Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat
akan segera terjadi; memproses dan menyebarkan peringatan kepada pihak berwenang dan kepada masyarakat; dan melakukan tindakan yang semestinya dan
tepat waktu terhadap peringatan IDEP 2007; UNISDR 2009.
Menurut UNISDR 2009, sistem peringatan dini berbasis pada masyarakat adalah sistem yang berpusat pada masyarakat yang terdiri dari empat elemen
kunci: pengetahuan tentang risiko, pemantauan, analisis dan peramalan ancaman bahaya, komunikasi atau penyebaran pesan siaga dan peringatan, dan kemampuan
setempat untuk merespons pada peringatan yang diterima. Ungkapan “sistem
peringatan dari hulu ke hilir” juga digunakan untuk memberi penekanan pada sistem-sistem peringatan dini yang perlu mencakup semua tahapan mulai dari
deteksi ancaman bahaya hingga respons masyarakat.
Pengertian lain tentang sistem peringatan dini berbasis masyarakat Community Early Warning System dikemukakan oleh De Leon 2009 yaitu
sebuah struktur operasional yang memungkinkan penduduk untuk mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan dampak bencana alam. De Leon 2009
memberikan contoh penerapan CEWS di Amerika Tengah, dimana sistem ini membantu organisasi-organisasi perlindungan sipil untuk bergerak menjauh dari
paradigma tanggap darurat kuno ke pengurangan risiko tingkat lokal dan kesiapsiagaan. Penerapan sistem peringatan dini berbasis masyarakat berfungsi
sebagai alternatif penggunaan sistem telemetric terpusat mahal, dan mendorong masyarakat untuk memainkan peran lebih aktif dalam perlindungan mereka
sendiri.
De Leon 2009 menyatakan bahwa dalam CEWS setidaknya terdapat tiga aktivitas utama yaitu memantau kondisi alam yang terkait dengan bahaya tersebut,
peramalan kejadian, dan peringatan penduduk. Integrasi operasional komponen ini, dalam kasus banjir, yang diuraikan dalam Gambar 2.2. Monitoring dilakukan
dalam dua cara. Pertama, pendekatan yang lebih canggih menggunakan alat pengukur otomatis tersambung ke perangkat komunikasi radio telemetrik. Kedua,
kondisi lokal diukur secara real time dan disebarkan ke instansi pusat setiap saat. Alternatif dan pendekatan yang jauh lebih sedikit kerumitannya adalah
melibatkan partisipasi langsung dari anggota masyarakat yang menggunakan peralatan pemantauan sangat sederhana. Stasiun operator melaporkan informasi
dengan radio ke pusat peramalan lokal di mana data dapat dianalisa menggunakan rutinitas sederhana.
Gambar 2.2. Skema operasioanal untuk sistem peringatan dini yang
dikembangkan untuk mendeteksi banjir De Leon 2009 Kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat atau komunitas dalam sistem
peringatan dini berbasis masyarakat perlu juga mendapat dukungan dari pemerintah. Menurut De Leon 2009 kegiatan yang perlu difasilitasi oleh
lembaga-lembaga pemerintah dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat diantaranya:
- Menyebarkan informasi ke seluruh masyarakat tentang bahaya yang ada dan
kesiapsiagaan dan mitigasi bencana -
Melakukan pemetaan risiko. -
Mengembangkan rencana darurat. -
Menentukan dan mengidentifikasi rute evakuasi. -
Melakukan latihan dan simulasi. Sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan mencakup kegiatan
deteksi dini, sistem informasi kebakaran dan kesiapsigaan kebakaran. Deteksi dini merupakan bagian dari sistem informasi kebakaran yang dikembangkan secara
luas di berbagai negara. Menurut Solichin dan Kimman 2003, sistem informasi kebakaran merupakan suatu sistem pengolahan dan distribusi data kebakaran
kepada para stakeholder terkait hingga di tingkat lapangan yang bertujuan untuk mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
yang efektif. Sistem ini terdiri dari aspek pengumpulan data, pengolahan dan analisa serta pendistribusian informasi kebakaran. Sistem ini biasanya didukung
dengan sistem komputer serta teknologi lainnya seperti telekomunikasi, internet, penginderaan jauh atau Sistem Informasi Geografis SIG.
