015 6 Krommium Cr mgL 0,002 0,001 0,002 0,002 0,001 0,005 7 Kadmium Cd mgL 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 8 Timah Hitam Pb mgL 0,004 0,003 0,005 0,005 0,004 0,008 9 Merkuri Hg mgL ttd ttd ttd ttd ttd 0,001 Keterangan : - stasiun , 1 = Kamal; 2 = Marunda ; 3 = Gembong 1,2,3, = Teluk Jakarta ; 4 = Karangantu Teluk Banten dan 5 = Panimbang Teluk Lada. - BM = Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut, Kep Men LH No. 51 tahun 2004 - ttd = tidak terdeteksi mukaan relatif hangat dengan variasi tahunan yang cukup kecil, tetapi variasi hariannya besar. Rataan suhu permukaan adalah sekitar 28,17 °C ±0.33, dengan dua puncak maksimum dan puncak dua minimum yang terjadi dalam periode musim peralihan dan periode musim barat dan timur. Variasi tahunan salinitas menunjukkan kisaran yang relatif besar, dimana rerata salinitas sekitar 32,49 ‰ ±0.84. Dalam periode musim barat dan peralihan dari musim barat ke timur, nilai salinitas permukaan relatif rendah karena pengaruh run off air sungai dan curahan hujan yang biasanya lebih intensif terjadi dalam periode ini. Berdasaran data tersebut terlihat bahwa parameter fisika perairan menunjukkan sedikit terganggu, khususnya jika dilihat dari kecerahan perairan. Di wilayah budidaya kerang hijau dengan kawasan Teluk Jakarta, kecerahan perairan cenderung lebih kecil jika dibandingkan di daerah Karangantu, Teluk Banten dan perairan Panimbang, Teluk Lada. Rendahnya kecerahan perairan di kawasan budidaya perairan di kawasan Teluk Jakarta diduga karena tingginya kandungan biomas fitoplankton. Variasi Tahunan Suhu dan Salinitas Permukaan di Laut Jawa JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES 27.0 27.2 27.4 27.6 27.8 28.0 28.2 28.4 28.6 28.8 29.0 S uhu o C 31.0 31.5 32.0 32.5 33.0 33.5 34.0 34.5 Sa lin ita s ‰ Suhu Salinitas Gambar 16. Variasi tahunan suhu dan salinitas permukaan di Laut Jawa DPPK DKI Jakarta 2006. Tingginya fitoplankton disebabkan relatif baiknya faktor-faktor fisik dan kimia perairan bagi perkembangan fitoplankton di kawasan Teluk Jakarta terutama dalam hal kesuburannya nutrisinya. Di kawasan Karangantu dan Pantai Panimbang, kondisi kandungan fitoplanktonnya relatif lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kesuburan perairan tersebut, serta faktor fisik dan kimia perairan lainnya kurang memberi dukungan nutrien yang maksimum bagi perkembangan fitoplankton. Di keseluruhan lokasi penelitian, terlihat bahwa di kawasan Perairan Panimbang kecerahan perairan kecil dibandingkan dengan Karangantu dan Teluk Jakarta. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya padatan yang berasal dari sungai. Hal ini disebabkan adanya sungai besar yang masuk ke wilayah tersebut. Untuk kesuburan perairan dan kandungan organik di perairan yang dijadikan indikator pencemaran bahan organik, nampaknya perairan Teluk Jakarta masih lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi Karangantu dan Panimbang. Keadaan ini terutama ditunjukkan oleh kandungan ammonia di lokasi budidaya kerang di kawasan Teluk Jakarta relatif lebih tinggi. Sementara itu untuk kandungan nitrat, tidak diperoleh perbedaan yang signifikan antara di kawasan budidaya kerang hijau Teluk Jakarta dengan di Karangantu atau Panimbang. Hal ini diduga disebabkan ketersediaan oksigen yang relatif lebih tinggi di Karangantu dan Panimbang dibandingkan dengan di Teluk Jakarta. Relatif rendahnya oksigen di daerah Teluk Jakarta diduga terkait dengan tingginya proses pembusukan bahan organik di kawasan ini dibandingkan dengan di kedua daerah kajian lainnya. Sehingga, proses nitirifikasi ammonia menjadi nitrit dan kemudian nitrat lebih banyak terjadi di kawasan Karangantu dan Panimbang. Hal inilah yang diduga menyebabkan kawasan di perairan Teluk Jakarta nitrogen lebih