Sebaran hotspot berdasarkan kedalaman gambut di Kabupaten Kapuas

Kepadatan hotspot dan jumlah hotspot terendah umumnya berada di area non gambut sedangkan untuk jumlah hotspot terendah berada di area gambut dengan kedalaman sangat dangkal. Jumlah hotspot per tahun yang terjadi di area gambut sangat dangkal berkisar antara 0 – 35 hotspot per tahun. Berdasarkan waktu, kepadatan hotspot tertinggi berfluktuasi dari areal kedalaman dangkal, sedang dan sangat dalam. Pada rentang waktu tahun 2002 - 2009 areal dengan kepadatan hotspot tertinggi bergeser dari kedalaman sedang ke ke sangat dalam. Pada tahun 2011, areal dengan kepadatan hotpot tertinggi yang menggambarkan potensi aktivitas kebakaran yang tinggi bergeser ke areal kedalaman dangkal. Pergeseran areal kepadatan hotspot tertinggi diduga karena ketersediaan lahan di areal dengan gambut kedalaman sedang sudah semakin sempit atau sudah banyak digarap. Lahan-lahan yang belum dikelola masih tersedia di lahan gambut sangat dalam sehingga pengelola lahan mencari lahan- lahan baru yang akan dibuka dan diolah, termasuk dengan cara dibakar. Selanjutnya pada tahun 2011, areal dengan kedalaman gambut sangat dalam berkurang kepadatannya dibandingkan dengan areal dengan gambut dangkal. Pergeseran nilai kepadatan hotspot dari gambut sangat dalam ke dangkal karena di areal gambut sangat dalam sebagian besar merupakan areal Demontration Activities DA REDD+ yang diprakarsai oleh lembaga kerjasama pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia melalui Kalimantan Forest and Climate Partnership KFPC melalui SK Sekjen Kementerian Kehutanan No. KT.12II- KUM2010 yang meliputi areal Blok A dan Blok E areal Eks PLG di Kecamatan Mantangai dan Kecamatan Timpah Kabupaten Kapuas Gambar 3.17. Salah satu program KFCP yang dimulai sejak tahun 2010 di areal tersebut adalah pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Gambar 3.16. Jumlah Hotspot pada Berbagai Kedalaman Gambut di Kapuas Tahun 2001-2011 100 200 300 400 500 600 700 800 900 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Ju m lah Hot sp o t Tahun Dalam Dangkal Sangat Dalam Sekali Sangat Dalam Sangat Dangkal Sedang Gambar 3.17. Lokasi Demonstration Activities KFCP Diolah dari KFCP, 2009 3.3.3.9. Kebakaran Hutan dan Lahan menurut Sistem Lahan Land System Berdasarkan sebaran sistem lahan kepadatan dan jumlah hotspot di Kabupaten Kapuas ditampilkan pada Gambar 3.18 dan Gambar 3.19. Wilayah Kabupaten Kapuas terliputi oleh 20 jenis sistem lahan . Kepadatan hotspot dan jumlah hotspot tertinggi terdapat di area peat Basin or Domes PBD dan Peat Covered sandy terraces PCS. Pada tahun 2002, jumlah hotspot di area PBD mencapai 760 hotspot sedangkan di PCS sebanyak 1201 yang terpantau pada tahun 2009. Jumlah tersebut adalah yang terbanyak dari 2 sistem lahan selama 11 tahun pemantauan hotspot. Dua area ini terdapat di lahan gambut. Hal yang sama terjadi pada kepadatan hotspot dimana pada sistem lahan PBD tahun 2002 mencapai 0.6944 sedangkan di PCS memiiki kepadatan sebesar 0.4282 hotspotkm2. Adapun kepadatan dan jumlah hotspot terendah dijumpai di daerah mountain MOU, mountanous cuestas and cirlcular basin MCB, undulating Karst Plain UKP dan Undulating plains PO2 dan PO2 with several wide valleys. Mountain dan Undulating Karst Palin berada di wilayah Kapuas bagian utara dengan kondisi topografi berbukit dan