Kebaruan Model Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat
penelitian dan sistematika penulisan. Bab 2 berisi tinjauan pustaka tentang landasan hukum pengendalian kebakaran hutan dan lahan, perkembangan
pengendalian kebakaran hutan dan lahan, sistem peringatan dini berbasis masyarakat, kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, analisa
pemangku kepentingan dan riset aksi. Bab 4 menyajikan hasil dan pembahasan tentang karakteristik, sejarah dan penyebab kebakaran hutan dan lahan di
Kabupaten Kapuas. Bab 5 menguraikan hasil penentuan area kebakaran hutan dan lahan melalui masyaraka metode Composite Mapping Analysis serta sebaran area
dengan tingkat kerentanan kebakaran tertentu. Bab 5 menyajian bahasan tentang identifikasi kebijakan dan kelembagaan serta dukungan yang diperlukan untuk
pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Adapun Bab 6 membahas tentang rumusan model kelembagaan dan distribusi informasi sistem
peringatan dini kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat melalui hasil refleksi masyarakat dan lembaga pemerintah. Bab 7 berisi pembahasan umum
pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat di Kabupaten Kapuas. Bab terakhir adalah Bab 8 yang berisi simpulan
umum dan saran. Keterkaitan antar Bab secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2. Sistematika Penulisan
BAB 1 Pendahuluan
BAB 2 Tinjauan Pustaka
BAB 3 Karakteristik dan Penyebab
Kebakaran Hutan dan Lahan BAB 4
Penentuan Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan
BAB 5 Identifikasi
Kebijakan dan Kelembagaan
Kebakaran Hutan dan Lahan
BAB 6 Rumusan Penguatan Model Kelembagaan Pengelolaan Risiko
Kebakaran Hutan dan Lahan melalui Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat
BAB 7 Pembahasan Umum
BAB 8 Simpulan Umum dan Saran
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Hukum Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara hukum merupakan amanat yang tercantum dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pada Pasal 47 huruf a menyebutkan bahwa penanggulangan kebakaran hutan tercantum pada upaya perlindungan hutan dan kawasan hutan. Pasal 47 huruf a
menyatakan bahwa Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk: a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit.
Pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara definitif dan terinci terdapat pada Peraturan Pemerintah PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan. Peraturan Pemerintah PP Nomor 45 Tahun 2004 pada pasal 20 Ayat 1 a disebutkan bahwa untuk mencegah dan membatasi kerusakan
hutan yang disebabkan oleh kebakaran dilakukan kegiatan pengendalian yang meliputi; a pencegahan, b pemadaman, dan c penanganan pasca kebakaran.
Kegiatan pencegahan kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat 1 huruf a, dilakukan kegiatan:
a. Pada tingkat nasional, antara lain : 1. membuat peta kerawanan kebakaran hutan nasional;
2. mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan; 3. menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat;
4. menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan ; 5. membuat program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran;
6. menetapkan pola pelatihan pencegahan kebakaran; dan 7. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
Pasal 24 1 Dalam rangka pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat 1 huruf b, maka setiap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan,
Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan, Pemilik Hutan Hak dan atau Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, berkewajiban melakukan rangkaian tindakan
pemadaman dengan cara : a. melakukan deteksi terjadinya kebakaran hutan
b. mendayagunakan seluruh sumber daya yang ada c. membuat sekat bakar dalam rangka melokalisir api
d. memobilisasi masyarakat untuk mempercepat pemadaman.
Pasal 27 Dalam rangka penanganan pasca kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat 1 huruf c, dilakukan upaya kegiatan yang meliputi:
a. identifikasi dan evaluasi; b. rehabilitasi;
c. penegakan hukum.
Peraturan perundang-undangan terbaru terkait dengan kebakaran hutan dan lahan dikeluarkan belum lama ini yaitu Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan. Aturan ini memuat instruksi pada seluruh stakeholder yang terkait dengan
kebakaran hutan dan lahan untuk berkoordinasi dan melakukan langkah-langkah
yang tepat sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing. Dalam Inpres tersebut stakeholder yang dimaksud antara lain :
1. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;
2. Menteri Kehutanan;
3. Menteri Pertanian;
4. Menteri Lingkungan Hidup;
5. Menteri Riset dan Teknologi;
6. Menteri Dalam Negeri;
7. Menteri Luar Negeri;
8. Menteri Keuangan;
9. Menteri Perencanaan Pembangunan NasionalKepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional; 10.
Jaksa Agung Republik Indonesia; 11.
Panglima Tentara Nasional Indonesia; 12.
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 13.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana; 14.
Para Gubernur; 15.
