Pendahuluan Model Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat

mereka hanya ikut menjaga lahannya sendiri khususnya yang berpotensi ekonomi tinggi. Faktor penyebab kebakaran dari berbagai penelitian berhubungan dengan cuaca dan aktivitas manusia. Terkait dengan cuaca, penelitian Ceccato et al. 2010 menemukan bahwa terdapat hubungan yang dekat antara data hujan dari satelit dengan aktifitas hotspot kebakaran di Kalimantan Tengah. Anomali curah hujan selama musim kemarau bulan Juni – Oktober adalah saat kritis dalam penentuan aktifitas kebakaran. Dari segi aktifitas manusia, menurut penelitian Jaya et al 2008 faktor manusia jarak dari desa dan jarak dari jalan memberi kontribusi dalam risiko kebakaran sebesar 52 dalam kebakaran sedangkan 48 disumbang oleh tutupan lahan. Upaya pengelolaan kebakaran hutan dan lahan ditujukan untuk mengurangi emisi karbon dari lahan gambut serta mengurangi dampak negatif dari kebakaran yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan dan mata pencaharian. Untuk memberikan data dan informasi penting terkait dengan pengelolaan kebakaran hutan dan lahan, karakteristik kebakaran perlu diidentifikasi secara tepat. Karakteristik kebakaran yang perlu diidentifikasi secara tepat mencakup frekuensi kejadian, hubungan dengan faktor cuaca penyebab kebakaran dan sebaran indikasi kebakaran menurut faktor biofisik dan aktivitas manusia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat megevaluasi karateristik kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di kabupaten kapuas baik berdasarkan waktu, sebaran lokasi dan penyebab kebakaran. 3.2. Metode 3.2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah pada bulan April 2012 – September 2013. Pengumpulan data lapangan dan wawancara di lakukan di 20 desa pada 11 kecamatan di wilayah Kabupaten Kapuas. Sembilan kecamatan tersebut yaitu Mantangai, Dadahup, Basarang, Kapuas Timur, Kapuas Murung, Kapuas Barat, Selat, Kapuas Kuala, Kapuas Tengah, Pasak Talawang dan Timpah 3.2.2. Pengumpulan Data Data titik panas dari Satelit TerraAqua dengan sensor MODIS Moderate- resolution Imaging Spectroradiometer tahun 2001-2011 diperoleh dari Fire Information for Resource Management System FIRMS yang bisa diakses secara gratis pada tautan https:earthdata.nasa.govdatanear-real-time-datafirmsactive- fire-data . Data titik panas serta peta digital seperti peta batas administrasi kabupaten dan kecamatan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda Kabupaten Kapuas, peta tutupan lahan, peta jaringan sungai, peta jaringan jalan, peta pusat desa, peta ketebalan gambut dan peta sistem lahan dari Kementerian Kehutanan yang digunakan untuk analisis sebaran spasial dan temporal dari aktifitas kebakaran. Hotspot juga digunakan sebagai dasar untuk penentuan lokasi cek lapangan ground check. Data curah hujan bulanan bersumber dari stasiun penakar hujan lapangan yang berasal dari Dinas Pertanian Hortikultura dan Tanaman Pangan Kabupaten Kapuas digunakan untuk menganalisa hubungan antara hotspot dan curah hujan.

3.2.3. Metode Penelitian

3.2.3.1. Penentuan titik panas sebagai indikasi kebakaran

Penentuan titik panas atau hotspot yang memiliki indikasi kuat sebagai lokasi kebakaran adalah dengan mengambil hotspot dengan nilai confidence lebih besar dari 50, lebih besar dari 70 dan lebih besar dari 90. Hotspot dengan nilai confidence tersebut dibandingkan dengan titik kebakaran hutan dan lahan aktual tahun 2012 dari hasil cek lapangan yaitu pada kisaran waktu bulan Septembe – Oktober 2012. Pada lokasi kebakaran koordinat hasil cek lapangan dan patroli, ditumpangtindihkan dengan peta sebaran hotspot. Jumlah hotspot pada radius 10 km dari lokasi cek lapangan atau patroli dijadikan data pembanding dengan kejadian kebakaran aktual. Waktu deteksi hotspot disesuaikan dengan kisaran waktu cek lapangan dan patroli yaitu Agustus – Oktober 2012. 3.2.3.2. Pola temporal titik panas dan curah hujan Penentuan pola temporal kebakaran dilakukan dengan analisa data curah hujan lapangan dan jumlah hotspot tahunan dan hotspot bulanan. Data iklim ditabulasi dan dideskripsikan untuk melihat pola kecenderungan musim kebakaran. Analisa temporal hotspot dilakukan untuk melihat jumlah indikasi kebakaran hutan dan lahan dari waktu ke waktu.

3.2.3.3. Analisa sebaran titik panas secara spasial

Analisa sebaran indikasi lokasi kebakaran berdasarkan sebaran jumlah dan kepadatan hotspot yang di-overlay dengan peta –peta antara lain; peta jarak dari sungai, peta jarak dari jalan, peta jarak dari pusat desa, peta tutupan lahan, peta sistem lahan, peta ketebalan gambut dan peta rencana tata ruang.

3.2.3.4. Penentuan Sejarah dan Penyebab Kebakaran di lapangan

Penentuan sejarah dan penyebab kebakaran di lapangan dilakukan melalui cek lapangan dan wawancara. Lokasi cek lapangan ditentukan melalui analisa visual kepadatan hotspot dan analisa visual Citra Landsat ETM 7+ dan Landsat TM tahun 2001 -2010. Lokasi cek lapangan juga berdasarkan informasi dari instansi teknis yang menangani kebakaran hutan dan lahan yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Manggala Agni Daerah Operasi II Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan Tengah, dimana ditentukan lokasi yang pernah dilakukan kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Lokasi dengan kepadatan hotspot yang tinggi dan tutupan lahan yang mengindikasikan areal kebakaran menjadi lokasi cek lapangan. Cek lapangan dan wawancara mendalam dengan masyarakat untuk mengkonfirmasi sejarah kebakaran, penggunaan lahan aktifitas masyarakat dan penyebab kebakaran di lokasi terindikasi kebakaran berdasarkan sebaran hotspot dan informasi instansi teknis. Data cek lapangan berupa koordinat titik panas, tutupan lahan, informasi kejadian kebakaran dari tahun ke tahun, penyebab kebakaran dan aktivitas masyarakat. Responden untuk wawancara sebanyak satu