tanah kering. Areal dengan sistem lahan PBD dan PCS menurut klasifikasi RePPProT dinamakan dengan sistem lahan BRH BRH Barah dan GBT Gambut. Sistem lahan BRH dan GBT mengindikasikan lahan pada ekosistem rawa gambut peat swamp. Ekosistem tersebut menurut KRHTI 2008, di Kalimantan termasuk ekosistem yang terancam. Ancaman terhadap ekosistem ini semakin terlihat di Kabupaten Kapuas dimana hampir setiap tahun lahan dengan sistem lahan BRH dan GBT terdeteksi titik panas atau hotspot dengan kepadatan tertinggi. Gambar 3.18 . Kerapatan Hotspot pada berbagai Sistem Lahan di Kabupaten Kapuas Tahun 2001-2011 Keterangan : Mountains MOU, Tidal mangrove and nipah TMN, Steep volcanic plugs SVP, Undulating plains with several wide valleys UPV, Hillocky plain HP, Steep hills SHI, Rolling plain and sandy remnants RPS, Terrace remnant TER, Hillocky plains with cuesta-shaped ridges HPC, Dissected dip slopes odf cuestas DDS, Hills with moderately steep dip and steep scarp slopes HMS, Undulating sandy terraces UST, Meander belts within very wide river floodplains MBW, Permanently waterlogged plains PWP, Steep narrow ridges SNR, Alluvial floodplains between swamps AFS, Swampy floodplains mainly within terraces SFM, Peat basin margins PBM, Peat-covered sandy terraces PCS, Peat basins or domes PBD. Hotspot bisa digunakan untuk indikasi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan pada sebuah wilayah. Kepadatan hotspot merupakan salah satu indikasi yang bisa digunakan untuk menilai aktivitas kebakaran pada sebuah wilayah. Berdasarkan analia spasial, hotspot terpadat umumnya berada pada lokasi yang berupa semak belukar rawa, dekat dengan sungai, dengan dengan jalan, agak jauh dari pusat desa, di lahan gambut dengan kedalaman sangat dalam, dengan rencana tata ruang kawasan perkebunan dan pengembangan budi daya pertanian serta dengan sistem lahan Peat Basin or Domes PBD dan Peat Covered sandy terraces PCS. Hal ini juga menunjukkan bahwa lahan-lahan dengan karakteristik di atas merupakan lahan yang rawan terjadi kebakaran. Sebaliknya, karakteristik lahan dengan kepadatan hotspot relatif rendah mengindikasikan aktivitas kebakaran yang juga rendah di area tersebut. Di Kabupaten Kapuas, lahan berupa hutan tanaman, jauh sungai dari jalan, jauh dari jalan, dekat dengan desa, rencana tata ruang hutan lindung, lahan non-gambut dan sistem lahan pegunungan dan lahan berbukit. Ini bisa mengindikasikan bahwa 0.0000 0.1000 0.2000 0.3000 0.4000 0.5000 0.6000 0.7000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 K e p ad atan Hot sp o t H S km 2 Tahun AFS CBR DDS HP HPC HMS MTE MBW MSH MOU PBM PBD PCS PWP RPS SHI SKB SNR SVP SFM TER TMN UKP PO2 UPV UST lahan-lahan dengan karakteristik dengan karakteristik tersebut relatif lebih tahan dari kebakaran. Gambar 3.19. Kerapatan Hotspot pada berbagai Sistem Lahan di Kabupaten Kapuas Tahun 2001-2011 Keterangan : Mountains MOU, Tidal mangrove and nipah TMN, Steep volcanic plugs SVP, Undulating plains with several wide valleys UPV, Hillocky plain HP, Steep hills SHI, Rolling plain and sandy remnants RPS, Terrace remnant TER, Hillocky plains with cuesta-shaped ridges HPC, Dissected dip slopes odf cuestas DDS, Hills with moderately steep dip and steep scarp slopes HMS, Undulating sandy terraces UST, Meander belts within very wide river floodplains MBW, Permanently waterlogged plains PWP, Steep narrow ridges SNR, Alluvial floodplains between swamps AFS, Swampy floodplains mainly within terraces SFM, Peat basin margins PBM, Peat-covered sandy terraces PCS, Peat basins or domes PBD. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa faktor biofisik dan aktivitas manusia yang mendorong kebakaran hutan dan lahan dapat dijadikan informasi penting berhubungan dengan karakteristik kebakaran di Kabupaten Kapuas. Jaya et al. 2008 yang membuat model kerawanan kebakaran dengan lima variabel yaitu jarak dari desa, jarak dari jalan, jarak dari pusat kota, tipe tanah dan tutupan lahan, menemukan bahwa terdapa tiga peubah yang berbeda nyata yaitu desa, jalan dan tutupan lahan. Dengan memakai tiga variabel tersebut dan membagi dalam tiga kelas kerawanan menghasilkan akurasi sebesar 65. Faktor manusia jarak dari desa dan jarak dari jalan memberi kontribusi sebesar 52 dalam kebakaran sedangkan 48 disumbang oleh tutupan lahan. 200 400 600 800 1000 1200 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Ju m lah Hot sp o t Tahun AFS CBR DDS HP HPC HMS MTE MBW MSH MCB MOU PBM PBD PCS PWP RPS SHI SKB SNR SVP SFM TER TMN UKP PO2 UPV UST 3.3.4. Sejarah Kebakaran Hutan dan Lahan Di Kabupaten Kapuas Sejarah kebakaran hutan dan lahan di Kapuas diperoleh melalui analisa sebaran hotspot kebakaran tahun 2001-2011 yang dihubungkan dengan informasi langsung di lapangan dari wawancara dengan masyarakat. Hasil analisa spasial sebaran titik panas atau hotspot di Kabupaten Kapuas dari waktu ke waktu disajikan pada Gambar 3.20. Seperti yang juga telah ditunjukkan pada Gambar 3.1, bahwa hotspot tertinggi terdeteksi pada tahun 2009 sedangkan hotspot terendah terdeteksi pada tahun 2010. Hal ini juga ditunjukkan oleh Gambar 3.19 dimana pada tahun 2009 terdeteksi sangat tinggi jumlahnya dan menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Kapuas, sedangkan pada Tahun 2010 menunjukkan sangat rendah jumlah hotspot yang terdeteksi. Secara umum, hotspot tersebar sangat rapat di wilayah selatan Kabupaten Kapuas dibandingkan di wilayah utara. Pada tahun dimana terdeteksi hotspot sangat tinggi jumlahnya misalnya tahun 2002, 2006 dan 2009, hotspot terpantau sangat rapat di wilayah selatan Kapuas. Wilayah Selatan Kapuas seperti yang disebutkan pada pembahasan sebelumnya merupakan kawasan pasang surut dan gambut. Areal berlahan gambut hampir setiap tahun terbakar. Selain lahan gambut, areal di wilayah Selatan Kabupaten Kapuas khususnya di kawasan Eks PLG, tutupan lahannya didominasi oleh semak belukar. Semak belukar rawa, berdasarkan analisa dari Gambar 3.5 merupakan area dengan hotspot paling padat di Kabupaten Kapuas. Wilayah Utara Kabupaten Kapuas menurut Gambar 3.20, jumlah dan kerapatan hotspotnya relatif rendah dibandingkan dengan wilayah Selatan. Karakteristik lahan wilayah utara Kapuas adalah lahan non gambut dengan kondisi topografi berbukit dan tutupan lahannya masih didominasi hutan lahan kering dan perkebunan. Analisa sebaran spasial pada Gambar 3.20 kemudian diverifikasi di lapangan untuk mengetahui sejarah kebakaran hutan dari tahun ke tahun. Kejadian kebakaran hutan di Kabupaten Kapuas berdasarkan informasi masyarakat ditampilkan pada Tabel 3.2. Kejadian kebakaran selama 11 tahun dari informasi masyarakat yang disajikan pada Tabel 3.2 menunjukkan bahwa tidak selalu pada tahun-tahun dengan hotspot tinggi terjadi