Para BupatiWalikota. Peraturan perundangan-undangan lain terkait kebakaran hutan dan lahan
termuat antara lain : -
Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Ihwal kebakaran dalam UU No. 18 2004 disebutkan pada Bagian Ketujuh tentang Pelestarian
Lingkungan Hidup pasal 25 ayat 2 c ya ng berbunyi ” membuat pernyataan
kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran dalam pembukaan
dan atau pengolahan lahan.” Selanjutnya pada pasal 26 secara tegas, peaturan ini secara tegas melarang mengolah lahan dengan cara membakar.Pasal 26 UU
No. 18 2004 ini berbunyi “Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka
danatau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup.
- Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dalam UU No. 32 Tahun 2009, kebakaran hutan dan lahan termaktub dalam Kriteria Baku Lingkungan pasal 20 ayat 3c. Pasal 20
ayat 3 c UU No. 32 Tahun 2009 berbunyi “kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan danatau lahan;” Selanjutnya pada pasal 53 secara jelas ditegaskan tentang kewajiban pada
setiap warga negara untuk melakukan penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 53 dalam aturan ini berbunyi, 1 Setiap
orang yang melakukan pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran danatau kerusakan lingkungan
hidup. 2 Penanggulangan pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan: a. pemberian
informasi peringatan pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;
- Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan
atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Dalam PP No. 4 2001 ini dimuat antara lain :
- Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan
Kebakaran Hutan dan atau Lahan -
Baku Mutu Pencemaran Lingkungan Hidup -
Tata Laksana Pengendalian -
Wewenang Pengendalian Kerusakan dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan
- Pengawasan
- Pelaporan
- Peningkatan Kesadaran Masyarakat
- Keterbukaan Informasi Dan Peran Masyarakat
- Pembiayaan
- Sanksi Administrasi
- Ganti Kerugian
- Ketentuan Pidana
Ketentuan hukum lainnya terkait kebakaran dimuat pada Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut No. 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran
Hutan. Permenhut No. 12 Tahun 2009 ini memaparkan tentang Ruang Lingkup pengendalian kebakaan hutan mencakup pencegahan, pemadaman dan
penanganan pasca. Pada cakupan kegiatan pencegahan dilakukan pada pencegahan kebakaran hutan dilakukan pada : tingkat nasional; tingkat provinsi;
tingkat kabupatenkota; tingkat unit pengelolaan hutan konservasi, tingkat kesatuan pengelolaan hutan produksi, tingkat kesatuan pengelolaan hutan lindung;
dan tingkat pemegang izin pemanfaatan hutan, tingkat pemegang izin penggunaan kawasan hutan, tingkat pemegang izin hutan hak dan hutan konservasi pasal 40.
Terkait sistem pringatan dini kebakaran hutan, pasal 5 menyebutkan kegiatan Pencegahan kebakaran hutan pada Tingkat Nasional yang meliputi :
a.
Membuat peta kerawanan kebakaran hutan; b.
Mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan; c.
Kemitraan dengan masyarakat; d.
Menyusun standar peralatan pengendalian kebakaran hutan; e.
Menyusun program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran hutan; dan
f. Menyusun pola pelatihan pencegahan kebakaran hutan.
Lebih lanjut, Permenhut No. 12 Tahun 2009 pada pasal 6 b memuat kegiatan terkait langsung dengan pengembangan sistem peringatan dini kebakaran
hutan. Pasal 6 b menyebutkan “Pengembangan sistem informasi kebakaran
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b meliputi pemantauan, disemi
nasi dan pengecekan hotspot, SPBK dan patroli pencegahan.“ 2.2. Perkembangan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir seluruhnya terjadi akibat aktivitas manusia. Aktivitas pemanfaatan lahan secara intensif untuk budidaya
pertanian, kehutanan dan perkebunan, pembangunan pemukiman serta pembangunan fasilitas publik dan transportasi. Aktivitas tersebut memicu
terjadinya kebakaran akibat kesengajaan dan kelalaian pengelola lahan dalam membuka dan mengolah lahan sehingga terjadi dampak bagi lingkungan.
