Kebaruan Model Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat

penelitian dan sistematika penulisan. Bab 2 berisi tinjauan pustaka tentang landasan hukum pengendalian kebakaran hutan dan lahan, perkembangan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, sistem peringatan dini berbasis masyarakat, kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, analisa pemangku kepentingan dan riset aksi. Bab 4 menyajikan hasil dan pembahasan tentang karakteristik, sejarah dan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas. Bab 5 menguraikan hasil penentuan area kebakaran hutan dan lahan melalui masyaraka metode Composite Mapping Analysis serta sebaran area dengan tingkat kerentanan kebakaran tertentu. Bab 5 menyajian bahasan tentang identifikasi kebijakan dan kelembagaan serta dukungan yang diperlukan untuk pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Adapun Bab 6 membahas tentang rumusan model kelembagaan dan distribusi informasi sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat melalui hasil refleksi masyarakat dan lembaga pemerintah. Bab 7 berisi pembahasan umum pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat di Kabupaten Kapuas. Bab terakhir adalah Bab 8 yang berisi simpulan umum dan saran. Keterkaitan antar Bab secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1.2. Gambar 1.2. Sistematika Penulisan BAB 1 Pendahuluan BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 3 Karakteristik dan Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan BAB 4 Penentuan Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan BAB 5 Identifikasi Kebijakan dan Kelembagaan Kebakaran Hutan dan Lahan BAB 6 Rumusan Penguatan Model Kelembagaan Pengelolaan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan melalui Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat BAB 7 Pembahasan Umum BAB 8 Simpulan Umum dan Saran 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Hukum Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara hukum merupakan amanat yang tercantum dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada Pasal 47 huruf a menyebutkan bahwa penanggulangan kebakaran hutan tercantum pada upaya perlindungan hutan dan kawasan hutan. Pasal 47 huruf a menyatakan bahwa Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk: a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara definitif dan terinci terdapat pada Peraturan Pemerintah PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Peraturan Pemerintah PP Nomor 45 Tahun 2004 pada pasal 20 Ayat 1 a disebutkan bahwa untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran dilakukan kegiatan pengendalian yang meliputi; a pencegahan, b pemadaman, dan c penanganan pasca kebakaran. Kegiatan pencegahan kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat 1 huruf a, dilakukan kegiatan: a. Pada tingkat nasional, antara lain : 1. membuat peta kerawanan kebakaran hutan nasional; 2. mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan; 3. menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat; 4. menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan ; 5. membuat program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran; 6. menetapkan pola pelatihan pencegahan kebakaran; dan 7. melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Pasal 24 1 Dalam rangka pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat 1 huruf b, maka setiap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan, Pemilik Hutan Hak dan atau Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, berkewajiban melakukan rangkaian tindakan pemadaman dengan cara : a. melakukan deteksi terjadinya kebakaran hutan b. mendayagunakan seluruh sumber daya yang ada c. membuat sekat bakar dalam rangka melokalisir api d. memobilisasi masyarakat untuk mempercepat pemadaman. Pasal 27 Dalam rangka penanganan pasca kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat 1 huruf c, dilakukan upaya kegiatan yang meliputi: a. identifikasi dan evaluasi; b. rehabilitasi; c. penegakan hukum. Peraturan perundang-undangan terbaru terkait dengan kebakaran hutan dan lahan dikeluarkan belum lama ini yaitu Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan. Aturan ini memuat instruksi pada seluruh stakeholder yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan untuk berkoordinasi dan melakukan langkah-langkah yang tepat sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing. Dalam Inpres tersebut stakeholder yang dimaksud antara lain : 1. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; 2. Menteri Kehutanan; 3. Menteri Pertanian; 4. Menteri Lingkungan Hidup; 5. Menteri Riset dan Teknologi; 6. Menteri Dalam Negeri; 7. Menteri Luar Negeri; 8. Menteri Keuangan; 9. Menteri Perencanaan Pembangunan NasionalKepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; 10. Jaksa Agung Republik Indonesia; 11. Panglima Tentara Nasional Indonesia; 12. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 13. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana; 14. Para Gubernur; 15. Para BupatiWalikota. Peraturan perundangan-undangan lain terkait kebakaran hutan dan lahan termuat antara lain : - Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Ihwal kebakaran dalam UU No. 18 2004 disebutkan pada Bagian Ketujuh tentang Pelestarian Lingkungan Hidup pasal 25 ayat 2 c ya ng berbunyi ” membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran dalam pembukaan dan atau pengolahan lahan.” Selanjutnya pada pasal 26 secara tegas, peaturan ini secara tegas melarang mengolah lahan dengan cara membakar.Pasal 26 UU No. 18 2004 ini berbunyi “Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka danatau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup. - Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU No. 32 Tahun 2009, kebakaran hutan dan lahan termaktub dalam Kriteria Baku Lingkungan pasal 20 ayat 3c. Pasal 20 ayat 3 c UU No. 32 Tahun 2009 berbunyi “kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan danatau lahan;” Selanjutnya pada pasal 53 secara jelas ditegaskan tentang kewajiban pada setiap warga negara untuk melakukan penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 53 dalam aturan ini berbunyi, 1 Setiap orang yang melakukan pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup. 2 Penanggulangan pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan: a. pemberian informasi peringatan pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat; - Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Dalam PP No. 4 2001 ini dimuat antara lain : - Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan - Baku Mutu Pencemaran Lingkungan Hidup - Tata Laksana Pengendalian - Wewenang Pengendalian Kerusakan dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan - Pengawasan - Pelaporan - Peningkatan Kesadaran Masyarakat - Keterbukaan Informasi Dan Peran Masyarakat - Pembiayaan - Sanksi Administrasi - Ganti Kerugian - Ketentuan Pidana Ketentuan hukum lainnya terkait kebakaran dimuat pada Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut No. 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Permenhut No. 12 Tahun 2009 ini memaparkan tentang Ruang Lingkup pengendalian kebakaan hutan mencakup pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca. Pada cakupan kegiatan pencegahan dilakukan pada pencegahan kebakaran hutan dilakukan pada : tingkat nasional; tingkat provinsi; tingkat kabupatenkota; tingkat unit pengelolaan hutan konservasi, tingkat kesatuan pengelolaan hutan produksi, tingkat kesatuan pengelolaan hutan lindung; dan tingkat pemegang izin pemanfaatan hutan, tingkat pemegang izin penggunaan kawasan hutan, tingkat pemegang izin hutan hak dan hutan konservasi pasal 40. Terkait sistem pringatan dini kebakaran hutan, pasal 5 menyebutkan kegiatan Pencegahan kebakaran hutan pada Tingkat Nasional yang meliputi : a. Membuat peta kerawanan kebakaran hutan; b. Mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan; c. Kemitraan dengan masyarakat; d. Menyusun standar peralatan pengendalian kebakaran hutan; e. Menyusun program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran hutan; dan f. Menyusun pola pelatihan pencegahan kebakaran hutan. Lebih lanjut, Permenhut No. 12 Tahun 2009 pada pasal 6 b memuat kegiatan terkait langsung dengan pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan. Pasal 6 b menyebutkan “Pengembangan sistem informasi kebakaran hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b meliputi pemantauan, disemi nasi dan pengecekan hotspot, SPBK dan patroli pencegahan.