kebakaran yang merata di semua wilayah. Pada Tahun 2002, 2004 dan 2009 yang terdeteksi hotspot terbanyak diperoleh bahwa ada beberapa desa yang tidak terjadi kebakaran. Sebaliknya pada tahun-tahun dimana hotspot menunjukkan jumlah yang sedikit justru menurut informasi masyarakat terdapat kebakaran di beberapa desa. Tahun-tahun dengan jumlah hotspot sedikit yaitu tahun 2008 dan tahun 2010 justru dari 20 desa yang disurvei terdapat masing-masing 15 dan 5 desa yang terjadi kebakaran hutan atau lahan. Kejadian kebakaran hutan dan lahan dari informasi masyarakat yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa tidak selalu pada tahun-tahun dengan hotspot tinggi terjadi kebakaran yang merata di semua wilayah. Pada Tahun 2002, 2004 dan 2009 yang terdeteksi hotspot terbanyak diperoleh bahwa ada beberapa desa yang tidak terjadi kebakaran. Sebaliknya pada tahun-tahun dimana hotspot menunjukkan jumlah yang sedikit justru menurut informasi masyarakat terdapat kebakaran di beberapa desa. Tahun-tahun dengan jumlah hotspot sedikit yaitu tahun 2008 dan tahun 2010 justru dari 20 desa yang disurvei terdapat 15 dan 5 desa yang terjadi kebakaran hutan atau lahan. Gambar 3.20. Sebaran hotspot di Kabupaten Kapuas 2001-2011 sumber Satelit Terra-Aqua MODIS-NASA Areal yang hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan berada di kawasan lahan gambut yang tersebar di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Mantangai, Kecamatan Dadahup dan Kecamatan Basarang . Ketiga kecamatan ini berada di wilayah selaan Kapuas yang berdasarkan Gambar 3.20 terlihat lebih rapat hotspotnya. Adapun wilayah yang jarang atau bahkan tidak pernah terjadi kebakaran terdapat di wilayah tanah kering mineral yang berada di Kabupaten Kapuas Tengah dan Pasak Talawang. Kedua kecamatan ini berada di wilaah utara dimana bila dilihat dari Gambar 3.20 kepadatan hotpotnya lebih rendah dibandingkan di wilayah selatan. Tabel 3.2. Kejadian kebakaran berdasarkan informasi masyarakat di Kabupaten Kapuas No. Desa Kecamatan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 1 Lamunti Mantangai 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 Pulau Kaladan Mantangai 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 Katunjung Mantangai 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 4 Lahei Mangkutup Kapuas Tengah 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 Bajuh Kapuas Tengah 1 1 6 Pujon Kapuas Tengah 1 7 Jangkang Pasak Talawang 1 1 1 8 Binajaya A1 Dadahup 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 Dadahup Induk Dadahup 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 B4 Dadahup Dadahup 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Tarung Manuah Basarang 1 1 1 12 Panarung Basarang 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 Batuah Basarang 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 Batu Nindan Basarang 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 Selat Hulu Selat 1 1 1 1 16 Basuta Raya Kapuas Barat 1 1 1 1 1 1 1 1 1 17 Lungkoh Layang Timpah 1 1 1 18 Muara Dadahup Kapuas Murung 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19 Anjir Serapat Tengah Kapuas Timur 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 20 Lupak Dalam Kapuas Kuala Jumlah 13 15 14 15 14 13 18 15 14 5 11 Keterangan : 0= tidak ada kebakaran, 1 = terjadi kebakaran Sumber : wawancara dengan