Solichin dan Kimman 2003 menerangkan bahwa metode lain selain melalui penginderaan jauh adalah pemantauan langsung di lapangan yang
dilakukan oleh patroli polisi kehutanan atau instansi berwenang lainnya serta berdasarkan laporan dari masyarakat luas tentang keberadaan kebakaran. Metode
Pengolahan dan Analisa Sistem Informasi Kebakaran
Sistem Peringatan Dini
Kebakaran Deteksi
Kebakaran dan Pemantauan
Penilaian Dampak
Kebakaran
Tingkat Bahaya
Kebakaran Polusi Udara,
Jarak Pandang, Kabut Asap antar
Wilayah Pemetaan
Areal Terbakar
Penginde- raan Jauh
Pemantauan Lapangan
Analisa Ancaman
Kebakaran
pemantauan langsung di lapangan cukup konvensional, namun tetap dirasa perlu mengingat keterbatasan yang dimiliki metode penginderaan jauh.
Kegiatan cek lapangan dalam sistem peringatan dan deteksi dini harus tetap dilakukan. Hasil dari cek lapangan ini kemudian dijadikan umpan balik feed
back untuk lebih menyempurnakan sistem deteksi yang digunakan misalnya untuk penentuan nilai ambang yang lebih sesuaitepat. Hasil cek lapangan akan
bisa mengembangkan sistem deteksi dini dan dapat menghasilkan interpretasi dengan tingkat ketelitian yang lebih baik Suratmo et al. 2003.
Deteksi dini merupakan bagian dari proses sistem peringatan dini bagi berbagai pihak khususnya pengelola lahan baik pemerintah, swasta maupun
masyarakat lokal. Sistem peringatan dini merupakan bagian penting dalam Sistem informasi kebakaran. Prosedur dan Analisa Sistem Informasi Kebakaran yang
telah dikembangkan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.6. Prosedur Analisa yang Dikembangkan dalam Sistem Informasi
Kebakaran Sumatera Selatan Solichin dan Kimman 2003 Thoha 2006 telah membuat sebuah skema integrasi antara deteksi dan
prediksi kebakaran hutan sebagai salah satu masukan penting dalam sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Integrasi deteksi dan prediksi tersebut
dapat mengintegrasikan pemantauan cuaca dan kondisi kekeringan dengan peluang kebakaran hutan melalui pemodelan spasial. Integrasi yang dibuat oleh
Thoha 2006 ditampilkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Skema Integrasi Deteksi dan Prediksi Kebakaran Thoha, 2006 2.4. Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara detil diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12Menhut-II2009 Tentang
Pengendalian Kebakaran Hutan Permenhut No. 12 Tahun 2009. Pada Pasal 20 Ayat 1-3 peraturan ini menyebutkan adanya organisasi atau lembaga yang
dibentuk oleh oleh Menteri Kehutanan yang diberi nama Manggala Agni pasal 20 ayat 1. Manggala Agni secara operasional di tingkat wilayah memiliki wilayah
kerja yang disebut Daerah Operasi atau Daops Pasal 20 ayat 2. Pembentukan organisasi Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Brigdalkarhut secara vertikal
dari tingkat pusat daerah dibawahnya disebutkan pada Pasal 20 ayat 3 mulai dari pusat, provinsi, kabupatenkota dan tingkat unit atau kesatuan pengelolaan hutan.
Tanggung jawab Brigdalkarhut tingkat Provinsi dibawah Gubernur, tingkat kabupatenkota dibawah BupatiWalikota dan pada tingkat unit atau kesatuan
pengelolaan hutan dibawah kepala unit atau kepala pengelolaan hutan.