“ 2.2. Perkembangan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir seluruhnya terjadi akibat aktivitas manusia. Aktivitas pemanfaatan lahan secara intensif untuk budidaya pertanian, kehutanan dan perkebunan, pembangunan pemukiman serta pembangunan fasilitas publik dan transportasi. Aktivitas tersebut memicu terjadinya kebakaran akibat kesengajaan dan kelalaian pengelola lahan dalam membuka dan mengolah lahan sehingga terjadi dampak bagi lingkungan. Deteksi dan pemantauan kebakaran untuk peringatan dini bahaya kebakaran di Indonesia telah cukup berkembang. Pemanfaatan data penginderaan jauh, Sistem Informasi Geografis SIG dan teknologi informasi telah dikembangkan oleh beberapa lembaga. Tercatat beberapa Lembaga yang secara intensif mengembangkan program deteksi dan peringatan dini antara lain : Kementerian Kehutanan Republik Indonesia Kemenhut dengan program Indofire Map Services yang dapat diakses melalui situs http:indofire.dephut.go.idindofire.asp Gambar 2 Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional LAPAN dengan program Forest Fire Danger Rating System yang bekerjasama dengan Kemenhut dan Kemen LH dan Pemerintah Australia diakses melalui situs http:indofire.landgate.wa.gov.auindofire.asp Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG yang dapat diakses melalui situs http:satelit.bmkg.go.idsatelitmodishotspot Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional LAPAN dengan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran SPBK yang dapat diakses melalui situs http:www.lapanrs.comsimbadetail5?i=24807 Gambar 2.1. Screenshot Situs indofire.dephut.go.id Situs Indofire seperti yang disajikan pada Gambar 2.1 banyak digunakan untuk acuan pengendalian kebakaran hutan di Indonesia. Situs ini terbentuk atas kerjasama antara Kemenhut, LAPAN dan Kementrian Lingkungan Hidup Pemerintah Australia melalui AusAID. Situs ini memuat data pemantauan titik panas atau hotspot terbaru near-real time dan active fire dari citra satelit MODIS Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer. Selain titik panas, di situs ini juga dimuat informasi tentang Prediksi Potensi Kebakaran, Prakiraan Musim Kemarau dan Automatic Weather Station AWS di seluruh Indonesia. Umumnya indikasi kebakaran hutan dan lahan memakai data hotspot titik panas sebagai acuan untuk pengendalian lanjut tingkat lapangan. Lembaga yang menyediakan data hotspot antara lain : LAPAN, Kementerian Kehutanan Kemenhut dan ASMC ASEAN Specialized Meteorological Center Singapura yang sekarang menjadi rujukan di ASEAN. Menurut LAPAN 2004 hotspot atau titik panas adalah parameter yang diturunkan dari data satelit dan diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara meluas baik di Indonesia maupun negara-negara lain untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit. Hotspot adalah sebuah indikasi awal dari kejadian kebakaran hutan. Hotspot direkam sebagai sebuah piksel yang tidak mutlak kebakaran, tetapi mengekpresikan suhu yang relatif lebih tinggi daripada lingkungan sekitarnya. Suhu yang tedeteksi yang berkisar 310 o K 37 o C pada malam hari dan 315 o K 42 o C pada siang hari. Koordinat geografis hotspot direkam oleh sistem kemudian dikirim ke Kemenhut Kementerian Kehutanan dan pengelola hutan. Hotspot yang terekam pada posisi yang sama lebih dari tiga hari akan diprediksi sebagai kebakaran Jaya et al. 2008. Adapun hotspot menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12Menhut-II2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu disekitarnya. Masing-masing sumber penyedia data masih menghasilkan data yang berbeda tentang jumlah titik panas yang terpantau dari satelit. Perbedaan ini perlu mendapat pemahaman yang tepat sebagai dasar penetapan tindakan lebih lanjut. Menurut Hidayat et al. 2003, adanya perbedaan jumlah hotspot yang dihasilkan oleh beberapa stasiun pengamatan sering kali dikeluhkan oleh pengguna informasi hotspot terutama oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Parameter untuk mendeteksi hostspot yang selama ini dipergunakan oleh LAPAN adalah seperti disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Sea Scan AVHRR Fire Detection Configuration File dari LAPAN Parameter Threshold o K Channel 3 temperature degrees K above which a fire exist 322.0 Temperature difference ch3 ch4 above