masyarakat Kejadian kebakaran di Kabupaten Kapuas yang hampir merata di seluruh wilayah yang disurvei terjadi pada tahun 2007. Pada tahun 2007 terjadi kebakaran hutan atau lahan pada 18 desa dari 20 desa atau 90. Pada tahun 2007 hanya terdeteksi hotspot dengan jumlah 340 confidence 50 dimana menempati posisi ketiga paling rendah dari 11 tahun 2001-2011. Adapun kejadian kebakaran terendah di wilayah Kabupaten Kapuas terjadi pada tahun 2010 yaitu hanya 5 desa dari 20 desa yang disurvei atau sebesar 25. Tahun 2010 merupakan waktu dimana di Kabupaten Kapuas hanya terdeteksi hotspot sebanyak 39 confidence 50 dimana merupakan jumlah terendah dari 11 tahun. Meratanya informasi teradinya kebakaran di hampir seluruh desa pada tahun 2007 diduga karena adanya mobilisasi pemadaman secara besar-besaran dari berbagai lembaga. Menurut informasi masyarakat dan Manggala Agni Kapuas, pada tahun 2007 kegiatan pemadaman sampai melibatkan Tentara Nasional Indonesia TNI dan Kepolisian. Masyarakat juga melihat adanya pemadaman kebakaran melalui pesawat pengebom air. Selain itu, kebakaran tahun 2007 merupakan dampak lanjutan dari kebakaran tahun 2006 yang masih meninggalkan sisa bahan bakar mudah terbakar dan lahan bekas terbakar yang terbakar kembali. Seperti yang ditemukan di Desa Lahei Mangkutub dimana lahan bekas terbakar tahun 2006 yang ditumbuhi oleh alang-alang, kembali terbakar pada tahun 2007. Areal yang terbakar pada tahun 2007 cukup merata di wilayah utara yang merupakan lahan dengan tanah mineral. Kebakaran tahun 2002, 2006 dan 2009, meskipun tidak merata terjadi di seluruh desa yang dilakukan cek lapangan, jumlah hotspot yang terpantau sangat tinggi. Hal ini disebabkan kebakaran pada tahun tersebut sebagian besar terjadi di lahan gambut dimana lahan gambut memiliki tipe kebakaran bawah permukaan ground fire. Kebakaran bawah memiliki ciri penjalaran yang lambat 3 cmjam dan lama serta produksi asap dan partikel yang lebih banyak. Proses yang umum terjadi pada kebakaran di lahan gambut adalah smoldering De Bano et al. 1998. Kondisi ini menyebabkan di areal lahan gambut yang terbakar pantauan hotspot dari satelit jumlah kumulatifnya menjadi lebih besar daripada di lahan non-gambut karena kebakaran terjadi dalam waktu relatif lebih lama dan lebih sulit dipadamkan daripada kebakaran di tanah mineral. 3.3.5. Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan. Berdasarkan informasi masyarakat di 11 kecamatan di wilayah Kabupaten Kapuas seperti yang disajikan pada Tabel 3.3, sebagian besar kebakaran disebabkan oleh api liar dari semak belukar atau lahan terlantar dan pembakaran hutan galam untuk kebun. Semak belukar banyak ditemukan di area Eks PLG dan areal yang tidak jelas kepemilikan lahannya. Semak belukar merupakan merupakan lahan tak terkelola unmanaged area sehingga menjadi open access atau mudah digunakan untuk beragam aktivitas oleh masyarakat. Pembukaan lahan untuk kebun umumnya terjadi di hutan galam dan semak belukar rawa yang dibakar untuk persiapan menanam karet atau kelapa sawit. Hutan Galam juga merupakan lahan tidak terkelola seperti semak belukar. Di lahan tidak terkelola masyarakat khususnya dari luar desa outsider people dengan mudah dan tidak terpantau melakukan aktivitas pembakaran baik disengaja maupun tidak disengaja. Penyebab kebakaran lainnya antara lain pembukaan lahan untuk lahan kering