didominasi oleh ammonia dibandingkan nitrat. Tingginya proporsi ammonia dibandingkan dengan nitrat di kawasan perairan Teluk Jakarta juga didukung oleh data yang dikemukakan oleh Damar 2004 yang menyatakan bahwa ammonia mendominasi kawasan pantai Teluk Jakarta dibandingkan dengan nitrogen lainnya seperti nitrat atau nitrit Gambar 17. Gambar 17. Proporsi kandungan ammonia, nitrit dan nitrat di beberapa lokasi di kawasan Teluk Jakarta Damar 2004. Dalam Gambar 17 terlihat bahwa di stasiun-stasiun perairan pantai Teluk Jakarta yang merupakan kawasan budidaya kerang hijau, nitrogen inorganik terlarutnya didominasi oleh ammonia dibandingkan dengan nitrit atau nitrat stasiun 9, 10, 11, 12, M, A dan P. Tingginya ammonia ini menunjukkan bahwa proses denitrifikasi lebih dominan dibandingkan dengan nitrifikasi yang merupakan fungsi dari ketersediaan oksigen terlarut. Hasil analisis Damar 2004 bahwa monitoring terpadu yang rutin dilakukan di kawasan perairan pantai Teluk Jakarta menunjukkan kandungan oksigen terlarut yang sangat rendah. Rendahnya oksigen terlarut di 2 0 4 0 6 0 8 0 1 0 0 1 4 7 2 5 8 3 6 9 1 0 1 1 1 2 M A P s t a t i o n n i t r i t e n i t r a t e a m m o n i u m kawasan ini merupakan hasil proses pembusukkan bahan organik yang sangat intensif. Sehingga, secara residual, walaupun proses fotosintesis cukup tinggi, produksi oksigen masih kurang mencukupi untuk ketersediaan di air dalam berbagai proses kimia dan biologi perairan. Sedikit berbeda dengan kandungan fosfat di perairan, perbedaan nilai diperoleh di lokasi budidaya Marunda, dengan nilai yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi-lokasi kajian lainnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa proses remineralisasi fosfat berlangsung seimbang dengan lokasi-lokasi lainnya. Kecenderungan data ini juga menunjukkan bahwa sumber utama bahan organik yang masuk ke kawasan perairan Teluk Jakarta lebih banyak dalam bentuk nitrogen dibandingkan dengan fosfat. Kajian stadium eutrofikasi Teluk Jakarta telah banyak dilakukan dan salah satunya dilakukan oleh Damar 2004. Dalam kajian tersebut stadium pencemaran bahan organik Teluk Jakarta dianalisis berdasarkan kandungan nitrogen DIN, fosfat, chlorophyll-a dan oksigen terlarut. Dari hasil analisis tersebut, diperoleh hasil bahwa Teluk Jakarta adalah perairan yang tercemar berat oleh bahan organik. Terdapat 3 gradasi perbedaan stadium pencemaran, untuk daerah dekat pantai, perairan tergolong ke dalam tercemar bahan organik sangat berat hyper-eutrofik. Di daerah tengah perairan tercemar berat eutrofik dan di perairan luar teluk dalam kondisi tercemar sedang bahan organik mesotrofik. Hasil analisis dengan menggunakan indeks TRIX Trophical Index for Marine System disajikan dalam Gambar 18. Gambar 18. Stadium pencemaran bahan organik di kawasan perairan Teluk Jakarta DPPK DKI Jakarta 2006. mesotrophic eutrophic hyper-eutrophic hyper-eutrophic Untuk kandungan logam berat di dalam air, yaitu Cr, Cd, Pb dan Hg nampak tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar lokasi dan seluruhnya masih di bawah batas maksimal yang dipersyaratkan oleh baku mutu air laut. Relatif rendahnya kandungan logam berat di kolom air ini nampaknya terkait dengan masih relatif rendahnya proses resuspensi sedimen ke kolom air, karena saat dilakukan pengukuran adalah saat minim pergolakan air, karena dilakukan saat musim kemarau yang pergerakan airnya minimal. Hal ini agak berbeda dengan hasil analisis yang dilakukan saat musim penghujan yang pergerakan massa airnya maksimal dan peluang resuspensi sedimen ke kolom air meningkat. Hasil pengukuran yang dilakukan menunjukkan nilai yang relatif tinggi, baik di kolom air maupun di sedimen seperti yang disajikan pada Tabel 14, 15, 16 dan 17. Tabel 14. Kandungan logam