Dewan Tertentu Perkumpulan Petani Pemakai Air

Dewan SDA Wilayah Sungai Lintas Provinsi, dan Dewan SDA Wilayah Sungai Strategis Nasional; 2 Di tingkat Provinsi dapat hanya dibentuk satu dewan SDA Provinsi, namun juga dapat dibentuk 2 dua dewan yaitu Dewan SDA yang umum dan Dewan SDA Wilayah Sungai lintas KabupatenKota; 3 Di tingkat kabupatenkota dapat dibentuk satu Dewan SDA, namun dapat juga dibentuk 2 dua dewan yaitu Dewan SDA KabupatenKota yang umum dan Dewan SDA Wilayah Sungai. Tugas dan tanggung jawab Dewan SDA di semua tingkatan pada prinsipnya sama, yaitu: 1 Melakukan koordinasi pengintegrasian kepentingan lintas sektor, lintas wilayah dalam pengelolaan sumberdaya air; 2 Menyusun dan merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan sumberdaya air.

c. Dewan Tertentu

Dewan ini dibentuk oleh Menteri yang membidangi sumberdaya air dengan tugas melakukan pengaturan pengembangan sistem penyediaan air minum dan sanitasi.

d. Perkumpulan Petani Pemakai Air

Perkumpulan Petani Pemakai Air ini berada di tingkat desa yang diberi kewenangan dan tanggungjawab untuk mengembangkan sistem irigasi tersier. Bahkan menurut Pasal 41 ayat 5, perkumpulan ini dapat melakukan pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder jika memang mampu melakukan. Dalam konteks pengelolaan Waduk Cirata, urusan yang diatur dalam UU No.7 2004 dan PP No.422008 terdiri dari 34 urusan. Sebagai catatan disini, urusan yang mencakup tentang sungai dimasukkan sebagai urusan yang terkait dengan waduk, yaitu: 1 Penetapan kebijakan sumberdaya air; 2 Penetapan pola pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai; 3 Penetapan rencana pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai; 4 Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumberdaya air pada wilayah sungai; 5 Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai; 6 Pengaturan, penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukkan, penggunaan, dan pengusahaan sumberdaya air pada wilayah sungai; 7 Pengaturan, penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukkan, penggunaan, dan pengusahaan sumberdaya air pada wilayah sungai; 8 Pembentukan Dewan Sumberdaya air; 9 Fasilitasi penyelesaian sengketa dala pengelolaan air; 10 Perlindungan dan pelestarian sumberdaya air; 11 Penunjukkan dan penetapan kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air; 12 Penetapan peraturan untuk pelestarian fungsi resapan air dan daerah tangkapan; 13 Pengelolaan kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan daerah tangkapan air; 14 Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian fungsi resapan air; 15 Pelaksanaan pengendalian pemnafaatan air; 16 Pelaksanaan perlindungan sumber air; 17 Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan pengendalian pengelolaan tanah di daerah hulu; 18 Penetapan daerah sempadan air; 19 Melakukan pemantauan dan pengawasan atas pelaksanaan pengaturan sempadan air; 20 Mempertahankan fungsi daerah sempadan air; 21 Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan sekaligus pemantauan dan pelaksanaan dari kegiatan rehabilitasi; 22 Penetapan tarif penggunaan air yang bersifat progresif; 23 Pemberian insentif dan disinsentif bagi pengguna air; 24 Penetapan kelas dan baku mutu pada sumber air; 25 Penanggulangan pencemaran air pada sumber air; 26 Perbaikan fungsi lingkungan untuk pengendalian kualitas iar; 27 Penetapan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukkan pada sumber air; 28 Inventarisasi jenis pemanfaatan air yang sudah ada; 29 Pemetaan potensi konflik kepentingan antar jenis pemanfaatan yang sudah ada; 30 Penetapan urutan prioritas penyediaan air pada setiap wilayah sungai; 31 Penetapan dan perubahan rencana penyediaan sumber air tahunan; 32 Pemberian, pembatalan, pembekuan atau diberlakukan lagi ijin pengusahaanpenggunaan air; 33 Pemberian ijin pelaksanaan konstruksi pada sumber air; dan 34 Penetapan jangka waktu ijin penggunaan air Gambar 22. Makro Menteri 10,11 10,11 1,2,3,4,5,6,7,8, 9,10,11,12,13, 14,15,16,17,18, 19,29,21,22,23, 24,25,26,27,28, 29,30,31,32,33,34 Meso Gubernur 10,11 1,2,3,4,5,6,7,8,9, 12,13,14,15,16, 17,18,19,29,21, 22,23,24,25,26, 27,28,29,30,31, 32,33,34 K E W E N A N G A N Mikro BupatiWalikota 1,2,3,4,5,6,7,8, 12,13,14,15,16, 17,18,19,29,21, 22,23,24,25,26, 27,28,29,30,31, 32,33,34 Mikro Kabupaten Meso Propinsi Makro Pusat NAMA PERATURAN URUSAN Gambar 22. Matriks Peletakan Kewenangan Urusan Berdasarkan Undang-Undang