pertanian, pembukaan lahan untuk padi sawah, penguasaan lahan, membersihkan areal sekitar tambang emas, pembukaan lahan untuk mengusir hama, api liar dari kegiatan memancing, api liar dari kegiatan merokok, pemanenan kayu di hutan dan konversi dari hutan sekunder ke perkebunan. Penelitian yang dilakukan oleh Akbar et al 2011 di areal lahan gambut Kabupaten Kapuas menemukan bahwa sumber-sumber kebakaran lahan juga berasal dari petani ladang dan penangkap ikan. Selain semak belukar rawa, hutan galam juga merupakan areal sumber api yang banyak disebutkan masyarakat. Hutan Galam merupakan ekosistem khas yang ada di kawasan rawa pasang surut di Kalimantan. Pohon Galam merupakan tumbuhan adaptif yang tumbuh cepat pada kondisi tergenang. Pohon-pohon galam Melaleuca cajuputi yang terbakar mampu beregenerasi cepat. Bahkan menurut masyarakat, semakin hutan galam sering terbakar, semakin rapat pohon yang tumbuh kembali. Tabel 3.3. Penyebab kebakaran hutan dan lahan dari aktivitas masyarakat di Kabupaten Kapuas Tahun 2012 No. PenyebabSumber Kebakaran Kecamatan Bas Man Kku Sel Kmu Tim Kte Lta Kti Dad Kba Jumlah 1. Pembukaan lahan untuk lahan kering pertanian 1 1 1 1 1 4 2. Pembukaan lahan untuk lahan padi sawah 1 1 2 3. Api liar semak belukarlahan terlantar 1 1 1 1 1 1 6 4. Pembakaran hutan galam untuk kebun 1 1 1 1 1 5 5. Klaim Penguasaan Lahan 1 1 6. Membersihkan areal sekitar tambang emas 1 1 7. Pembakaran lahan untuk mengusir hama 1 1 2 8. Api liar dari kegiatan Berburu 1 1 1 3 9. Api liar dari kegiatan memancing 1 1 10. Api liar dari kegiatan merokok 1 1 1 1 4 11. Pemanenan kayu di hutan 1 1 12. Konversi dari hutan sekunder ke perkebunan 1 1 Jumlah 4 7 1 2 2 1 3 1 4 5 1 Keterangan : 1 ada, 0 tidak ada, Bas Basarang, Man Mantangai, Kku Kapuas Kuala, Sel Selat, Kmu Kapuas Murung, Tim Timpah, Kte Kapuas Tengah, Lta Pasak Talawang, Kti Kapuas Timur, Dad Dadahup, Kba Kapuas Barat. Sumber : Hasil wawancara dengan masyarakat Kayu galam sangat luas pemanfaatannya khususnya di Kabupaten Kapuas. Kayu galam digunakan untuk berbagai penggunaan seperti pagar, penahan tebing, bahan kontruksi untuk jalan, jembatan dan rumah. Penggunaan kayu galam yang menjadi bahan baku utama bagi berbagai keperluan konstruksi bangunan membuat pemanenan kayu alam berlangsung terus menerus dan cenderung semakin meningkat. Menurut penyebabnya, kebakaran juga terjadi karena pembukaan lahan baru pertanian dan perkebunan. Pembukaan lahan baru untuk pertanian dengan pembakaran umumnya untuk ditanami padi gunung. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat diperoleh informasi bahwa padi gunung akan tumbuh dengan baik hanya bila saat pembersihan lahan dilakukan dengan cara pembakaran. Pembersihan lahan pada areal tanaman padi gunung cara pembakaran, selain murah, muda dan cepat, menurut petani juga bermanfaat untuk menekan gulma dan alang-alang, mengusir hama dan menambah hara tanah. Sebagian besar kebakaran menurut penggunaan lahan yang disajikan Gambar 3.5 terjadi di semak belukar dan hutan galam Hutan Sekunder Rawa. Semak belukar seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.21 c banyak ditemukan di area Eks PLG dan areal yang tidak jelas kepemilikan lahannya. Disamping itu, semak belukar merupakan lahan yang merupakan lahan menjadi lahan tak terkelola unmanaged area menjadi open access atau mudah digunakan untuk beragam