which a fire exist 20.0 Channel 4 threshold for clouds 245.0 Channel 1 albedo threshold 25.0 Channel 1, channel 2 difference threshold 1.0 Time in hours for dusk and dawn 1.0 Pada Tabel 2.2 diperlihatkan bahwa sumber LAPAN memakai suhu minimum 322.0 o K sebagai dasar suatu areal dapat dikategorikan terjadi hotspot fire exist. Sedangkan perbedaan temperatur minimum pada kanal 3 dan kanal 4 ch3 ch4 dimana suatu areal pada citra NOAA terpantau hotspot sebesar 20.0 o K. Threshold berbagai parameter yang digunakan oleh LAPAN dalam mendeteksi hotspot berbeda dengan stasiun pengamat lainnya seperti PONGI Kementerian Kehutanan di Bogor, dan ASMC Singapura yang sekarang menjadi rujukan di ASEAN. Nilai ambang yang digunakan oleh ASMC untuk mendeteksi hotspot ditunjukkan pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3. Adapun, Kementerian kehutanan Kemenhut memakai ambang suhu threshold 315 o K 42 o C pada siang hari dan 310 o K 37 o C pada malam hari FFPMP2, 2004. Akibat perbedaan tersebut menghasilkan jumlah hotspot yang berbeda-beda antar stasiun pengamat. Kedua, waktu pengamatan yang berbeda antar stasiun pengamatan. Hidayat et al. 2003 lebih lanjut menjelaskan, salah satu kemungkinan penyebab terjadinya perbedaan itu adalah tidak dilakukannya pengamatan pada malam hari. Sehingga banyak kejadian kebakaran yang lolos dari pengamatan LAPAN. Terdapat perbedaan waktu pengamatan antara LAPAN dengan ASMC, dimana LAPAN hanya melakukan pengamatan perekaman data setiap hari dari pukul 06.00 hingga 19.00 WIB, sementara ASMC dan Kemenhut melakukannya selama 24 jam setiap hari. Tabel 2.2. AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC Malam Hari Parameter Threshold o K Channel 3 temperature degrees K above which a fire exist 314.0 Temperature difference ch3 ch4 above which a fire exist 15.0 Channel 4 threshold for clouds 245.0 Channel 1 albedo threshold 25.0 Channel 1, channel 2 difference threshold 1.0 Time in hours for dusk and dawn 0.5 Tabel 2.3. AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC Siang Hari Parameter Threshold o K Channel 3 temperature degrees K above which a fire exist 320.0 Temperature difference ch3 ch4 above which a fire exist 15.0 Channel 4 threshold for clouds 245.0 Channel 1 albedo threshold 25.0 Channel 1, channel 2 difference threshold 1.0 Time in hours for dusk and dawn 0.5 Menurut Solichin 2004, waktu lintasan satelit sangat berpengaruh terhadap pendeteksian kebakaran karena terkait dengan adanya perilaku pembakaran lahan di beberapa tempat di Indonesia atau dengan adanya perubahan penyebaran awan yang bergerak dalam hitungan beberapa menit, sehingga mempengaruhi kemampuan satelit dalam pemantauan hotspot. Ketiga, Menurut Hidayat et al. 2003 kemungkinan lain adalah, sistem pengolahan hotspot LAPAN Sea Scan yang operasional saat ini tidak bisa mengolah data NOAA 15 dan 16. Jadi ada kemungkinan ada hotspot yang seharusnya bisa dipantau dengan NOAA 15 dan 16, menjadi tidak terpantau oleh LAPAN. Hotspot mengindikasikan lokasi kebakaran vegetasi seperti terlihat pada monitor komputer atau peta yang dicetak atau ketika dicocokkan dengan koordinatnya. Hal ini merupakan istilah yang sangat populer pada awal-awal pengenalan penggunaan citra NOAA untuk mendeteksi kebakaran vegetasi dan saat ini sangat dimengerti oleh semua pihak. Istilah yang lain lebih jelas untuk menggambarkan titik kebakaran adalah fire-spot dan berbagai kalangan mengusulkan bahwa sebenarnya banyak titik api tidak mengindikasikan kebakaran bagi semua penggunaan praktis sebuah hotspot searti dengan fire-spot Anderson et al. 1999 Hasil pemantauan hotspot juga digabungkan dengan prediksi kebakaran sehingga kegiatan pencegahan dan pemadaman dapat berlangsung efektif. Prediksi kebakaran berdasarkan analisis faktor penyebab dan potensi terjadinya kebakaran di suatu tempat. Analisis dan prediksi bisa didasarkan pada data cuaca, vegetasi maupun variabel penduga lainnya. Analisis cuaca untuk memperkirakan tingkat bahaya kebakaran pernah dikembangkan oleh Keetch Byram di Kalimantan Timur dan di beberapa tempat di Indoensia. KeetchByram Drought Index KBDImerupakan salah satu metode untuk mengukur tingkat bahaya kebakaran yang dikembangkan pada tahun 1968 di negara bagian Florida, Amerika Keetch and Byram, 1968. Lebih lanjut