7.1.2 Sumber Kebijakan

Common Property Resources CPR Budidaya KJA di Waduk Cirata SK Gubernur Jawa Barat No. 27 Tahun 1994 merupakan petunjuk pelaksanaan Perda No. 11 Tahun 1986 yang mengatur tentang Tata Cara Pemanfaatan Perairan Umum untuk Usaha Perikanan. SK ini memuat tata cara pemanfaatan dan perijinan usaha perikanan di tingkat pemerintahan kabupatenkota, serta biaya retribusi perijinan dan retribusi produksi. Pada pasal Umum dari SK ini disebutkan bahwa setiap awal musim hujan, selama 2 bulan perairan umum tertutup bagi usaha perikanan. Sedangkan pada pasal Perijinan pasal 3, disebutkan bahwa setiap usaha perikanan perorangan bagi petani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak diwajibkan memiliki ijin memerlukan. Pasal sebelumnya disebutkan juga bahwa skala usaha perorangan untuk budidaya dalam jaring terapung khususnya di Jatiluhur tidak dibatasi jumlah unitnya. Sementara pasal-pasal lainnya bersifat standar yang menginformasikan persyaratan, pelaporan dan lain sebagainya. SK ini dimunculkan setelah Perda No. 11 Tahun 1986 yang merupakan jawaban atas pertanyaan dari Unit Pelaksana Teknis Daerah UPTD di tingkat pemerintahan kabupatenkota sejak tahun 1987. Akan tetapi, sebagai petunjuk pelaksanaan, SK ini tidak termuat berapa besaran biaya retribusi perijinan dan retribusi produksi perikanan, sehingga petani tidak mengetahui berapa sebenarnya biaya retribusi. Adanya Pasal 2 dan 3 dalam SK ini menimbulkan kerancuan dalam kaitannya dengan upaya property right perairan umum. Secara harfiah diterjemahkan bahwa skala usaha perorangan budidaya KJA diperkenankan tanpa batasan unit, dan tidak wajib memiliki ijin. Akibat yang timbul adalah perairan umum seperti Waduk Jatiluhur juga Waduk Cirata merupakan perairan umum milik bersama common property, sehingga setiap orang dapat masuk berinvestasi dalam budidaya KJA di kawasan ini. Isi dari SK ini merupakan terjemahan atas Perda No 11 Tahun 1986. Sedangkan Waduk Cirata dioperasikan pada tahun 1988, dan dalam kurun waktu 1989 – 1994, pertumbuhan KJA di Waduk Cirata meningkat drastis dari tahun ke tahun. Adanya SK Gubernur Provinsi Jawa Barat No. 27 Tahun 1994 menyebabkan terjadinya eskalasi jumlah KJA di Waduk Cirata pada tahun-tahun berikutnya, sehingga mencapai jumlah di atas 51.000 buah pada tahun 2008. Selain itu SK ini menimbulkan kesulitan bagi BPWC, sebagai penguasa tunggal perairan Waduk Cirata, untuk menerapkan kebijakan yang berpihak pada upaya pemeliharaan badan perairan Waduk Cirata. Hasil pengamatan terhadap isi detail SK Gubernur Jawa Barat No. 27 Tahun 1994 memperlihatkan bahwa SK ini tidak memiliki atau tidak bermuatan lingkungan secara eksplisit. Wacana atau pesan atau semangat yang dibawa SK ini sebagai Petunjuk Pelaksanaan Perda No. 11 Tahun 1986 ini, adalah kepedulian pada peluang usaha bagi masyarakat petani ikan, sehingga menimbulkan keberanian petani setempat, yang memiliki modal kecil, menggunakan asksesnya mengundang investor dari luar wilayah Waduk Cirata untuk berinvestasi di budidaya ikan KJA. Tabel 36 di bawah ini disajikan hasil analisis isi terhadap kebijakan yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Barat No. 27 Tahun 1994. Tabel 37. Analisis Isi Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat No. 27 Tahun 1994 Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat No. 27 Tahun 1994 No. Fokus Ada Tidak Ada Komentar Landasan Hukum Lingkungan  Perairan Perda Tk I Tentang Pemanfaatan Perairan Umum untuk Usaha Perikanan