aktivitas oleh masyarakat. Di lahan tidak terkelola masyarakat khususnya dari luar kota kampung outsider people dengan mudah dan tidak terpantau melakukan aktivitas pembakaran baik disengaja maupun tidak disengaja. Pembakaran yang disengaja contohnya adalah membakar semak untuk membuka jalan pada saat berburu dan mengangkut kayu, menemukan lubang berkumpulnya ikan serta menemukan sarang persembunyian hewan buruan. Pembakaran tidak sengaja yaitu kelalaian dari kegiatan merokok dan membiarkan api dari kegiatan memasak. Penggunaan lahan lain yang menjadi sumber api adalah hutan galam yang termasuk dalam tutupan hutan rawa sekunder Gambar 3.21a. Hutan Galam merupakan ekosistem khas yang ada di kawasan rawa pasang surut. Pohon Galam merupakan tumbuhan adaptif yang tumbuh cepat pada kondisi tergenang. Pohon- pohon galam yang terbakar mampu beregenerasi cepat. Bahkan menurut masyarakat, semakin hutan galam sering terbakar, semakin rapat pohon yang tumbuh. Kayu galam sangat luas pemanfaatannya khususnya di Kabupaten Kapuas. Kayu galam digunakan untuk berbagai penggunaan seperti pagar, penahan tebing, bahan kontruksi untuk jalan, jembatan dan rumah. Penggunaan kayu galam yang menjadi bahan baku utama bagi berbagai keperluan konstruksi bangunan membuat pemanenan kayu galam berlangsung terus menerus dan cenderung semakin meningkat. Selain itu, kebutuhan akan lahan pertanian baru, juga mengancam ekosistem hutan galam. Hutan galam yang berfungsi sebagai kawasan tangkapan air usai dikonversi menjadi ladang atau kebun justru menjadi areal yang rawan terbakar khususnya di musim kemarau. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus kebakaran dimana api bermula dari kebakaran di hutan galam. Seperti pada Tabel 3.3, beberapa kejadian kebakaran disebabkan aktifitas masyarakat yang membuka lahan atau melakukan penebangan kayu di hutan galam. Gambar 3.21. Penggunaan Lahan di Kabupaten Kapuas; a Hutan rawa sekunderhutan galam, b Perkebunan sawit di lahan gambut, c Semak belukar rawa, d Perkebunan karet rakyat campur nanas di lahan gambut, e Hutan Sekunder Tanah Kering, f Perkebunan Karet di lahan kering, g Hutan Sekunder untuk Pertambangan, h Hutan Sekunder bekas terbakar

3.4. Simpulan

Indikasi kuat terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas ditunjukkan oleh titik panas atau hotspot bersumber dari satelit TerraAqua MODIS dengan nilai kepercayaan confidence lebih dari 50. Jumlah hotspot berhubungan dengan curah hujan. Hotspot semakin meningkat jumlahnya 37 -120 hotspot per bulan pada tahun dimana terjadi curah hujan bulanan semakin menurun dibawah rata-ratanya anomali hujan bulanan kumulatif empat bulan sebelumnya 282 mm – 349 mm dibawah rata-rata. Menurut waktu, bulan Agustus – Oktober merupakan waktu terjadi peningkatan titik panas di Kabupaten Kapuas. Hotspot terpadat umumnya berada pada lokasi dengan karakteristik semak belukar rawa, dekat dengan sungai, dengan dengan jalan, agak jauh dari pusat desa, di lahan gambut dengan kedalaman sangat dalam dengan sistem lahan Peat Basin or Domes PBD dan Peat Covered sandy terraces PCS. Secara umum, hotspot tersebar sangat rapat di wilayah selatan Kabupaten Kapuas dibandingkan di wilayah utara. Informasi masyarakat menunjukkan bahwa tidak selalu pada tahun-tahun dengan hotspot tinggi terjadi kebakaran yang merata di semua wilayah. Aktivitas masyarakat yang dominan menyebabkan kebakaran yaitu pembukaan lahan pertanian dan konversi lahan menjadi perkebunan. Aktivitas ini umumnya terjadi di lahan yang tidak terawat. 4 PENENTUAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