Deteksi dan pemantauan kebakaran untuk peringatan dini bahaya kebakaran di Indonesia telah cukup berkembang. Pemanfaatan data penginderaan
jauh, Sistem Informasi Geografis SIG dan teknologi informasi telah dikembangkan oleh beberapa lembaga. Tercatat beberapa Lembaga yang secara
intensif mengembangkan program deteksi dan peringatan dini antara lain :
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia Kemenhut dengan program Indofire Map Services yang dapat diakses melalui situs
http:indofire.dephut.go.idindofire.asp Gambar 2
Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional LAPAN dengan program Forest Fire Danger Rating System yang bekerjasama dengan Kemenhut
dan Kemen LH dan Pemerintah Australia diakses melalui situs http:indofire.landgate.wa.gov.auindofire.asp
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG yang dapat diakses melalui situs
http:satelit.bmkg.go.idsatelitmodishotspot Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional LAPAN dengan Sistem
Peringkat Bahaya Kebakaran SPBK yang dapat diakses melalui situs http:www.lapanrs.comsimbadetail5?i=24807
Gambar 2.1. Screenshot Situs indofire.dephut.go.id Situs Indofire seperti yang disajikan pada Gambar 2.1 banyak digunakan
untuk acuan pengendalian kebakaran hutan di Indonesia. Situs ini terbentuk atas kerjasama antara Kemenhut, LAPAN dan Kementrian Lingkungan Hidup
Pemerintah Australia melalui AusAID. Situs ini memuat data pemantauan titik panas atau hotspot terbaru near-real time dan active fire dari citra satelit
MODIS Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer. Selain titik panas, di
situs ini juga dimuat informasi tentang Prediksi Potensi Kebakaran, Prakiraan Musim Kemarau dan Automatic Weather Station AWS di seluruh Indonesia.
Umumnya indikasi kebakaran hutan dan lahan memakai data hotspot titik panas sebagai acuan untuk pengendalian lanjut tingkat lapangan. Lembaga yang
menyediakan data hotspot antara lain : LAPAN, Kementerian Kehutanan Kemenhut dan ASMC ASEAN Specialized Meteorological Center Singapura
yang sekarang menjadi rujukan di ASEAN.
Menurut LAPAN 2004 hotspot atau titik panas adalah parameter yang diturunkan dari data satelit dan diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan
lahan. Parameter ini sudah digunakan secara meluas baik di Indonesia maupun negara-negara lain untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit.
Hotspot adalah sebuah indikasi awal dari kejadian kebakaran hutan. Hotspot direkam sebagai sebuah piksel yang tidak mutlak kebakaran, tetapi
mengekpresikan suhu yang relatif lebih tinggi daripada lingkungan sekitarnya. Suhu yang tedeteksi yang berkisar 310
o
K 37
o
C pada malam hari dan 315
o
K 42
o
C pada siang hari. Koordinat geografis hotspot direkam oleh sistem kemudian dikirim ke Kemenhut Kementerian Kehutanan dan pengelola hutan.
Hotspot yang terekam pada posisi yang sama lebih dari tiga hari akan diprediksi sebagai kebakaran Jaya et al. 2008. Adapun hotspot menurut Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.12Menhut-II2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki
suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu disekitarnya.
Masing-masing sumber penyedia data masih menghasilkan data yang berbeda tentang jumlah titik panas yang terpantau dari satelit. Perbedaan ini perlu
mendapat pemahaman yang tepat sebagai dasar penetapan tindakan lebih lanjut. Menurut Hidayat et al. 2003, adanya perbedaan jumlah hotspot yang dihasilkan
oleh beberapa stasiun pengamatan sering kali dikeluhkan oleh pengguna informasi hotspot terutama oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Parameter untuk
mendeteksi hostspot yang selama ini dipergunakan oleh LAPAN adalah seperti disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Sea Scan AVHRR Fire Detection Configuration File dari LAPAN
Parameter Threshold
o
K Channel 3 temperature degrees K above which a fire
exist 322.0
Temperature difference ch3 ch4 above which a fire exist
20.0 Channel 4 threshold for clouds
245.0 Channel 1 albedo threshold
25.0 Channel 1, channel 2 difference threshold
1.0 Time in hours for dusk and dawn
1.0 Pada Tabel 2.2 diperlihatkan bahwa sumber LAPAN memakai suhu
minimum 322.0
o
K sebagai dasar suatu areal dapat dikategorikan terjadi hotspot fire exist. Sedangkan perbedaan temperatur minimum pada kanal 3 dan kanal 4
ch3 ch4 dimana suatu areal pada citra NOAA terpantau hotspot sebesar 20.0
o
K.