Sumberdaya air  1. Pemerintahan  Merupakan SK yang sangat terlambat penerbitannya yang mengatur retribusi usaha dan retribusi produksi perikanan. SK ini tidak memuat klasusul konsiderans yang mengarah aspek lingkungan. Padahal kebijakan tentang lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya air telah ada baik berupa UU ataupun yang diterbitkan oleh Dep. Pekerjaan Umum. Nuansa kebijakan ini adalah Penerimaan Pendapatan Daerah. Isi Maksud dan Tujuan  Definisi klasifikasi  Tidak ada sama sekali Informasi Umum  Sangat sedikit info yang tersampaikan Mekanisme Prosedur  Mekanisme pengajuan usaha perikanan Instansi penanggung jawab  ASDA di Sekda Tk I untuk Pembinaan dan Pengawasan PengawasanPenertiban Oleh Diskan Dati I Pemungut oleh UPTD Bendaharawan kepada Dispenda Diskan Dati I -Instansi pelaksana  UPTD 2. -Instansi pengawasan Diskan Dati I Asda Sekda Dati I 3. Implementasi:  Implementasi SK Gubernur Jawa Barat No. 27 Tahun 1994 yang merupakan penjelasan atas Perda No. 16 Tahun 1986 di lapang menyebabkan terjadinya peningkatan besar-besaran atas jumlah KJA di perairan Waduk Cirata. Peningkatan jumlah ini mengatasnamakan penduduk sekitar dengan skala usaha tidak dibatasi.  Dalam SK pasal 2, disebutkan bahwa apabila usaha KJA bersifat perorangan, maka skala usaha tidak dibatasi. Selanjutnya pasal 3 menyebutkan bahwa untuk perorangan, budidaya KJA tidak harus ada ijin prinsip dari Dinas Perikanan.  Retribusi di lapang tidak terwujud dalam bentuk PAD, kecuali untuk skala usaha non perorangan. Retribusi produksi perikanan juga tidak terwujud, disebabkan pihak pengumpul tidak dianggap sebagai pelakuaktor ekonomi dalam usaha budidaya KJA. Hal ini berakibat, retribusi produksi tidak dapat dipungut dari petani secara rutin.  Berdasarkan wawancara dengan Kabid Dinas Perikanan Kabupaten Cianjur dan para stafnya, kontibusi petani ikan dalam retribusi produksi tidak terjadi disebabkan secara sistemik belum ada mekanisme yang mengatur dan bagaimana mewujudkannya. UPTD sendiri tidak dapat bertindak memungut retribusi perikanan kepada usaha budidaya KJA perorangan disebabkan pengaturan rinci tidak tersedia. Payung hukum berupa SK KD Dati I No. 27 Tahun 1994 tidak cukup bagi aparat untuk melaksanakannya di lapang.  Andaikan terjadi pungutan, maka pungutan tersebut bukan sebagai retribusi dan dilakukan oleh oknum saja yang mengatasnamakan Dinas Perikanan Kabupaten Cianjur 4. Implikasi: Terjadi peningkatan jumlah KJA dari sejak diterbitkan SK ini sampai tahun 2002. Apabila sebelumnya perkembangan jumlah KJA masih dalam taraf yang wajar, namun sejak SK ini terbit, perkembangnya sudah berada di atas wajar. Batas wajar jumlah KJA di Waduk Cirata pada rentang waktu 1988-2000 memang belum diketahui oleh pengelola perairan Waduk Cirata atau BPWC tahun 1998, namun akibat yang dirasakan adalah makin meningkatnya biaya pemeliharaan waduk untuk menjaga agar turbin PLTA tetap berfungsi optimal. Pihak pengelola Waduk Cirata atau BPWC tidak dapat mencegah terjadinya peningkatan jumlah KJA disebabkan belum ada aturan atau kebijakan yang mengarah pada pembatasan jumlah KJA. Telah disebut sebelumnya bahwa kebijakan berupa SK Gubernur No. 27 Tahun 1994 merupakan sumber terjadinya hak kepemilikan bersama, sehingga secara keseluruhan mengakibatkan terjadinya kegagalan pasar. Kegagalan pasar market failure akan terjadi dalam alokasi sumberdaya pada saat hak-hak pemilikan yang melekat kepada sumberdaya tertentu tidak terdefinisikan secara lengkap atau tidak memiliki salah satu dari keempat komponen hak kepemilikan. Sumberdaya yang tidak memiliki satupun dari keempat komponen hak-hak pemilikan disebut sebagai sumberdaya bersama common pool resources. Sumberdaya bersama adalah sumberdaya yang tidak dimiliki atau diawasi secara eksklusif oleh satu orang pemilik atau satu kelompok pemilik. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatannya tidak memiliki kendali dan tanggungjawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek sumberdaya tersebut, sehingga tidak memiliki insentif untuk membuat keputusan investasi dan alokasi sumberdaya yang efisien. Karena sumberdaya bersama ini tidak dikuasai oleh perorangan atau agen ekonomi tertentu, maka akses terhadap sumberdaya ini tidak dibatasi sehingga mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Eksploitasi sumberdaya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang duluan dan mengeruk terus menerus manfaat keuntungan yang bisa diperoleh dengan mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya. Tidaklah terlalu sukar untuk mencari contohcontoh sumberdaya bersama ini, seperti misalnya sumberdaya ikan, hutan, irigasi dan padang penggembalaan Dharmawan dan Daryanto 2002. Masalah yang timbul dengan sumberdaya bersama adalah adanya pendapat masyarakat yang mengatakan bahwa a “milik semua orang itu berarti bukan milik siapa-siapa everyone’s property is no one’s property and no one’s property is every one property”, b “dapatkan sumberdaya itu selagi masih dalam keadaan baik”, dan c “mengapa kita harus menghemat penggunaan sumberdaya sedangkan orang lain menghabiskannya”?. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini cenderung menyebabkan penggunaan sumberdaya bersama secara berlebih- lebihan atau menghabiskan sumberdaya secara cepat bahkan menghancurkan sumberdaya alam yang dapat diperbarui sekalipun Dharmawan dan Daryanto 2002. Masalah lain yang menyebabkan kegagalan pasar dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi secara efisien adalah munculnya dampak sampingan third party’s effect atau eksternalitas. Eksternalitas timbul karena tindakan konsumsi atau produksi dari satu pihak mempunyai pengaruh terhadap pihak lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak yang menyebabkan atau kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak tersebut. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus sumberdaya bersama adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin 1986 yang dikenal dengan istilah tragedi kebersamaan the Tragedy of the Commons. Dalam kasus sumberdaya ikan sebagai sumberdaya bersama, hak pemilikan tidak dapat diberikan kepada satu individu melainkan diberikan kepada sekelompok masyarakat. Oleh karena manfaat sumberdaya ikan tidak hanya dirasakan satu individu saja, maka tidak seorang pun yang dapat menjual hak kepemilikannya. Dalam hal seperti ini, maka tidak ada pasar untuk sumberdaya ikan tersebut. Oleh karena setiap orang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan, maka setiap orang akan cenderung untuk menggunakan sungai atau laut bebas secara berlebih over used, over exploited Dharmawan dan Daryanto 2002.

7.1.2. Kebijakan Hak Kepemilikan Property Right

Kebijakan yang terbit setelah kebijakan di atas adalah kebijakan yang mengatur tentang keberadaan jumlah petak KJA di perairan Waduk Cirata. Kebijakan ini terbit pada tahun 2002, akan tetapi tidak memberikan solusi bagi BPWC sebagai penanggung jawab Waduk Cirata, disebabkan dalam kebijakan ini tidak diatur bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi jumlah Waduk Cirata yang pada saat kebijakan ini diterbitkan telah berjumlah lebih dari 30 ribu petak. SK Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002 merupakan kebijakan yang diharapkan oleh PT PJB-BPWC, sehingga BPWC sebagai pengelola memiliki kekuatan hukum dalam melaksanakan upaya menjaga kelestarian lingkungan perairan Waduk Cirata. Bagian Kedua SK ini, khususnya pasal 8 sd pasal 18 diatur ketentuan tentang budidaya KJA. Petani ikan, yang dapat berusaha di Waduk Cirata adalah penduduk yang berdomisili di sekitar Waduk Cirata. Selain itu diatur pula zona budidaya, jumlah produksi, jumlah KJA, syarat teknis KJA dan tidak diperkenankannya KJA sebagai rumah tinggal serta pembentukan kelompok pengawas masyarakat dan adanya pengawas lalulintas benih, pakan dan produksi di tiap zona.  