berat ppm di kolom air di perairan budidaya kerang hijau Kamal. No. Parameter Bulan 2002 Mei Juli September Oktober BM 1. Timah hitam Pb 0.092 0.2282 0.2587 0.2718 0.008 2. Kadmium Cd 0.0055 0.0058 0.0048 0.0055 0.001 3. Tembaga Cu 0.0023 0.0115 0.009 0.0074 0.008 4. Seng Zn 0.0308 0.0174 0.005 0.0039 0.05 Sumber : Ningtias 2002 dalam DPPK DKI Jakarta 2006. Tabel 15. Kandungan logam berat di dalam perairan sekitar lokasi budidaya kerang hijau Kamal Sumber: DPPK DKI Jakarta 2006. Tabel 16. Kandungan logam berat ppm di kolom air di perairan budidaya kerang hijau Kamal No. Parameter Bulan 2003 BM Mei Juni Juli Agustus 1. Timah hitam Pb 0,001 0,005 0,001 0,001 0,008 2. Kadmium Cd 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 3. Tembaga Cu 0,001 0,002 0,001 0,001 0,008 4. Seng Zn 0,0095 0,013 0,0035 0,008 0,05 5. Nikel Ni 0,001 0,001 0,001 0,001 0,05 Sumber : Suryanto 2003 dalam DPPK DKI Jakarta 2006. 0.001 0.001 0.008 0.008 0.001 0.001 1.11 1.11 8.30 8.30 0.02 0.02 Air laut tengah Air laut tengah 3. 3. 0.001 0.001 0.008 0.008 0.001 0.001 0.24 0.24 0.53 0.53 0.11 0.11 Air laut pingir Air laut pingir 2. 2. 0.1 0.1 0.4 0.4 0.5 0.5 1.11 1.11 8.43 8.43 0.01 0.01 Kerang Hijau Kerang Hijau Mytilus viridis Mytilus viridis 1. 1. Cd Cd Pb Pb Hg Hg Cd Cd Pb Pb Hg Hg Standar ppm Standar ppm Hasil Analisa ppm Hasil Analisa ppm Jenis Sampel Jenis Sampel No. No. 0.001 0.001 0.008 0.008 0.001 0.001 1.11 1.11 8.30 8.30 0.02 0.02 Air laut tengah Air laut tengah 3. 3. 0.001 0.001 0.008 0.008 0.001 0.001 0.24 0.24 0.53 0.53 0.11 0.11 Air laut pingir Air laut pingir 2. 2. 0.1 0.1 0.4 0.4 0.5 0.5 1.11 1.11 8.43 8.43 0.01 0.01 Kerang Hijau Kerang Hijau Mytilus viridis Mytilus viridis 1. 1. Cd Cd Pb Pb Hg Hg Cd Cd Pb Pb Hg Hg Standar ppm Standar ppm Hasil Analisa ppm Hasil Analisa ppm Jenis Sampel Jenis Sampel No. No. Tabel 17. Kualitas air laut di Teluk Jakarta No PARAMETER SATUAN HASIL PENGAMATAN A. Fisika 1 Kekeruhan NTU 7,78 2 Salinitas ‰ 32,58 3 Suhu º C 28,50

B. Kimia

1 COD mgL 77,61 2 PH 7,58 3 Nitrat mgL 0,016 4 Nitrit mgL 0,0024 5 Amoniak mgL 0,283 6 Fospat mgL 0,0157 7 Deterjen mgL 0,001 8 Phenol mgL 0,0228 9 Timbal Pb ppm 0,0248 10 Raksa Hg ppb 0,1208 11 Krom total Cr ppm 0,0285 12 Kadmium Cd ppm 0,0243 13 Stannum Sn ppm 0,001 Sumber: Riani et al. 2004. Dari Table di atas Tabel 14-17 yang berisikan data kandungan beberapa logam berat di dalam air di lokasi budidaya kerang hijau menunjukkan data yang bervariasi, berkisar dari nilai yang rendah hingga yang di atas baku mutu. Perbedaan tersebut diduga karena adanya perbedaan waktu pengukuran. Walaupun demikian, memang dapat disimpulkan bahwa kandungan parameter di dalam kolom air di lokasi budidaya kerang hijau di kawasan Teluk Jakarta masih dalam toleransi yang belum membahayakan. Walaupun demikian, dengan konsentrasi yang masih rendah, namun karena secara kontinyu kerang hijau melakukan filtrasi air laut di lokasi tersebut, maka kekawatiran akumulasi logam berat di dalam jaringan tubuh kerang hijau menjadi meningkat. Kandungan akumulasi logam berat di dalam tubuh kerang hijau betina dan jantan akan dibahas khusus dalam sub bab Bioakumulasi logam berat pada gonad. 4.1.5. Kandungan Logam Berat di Sedimen Kandungan logam berat di dalam sedimen merupakan indikator dari kondisi lingkungan perairan. Di dalam air, logam berat lebih cenderung terakumulasi di dasar perairan. Jika dibandingkan antar lokasi budidaya, nampak bahwa sedimen di seluruh lokasi kajian memiliki kandungan sedimen yang relatif sudah tinggi. Di Panimbang, kandungan logam juga sudah ditemukan yang diduga berasal dari transport massa air dari wilayah kawasan industri Cilegon-Merak yang berada tidak jauh dari Teluk Panimbang. Di kawasan Teluk Banten dan Teluk Jakarta relatif tingginya kandungan logam berat