Pengkelasan masing ‐masing Metode Penelitian

Tabel 4.1. Pengkelasan faktor yang akan digunakan dalam menyusun model Peubah Faktor Kelas X1 TutupanPenggunaan Lahan Hutan Lahan Kering Sekunder Pertambangan Pertanian Lahan Kering Campur Semak Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Tubuh Air Sawah Hutan Rawa Sekunder Pemukiman Rawa Tanah Terbuka Semak Belukar Rawa X2 Jarak terhadap sungai Buffer dengan interval 1000 m 1km X3 Jarak terhadap jalan Buffer dengan interval 1000 m 1km X4 Jarak terhadap pusat desa Buffer dengan interval 1000 m 1km X5 Tingkat Ketebalan Gambut Non-gambut Sangat Dangkal Dangkal Sedang Dalam Sangat Dalam Sangat Dalam Sekali X6 Sistem Lahan Mountains MOU Tidal mangrove and nipah TMN Steep volcanic plugs SVP Undulating plains with several wide valleys UPV Hillocky plain HP Steep hills SHI Rolling plain and sandy remnants RPS Terrace remnant TER Hillocky plains with cuesta-shaped ridges HPC Dissected dip slopes odf cuestas DDS Hills with moderately steep dip and steep scarp slopes HMS Undulating sandy terraces UST Meander belts within very wide river floodplains MBW Permanently waterlogged plains PWP Steep narrow ridges SNR Alluvial floodplains between swamps AFS Swampy floodplains mainly within terraces SFM Peat basin margins PBM Peat-covered sandy terraces PCS Peat basins or domes PBD 4.2.2. Penentuan bobot Penentuan bobot suatu spasial yang dilakukan secara empiris adalah dengan metode Analisis Pemetaan Komposit Composite Mapping AnalysisCMA Jaya et al 2008. Dalam kasus ini hubungan antara jumlah hotspot per km 2 kepadatan hotspot dengan variabel penyusun kerawanan kebakaran hutan dan lahan dianalisis untuk menurunkan nilai skor masing ‐masing faktor. Variabel-variabel yang memiliki korelasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan faktor lain dipilih dan digunakan untuk menyusun model regresi linear. Bobot masing ‐masing adalah proporsi masing‐masing koefisien korelasi dari regresi linear terhadap total seluruh koefesien regresinya. Langkah-langkah penentuan bobot penyusun variabel kerawanan kebakaran hutan dan lahan di Kapuas adalah sebagai berikut : 4.2.2.1. Penghitungan nilai skor Nilai skor masing ‐masing sub faktor dapat dihitung dengan menggunakan formula 1 dan 2 Dimana : Xi = skor kelas sub faktor pada masing ‐masing faktor Oi = jumlah hotspot yang ada pada masing ‐masing kelas obserbved hotspot Ei =jumlah hotspot yang diharapkan pada masing ‐masing kelas expected hotspot T = jumlah total hot spot F = persentase luas pada masing ‐masing kelas Hotspot yang digunakan untuk penentuan skor berasal dari data hotspot MODIS tahun 2009. Pemilihan data hotspot tahun 2009 berdasarkan jumlah hotspot tertinggi selama 11 tahun 2001-2011. 4.2.2.2. Penghitungan skor dugaan Berdasarkan pola kecenderungan trend line hubungan antara skor aktual setiap faktor dan kepadatan hotspot jumlah hotspotkm 2 dihitung nilai skor dugaan menurut pola persamaan regresi yang memiliki koefisien determinasi yang relatif lebih tinggi. 4.2.2.3. Penghitungan nilai skor skala rescalling score Untuk mendapatkan standar skor yang sama diantara semua faktor yang akan digunakan dalam menyusun model, maka skor dihitung lagi untuk mendapatkan nilai skor skala dengan menggunakan formula Jaya et al 2008 seperti pada persamaan 3. Dimana : Score Rout = nilai skor hasil rescalling Score Einput = nilai skor dugaan estimated score input Score Emin = nilai minimal skor dugaan Score Emax = nilai maksimal skor dugaan Score Rmax = nilai skor tertinggi hasil rescalling Score Rmin = nilai skor terendah hasil rescalling 4.2.2.4. Pembuatan persamaan matematik Skor hasil rescalling score masing ‐masing faktor digunakan untuk menghitung skor komposit beberapa faktor. Model regresi stepwise digunakan untuk menentukan skor komposit. Skor komposit ditentukan dengan metode CMA, dengan bobot yang diturunkan dari koefisien masing ‐masing faktor penyusun komposit. Berdasarkan skor komposit, disusun persamaan statistik yang menyatakan hubungan antara jumlah hotspot per km 2 kepadatan hotspot dengan skor komposit faktor ‐faktor penyusunnya. Kepadatan hotspot diperoleh dari analisis spasial melalui metode calculate density dengan radius 10 km. Kemudian ditentukan nilai koefisien determinasi antara nilai kepadatan hotspot dugaan dari model dengan hotspot observasi dari hasil calculate density hotspot MODIS tahun 2009. Nilai kepadatan hotspot model dan hotspot observasi dibuat dalam bentuk nilai rata-rata terboboti dengan menggunakan regresi terboboti weight regression 4.2.3. Uji signifikansi model Pengujian signifikansi model dimaksudkan untuk memilih model terbaik yang memiliki akurasi tertinggi. Uji ini untuk membuktikan apakah suatu model berbeda nyata terhadap kenyataan di lapangan atau tidak. Hipotesis : H0: μ1 = μ2 atau H0: μ1 – μ2 = 0 yaitu nilai rata‐rata hasil model tidak berbeda dengan nilai rata ‐rata lapangan observasi. Ha: μ1 − μ2 atau Ha: μ1 − μ2 ≠ 0 yaitu nilai rata‐rata hasil model berbeda dengan nilai rata ‐rata lapangan observasi Statistik uji yang digunakan adalah uji z – test two sample for mean yang dihitung dengan dengan formula: dimana : x1, x2 = nilai rata ‐rata dua contoh σ1, σ2 = nilai standar deviasi dua populasi n1, n2 = jumlahukuran dua contoh Δ = hipotesis perbedaan rata‐rata populasi bernilai 0 jika pengujian terhadap nilai rata ‐rata yang sama Hipotesis akan diterima jika nilai Z hitung lebih kecil daripada nilai Z kritisnya pada taraf nyata 0,05.