BPWC sebagai instansi pengelola dalam mengimplementasikan SK ini di lapang banyak menghadapi kendala, hal ini disebabkan jumlah KJA yang ada di kawasan ini sudah jauh melebihi batas atas yang ditetapkan oleh SK Gubernur Jabar No. 41 Tahun 2002, yaitu 12.000 petak, dimana di Kabupaten Bandung, hanya boleh sampai 1.896 petak, di Kabupaten Purwakarta 4.644 dan di Kabupaten Cianjur 5.460 petak.  BPWC akhirnya mengambil kebijakan untuk tidak memberikan ijin baru dan membiarkan yang telah ada sebelumnya.  Penduduk sekitar waduk, masih tetap membuat KJA baru dengan jumlah petak sesuai pesanan investor dengan menggunakan nama penduduk sekitar.  Jumlah KJA sejak SK ini dikeluarkan makin bertambah secara tidak terkendali. Penduduk bersama investor tanpa diketahui dengan pihak BPWC saat akan membuat KJA baru. Implikasi kebijakan ini, jumlah KJA tetap meningkat. BPWC tidak sanggup mencegahnya disebabkan dalam SK tidak diatur bagaimana upaya mengurangi jumlah, dan bagaimana menghentikan kegiatan KJA yang tidak memenuhi syarat teknis. Petani merasakan kebijakan ini berada dalam status quo, sehingga dipandang oleh mereka bahwa kebijakan ini belum bisa diterapkan sepenuhnya, yakni jumlah KJA sebanyak 12.000 petak. Akibatnya KJA tetap saja makin bertambah. Tabel 38 berikut ini memperlihatkan analisis isi terhadap SK Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002. Tabel 38. Analisis Isi Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat No. 41 Tahun 2002 Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002 Tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum Lahan Pertanian Dan Kawasan Waduk Cirata No. Fokus Ada Tidak Ada Komentar Landasan Hukum Lingkungan  Perairan dan Sumberdaya air - PP No. 82 Th 2001 -Permen PU No 45PRT 1990 - Permen PU No. 48 PRT 1990 - Perda Prov Dati I Jabar No. 2 Tahun 1998 - Perda Prov Dati I Jabar No. 14 Tahun 2002 - Perda Prov Dati I Jabar No. 3 Tahun 2001 Merupakan SK yang muncul setelah ditunggu oleh PT PJB, sebagai pemilik perairan Waduk Cirata dan BPWC sebagai pengelolanya. SK ini tidak memuat klasusul konsiderans tentang lingkungan secara khusus, namun kebijakan baik PP, Permen sebagai landasan lahirnya kebijakan cukup mengadopsi aspek lingkungan perairan. Nuansa kebijakan ini lebih pada upaya mengendalikan peningkatan jumlah KJA di perairan Waduk Cirata. 1. Pemerintahan  Isi Maksud dan Tujuan  Melakukan pengaturan secara integratif kawasan Waduk Cirata agar fungsi dan daya guna waduk tidak terganggu dengan memberi kesempatan kepada masyarakat memanfaatkan untuk budidaya KJA sesuai persyaratan teknis yang ditetapkan. Definisi klasifikasi  Lengkap beserta penjelasannya Informasi Umum  Lengkap disertai dengan zona budidaya di Kab. Bandung Barat, Cianjur dan Purwakarta dan batas atas jumlah KJA di masing-masing zona semuanya 12.000 petak. Selain itu ada batas atas jumlah produksi per musim tanam. Mekanisme Prosedur  - Mekanisme pengajuan usaha perikanan di tingkat perorangan diajukan ke Gubernur dan perusahaan. - Harus mendapat rekomendasi dari BPWC dengan menyertakan keterangan domisili dari desakecamatan di sekitar Waduk Cirata dan persyaratan teknis - Ijin budidaya KJA tidak dapat dipindahtangankan dan bisa diteruskan oleh ahli warisnya dan berlaku 3 tahun serta dapat diperpanjang - Ijin dapat dibatalkandicabut jika tidak memenuhi syarat teknis dan merusak lingkungan. 2. Instansi penanggung  - BPWC sebagai pengelola melakukan pemantauan terhadap kualitas air dan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002 Tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum Lahan Pertanian Dan Kawasan Waduk Cirata No. Fokus Ada Tidak Ada Komentar jawab, pelaksana dan pengawasan pembinaan terhadap tatacara, evaluasi, pelatihan, dan solusi dalam melaksanakan kegiatan budidaya. Laporan 3 bulan sekali ditujukan kepada KD Dati I dan Dati II - Pengawasan, penertiban dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Dati I Jabar. 