dijelaskan bahwa KBDI adalah nilai indeks yang mengekspresikan kurangnya kelembaban tanah menurut kemungkinan maksimal kandungan kelembaban tanah, yang biasanya didefinisikan sebagai kapasitas lahan. Metode ini sangat sederhana, karena hanya diperlukan tiga untuk menghitung nilai tingkat bahaya kebakaran, yaitu 1 Rata-rata tertinggi curah hujan tahunan dari stasiun cuaca, 2 Suhu maksimum hari ini dan 3 Curah hujan. Pemantaian cuaca untuk sebagai parameter tingkat risiko kebakaran untuk pengembangan sistem peringatan dini kebakaran juga telah lama dikembangkan oleh lemaga pemerintah. Hubungan antara kebakaran hutan dan lahan dengan faktor iklim memungkinkan untuk dikembangkannya model-model pemantauan dan peringatan dini. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geologi BMKG dan LAPAN telah mengembangkan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran SPBK yang berbasis data iklim. SPBK BMKG menggunakan data iklim observasi permukaan, sedangkan LAPAN menggunakan data iklim yang diturunkan dari data satelit dari berbagai sumber. Model SPBK, baik yang dikembangkan oleh BMKG dan LAPAN mengadopsi model FDRS Fire Danger Rating System yang dikembangkan di Canada Prasasti 2012. Penelitian tentang sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan berbasis peta prediksi daerah rawan kebakaran juga banyak dikembangkan. Prediksi kebakaran yang pernah dbuat misalnya oleh penelitian Sunuprapto 2000 dan Thoha, et al. 2007. Sunuprapto 2000, menemukan sebuah persamaan regresi linear ganda berbasis spasial, menggunakan fungsi map calculator pada software ArcView, yang menyatakan hubungan antara intensitas kebakaran hutan di Sumatera Selatan dengan peubah-variabel penduganya yaitu : Predicted Damage Intensity Map = -0.709 + 0.206 landcover + 0.02531 landuse + 0.160 soil type + 0.0000001881 distance to railroad – 0.00001769 distance to river + 0.00004779 distance to settlement, dimana koefisien korelasi = 0.54 dan koefisien akurasi overall = 67.10. Kemudian Sunuprapto 2000 juga membuat model prediksi untuk luas area yang terbakar Predicted Burnt Area Model dengan metode yang sama dimana diperoleh hasil berupa persamaan logistic regression sebagai berikut : Log ODDS Burnt Area = -18.03 + 1.6848 landcover + 0.9784 landuse + 2.3129 soil type + 0.0003 distance to railroad – 0.0002 distance to river and canal + 0.0003 distance to settlement, dimana koefisien korelasi = 0.48 dan koefisien akurasi overall = 72 . Model prediksi yang dibuat oleh Thoha et al. 2007 digunakan untuk kebakaran lahan gambut. Model prediksi gabungan antara faktor biofisik dan aktifitas manusia lebih mendekati dengan karakteristik kebakaran gambut berdasarkan bahasan data hotspot, kondisi penutupan lahan dan kondisi aktual di lapangan. Interaksi variabel-variabel antara faktor biofisik dan faktor aktifitas manusia menghasilkan model yang paling sesuai. Model statistik prediksi kebakaran berdasarkan faktor biofisik dan faktor aktifitas manusia yaitu : Log ODDS Peluang Kebakaran = -0.47426 + 0.0015784 Curah Hujan - 0.0050383 Ketebalan Gambut – 3.8829293 NDVI – 0.0000857 jarak dari jalan + 0.0000354 jarak dari pemukiman + 0.000895 jarak dari sungai – 0.0000233 jarak dari HPHHTI – 0.0000191 jarak dari perkebunan + 0.0000322 jarak dari lahan pertanian., dimana besarnya chi-square adalah 21.742 dan taraf nyata 0.010 dan akurasi 69.5. Dua dari sembilan variabel yang berperan pada taraf nyata 0.05 yaitu ketebalan gambut dan NDVI dimana keduanya mempunyai korelasi negatif terhadap peluang kebakaran. Sedangkan variabel yang berasal dari faktor aktifitas manusia yaitu jarak dari HPHHTI bisa diterima atau berperan nyata pada taraf nyata 0.10 α 0.10 atau tingkat kepercayaan 90 dengan korelasi negatif. Thoha et al. 2007 menjelaskan bahwa peluang kebakaran gambut sebagai hasil dari model prediksi dapat diterapkan sebagai penunjang prediksi kebakaran berdasarkan unsur cuaca belum bisa ditentukan secara spasial. Nilai peluang kebakaran tersebut secara spasial dapat menampilkan kondisi peluang kebakaran pada suatu kabupaten dengan nilai peluang kebakaran yang bervariasi antar kecamatan bahkan desa. Hasil tersebut dapat memudahkan upaya pemangku kepentingan dalam penanggulangan kebakaran secara lebih terarah dan efisien dalam penggunaan sumberdaya.