4.2.5. Pembuatan peta kelas kerawanan kebakaran

Berdasarkan ukuran piksel yang digunakan dan radius antar hotspot, maka kelas kerawanan kebakaran dikelompokan ke dalam lima kelas dan tiga kelas dengan klasifikasi secara natural break. 4.2.6. Verifikasi model Akurasi model ditentukan berdasarkan nilai matrik koinsidensi antara tingkat kerawanan kebakaran menurut model dan tingkat kerawanan menurut kepadatan hotspot dengan menggunakan matrik kesalahan confusion matrix. Peta kepadatan hotspot yang dibuat untuk validasi model adalah dari data hotspot tahun 2006 yang diproses melalui analisis calculate density dengan radius 10 km Nilai akurasi dihitung dengan formula seperti pada persamaan 5. dimana : OA = overall accuracy Xii = jumlah kolom ke ‐i dan baris ke‐i diagonal N = jumlah semua kolom dan semua baris yang digunakan 4.2.7. Visualisasi persamaan matematik menjadi model spasial Persamaan statistik atau model regresi yang diperoleh dari tahap sebelumnya diimplementasikan ke dalam model spasial. Adapun mekanisme implementasinya menggunakan dengan fasilitas Map Calculator. 4.2.8. Pemodelan spasial tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan Dalam pemodelan spasial tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan dilakukan dua hal yaitu; a membuat peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan dari persamaan terbaik kemudian dilihat jumlah luasan kerawanan kebakaran ditinjau dari berbagai sudut pandang dan c.membuat sebaran kelas resiko kebakaran hutan dan lahan berdasarkan wilayah administrasi, dan faktor yang memiliki peranan penting dalam menduga kepadatan hotspot.