3. Implementasi: SK KD Dati I No. 41 Tahun 2002 merupakan kebijakan yang diharapkan oleh PT PJB- BPWC, sehingga BPWC sebagai pengelola memiliki kekuatan hukum dalam melaksanakan upaya menjaga kelestarian lingkungan perairan Waduk Cirata. Bagian Kedua SK ini, khususnya pasal 8 sd pasal 18 diatur ketentuan tentang budidaya KJA. Petani ikan, yang dapat berusaha di Waduk Cirata adalah penduduk yang berdomisili di sekitar Waduk Cirata. Jumlah produksi, jumlah KJA, syarat teknis KJA dan tidak diperkenankannya KJA sebagai rumah tinggal serta pembentukan kelompok pengawas masyarakat dan adanya pengawas lalulintas benih, pakan dan produksi di tiap zona.  BPWC sebagai instansi pengelola dalam mengimplementasikan SK ini di lapang banyak menghadapi kendala, hal ini disebabkan jumlah KJA yang ada di kawasan ini sudah jauh melebihi batas atas yang ditetapkan oleh SK Gubernur No. 41 Tahun 2002, yaitu 12.000 petak, dimana di Kab Bandung, hanya boleh sampai 1.896 petak, di Kab. Purwakarta 4.644 dan di Kab. Cianjur 5.460 petak.  BPWC akhirnya mengambil kebijakan untuk tidak memberikan ijin baru dan membiarkan yang telah ada sebelumnya.  Penduduk sekitar waduk, masih tetap membuat KJA baru dengan jumlah petak sesuai pesanan investor dengan menggunakan nama penduduk sekitar.  Jumlah KJA sejak SK ini dikeluarkan makin bertambah secra tidak terkendali. Penduduk bersama investor tanpa diketahui dengan pihak BPWC saat akan membuat KJA baru.  ‘Sepertinya’ ada jaringan tertentu di lingkup sekitar Waduk Cirata yang menjadi pemicu bagi bisa tidaknya investor baru masuk di budidaya KJA dengan pembagian tugas di sektor perijinan di level pemerintahan dan sektor konstruksi dengan harga bervariasi sesuai harga pasar dan jenis bahan dasar KJA. Rekomendasi BPWC tidak disertakan untuk perijinan ke pemerintahan. 4. Implikasi: Jumlah KJA tetap meningkat. BPWC tidak sanggup mencegah peningkatan ini disebabkan dalam dalam SK ini tidak diatur bagaimana upaya mengurangi jumlah, dan bagaimana menghentikan kegiatan KJA yang tidak memenuhi syarat teknis. Petani KJA sendiri pada umumnya tidak memiliki perijinan resmi, dan BPWC tidak dapat menghentikan petani yang tidak memiliki ijin ini. Tidak adanya tindak lanjut secara instansional baik dari BPWC maupun restu dari penguasa wilayah, menyebabkan petani merasakan kebijakan ini berada dalam status quo, sehingga dipandang oleh mereka bahwa kebijakan ini belum bisa diterapkan sepenuhnya, yakni jumlah KJA 12.000 petak. Akibatnya KJA tetap saja makin bertambah dan didukung oleh sikap petani bahwa BPWC tidak dapat bertindak secara ketat, apalagi menarik KJA yang bermasalah dalam konteks perijinan, atau yang melanggar ketentuan teknis KJA terhadap kelestarian lingkungan. Kebijakan yang terbit setelah tahun 2002 adalah SK Gubernur Jawa Barat No. 45 Tahun 2002 yang mengatur tentang retribusi usaha perikanan dan retribusi produksi perikanan. Kebijakan ini berjalan intensif, namun akhirnya dibatalkan oleh Departemen Dalam Negeri. Tabel 38. Analisis Isi Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat No. 45 Tahun 2003 Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 45 Tahun 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Propinsi Jawa Barat No. 14 Tahun 2002 Tentang Usaha Perikanan Dan Retribusi Usaha Perikanan No. Fokus Ada Tidak Ada Komentar Landasan Hukum Lingkungan  Perairan dan Sumberdaya air  1. Pemerintahan  Merupakan SK yang hanya mengatur soal retribusi usaha dan retribusi produksi perikanan. Konsiderans yang ada hanya terkait dengan keberadaan UUPPKepmenPermen yang terkait dengan bentuk pungutan atau restribusi kepada petanipetani ikan nelayan. Isi Maksud dan Tujuan  Tidak termaktub maksud dan tujuan secara eksplisit. Implisitnya adalah penerapan retribusi usahaproduksi perikanan. Definisiklasifikasi  Lengkap beserta penjelasannya Informasi Umum  Lengkap Mekanisme Prosedur  - Mekanisme pengajuan ijin usaha perikanan di tingkat perorangan badan hukum diajukan ke Gubernur - Perusahaan harus mendapat rekomendasi dari BPWC dan bupati setempat dan hasil pemeriksaan sarana pembudidayaan. - Biaya ijin per petak KJA Rp.50.000 dan retribusi produksi 0,1 dari harga jual seluruh hasil budidaya. - Harga patokan ikan ditetapkan sekali dalam satu tahun oleh Gubernur. - Daftar ulang budidaya harus menyertakan pembayaran retribusi produksi terutang 2 tahun sebelumnya. 