2.3. Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat

Sistem peringatan dini merupakan bagian dari kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada tahapan pencegahan. Sistem peringatan dini juga dikenal dalam penanggulangan bencana termasuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan pada tahap kegiatan pra bencana. Terminologi umum yang dikenal dalam penanggulangan bencana menyebutkan bahwa, sistem peringatatan dini adalah serangkaian kapasitas yang diperlukan untuk menghasilkan dan menyebarkan informasi peringatan yang bermakna tepat pada waktunya untuk memungkinkan orang perorangan, masyarakat dan organisasi yang terancam ancaman bahaya untuk bersiap dan mengambil tindakan secara tepat dan dalam waktu yang memadai untuk mengurangi kemungkinan kerugian atau kehilangan UNISDR 2009. Sistem peringatan dini terdiri dari satu rangkaian hal yaitu: memahami dan memetakan bahaya; memantau dan meramalkan peristiwa yang akan segera terjadi; memproses dan menyebarkan peringatan kepada pihak berwenang dan kepada masyarakat; dan melakukan tindakan yang semestinya dan tepat waktu terhadap peringatan IDEP 2007; UNISDR 2009. Menurut UNISDR 2009, sistem peringatan dini berbasis pada masyarakat adalah sistem yang berpusat pada masyarakat yang terdiri dari empat elemen kunci: pengetahuan tentang risiko, pemantauan, analisis dan peramalan ancaman bahaya, komunikasi atau penyebaran pesan siaga dan peringatan, dan kemampuan setempat untuk merespons pada peringatan yang diterima. Ungkapan “sistem peringatan dari hulu ke hilir” juga digunakan untuk memberi penekanan pada sistem-sistem peringatan dini yang perlu mencakup semua tahapan mulai dari deteksi ancaman bahaya hingga respons masyarakat. Pengertian lain tentang sistem peringatan dini berbasis masyarakat Community Early Warning System dikemukakan oleh De Leon 2009 yaitu sebuah struktur operasional yang memungkinkan penduduk untuk mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan dampak bencana alam. De Leon 2009 memberikan contoh penerapan CEWS di Amerika Tengah, dimana sistem ini membantu organisasi-organisasi perlindungan sipil untuk bergerak menjauh dari paradigma tanggap darurat kuno ke pengurangan risiko tingkat lokal dan kesiapsiagaan. Penerapan sistem peringatan dini berbasis masyarakat berfungsi sebagai alternatif penggunaan sistem telemetric terpusat mahal, dan mendorong masyarakat untuk memainkan peran lebih aktif dalam perlindungan mereka sendiri. De Leon 2009 menyatakan bahwa dalam CEWS setidaknya terdapat tiga aktivitas utama yaitu memantau kondisi alam yang terkait dengan bahaya tersebut, peramalan kejadian, dan peringatan penduduk. Integrasi operasional komponen ini, dalam kasus banjir, yang diuraikan dalam Gambar 2.2. Monitoring dilakukan dalam dua cara. Pertama, pendekatan yang lebih canggih menggunakan alat pengukur otomatis tersambung ke perangkat komunikasi radio telemetrik. Kedua, kondisi lokal diukur secara real time dan disebarkan ke instansi pusat setiap saat. Alternatif dan pendekatan yang jauh lebih sedikit kerumitannya adalah melibatkan partisipasi langsung dari anggota masyarakat yang menggunakan peralatan pemantauan sangat sederhana. Stasiun operator melaporkan informasi dengan radio ke pusat peramalan lokal di mana data dapat dianalisa menggunakan rutinitas sederhana.