merupakan konsekuensi logis dari tingginya aktifitas industri di kawasan tersebut Tabel 18, 19 dan 20. Tabel 18. Kandungan logam berat di dalam sedimen No. Parameter Satuan STASIUN PENGAMATAN Teluk Jakarta T.Banten T.Lada 1 2 3 4 5 1 Kromium Cr mgL 2,200 2,300 2,500 ttd ttd 2 Kadmium Cd mgL 0,900 1,500 1,200 1,200 0,900 3 Timah Hitam Pb mgL 5,600 6,200 8,500 6,300 2,300 4 Merkuri Hg Ppb 30,500 50,700 46,80 ttd ttd Keterangan : -stasiun 1 = Kamal 2 = Marunda ; 3 = Gembong ; 4 = Karangantu dan 5 = Panimbang -ttd = tidak terdeteksi Tabel 19. Kandungan logam berat dalam sedimen di Teluk Jakarta. No. Parameter Satuan Hasil Pengamatan 1 Timah hitam Pb ppm 2,898 2 Raksa Hg ppm 0,0985 3 Kromium total Cr ppm 6,38 4 Kadmium Cd ppm 0,135 5 Stanum Sn ppm 1,372 Sumber: Riani et al. 2004. Tabel 20. Kandungan logam berat di dalam sedimen di perairan sekitar Ancol No. Parameter Kadar Rerata Kadar Alami 1. Cu ppm 26,5 50 2. Timbal ppm 28,25 15 3. Krom ppm 13,37 100 4. Nikel ppm 9, 26 75 Sumber : BPLHD 2004 dalam DPPK DKI Jakarta, 2006. Sementara data kandungan logam di dalam sedimen yang diperoleh dari hasil pemantauan tim monitoring Teluk Jakarta seperti yang dilaporkan BPLHD tahun 2004, memperlihatkan nilai kandungan yang jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, 79 walaupun studi yang terbaru memberikan hasil yang lebih rendah, tidak berarti bahwa telah terjadi perbaikan kondisi lingkungan secara nyata, namun tetap merupakan perhatian bagi pengelolaan kawasan di Teluk Jakarta.

4.2. Morfometrik Kerang Hijau

Dalam penelitian ini juga melihat morfometrik dari masing-masing lokasi penelitian, bertujuan untuk mempelajari perbandingan ukuran kerang yang berasal dari perairan Teluk Jakarta yang telah mengalami pencemaran dengan yang berasal dari daerah yang belum tercemar yaitu berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat morfometrik kerang hijau pada Tabel 21 dan 22. Tabel 21. Berat tubuh, cangkang dan daging kerang hijau betina berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi n Berat tubuh g Cangkang g Daging g A Teluk Jakarta 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong 63 164 90 18,98± 6,26 13,90±11,29 14,59± 5,50 12,49±3,63 6,67±1,39 9,16±5,21 6,40 ± 2,49 4,55 ± 1,02 5,01 ± 2,15 Rataan 317 15,83 ± 5,99 A 8,84±4,12 A 5,14 ± 1,96 A B Teluk Banten 1.Karangantu 50 16,83 ± 4,76 10,37±3,05 6,46 ± 1,83 Rataan 16,83 ± 4,76 B 10,37±3,05 B 6,46 ± 1,83 B C Teluk Lada 1.Panimbang 85 12,46 ± 2,45 6,74±1,46 5,71 ± 1,06 Rataan 12,46 ± 2,45 C 6,74±1,46 C 5,71 ± 1,06 A Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata P0,01. Dari hasil analisis statistik dengan menggunakan ujit-t lampiran 7-9 menunjukan ukuran berat tubuh dan cangkang kerang hijau betina yang berasal dari daerah Teluk Jakarta lebih berat dibandingkan daerah Teluk Lada P0,01 namun lebih besar berat tubuh dan cangkang kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Banten dibandingkan Teluk Jakarta dan Teluk Lada P0,01. Keadaan ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Setyobudiandi 2004 yang mengatakan bahwa kerang hijau di Teluk Jakarta lebih besar dibandingkan daerah Teluk Banten, namun bila dibandingkan dengan kerang hijau yang berasal dari daerah Teluk Lada memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata P0,01. Keadaan ini didukung oleh kondisi daerah Kamal yang mengandung zat organik yang cukup tinggi yang berasal dari 13 anak sungai membawa sampah organik mengarah ke muara Kamal Riani et al. 2004, dan menyebabkan hidup suburnya plankton. Berdasarkan hal tersebut tidak heran jika berat kerang yang ada di Daerah Kamal lebih besar dari daerah lain. Namun bila ditinjau hasil produksi dagingnya, memperlihatkan bahwa Teluk Banten lebih tinggi bila dibandingkan produksi daging dari Teluk