2. Instansi penanggungjawab, pelaksana dan pengawasan  - Gubernur untuk pembinaan, pengawasan, dan pengendalian dan dilaksanakan oleh Instansi terkait ASDA Pemerintahan, Perekonomian, Administrasi, Dinas Daerah bidang perdagangan dan Dispenda 3. Implementasi: SK Gubernur Jabar No. 45 Tahun 2003 merupakan kebijakan lanjutan dari kebijakan sebelumnya yang ditujukan bagi masuk PAD Provinsi Jawa Barat. Dalam perjalanannya SK ini mengalami hambatan dalam pelaksanaanya, dan sempat dievaluasi oleh Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 45 Tahun 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Propinsi Jawa Barat No. 14 Tahun 2002 Tentang Usaha Perikanan Dan Retribusi Usaha Perikanan No. Fokus Ada Tidak Ada Komentar Departemen Dalam Negeri dan selanjutnya SK ini dibatalkan karena bertentangan dengan SK sebelumnya dan tumpang tindihnya pungutan, dan serta berbeda dengan ketentuan UU No. 25 Tahun 2000. 4. Implikasi: SK ini menimbulkan gejolak di kalangan petani KJA, tapi akhirnya SK ini dalam perjalanannya dibatalkan oleh Depdagri. Pada sisi pengelola, keberadaan retribusi bagi petani ikan KJA, merupakan sesuatu yang sah-sah saja, namun tetap tidak bisa memberikan kenyamanan pengelola dalam arti PT PJB-BPWC harus membayar pajak atas semua kegiatan produksi listriknya, sementara itu petani KJA yang turut berperan menurunkan produksi listrik PT PJB-BPWC harus menyetorkan retribusi produksi KJA 0,1 kepada Dispenda yang sama sekali tidak berkontribusi terhadap produksi listrik. Selanjutnya kebijakan yang mengarah pada bentuk kebijakan yang dikehendaki oleh BPWC diterbitkan oleh Pemprov dalam bentuk Perda No. 7 tahun 2011 yang belum memiliki petunjuk pelaksanaannya. Dalam Perda ini diatur bahwa jumlah petak KJA maksimal adalah 20 buah, sedangkan jumlah KJA maksimal di seluruh perairan belum ditetapkan dalam Perda ini. Tabel 39. Analisis Isi Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat No. 7 Tahun 2011 Perda Provinsi Jawa Barat No. 7 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Perikanan No. Fokus Ada Tidak Ada Komentar Landasan Hukum Lingkungan Perairan dan Sumberdaya air - UU No.31 Th 2004 - UU No 32 tahun 2009 Merupakan Perda yang muncul setelah ditunggu oleh PT PJB, sebagai pemilik perairan Waduk Cirata dan BPWC sebagai pengelolanya. Peraturan ini memuat tentang lingkungan, perikanan 1. Pemerintahan - UU No 26 Th 2007 - UU No 32 th 2004 Peraturan ini memuat tentang otonomi daerah Isi Maksud dan Tujuan  Melakukan pengaturan secara integratif kawasan Waduk Cirata agar fungsi dan daya guna waduk tidak terganggu dengan memberi kesempatan kepada masyarakat memanfaatkan untuk budidaya KJA sesuai persyaratan teknis yang ditetapkan. Definisi klasifikasi  Lengkap beserta penjelasannya Informasi Umum  Lengkap bahwa petani KJA maksimal memiliki 20 petak KJA. 2. Mekanisme Prosedur  - Mekanisme pengajuan usaha perikanan di tingkat perorangan diajukan ke BPWC untuk mendapatkan SPL, kemudian ke Dinas Perikanan untuk mendapat rekomendasi teknis - Setelah mendapat rekomendasi teknis, pengurusan perijinan dilanjutkan ke Badan Pelayanan Perijinan Terpadu BPPT Provinsi Jabar Instansi penanggung jawab, pelak sana dan pengawasan  Pengawasan, penertiban dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jabar. 3. Implementasi: Perda Prov Jawa Barat No. 7 Tahun 2011 merupakan kebijakan yang diharapkan oleh PT PJB-BPWC, sehingga BPWC sebagai pengelola memiliki kekuatan hukum dalam melaksanakan upaya menjaga kelestarian lingkungan perairan Waduk Cirata. Oleh karena Perda ini baru, maka Perda ini masih pada tahap baru akan disosialisasikan. Adapun petunjuk pelaksanaan Perda ini belum ada, biasanya baru akan terbit setahun setelah Perda ini terbit.