Threshold berbagai parameter yang digunakan oleh LAPAN dalam mendeteksi hotspot berbeda dengan stasiun pengamat lainnya seperti PONGI
Kementerian Kehutanan di Bogor, dan ASMC Singapura yang sekarang menjadi rujukan di ASEAN. Nilai ambang yang digunakan oleh ASMC untuk
mendeteksi hotspot ditunjukkan pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3. Adapun, Kementerian kehutanan Kemenhut memakai ambang suhu threshold 315
o
K 42
o
C pada siang hari dan 310
o
K 37
o
C pada malam hari FFPMP2, 2004. Akibat perbedaan tersebut menghasilkan jumlah hotspot yang berbeda-beda antar
stasiun pengamat. Kedua, waktu pengamatan yang berbeda antar stasiun pengamatan. Hidayat
et al. 2003 lebih lanjut menjelaskan, salah satu kemungkinan penyebab terjadinya perbedaan itu adalah tidak dilakukannya pengamatan pada malam hari.
Sehingga banyak kejadian kebakaran yang lolos dari pengamatan LAPAN. Terdapat perbedaan waktu pengamatan antara LAPAN dengan ASMC, dimana
LAPAN hanya melakukan pengamatan perekaman data setiap hari dari pukul 06.00 hingga 19.00 WIB, sementara ASMC dan Kemenhut melakukannya selama
24 jam setiap hari. Tabel 2.2. AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC Malam Hari
Parameter Threshold
o
K Channel 3 temperature degrees K above which a fire
exist 314.0
Temperature difference ch3 ch4 above which a fire exist
15.0 Channel 4 threshold for clouds
245.0 Channel 1 albedo threshold
25.0 Channel 1, channel 2 difference threshold
1.0 Time in hours for dusk and dawn
0.5 Tabel 2.3. AVHRR Fire Detection Configuration File dari ASMC Siang Hari
Parameter Threshold
o
K Channel 3 temperature degrees K above which a fire exist
320.0 Temperature difference ch3 ch4 above which a fire exist
15.0 Channel 4 threshold for clouds
245.0 Channel 1 albedo threshold
25.0 Channel 1, channel 2 difference threshold
1.0 Time in hours for dusk and dawn
0.5 Menurut Solichin 2004, waktu lintasan satelit sangat berpengaruh terhadap
pendeteksian kebakaran karena terkait dengan adanya perilaku pembakaran lahan di beberapa tempat di Indonesia atau dengan adanya perubahan penyebaran awan
yang bergerak dalam hitungan beberapa menit, sehingga mempengaruhi kemampuan satelit dalam pemantauan hotspot.
Ketiga, Menurut Hidayat et al. 2003 kemungkinan lain adalah, sistem pengolahan hotspot LAPAN Sea Scan yang operasional saat ini tidak bisa
mengolah data NOAA 15 dan 16. Jadi ada kemungkinan ada hotspot yang seharusnya bisa dipantau dengan NOAA 15 dan 16, menjadi tidak terpantau oleh
LAPAN.
Hotspot mengindikasikan lokasi kebakaran vegetasi seperti terlihat pada monitor komputer atau peta yang dicetak atau ketika dicocokkan dengan
koordinatnya. Hal ini merupakan istilah yang sangat populer pada awal-awal pengenalan penggunaan citra NOAA untuk mendeteksi kebakaran vegetasi dan
saat ini sangat dimengerti oleh semua pihak. Istilah yang lain lebih jelas untuk menggambarkan titik kebakaran adalah fire-spot dan berbagai kalangan
mengusulkan bahwa sebenarnya banyak titik api tidak mengindikasikan kebakaran bagi semua penggunaan praktis sebuah hotspot searti dengan fire-spot
Anderson et al. 1999
Hasil pemantauan hotspot juga digabungkan dengan prediksi kebakaran sehingga kegiatan pencegahan dan pemadaman dapat berlangsung efektif.
Prediksi kebakaran berdasarkan analisis faktor penyebab dan potensi terjadinya kebakaran di suatu tempat. Analisis dan prediksi bisa didasarkan pada data cuaca,
vegetasi maupun variabel penduga lainnya.
Analisis cuaca untuk memperkirakan tingkat bahaya kebakaran pernah dikembangkan oleh Keetch Byram di Kalimantan Timur dan di beberapa tempat
di Indoensia. KeetchByram Drought Index KBDImerupakan salah satu metode untuk mengukur tingkat bahaya kebakaran yang dikembangkan pada tahun 1968
di negara bagian Florida, Amerika Keetch and Byram, 1968. Lebih lanjut dijelaskan bahwa KBDI adalah nilai indeks yang mengekspresikan kurangnya
kelembaban tanah menurut kemungkinan maksimal kandungan kelembaban tanah, yang biasanya didefinisikan sebagai kapasitas lahan. Metode ini sangat sederhana,
karena hanya diperlukan tiga untuk menghitung nilai tingkat bahaya kebakaran, yaitu 1 Rata-rata tertinggi curah hujan tahunan dari stasiun cuaca, 2 Suhu
maksimum hari ini dan 3 Curah hujan.