Jakarta dan Teluk Lada P0,01. Ukuran tubuh kerang hijau betina seperti panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang hijau dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang hijau betina berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi n Panjang cm Lebar cm Tinggi cm A Teluk Jakarta 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong 63 164 90 7,14 ± 0,99 6,23 ± 0,80 6,54 ± 1,03 2,80 ± 0.59 1,93 ± 0.25 2,01 ± 0.28 2,74 ± 0,59 2,82 ± 0,31 2,94 ± 0,40 Rataan 317 6,81 ± 0,87 A 2,12 ± 0,29 A 2,84 ± 0,41 A B Teluk Banten 1.Karangantu 50 7,57 ± 0,81 2,07 ± 0,29 3,12 ± 0,29 Rataan 7,57 ± 0,81 B 2,07 ± 0,29 A 3,12 ± 0,29 B C Teluk Lada 1.Panimbang 85 6,56 ± 0,59 1,83 ± 0,15 2,81 ± 0,21 Rataan 6,56 ± 0,59 A 1,83 ± 0,15 B 2,81 ± 0,21 A Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata P0,01 Hasil analisis statistik ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang betina lampiran 10-12 menunjukan ukuran tubuh kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Banten panjang dan tinggi tubuhnya lebih besar dibandingkan yang berasal dari Teluk Jakarta dan Teluk Lada P0,01. Namun juga ukuran lebar kerang hijau dari Teluk Jakarta sama dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Banten P0,05 dan Kerang dari Teluk Jakarta dan Teluk Banten lebih lebar dari yang berasal Teluk Lada P0,01. Perbedaan ukuran tubuh ini diduga disebabkan oleh perbedaan kadar dari pencemaran logam berat yang terakumulasi dalam tubuh kerang. Menurut Widdows dan Donkin, 1992 bahwa pencemaran perairan laut oleh sanyawa organik dan anorganik dapat menyebabkan bioakumulasi dalam tubuh kerang hijau, sehingga akan mempengaruhi aktivitas regulasi kadar garam tubuh, komposisi biokimia tubuh, pertumbuhan tubuh, dan kondisi reproduksi kerang hijau. Ukuran berat tubuh, berat cangkang dan berat daging kerang hijau jantan dapat dilihat pada Tabel 23 dan 24. Tabel 23. Berat tubuh, cangkang dan daging kerang hijau jantan berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi n Berat tubuh g Cangkang g Daging g A Teluk Jakarta 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong 120 142 77 19,52 ±8,38 13,28 ±4,19 13,14 ±6,04 12,71 ± 5,42 6,87 ± 2,41 12,28 ± 6,85 7,33 ± 4,11 5,61 ± 2,28 6,57 ± 2,89 Rataan 339 15,46 ±7,02 A 11,02 ± 5,66 A 6,72 ± 3,55 A B Teluk Banten 1.Karangantu 60 15,55 ±3,15 9,70 ± 2,08 5,85 ± 1,29 Rataan 15,55 ±3,15 A 9,70 ± 2,08 A 5,85 ± 1,29 A C Teluk Lada 1.Panimbang 129 12,98 ± 2,67 6,87 ± 1,49 6,11 ± 1,69 Rataan 12,98 ± 2,67 B 6,87 ± 1,49 B 6,11 ± 1,69 A Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata P0,01 Dari hasil analisis statistik ujit-t Lampiran 1, 5 dan 6 menunjukan bahwa ukuran berat tubuh dan cangkang kerang hijau jantan yang berasal dari daerah Teluk Jakarta dan Teluk Banten lebih berat dibandingkan daerah Teluk Lada P0,01, namun tidak berbeda ukuran tersebut antara Teluk Jakarta dan Teluk Banten P 0,05. Keadaan ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Setyobudiandi 2004 yang mengatakan kerang hijau di Teluk Jakarta lebih besar dibandingkan daerah Teluk Banten. Keadaan ini didukung oleh Daerah Kamal banyak terdapat zat organik yang cukup tinggi yang berasal dari 13 anak sungai yang membawa sampah organik mengarah ke Muara Kamal Riani et al. 2004, sehingga plankton dapat hidup subur. Dengan demikian maka berat kerang yang dibudidayakan di Perairan Kamal lebih besar dibanding dari daerah lain. Namun bila ditinjau dari hasil produksi dagingnya memperlihatkan bahwa Teluk Banten berbeda lebih tinggi P0,01 bila dibandingkan produksi daging dari Teluk Jakarta dan Teluk Lada. Tabel 24. Ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang hijau jantan dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi n Panjang Lebar cm Tinggi cm A Teluk Jakarta cm 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong 120 142 77 7,15 ± 1,06 6,31 ± 0,72 6,40 ± 1,13 2,56 ± 0,70 1,97 ± 0,34 1,94 ± 0,31 3,01 ± 0,81 2,79 ± 0,33 2,80 ± 0,40 Rataan 339 6,63 ± 1,03 A 2,17 ± 0,59 A 2,87 ± 0,57 A B Teluk Banten 1.Karangantu 60 7,30 ± 0,63 1,98 ± 0,19 3,05 ± 0,29 Rataan 7,30 ± 0,63 B 1,98 ± 0,19 A 3,05 ± 0,29 B C Teluk Lada 1.Panimbang 130 6,53 ± 0,53 1,83± 0,19 2,83 ± 0,50 Rataan 6,53 ± 0,53 A 1,83± 0,19 B 2,83 ± 0,50 A Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata P0,01 Hasil analisis statistik ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang betina lampiran 2-4 menunjukan bahwa ukuran panjang dan tinggi kerang hijau jantan yang berasal dari Teluk Banten lebih besar dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Jakarta P0,01, namun ukuran tersebut antara Teluk Jakarta dan Teluk Lada adalah sama P0,01. Ukuran lebar kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta dan Teluk Banten berbeda P0,05 dan lebar kerang hijau yang berasal dari Teluk Lada lebih kecil dibandingkan dari Teluk Jakarta dan Teluk Banten P0,01. Perbedaan ukuran-ukuran tubuh ini diduga terutama disebabkan oleh adanya perbedaan kadar pencemaran logam berat dan kandungan akumulasi logam berat dalam tubuh kerang. Ukuran tubuh panjang kerang baik betina maupun jantan dapat menentukan umur kerang. Menurut Vakily 1989 kerang hijau yang panjang 2-3 mm berumur 2- 3 bulan dan telah mengalami matang kelamin. Oleh karena itu di duga umur kerang yang diambil sebagai sample dalam penielitian ini diduga berkisar 2 sampai 5 bulan. Keadaan ini sesuai dengan pernyataan nelayan bahwa umur kerang berkisar 5 bulan. Model persamaan regresi yang dianalisis adalah BT= a + b P, sebagai peubah bebas dalam persamaan ini adalah panjang P, lebar L, tinggi T, berat tubuh BT, berat daging BD dan berat cangkang BC. Dari hasil analisis regresi sederhana kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Jakarta Tabel 25, memperlihatkan bahwa semua ukuran-ukuran tubuh panjang, lebar, dan tinggi tubuh dapat digunakan sebagai penduga berat tubuh BT, berat daging BD dan berat cangkang BC P0,01. Juga bobot tubuh dapat digunakan sebagai penduga berat daging P0,05. Kecuali parameter panjang, dan tinggi tidak dapat digunakan sebagai penduga P0,05. Selain itu parameter panjang juga tidak dapat digunakan sebagai penduga berat cangkang P0,05. Keadaan ini diduga kerang hijau di Teluk Jakarta telah mengalami abnormal akibat dari pencemaran logam berat. Kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada dari hasil analisis regresi sederhana ukuran-ukuran tubuhnya dapat digunakan sebagai penduga P0,01, dan di Teluk Banten parameter lebar dapat juga digunakan sebagai penduga berat daging P0,05. Keadaan ini menunjukan ukuran-ukuran tubuh kerang Teluk Banten dan Teluk Lada masih normal dan model regresinya dapat digunakan sebagai penduga. Kerang hijau jantan, dari hasil analisis regresi liner sederhana Tabel 26 kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta menunjukan ukuran-ukuran tubuh panjang, lebar dan tinggi dapat digunakan untuk menduga berat tubuh P0,01. Penduga berat cangkang hanya dapat digunakan parameter panjang P0.01, parameter penduga berat cangkang dapat juga digunakan lebar dan tinggi P0,05, seain itu berat daging dapat juga diduga dengan ukuran tinggi tubuh. Sedangkan berat daging tidak dapat diduga dengan parameter panjang dan lebar tubuh P0,05. Keadaan ini hampir sama dengan kerang betina karena ada parameter yang tidak dapat digunakan sebagai penduga, hal diduga ada kaitan antara pencemaran terhadap ukuran-ukuran tubuh kerang hijau betina dan jantan di Teluk Jakarta. Namun hasil analisis regresi sederhana ukuran-ukuran tubuh kerang hijau jantan yang berasal dari Teluk Banten dan Lada