selain berperan sebagai petani ikan, pemilik KJA juga berperan sebagai petani yang bertanam padi dan jenis hortikultur lain. Sistem pengelolaan perikanan
budidaya KJA di perairan Waduk Cirata pada awalnya belum memiliki bentuk disebabkan tidak ada kejelasan wewenang yang dimiliki oleh Badan Pengelola
Waduk Cirata BPWC sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap perairan Waduk Cirata.
BPWC adalah sebuah lembaga yang dibentuk oleh PT Pembangkitan Jawa Bali PJB, sebuah anak perusahaan PT PLN, yang bertugas mengelola perairan
Waduk Cirata, sehingga jaminan suplai listrik jaringan Jawa-Bali tersedia secara berkesinambungan. Pengelolaan perikanan budidaya KJA dilandaskan pada
berbagai kebijakan yang dibuat secara koordinatif dengan pemerintahan propinsi maupun pemerintahan kabupaten. Analisis di bawah ini memperlihatkan
keberadaan kebijakan pengelolaan perairan Waduk Cirata untuk budidaya KJA.
7.1. Analisis Isi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Budidaya KJA di Waduk Cirata
Perairan Waduk Cirata berdasarkan ketetapan pemerintah adalah milik PT PJB. Sedangkan BPWC adalah sebuah lembaga yang dibentuk oleh PT PJB untuk
mengelola Waduk Cirata sebagai sumberdaya air pembangkit listrik. Oleh sebab itu, BPWC bertanggung jawab sepenuhnya terhadap segala sesuatu yang terjadi
dengan badan air perairan Waduk Cirata. Salah satu beban berat yang dihadapi oleh BPWC saat ini adalah keberadaan budidaya KJA yang berada di 3 tiga
wilayah, yaitu Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat, dimana jumlah KJA makin bertambah dari tahun ke
tahun seiring dengan makin menurunnya kualitas perairan.
Beban berat ini terjadi disebabkan sejak awal dibangunnya Waduk Cirata sebagai PLTA, pemerintah telah memberikan komitmen peluang usaha kepada
penduduk yang lahannya terpakai untuk pembangunan waduk dan penduduk sekitarnya. Peluang usaha tersebut adalah budidaya ikan KJA. Selanjutnya usaha
budidaya ikan KJA dilakukan oleh penduduk setempat tanpa disertai aturan-aturan tertentu yang mengarah pada upaya pembatasan usaha, sehingga terjadi bentuk
common property terhadap sumberdaya perairan dan berlanjut hingga saat ini. Kondisi ini menyebabkan BPWC berada dalam situasi dilematis, dimana BPWC
harus bertanggung jawab terhadap PJB tentang pengelolaan waduk dan harus memperhatikan kepentingan petani ikan KJA. Untuk menjaga keberlangsungan
Waduk Cirata sebagai sumberdaya air PLTA BPWC hanya berperan sebagai fasilitator bagi keberlangsungan budidaya ikan KJA dan semua kebjakan tentang
budidaya ikan KJA diatur oleh Provinsi Jawa Barat sebagai penguasa wilayah. Aturan formal yang selama ini dijadikan acuan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah Waduk Cirata dapat dikelompokkan menjadi :
1. Undang-undang, yang terdiri UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian direvisi dengan UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. 2. Undang-undang No 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air;
3. Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor PER.12MEN2006 tentang Perijinan Usaha Pembudidayaan Ikan.
5. Peraturan Daerah Perda Provinsi, yang terdiri dari : a. Keputusan
Gubernur Jawa
Barat No
41 Tahun
2002 tentang
Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum Lahan Pertanian dan Kawasan Waduk Cirata
b. Keputusan Bersama Gubernur Jawa Barat, Bupati Bandung, Bupati Cianjur, Bupati Purwakarta No. 15 Tahun 2003, 1 Tahun 2003, 13 Tahun
2003, 8 Tahun 2003, 036060DinetV2003 tentang Pengembangan pemanfaatan Waduk Cirata
c. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan,
d. Keputusan Gubernur Jawa Barat No 45 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002
tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan; e. Peraturan Gubernur Jawa Barat. Nomor 39 tahun 2007 Jo. Nomor 29
Tahun 2008 tentang penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu pintu Provinsi Jawa Barat.
f. Peraturan Daerah Nomor 24 tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga lain Provinsi Jawa Barat, termasuk didalamnya pembentukan BPPT.
g. Peraturan Gubernur
Jawa Barat
Nomor 16
tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan Terpadu.
h. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Tugas Pokok, Fungsi, Rincian Tugas Unit dan Tata Kerja BPPT Provinsi Jawa
Barat
i. Peraturan Gubernur Jawa
Barat Nomor 63 Tahun
2009 Tentang Pengelolaan Perikanan.
Kelima kelompok aturan main tersebut secara legal-formal merupakan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Cirata. Aturan main yang diatur
dalam lima kelompok aturan formal tersebut adalah penentuan jumlah maksimum KJA, penggunaan bahan KJA
yang diperbolehkan, menjaga kelestarian
sumberdaya ikan dan kualitas perairan waduk, pemantauan, pengawasan, pengendalian dan penegakan hukum, pengaturan izin budidaya, pengaturan
zonasi, sanksi terhadap pelanggaran, dan pungutan perikanan Tabel 36.
Tabel 36. Jenis Peraturan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Perairan Waduk Cirata
No Aturan Main
Peraturan 1.
Penentuan jumlah
KJA yang
diperbolehkan 1. Keputusan Gubernur Jawa Barat No 41 Tahun 2002
tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Uum lahan Pertanian dan Kawasan Waduk Cirata
2. Menjaga
kelestarian sumberdaya
ikan 1. UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan 2. UndangUndang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 3. UndangUndang No 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan
Sumberdaya Air 4. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2009
Tentang Pengelolaan Perikanan 3.
Pengaturan ijin budidaya KJA
1. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan
2. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Perikanan
3. Peraturan Gubernur Jawa Barat. Nomor 39 tahun 2007 Jo. Nomor 29 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu pintu Provinsi Jawa Barat. 4. Peraturan
Daerah Nomor
24 tahun
2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga lain Provinsi Jawa Barat, termasuk didalamnya pembentukan BPPT
5. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 16 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan Terpadu.
6. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Tugas Pokok, Fungsi, Rincian Tugas Unit dan
Tata Kerja BPPT Provinsi Jawa Barat 4.
Pengaturan bahan KJA
Keputusan Gubernur Jawa Barat No 41 Tahun 2002 tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum lahan Pertanian
dan Kawasan Waduk Cirata 5.
Retribusi Perikanan
1. UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang- undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan
2. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan
3. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Perikanan
4. Peraturan Gubernur Jawa Barat. Nomor 39 tahun 2007 Jo. Nomor 29 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu pintu Provinsi Jawa Barat. 5. Peraturan
Daerah Nomor
24 tahun
2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga lain Provinsi Jawa Barat, termasuk didalamnya pembentukan BPPT
6. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 16 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan Terpadu.
7. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Tugas Pokok, Fungsi, Rincian Tugas Unit dan
Tata Kerja BPPT Provinsi Jawa Barat
7.1.1 Analisis Urusan dan Peletakan Kewenangan Dalam Peraturan
Perundang-undangan
Peraturan sebagai rules of game, yang mengatur perilaku makhluk hidup dalam interaksinya dengan sumberdaya alam perlu dipahami secara utuh dengan
mempelajari urusan apa saja yang diatur dana bagaimana peletakan kewenangan atas urusannya, pada tataran makro, meso dan mikro. Sebagai catatan, keberadaan
UU No.72004 dalam konteks pengelolaan Waduk Cirata belum menjadi referensi bagi lahirnya kebijakan baru bagi petani KJA di Waduk Cirata.
7.1.1.1 Urusan-urusan yang Diatur dalam Undang-Undang No. 72004 dan Peraturan Pemerintah No. 422008.
Undang-Undang No.72004 tentang Sumberdaya Air terdiri 18 bab dan 100 pasal. UU ini merupakan satu dari UU yang akan dibahas dalam riset ini, namun
secara konten, UU ini belum menjadi ruh dari semua kebijakan pengelolaan Waduk Cirata. Kebijakan terbaru yang ditetapkan oleh DPRD Provinsi Jawa Barat
pada tahun 2011 belum dibuat petunjuk pelaksanaannya oleh Pemda Provinsi. UUSDA merupakan produk UU yang relatif komprehensif substansinya dan
perhatian yang seimbang. Komprehensivitas substansinya terletak pada ketentuan- ketentuannya yang memuat hampir semua aspek yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya
air. Keseimbangan
perhatian ditunjukkan
oleh pengaturan yang relatif sama terhadap berbagai aspek yang menjadi isu pokok
dalam kajian ini. Komprehensivitas dan perhatian yang seimbang dapat dicermati dari uraian berikut.
Fungsi sumberdaya air, dalam penjelasan umum UU No. 72004 untuk pasal 4 disebutkan memiliki 3 fungsi, yaktu sosial, lingkungan hidup dan ekonomi.