Pemantaian cuaca untuk sebagai parameter tingkat risiko kebakaran untuk pengembangan sistem peringatan dini kebakaran juga telah lama dikembangkan
oleh lemaga pemerintah. Hubungan antara kebakaran hutan dan lahan dengan faktor iklim memungkinkan untuk dikembangkannya model-model pemantauan
dan peringatan dini. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geologi BMKG dan LAPAN telah mengembangkan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran SPBK
yang berbasis data iklim. SPBK BMKG menggunakan data iklim observasi permukaan, sedangkan LAPAN menggunakan data iklim yang diturunkan dari
data satelit dari berbagai sumber. Model SPBK, baik yang dikembangkan oleh BMKG dan LAPAN mengadopsi model FDRS Fire Danger Rating System yang
dikembangkan di Canada Prasasti 2012.
Penelitian tentang sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan berbasis peta prediksi daerah rawan kebakaran juga banyak dikembangkan.
Prediksi kebakaran yang pernah dbuat misalnya oleh penelitian Sunuprapto 2000 dan Thoha, et al. 2007. Sunuprapto 2000, menemukan sebuah
persamaan regresi linear ganda berbasis spasial, menggunakan fungsi map calculator pada software ArcView, yang menyatakan hubungan antara intensitas
kebakaran hutan di Sumatera Selatan dengan peubah-variabel penduganya yaitu : Predicted Damage Intensity Map = -0.709 + 0.206 landcover + 0.02531 landuse +
0.160 soil type + 0.0000001881 distance to railroad
– 0.00001769 distance to river + 0.00004779 distance to settlement, dimana koefisien korelasi = 0.54 dan
koefisien akurasi overall = 67.10.
Kemudian Sunuprapto 2000 juga membuat model prediksi untuk luas area yang terbakar Predicted Burnt Area Model dengan metode yang sama dimana
diperoleh hasil berupa persamaan logistic regression sebagai berikut : Log ODDS Burnt Area = -18.03 + 1.6848 landcover + 0.9784 landuse + 2.3129
soil type + 0.0003 distance to railroad – 0.0002 distance to river and canal +
0.0003 distance to settlement, dimana koefisien korelasi = 0.48 dan koefisien akurasi overall = 72 .
Model prediksi yang dibuat oleh Thoha et al. 2007 digunakan untuk kebakaran lahan gambut. Model prediksi gabungan antara faktor biofisik dan
aktifitas manusia lebih mendekati dengan karakteristik kebakaran gambut berdasarkan bahasan data hotspot, kondisi penutupan lahan dan kondisi aktual di
lapangan. Interaksi variabel-variabel antara faktor biofisik dan faktor aktifitas manusia menghasilkan model yang paling sesuai. Model statistik prediksi
kebakaran berdasarkan faktor biofisik dan faktor aktifitas manusia yaitu :
Log ODDS Peluang Kebakaran = -0.47426 + 0.0015784 Curah Hujan - 0.0050383 Ketebalan Gambut
– 3.8829293 NDVI – 0.0000857 jarak dari jalan + 0.0000354 jarak dari pemukiman + 0.000895 jarak dari sungai
– 0.0000233 jarak dari HPHHTI
– 0.0000191 jarak dari perkebunan + 0.0000322 jarak dari lahan pertanian., dimana besarnya chi-square adalah
21.742 dan taraf nyata 0.010 dan akurasi 69.5. Dua dari sembilan variabel yang berperan pada taraf nyata 0.05 yaitu ketebalan gambut dan NDVI dimana
keduanya mempunyai korelasi negatif terhadap peluang kebakaran. Sedangkan variabel yang berasal dari faktor aktifitas manusia yaitu jarak dari HPHHTI bisa
diterima atau berperan nyata pada taraf nyata 0.10
α 0.10 atau tingkat kepercayaan 90 dengan korelasi negatif.
Thoha et al. 2007 menjelaskan bahwa peluang kebakaran gambut sebagai hasil dari model prediksi dapat diterapkan sebagai penunjang prediksi kebakaran
berdasarkan unsur cuaca belum bisa ditentukan secara spasial. Nilai peluang kebakaran tersebut secara spasial dapat menampilkan kondisi peluang kebakaran
pada suatu kabupaten dengan nilai peluang kebakaran yang bervariasi antar kecamatan bahkan desa. Hasil tersebut dapat memudahkan upaya pemangku
kepentingan dalam penanggulangan kebakaran secara lebih terarah dan efisien dalam penggunaan sumberdaya.