Bagi masyarakat tradisional, model pertanian yang dipraktekkan adalah sistem perladangan yang mengandalkan curah hujan untuk kebutuhan air bagi tanaman.
Jenis tanaman perladangan yang ditanam umumnya adalah padi ladang atau padi tadah hujan. Padi ini merupakan padi jenis lokal yang bisa dipanen secepatnya
enam bulan dan selambatnya sembilan bulan dalam setiap musim tanam.
Dalam perladangan, prediksi yang tepat akan datangnya musim kemarau akan mempengaruhi kualitas pertumbuhan tanaman pertanian. Bila petani ladang
terlambat mengetahui musim kemarau, maka ladang yang dibuka dengan sistem tebas bakar slash and burning akan mengalami kegagalan. Seperti yang
diungkapkan dari hasil wawancara dengan warga dari berbagai desa di Kabupaten Kapuas
Masyakat bermatapencaharian petani di Kabupaten Kapuas tidak bisa menanam padi sepanjang tahun bila mereka terlambat membakar lahan.
Pembakaran lahan pada masa musim kemarau sudah lewat, akan berdampak pada pertumbuhan tanaman padi yang tidak bagus dan nantiya yang akan tumbuh justru
rumput. Padi mereka akan kalah bersaing pertumbuhannya dengan rumput.
Lahan yang akan ditanami padi ladang haruslah bersih dan ini membutuhkan kondisi musim kemarau yang tepat. Hasil pembakaran yang
dilakukan di musim kemarau akan menghasilkan pembakaran sempurna. Pembakaran yang sempurna tidak menyisakan tumbuhan bawah yang tumbuh di
ladang sehingga ladang dengan mudah ditaburi benih. Benih yang tumbuh di lahan yang bersih dari tumbuhan lain akan tumbuh dengan kualitas terbaik.
Disamping itu, abu hasil pembakaran limbah penebasan dan penebangan, akan menambah hara tanah sehingga kesuburannya meningkat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, terdapat beberapa kearifan lokal lain di Kabupaten Kapuas tentang bagaimana masyarakat
memprediksi datangnya musim kemarau adalah sebagai berikut : a. Beje Kolam Perangkap Ikan sudah surut
Di beberapa lokasi di Kabupaten, warga lokal memiliki cara menangkap ikan secara tradisional yang dinamakan Beje. Beje adalah sebuah kolam yang
airnya berasal dari sungai. Ukuran Beje bervariasi dari seluas 10 m
2
hingga 1000 m
2
atau lebih. Pada saat musim hujan, air sungai meluap dan memenuhi lubang atau kolam Beje. Ikan-ikan dari sungai pun turut masuk ke Beje bersama aliran air.
Ketika air sungai surut membuat sungai tidak dapat memasok air ke Beje. Beje pun ikut surut sehingga ikan terperangkap di Beje tidak bisa kembali ke Sungai.
Dengan mudah para pemilik Beje menangkapi ikan yang terjebak. Pada musim orang menangkap atau memanen ikan dari Beje itulah saat kemarau tiba.
Beje selain digunakan untuk penanda datangnya musim kemarau, ia juga berfungsi sebagai mengontrol tinggi muka air sehingga kelembaban lahan
khususnya di lahan gambut dapat dipertahankan. Beje dan bekas parit yang banyak ditemukan di areal Eks PLG sangat berpotensi untuk didayagunakan
menjadi sekat baka dengan melakukan penabatan air untuk menghambat air masuk ke sungai Nugroho dan Catur 2003
b. Ikan banyak turun ke muara sungai.
Secara alamiah pada musim hujan air di hulu dan hilir sungai tersedia melimpah., sebaliknya ketika hujan mulai berkurang aliran sungai di hulu sungai
mulai surut. Itulah saatnya ikan-ikan mencari tempat untuk bisa tetap bertahan hidup. Pada saat kemarau tiba, ikan-ikan bergerak ke muara sungai karena disana
masih terdapat cukup air. c. Ikan Sepat Layang Menggumpal di Udara.
Fenomena banyaknya Ikan Sepat Layang menggumpal di udara ketika musim kemarau tiba diungkapkan oleh Pak Nau Don Yusias, salah satu pemuka
Adat Suku Dayak yang menjadi Wakil Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN Provinsi Kalimantan Tengah. Ikan Sepat Layang itu melompat dan
terbang bergerombol berpindah pada tempat yang lebih banyak air karena ditempatnya saat itu sudah mulai surut. Pernyataan dari Pak Don ini sebagai
fenomena alam yang logis, karena ikan Sepat layang akan mencari tempat yang banyak airnya untuk melanjutkan hidupnya.
d. Matahari berpayung
Isyarat datangnya musim kemarau yang keras lebih lama dan panas dari biasanya, juga ditandai salah satunya dengan munculnya lingkaran merah di
sekeliling matahari. Masyarakat lokal dari Suku Dayak menyebutnya Matahari Berpayung. Staf dari instansi pemerintah seperti di Disbunbut dan BPBD Kapuas
menyebutkan bahwa bila muncul matahari berpayung maka tahun itu akan datang El Nino.
e. Rontoknya daun-daun pepohonan
Ini sebuah fenomena umum yang mudah dikenali yang banyak dipakai orang lokal di Kabupaten Kapuas khususnya Suku Dayak. Mereka mengenali
datangnya kemarau dari pepohonan yang khas. Ketika banyak pepohonan merontokkan tanamannya maka musim kemarau sudah tiba. Pada musim kemarau,
pohon-pohon karet dan Pohon Pantung Jelutung bahkan hanya menyisakan cabang dan rantingnya saja di musim kemarau.