Secara lebih detil Permenhut No. 12 Tahun 2009 juga menjelaskan Tata Hubungan Kerja pada Pasal 22-25 tentang pencegahan, Pasal 26-29 tentang
pemadaman dan Pasal 30 tentang penanganan pasca kebakaran. Brigdalkarhut pada tingkat Nasional melakukan koordinasi dengan Badan Meteorologi dan
Geofisika BMG, Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional LAPAN. Secara vertikal ke
Curah Hujan TinggiKBDI
1500 Peluang
Kebakaran 0.40
Peluang Kebakaran 0.40
Curah Hujan Rendah KBDI 1500
Pemantauan Faktor Pendukung Kebakaran Gambut
Pemantauan Cuaca
Pengolahan Data Cuaca
Pemantauan dan Pengumpulan data Biofisik
dan Aktifitas Manusia
Pengolahan Data dan Aplikasi Model
Kondisi Siaga Berbasis Lokal :
Peningkatan Intensitas PatroliPemantauan Persiapan Peralatan dan Personil Pemadaman Kebakaran
Koordinasi Antar Stakeholder Sosialisasi Kondisi Rawan Kebakaran
Persiapan Kondisi Darurat dan Evakuasi Penyebaran Informasi Dari Pusat Data Ke
Tingkat Lokal
tingkat daerah,
Brigdalkarhut berkoordinasi
dengan Gubernur
dan BupatiWalikota. Koordinasi tingkat daerah dilakukan dengan lembaga terkait
daerah dan unit usaha tingkat daerah. Khusus untuk Brigdalkarhut tingkat unit atau kesatuan pengelolaan hutan upaya dalam pencegahan lebih pada level teknis.
Pada Pasal 25 disebutkan Brigdalkarhut tingkat unit atau kesatuan pengelolaan hutan dalam melaksanakan upaya pencegahan kebakaran hutan dilakukan melalui
kegiatan desiminasi hotspot, operasionalisasi Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran SPBK, pembinaan brigade, apel siaga, kampanye, pembinaan masyarakat dan
patroli pencegahan.
Pada skala pemadaman, Brigdalkarhut melakukan koordinasi secara horizontal dengan dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB,
Departemen Pertanian, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPPT, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia
pasal 26. Dalam melaksanakan upaya penanganan pasca kebakaran hutan, Brigdalkarhut tingkat pusat melakukan kegiatan koordinasi secara horizontal
dengan Kepolisian Republik Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB, Badan SAR Nasional BASARNAS Pasal 30 ayat 2.
Kelembagaan yang menjangkau tingkat masyarakat juga diatur dalam Permenhut No. 12 Tahun 2009. Pada pasal 36 ayat 2 dinyatakan Penguatan
kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b, dilakukan melalui kegiatan Pembentukan Masyarakat Peduli Api MPA. Peranserta Masyarakat
dalam pengendalian kebakaran hutan dimuat dalam Pasal 37 dan Pasal 38. Pasal 37 menyebutkan bahwa pemerintah menumbuh-kembangkan peranserta
masyarakat dalam rangka pengendaliaan kebakaran hutan untuk ikut secara aktif dalam proses kegiatan pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca. ayat 1.
Kegiatan penumbuhkembangan peranserta masyarakat dilakukan dalam bentuk a pendidikan dan latihan; b penguatan kelembagaan; c fasilitasi; dan d.
penyuluhan.
Usaha pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang telah dilaksanakan selama ini melibatkan banyak lembaga mulai dari lembaga
pemerintah dari berbagai departemen sampai organisasi non-pemerintah. Banyaknya lembaga yang terlibat menimbulkan banyak persoalan, seperti sulitnya
koordinasi dan tumpang tindih wewenang. Dalam pengembangan kelembagaan tingkat Provinsi seperti misalnya di Kalimantan Timur telah membentuk Unit
Pelaksana Teknis Dinas UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan PKHL Samarinda, sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di wilayah kerjanya di Kalimantan Timur, sebagai lead agency dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan Depdagri, 2009 2.5. Analisa Stakeholder
Stakeholder adalah mereka yang memiliki hak atau kepentingan dalam sebuah sistem. Untuk sebuah organisasi, misalnya, pemangku kepentingan adalah
setiap kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi, atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi. Definisi ini terlalu luas untuk beberapa saat
termasuk pihak yang berkepentingan dan pihak yang terkena dampak. Beberapa memilih untuk membatasi istilah tersebut kepada mereka yang memiliki saham,
klaim atau kepentingan pribadi atau orang-orang yang memberikan sesuatu yang penting bagi organisasi, dan mengharapkan sesuatu sebagai balasannya IIED,
2005.