7.1.3. Implementasi Kebijakan

Berdasarkan hasil analisis isi terhadap kebijakan pengelolaan perairan Waduk Cirata, implikasi dan implementasi kebijakan yang disajikan di atas, terlihat jelas adanya beberapa kesenjangan pelaksanaan kebijakan. Sebagai contoh, kebijakan SK Gubernur Jawa Barat No. 27 Tahun 1994, merupakan SK yang tidak dapat digunakan sebagai payung hukum bagi PT PLN, yang saat itu berperan mengelola Waduk Cirata sebagai penyedia suplai listrik bagi wilayah Jawa Barat, untuk mengelola budidaya KJA. Berdasarkan acuan waktu, 1988-1994, dan produk kebijakan pada kurun waktu tersebut, keberadaan kebijakan tentang budidaya KJA dapat dirinci sebagai berikut: 1. PT PLN yang mengelola Waduk Cirata sejak tahun 1988, sebelum BPWC berdiri, tidak memiliki legitimasi sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan budidaya ikan KJA di Waduk Cirata. Hal ini tidak terlihat dari notulen atau konsiderans produk kebijakan PLN tentang KJA yang seharusnya dikutip oleh BPWC saat membuat kebijakan baru. 2. PT PLN memposisikan diri sebagai pengelola Waduk Cirata, dan Dinas Perikanan Pemprov dan Pemkab yang bertanggung jawab secara teknis terhadap keberadaan budidaya ikan KJA di Waduk Cirata, sehingga segala sesuatu tentang KJA merupakan urusan Dinas Perikanan. 3. Dalam kurun waktu 1988-1994, keberadaan perairan Waduk Cirata berbentuk open access bagi budidaya KJA dimana siapapun dapat masuk untuk berinvestasi dimana perijinan dapat diatur oleh pemkab sekitar, atau tidak perlu ijin apabila investor adalah penduduk sekitar Waduk Cirata. 4. Dinas Perikanan tidak membuat aturan main yang rinci, jelas dan tegas tentang hak dan kewajiban yang dimiliki petani ikan. Konteks aturan yang ada adalah penerapan Perda No. 14 Tahun 1986 yang mengarah pada peningkatan PAD pemda. 5. Dalam rangka peningkatan PAD, promosi dinas perikanan baik tingkat propinsi maupun kabupaten tentang sumberdaya perairan Waduk Cirata bagi potensi budidaya KJA berlangsung secara terus menerus, sehingga dalam kurun waktu tersebut, investor dari luar Waduk Cirata, luar propinsi, dan luar P. Jawa berdatangan untuk berinvestasi. Terjadi peningkatan jumlah petak KJA secara signfikan 87 kali lipat. Dari 74 buah tahun 1989 menjadi 6.743 petak pada tahun 1994. 6. SK Gubernur No. 27 Tahun 1994, semakin mengukuhkan keberadaan budidaya KJA dapat dilakukan siapa saja di perairan Waduk Cirata tanpa ada informasi tentang hak dan kewajiban dari para pembudidaya. 7. Setelah tahun 1994 sd Tahun 2002, tidak ada produk kebijakan yang dibuat Pemda, PT PJB setelah PT PLN, yang mengarah pada bentuk-bentuk property right dalam budidaya KJA. Hal ini berakibat pada peningkatan KJA sehingga mencapai 30.249 petak atau 400 kali lipat dari jumlah petak tahun 1989 atau 4 kali lipat dari tahun 1994. 8. PT PJB pada tahun 1998 bersama Pemprov Jawa Barat membentuk BPWC, sebagaimana PT OJL Otorita Jati Luhur, yang bertanggung jawab mengelola Waduk Cirata secara lebih fokus, utamanya untuk suplai listrik, dan pengelolaan KJA. Akan tetapi disebabkan sejak tahun 1988-1994, dan SK Gubernur No. 27 Tahun 1994, tidak ada bentuk produk hukumkebijakan yang dapat dijadikan acuan bagi BPWC untuk melakukan penertiban KJA, menyebabkan BPWC sebagai lembaga baru tidak mampu berperan optimal untuk mencegah peningkatan jumlah KJA.

7.2. Kelembagaan Pengelolaan Perairan Waduk Cirata