f. Hewan-hewan berkumpul di pinggir sungai
Pada masa kemarau panjang, hewan-hewan liar yang biasanya berada di dalam hutan berpindah ke pinggir sungai. Hewan-hewan liar itu tidak sekedar
berkumpul dan mencari minum, bahkan ada juga yang membuat sarang. Kemarau panjang membuat sumber-sumber air yang biasanya ada di dalam hutan
mengering. Hewan-hewan yang berkumpul di pinggir disebutkan oleh tokoh adat dayak seperti babi hutan, monyet, rusa dan lain-lain.
g. Musim Kapat atau musim kemarau parah
Musim Kapat diperoleh dari kebiasaan yang dipakai oleh suku Jawa dan Suku Banjar yang ada di Kabupaten Kapuas. Pemahaman masyarakat dari etnis
Banjar sama dengan pengetahuan masyarakat dari etnis Jawa tentang Musim Kapat. Musim Kapat artimya waktu dimana udara panas sangat menyengat terik
dan membuat orang sering berkeringat. Waktu musim kapat 15 – 30 hari. Di
tengah-tengah waktu itu biasanya ada hujan gerimis 1-2 hari. Umumnya tiap tahun, Musim Kapat atau puncak kemarau cuaca sangat panas jatuh pada bulan
sembilan September. Pada Musim Kapat inilah waktu yang diyakini masyarakat Kabupaten Kapuas sangat rawan kebakaran.
h. Penggunaan Kalender Berocok Tanam Kalender Bali
Kebiasaan masyarakat Bali dalam memperkirakan musim membuka lahan dan menanam ada yang berpatokan pada Kalender Bali. Di Kalender Bali termuat
keterangan-keterangan yang berhubungan dengan kegiatan pertanian, yakni Sasih Kapat. Sasih kapat adalah istilah dimana bulan sasih ini saat yang tepat untuk
membuka lahan dengan membakar karena merupakan puncak kemarau. Di tahun 2012, Sasih Kapat pada Kalender Bali jatuh pada bulan September. Berdasarkan
data hotspot MODIS pada Bulan September 2012 ditemukan terdeteksi sebanyak 444 hotspot. Jumlah tersebut merupakan jumlah hotspot bulanan terbanyak pada
tahun 2012 dibandingkan bulan lainnya. Data kejadian kebakaran dari Manggala Agni Kapuas dan Disbuthut Kapuas juga menyatakan bahwa pada bulan Septemer
2012, banyak kejadian kebakaran di berbagai wilayah di Kabupaten Kapuas. 6.3.2. Pemantauan, analisis dan peramalam ancaman bahaya
Dari hasil penelitian di sub bab sebelumnya, secara umum, hotspot tersebar sangat rapat di wilayah selatan Kabupaten Kapuas dibandingkan di
wilayah utara. Sejarah kebakaran dari informasi masyarakat menunjukkan bahwa tidak selalu pada tahun-tahun dengan hotspot tinggi terjadi kebakaran yang merata
di semua wilayah. Hasil analisa ini sama dengan apa yang diungkapkan oleh masyarakat bahwa lokasi kebakaran umumnya terjadi di lahan gambut yang
semuanya berada di wilayah selatan Kapuas. Lahan gambut yang mudah terbakar umumnya adalah bekas lahan pertanian yang terlantar dan di hutan rawa sekunder
akibat pembukaan lahan untuk sawah ladang dan kebun karet.
Berdasarkan analisis spasial pada topik Karakteristik Kebakaran Hutan dan Lahan Bab 3, kebakaran umumnya terjadi di areal yang tidak terawat. Areal
tidak terawat diantaranya ditemukan di lahan semak belukar, alang-alang dan hutan galam yang jauh dari pemukiman. Hasil pemantauan masyarakat yang
terungkap dalam kelompok diskusi terarah menyebutkan bahwa semak belukar, alang-alang dan hutan galam dan purun merupakan areal yang sering terbakar.
Aktivitas masyarakat yang menyebabkan kebakaran adalah yaitu aktivitas berburu, kelalaian dari kegiatan merokok, memancing, pembukaan lahan
pertanian dan konversi lahan menjadi perkebunan. Hasil survei dan wawancara di lapangan tersebut tidak berbeda dengan hasil dari diskusi kelompok yang
menyebutkan beberapa penyebab kebakaran hutan yaitu berasal dari pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan, pemburu yang sering berburu yang
membuat perapianapi unggun, api liar dari kegiatan merokok, pembakaran belukar untuk memudahkan memburu binatang buruan, Sisa pembakar ikan oleh
para pemancing yang tidak dipadamkan dan pembakaran purun agar menghasilkan purun yang segar.
Pada hasil analisa tentang penentuan faktor yang berpengaruh pada kebakaran hutan dan lahan di Kapuas, faktor-faktor yang berperan penting dalam
model spasial tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan adalah kedalaman gambut, tutupan lahan dan jarak dari jalan. Sebaran tingkat kerawanan tinggi
sebagian besar berada di areal lahan gambut sangat dalam sekali tesebar di kelas tutupan lahan hutan rawa sekunder dan semak belukar rawa dan dekat dengan
jalan. Wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi sekali terletak di kecamatan Basarang, Kecamatan Dadahup dan Kecamatan Mantangai.