Stakeholder dapat individu, masyarakat, kelompok sosial, atau organisasi dimana dapat opini atau ide-idenya bisa mempengaruhi hasil dari sebuah proyek
saat ini. RTI 2002. Stakeholder menurut IIED 2005 salah satunya bisa digambarkan melalui contoh pemangku kepentingan dalam kebijakan hutan
diantaranya mungkin orang-orang yang tinggal di atau dekat hutan yang relevan, orang-orang yang tinggal lebih jauh yang menggunakan hutan-hutan, pemukim
dari tempat lain di negara ini, atau luar negeri, pekerja, pengusaha kecil, pejabat kehutananan, manajer perusahaan kayu, aktifis lingkungan, politisi, pegawai
pemerintah, warga negara, konsumen, otoritas kehutanan, instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, LSM nasional, akademisi dan peneliti, donor,
konsultan, LSM internasional, organisasi berbasis masyarakat dan umum. Semua pihak tersebut, jika kepentingan mereka di hutan memang sah dan salah satu
peran analisis kekuasaan stakeholder mungkin untuk memeriksa keabsahan klaim mereka harus dengan cara tertentu terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan yang mempengaruhi hutan.IIED 2005
Analisis parapihak stakeholders merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan parapihak dari basis kedudukan,
hubungan, dan kepentingan parapihak tersebut terhadap suatu masalah atau sumberdaya Ramirez 2003. Analisis ini telah banyak digunakan pada berbagai
bidang yang mencakup bisnis, hubungan internasional, penyusunan kebijakan, penelitian partisipatif, ekologi dan pengelolaan sumberdaya alam.
IIED 2005 menjelaskan lebih lanjut bahwa analisa stakeholder menjadi alat penting dalam mengidentifikasi para pelaku pembangunan. Pelaku
pembangunan ini meliputi orang dan organisasi yang terlibat ataupun terkena dampak dari suatu perencanaan. Pemahaman yang jelas atas peran dan kontribusi
potensial dari berbagai stakeholder merupakan prasayarat utama bagi proses perencanaan partisipatif.
Tujuan analisa stakeholder adalah mengidentifikasi berbagai stakeholder yang relevan dengan perencanaan pembangunan. Hal tersebut ditujukan untuk
menjamin keberhasilan dalam pengambilan keputusan atas perencanaan secara partisipatif, juga menjamin keadilan dan kesamaan hak atas proses pembangunan.
Banyak kasus menunjukkan bahwa apabila mereka tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, menyusun prioritas, dan langkah kegiatan, maka yang
dihasilkan adalah berupa strategi dan langkah kegiatan yang kurang tepat, akibatnya masyarakat juga kurang menerima manfaat dari pembangunan, atau
justru terkena dampak negatifnya. Prinsip keterlibatan ini juga bermakna mencakup pihak-pihak yang biasanya diabaikan, seperti kelompok marjinal dan
tersisih: orang miskin, perempuan, orang tua, orang muda, cacat. Kebede et al. 2001 Selain itu analisa stakeholder berguna untuk memetakan peran dan
kontribusi stakeholder dalam pembangunan. Pemetaan stakeholder merupakan kebutuhan untuk dapat melibatkan stakeholder secara aktif sesuai dengan
paradigma sekarang.
Analisa stakeholder ini harus menguji dan mengidentifikasi berbagai dimensi yang berbeda-beda untuk memperoleh gambaran lengkap dan jelas.
Misalnya analisa ini harus mampu memisahkan antara kelompok yang relevan
dengan kelompok yang berkepentingan dalam sektor umum, swasta dan organisasi. Dengan pemisahan itu akan terlihat jelas potensi mereka sehingga
tingkat keterwakilan bisa lebih proporsional, misalnya terkait dengan masalah jender, etnis, kemiskinan dan sebagainya. Namun perlu segera disadari bahwa
analisa stakeholder ini hanya menyediakan alat untuk mengidentifikasi potensi stakeholder, dan tidak menjamin bahwa mereka akan terlibat secara aktif di
dalamnya. Kebede et al. 2001