Fungsi sosial, menyatakan bahwa sumberdaya air lebih untuk kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi. Fungsi lingkungan hidup, menyatakan sumberdaya air menjadi bagian dari ekosistem sekaligus sebagai tempat kelangsungan hidup
flora dan fauna. Sedangkan fungsi ekonomi, menyatakan sumberdaya air dapat didayagunakan untuk kepentingan usaha.
Berdasarkan 3 tiga fungsi di atas dalam pasal 5 disebutkan bahwa, negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal
sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif. Selanjutnya dalam pasal 6, disebutkan bahwa negara memberikan kewenangan
kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pengelolaan air sesuai kewenangannya.
Semangat desentralisasi tampaknya mendasari pembentukan UUSDA ini karena pemberian kewenangan otonom juga sampai ke pemerintahan desa.
Artinya kewenangan pengelolaan SDA yang bersumber dari Hak Penguasaan Negara tidak hanya dilaksanakan oleh Pemerintah pusat, namun dengan
menggunakan prinsip pembagian kewenangan, Pemda dan Pemerintah Desa juga diberi kewenangan melaksanakannya. Pasal 6 ayat 2 menentukan bahwa
penguasaan Negara atas sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan oleh Pemerintah danatau Pemda.
Mencermati rumusan Pasal 6 ayat 2 di atas yang menggunakan kata ”danatau”
tampaknya dimaksudkan
bahwa pelaksana
kewenangan yang
bersumber dari Hak Penguasaan Negara dapat saja bersifat desentralistis mutlak yaitu antara kewenangan yang dipunyai oleh Pemerintah dengan yang diserahkan
kepada Pemda berbeda, namun dapat juga bersifat desentralistis yang mengarah
pembagian kewenangan yaitu antara kewenangan Pemerintah dan Pemda sama dengan perbedaan dalam luas ruang lingkup berlakunya kewenangan tersebut.
Jika ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Pasal 14 dan Pemda Pasal 15 dan Pasal 16 dicermati, maka penafsiran yang dapat
diajukan bahwa sifat pemberian kewenangan itu bukan bersifat desentralistis mutlak,
namun lebih
mengarah pada
prinsip pembagian
kewenangan. Kewenangan Pemerintah dan Pemda mengandung substansi yang sama yaitu
menetapkan kebijakan, pola pengelolaan, rencana pengelolaan, menetapkan dan mengelola kawasan lindung, melaksanakan pengelolaan, memberikan perijinan,
memfasilitasi penyelesaian sengketa, pembentukan dewan sumberdaya air. Perbedaannya bahwa ruang lingkup kewenangan pemerintah nasional, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupatenkota adalah wilayah administratifnya. Selain itu, pelaksanaan kewenangan Hak Penguasaan Negara juga
diserahkan kepada : a. Pemerintah Desa
Pemerintah desa atau yang setingkat dengan desa juga diberi kewenangan dan tanggungjawab, meskipun secara kuantitas relatif terbatas yaitu mengelola
SDA yang ada di desanya yang belum dikelola oleh masyarakat atau oleh pemerintah yang di atasnya, menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban
pelaksanaan pengelolaan SDA yang ada di desa, dan berusaha menjamin pemenuhan kebutuhan pokok minimal sehari-hari warga desa atas air.
b. Dewan Sumberdaya Air Dewan SDA dibentuk di semua tingkat wilayah pemerintahan, yaitu : 1 Di
tingkat nasional terdapat 3 tiga macam Dewan yaitu Dewan SDA Nasional,
Dewan SDA Wilayah Sungai Lintas Provinsi, dan Dewan SDA Wilayah Sungai Strategis Nasional; 2 Di tingkat Provinsi dapat hanya dibentuk satu dewan SDA
Provinsi, namun juga dapat dibentuk 2 dua dewan yaitu Dewan SDA yang umum dan Dewan SDA Wilayah Sungai lintas KabupatenKota; 3 Di tingkat
kabupatenkota dapat dibentuk satu Dewan SDA, namun dapat juga dibentuk 2 dua dewan yaitu Dewan SDA KabupatenKota yang umum dan Dewan SDA
Wilayah Sungai. Tugas dan tanggung jawab Dewan SDA di semua tingkatan pada prinsipnya
sama, yaitu: 1 Melakukan koordinasi pengintegrasian kepentingan lintas sektor, lintas wilayah dalam pengelolaan sumberdaya air; 2 Menyusun dan merumuskan
kebijakan dan strategi pengelolaan sumberdaya air.
c. Dewan Tertentu