4.1. Pendahuluan

Upaya strategis yang sangat penting dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan adalah pencegahan. Pencegahan yang bersinergi dengan upaya pemadaman dan tindakan pasca kebakaran merupakan aspek yang akan mendukung keberhasilan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Salah satu usaha untuk melakukan pencegahan kebakaran hutan diantaranya adalah melalui sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini merupakan terminologi yang umum dipakai dalam manajemen risiko bencana. Menurut UNISDR 2009, sistem peringatan dini merupakan serangkaian kapasitas yang diperlukan untuk menghasilkan dan menyebarkan informasi peringatan yang bermakna tepat pada waktunya untuk memungkinkan orang-perorangan, masyarakat dan organisasi yang terancam ancaman bahaya untuk bersiap dan mengambil tindakan secara tepat dan dalam waktu yang memadai untuk mengurangi kemungkinan kerugian atau kehilangan. Definisi ini mencakup berbagai faktor yang diperlukan untuk mewujudkan respon yang efektif terhadap peringatan. Sistem peringatan dini berbasis pada masyarakat adalah sistem yang berpusat pada masyarakat yang terdiri dari empat elemen kunci: pengetahuan tentang risiko, pemantauan, analisis dan peramalan ancaman bahaya, komunikasi atau penyebaran pesan siaga dan peringatan, dan kemampuan setempat untuk merespons pada peringatan yang diterima. Ungkapan sistem peringatan dari hulu ke hilir juga digunakan untuk memberi penekanan pada sistem-sistem peringatan dini yang perlu mencakup semua tahapan mulai dari deteksi ancaman bahaya hingga respons masyarakat. Salah satu instrumen sistem peringatan dini dalam pengendalian kebakaran hutan dalan lahan yang digunakan adalah peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Dalam peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan, terdapat informasi penting tentang luas dan sebaran wilayah sesuai tingkat kerawanannya. Peta kerawanan kebakaran juga merupakan alat yang bisa membantu kegiatan pemantauan kondisi wilayah dan aktifitas masyarakat di daerah rawan. Penentuan wilayah rawan kebakaran sangat penting untuk penerapan sistem peringatan dini yang lebih tepat di wilayah yang lebih mendesak untuk diterapkan. Selain itu peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan bisa dijadikan instrumen untuk menduga faktor-faktor kunci yang menyebabkan terjadinya kebakaran di suatu wlayah tertentu dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan dapat dibuat dengan menggunakan pemodelan hubungan antara kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan faktor ‐faktor yang mempengaruhinya. Faktor‐faktor tersebut sebagian besar bereferensi keruangan sehingga pemodelan ini dapat didekati dan dibangun dalam suatu sistem informasi geografi. Saat ini sudah berkembang penelitian tentang penentuan daerah rawan kebakaran kebakaran hutan dan lahan dengan memakai berbagai macam peta yang dilengkapi dengan tingkat kerawanan bahaya kebakaran. Penelitian Jaya et al. 2008 tentang model spapsial tingkat kerawanan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah menemukan dengan metode Composite Mapping Analysis CMA