4.3. Hasil dan Pembahasan

4.3.1. Pembangunan Skor Pembangunan skor aktual actual score, skor dugaan estimated score dan skor skala rescaled score untuk masing-masing variabel ditentukan berdasarkan kepadata hotspotnya. Skor aktual merupakan perbandingan antara jumlah hotspot aktual dengan hotspot harapan, sedangkan skor dugaan dihitung menggunakan model trendline yang diturunkan pada masing-masing peubah. Skor skala dihitung berdasarkan persamaan 3 untuk mendapatkan nilai minimum 10 dan nilai maksimum 100. 4.3.1.1. Skor Tutupan Lahan Land Cover Skor dugaan yang dihasilkan dari persamaan regresi antara skor aktual dan kelas tutupan lahan mengikuti pola polynomial cubic dengan koefiesin determinasi R 2 96.6 dimana menunjukkan hubungan dimana semakin tutupan lahan menuju lahan basah maka nilai skor dugaan semakin besar. Skor tertinggi 100 ditemukan di semak belukar sedangkan skor terendah adalah di hutan lahan kering sekunder. Semak belukar rawa berada di areal lahan gambut yang umumnya tidak dikeloladirawat unmanaged land. Lahan-lahan yang tidak terawat seperti pada Bab 3 menjadi lahan yang rawan terbakar karena tidak ada jauh kontrol dari masyarakat dan menyediakan bahan bakar berupa semak belukar dan gambut yang kering yang mudah terbakar pada musim kemarau. Adapun pada Hutan Lahan Kering Sekunder umumnya masih memiliki tutupan tajuk yang agak rapat sehingga relatif taha terbakar. Nilai skor variabel dalam kelas tutupan lahan disajikan pada Tabel 4.2 sedangkan grafik hubungan antara skor aktual dan kelas tutupan lahan disajikan pada Gambar 4.1. Tabel 4.2. Skor variabel kelas tutupan lahan Kelas Tutupan Lahan Luas ha Jumlah Hotspot Oi Jumlah Hotspot Harapan Ei OiEi HS Km 2 Skor Aktual Skor Dugaan Re- scaled Score 1. Hutan Lahan Kering Sekunder 593269.50 173 1024.37 0.17 0.03 1.09 1.9190 10.00 2. Pertambangan 5012.36 1 8.65 0.12 0.02 0.74 2.7690 12.56 3. Pertanian Lahan Kering Campur Semak 21361.55 8 36.88 0.22 0.04 1.40 3.0570 13.42 4. Semak Belukar 159127.94 87 274.76 0.32 0.05 2.04 3.0950 13.54 5. Pertanian Lahan Kering 10817.26 9 18.68 0.48 0.08 3.10 3.1950 13.84 6. Tubuh Air 10210.24 8 17.63 0.45 0.08 2.92 3.6690 15.26 7. Sawah 114808.06 104 198.23 0.52 0.09 3.37 4.8290 18.75 8. Hutan Rawa Sekunder 367288.13 670 634.18 1.06 0.18 6.80 6.9870 25.24 9. Pemukiman 1339.24 2 2.31 0.86 0.15 5.56 10.4550 35.68 10. Rawa 15515.77 80 26.79 2.99 0.52 19.21 15.5450 50.99 11. Tanah Terbuka 59414.76 353 102.59 3.44 0.59 22.13 22.5690 72.12 12. Semak Belukar Rawa 125625.32 1067 216.91 4.92 0.85 31.64 31.8390 100.00 Jumlah 1483790.13 2562.00 2562.00 15.55 2.68 100.00 Rata-rata 123649.18 213.50 213.50 1.30 0.22 8.33