sangat nyata P0,01, artinya ukuran-ukuran tubuh seperti panjang, lebar dan tinggi dapat digunakan sebagai penduga berat tubuh, berat daging dan berat cangkang. Kecuali ukuran tubuh kerang jantan berasal dari Teluk Lada yaitu parameter tinggi tidak dapat digunakan untuk menduga berat daging kerang hijau P0,05. Keadaan ini menunjukan ukuran tubuh kerang jantan yang berasal dari Teluk Banten diduga homogen dan diindikasikan tidak adanya gangguan pertumbuhan, kecuali di Teluk Lada telah mulai mengalami pencemaran sesuai dengan laporan Muawanah et al. 2005. Tabel 25. Hasil analisis regresi liner sederhana antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau betina di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Hubungan n Intersep b R² r 1 Teluk Jakarta BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD –BT 317 -16,078 0,152 -6,212 2,455 3,174 6,668 9,809 3,516 18,519 1,792 4,059 4,738 6,843 7,366 0,394 0,827 -0,557 -0,143 2,233 -3,542 0,379 0,0068 70,3 43,2 30,7 3,1 9,5 1,8 0,1 15,6 16,0 63,4 4,4 0,84 0,66 0,55 0,18 0,31 0,13 0,03 0,39 0,40 0,80 0,21 2 Teluk Banten BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD -BT 50 -24,265 0,833 -29,650 -8,559 1,085 -11,046 -15,707 -0,253 -18,605 0,891 0,249 5,432 7,717 14,909 1,985 2,592 5,615 3,447 5,125 9,295 0,537 0,369 85,2 23,0 85,4 76,6 17,5 81,5 83,5 24,7 80,8 79,7 91,7 0,92 0,48 0,92 0,87 0,42 0,90 0,91 0,50 0,89 0,89 0,96 3 Teluk Lada BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD -BT 85 -11,960 -11,689 -10,959 -4,075 -4,178 -4,394 -7,885 -7,551 -6,565 1,374 0,535 3,721 13,161 8,345 1,492 5,391 3,602 2,230 7,770 4,743 0,643 0,416 83,1 65,3 51,8 71,4 58,6 51,7 83,8 64,0 47,1 78,8 92,5 0,91 0,81 0,72 0,84 0,77 0,72 0,92 0,80 0,69 0,89 0,96 Keterangan : BT = bobot tubuh, P= panjang, L= lebar, T= tinggi, BC= berat cangkang dan BD= berat daging. Tabel 26. Hasil analisis regresi liner sederhana antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau jantan di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Hubungan n Intersep a b R² r 1 Teluk Jakarta BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD –BT 339 -21,575 -0,197 -4,538 10,285 6,093 9,321 9,695 6,617 14,787 2,030 8,318 5,586 7,215 6,969 -0,495 1,356 -0,874 0,185 1,657 -1,265 0,426 0,084 66,8 36,7 32,0 2,5 0,2 4,7 0,1 4,6 3,9 46,1 4,2 0,82 0,61 0,56 0,16 0,05 0,22 0,04 0,21 0,20 0,68 0,20 2 Teluk Banten BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD -BT 60 -15,125 -7,091 -8,756 -5,152 -1,874 -2,183 -9,973 -5,217 -6,573 1,472 0,170 4,202 11,452 7,963 1,507 3,906 2,631 2,695 7,546 5,332 0,451 0,365 70,5 47,4 52,6 54,0 32,9 34,2 66,3 47,1 53,9 53,0 79,5 0,84 0,69 0,72 0,73 0,57 0,58 0,81 0,69 0,73 0,73 0,89 3 Teluk Lada BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD -BT 130 -8,678 0,157 8,722 -0,046 1,571 4,772 -8,628 -1,418 3,952 2,965 -0,963 3,320 6,991 1,505 0,944 2,475 0,473 2,375 4,517 1,031 0,458 0,545 43,3 25,5 8,1 8,7 8,0 2,0 71,0 34,1 12,1 16,3 73,9 0,66 0,50 0,28 0,29 0,28 0,14 0,84 0,58 0,35 0,40 0,86 Keterangan : BT = bobot tubuh, P= panjang, L= lebar, T= tinggi, BC= berat cangkang dan BD= berat daging . Analisis regresi berganda morfometrik kerang hijau betina dan jantan di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada dapat dilihat pada Tabel 27 dan 28. Tabel 27. Hasil analisis regresi berganda antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau betina di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No LOKASI Hubungan Inter- sep ß 1 ß2 ß3 r² r 1 Teluk Jakarta n=317 n=114 n=114 BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -16,784 -18,928 -22,746 2,695 3,543 3,628 10,730 13,753 12,176 -23,869 3,242 12,373 3,851 4,291 7,157 0,009 0,749 0,797 -1,318 1,143 1,662 2,202 0,450 -0,230 3,037 1,951 7,834 0,777 -1,283 -0,400 2,976 -4,649 -2,670 4,863 0,406 1,862 - - - - - - - - - 4,905 -0,780 -2,343 76,3 71,8 77,9 9,6 9,9 9,6 21,7 20,3 23,7 83,8 10,6 23,8 0,87 0,85 0,88 0,31 0,32 0,31 0,47 0,45 0,48 0,92 0,33 0,49 2 Tlk. Banten n=50 n=50 n=50 BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -26,401 -29,435 -31,013 -9,075 -10,987 -11,269 -17,327 -18,448 -19,745 -30,659 -11,173 -19,488 5,116 2,844 1,795 1,909 0,769 0,294 3,207 2,075 1,501 2,784 0,760 2,024 2,850 7,939 14,153 0,528 3,729 5,491 1,658 4,211 8,663 1,606 0,243 1,364 - - - - - - - - - 7,409 3,649 3,760 86,7 90,1 86,4 77,2 83,8 81,7 85,7 86,9 82,5 90,9 84,0 88,3 0,93 0,95 0,93 0,88 0,92 0,90 0,93 0,93 0,91 0,95 0,92 0,94 3 Teluk Lada n=85 n=85 n=85 BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -14,511 -15,493 -16,373 -5,258 -6,068 -6,456 -9,253 -9,425 -9,917 -15,600 -6,559 -10,101 2,881 3,118 9,574 1,102 1,151 3,647 1,779 1,967 5,927 2,608 0,937 1,671 4,396 2,670 4,615 2,038 1,506 1,952 2,358 1,164 2,062 3,376 1,420 1,956 - - - - - - - - - 2,072 1,254 0,817 86,1 86,2 72,4 74,9 76,8 67,7 86,3 85,5 69,3 87,8 78,3 87,1 0,93 0,93 0,85 0,87 0,88 0,82 0,93 0,93 0,83 0,94 0,88 0,94 Keterangan : BT = bobot tubuh, P= panjang, L= lebar, T= tinggi,BC= berat cangkang dan BD= berat daging. Tabel 28. Hasil analisis regresi berganda antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau jantan di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No LOKASI Hubungan Inter-sep ß 1 ß2 ß3 r² r 1 Tlk. Jakarta n=339 n=98 n=98 BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -21,314 -24,054 -18,036 10,113 10,867 9,274 9,285 10,952 10,325 -24,802 10,603 10,241 4,854 4,884 6,814 -0,792 -0,270 0,014 -0,526 0,670 1,398 3,352 -0,506 0,319 2,116 2,484 6,520 0,870 -0,739 -0,871 2,077 -1,598 -1,015 3,468 0,506 1,367 - - - - - - - - - 3,663 -0,532 -1,037 68,8 69,8 64,6 4,8 5,3 4,7 5,4 5,4 7,0 74,6 5,6 7,0 0,83 0,84 0,80 0,22 0,23 0,22 0,23 0,23 0,26 0,86 0,24 0,26 2 Tlk. Banten n=60 n=60 n=60 BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -17,957 -18,658 -16,372 -5,966 -6,060 -4,860 -11,990 -12,598 -11,512 -20,713 -6,663 -14,650 3,351 3,172 7,417 1,262 1,242 2,607 2,081 1,930 4,809 2,552 1,060 1,492 4,572 3,619 5,654 1,315 0,930 1,819 3,257 2,689 3,835 3,887 1,142 2,746 - - - - - - - - - 3,258 0,824 2,434 75,1 77,1 68,0 56,3 56,6 45,6 71,7 74,6 68,7 80,4 58,3 78,4 0,87 0,88 0,82 0,75 0,75 0,67 0,85 0,86 0,83 0,89 0,76 0,89 3 Tlk. Lada n=130 n=130 n=130 BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -10,405 - 9,471 - 1,534 -0,926 -0,331 -1,083 -9,477 -9,135 -2,618 -10,978 -1,116 - 9,860 2,738 3,160 6,435 0,647 0,887 2,315 2,089 2,273 4,122 2,636 0,613 2,021 3,011 0,647 0,957 1,534 0,233 0,276 1,480 0,414 0,680 2,841 1,478 1,367 - - - - - - - - - 0,548 0,181 0,366 46,7 44,6 28,6 10,9 9,1 8,6 73,6 72,8 39,1 47,6 11,2 75,0 0,68 0,67 0,53 0,33 0,30 0,29 0,86 0,85 0,63 0,69 0,33 0,87 Keterangan : BT = bobot tubuh, P= panjang, L= lebar, T= tinggi, BC= berat cangkang dan BD= berat Daging, Hasil analisis berganda dengan model BT= ß + ß 1 P + ß 2 L + ß 3 T dan demikian pula variabel BD dan BC dari semua lokasi penelitian menunjukan bahwa model ini sangat terandal P0,01 untuk digunakan sebagai pendugaan baik kerang hijau betina maupun jantan, kecuali pada daerah Teluk Jakarta kerang hijau jantan sebagai pendugaan berat daging dan berat cangkang adalah panjang, lebar dan tinggi modelnya lemah P0,05, namun berat cangkang dapat diduga dengan ukuran tubuh lebar dan tinggi P0,05. Keadaan ini hampir sama dengan analisis regresi sederhana dimana ukuran-ukuran tubuh di Teluk Jakarta sebagian tidak dapat digunakan sebagai penduga, hal ini diduga telah terjadi malmorfologi pada kerang hijau akibat dari pencemaran logam berat.

4.3. Gametogenesis Kerang Hijau Perna viridis.