Sebaran hotspot berdasarkan tipe lahan di Kabupaten Kapuas

Fluktuasi jumlah hotspot dibandingkan dengan kerapatan hotspot di Kabupaten tahun 2001-2011 terlihat berbeda. Pada Gambar 3.14, kerapatan hotspot di lahan gambut hampir selalu lebih besar dibandingkan dengan di lahan non-gambut. Pada Gambar 3.14 terlihat bahwa ada tahun-tahun dimana jumlah hotspot di lahan non gambut jumlahnya lebih banyak daripada di lahan gambut. Tahun 2007, 2008, 2010 dan 2011 ditemukan bahwa jumlah hotspot di lahan non-gambut lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan lahan gambut yaitu masing-masing 247, 127, 34 dan 381 . Pada tahun 2007 dan 2008, 2010 dan 2011 terjadi hujan dengan jumlah yang relatif tinggi dan jumlah hotspot relatif rendah di lahan gambut yaitu masing-masing sebanyak 93, 24, 5 dan 216. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2010 dan 2011 dimana curah hujan yang terjadi pada tahun tersebut relatif tinggi dan hotspot yang terdeteksi relatif sangat rendah pada tahun 2010. Jumlah hotspot yang lebih besar di lahan non- gambut disebabkan luasnya kawasan areal non-gambut yang mencapai 73.4 5 dari luas Kabupaten Kapuas sedangkan area non gambut hanya sebesar 26.55 . Besarnya jumlah hotspot pada lahan non-gambut pada tahun-tahun dengan curah hujan yang relatif tinggi juga diduga karena lahan gambut dalam konsisi tergenang dan jenuh air akibat curah hujan yang tinggi. Kondisi gambut yang jenuh membuat gambut sulit terbakar. Akses menuju lahan-lahan gambut yang tergenang air relatif lebih sulit, sehingga aktivitas yang memicu kebakaran dari aktivitas masyarakat menjadi berkurang. Sebaliknya, pada lahan kering, akses masyarakat mengelola lahan tetap mudah sehingga kebakaran yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat bisa lebih tinggi dibandingkan di lahan gambut. Jadi, luas areal lahan gambut yang lebih sempit, kondisi gambut yang lebih basah dan akses masyarakat yang lebih sulit menjangkau areal lahan gambut pada kondisi curah hujan tinggi 2007, 2008, 2010 dan 2011 menjadi penyebab pada lahan non-gambut jumlah hotspot lebih besar. Luas lahan gambut mencakup luas 26.55 dari total luas Kabupaten Kapuas. Area lahan gambut tersebut berada di bagian selatan wilayah Kabupaten Kapuas. Lahan gambut di wilayah Selatan Kabupaten Kapuas sebagian besar berada di lokasi transmigrasi di areal Eks PLG yang meliputi di kecamatan Mantangai dan Dadahup. Areal lahan gambut terluas berada di Kecamatan Mantangai. Areal tersebut berada di lahan pasang surut yang banyak dilalui oleh sungai, anjir dan kanal. Salah satu indikator yang mudah diamati adalah ekosistem hutan galam yang hanya terdapat di wilayah selatan Kapuas. Hutan Galam hidup sangat baik pada kondisi tergenang atau di lahan basah atau rawa. Lahan non-gambut relatif lebih rendah nilai kepadatan dan jumlah hotspotnya. Lahan non-gambut yang melingkupi 73.45 luas Kabupaten Kapuas, berada di wilayah Utara Kabupaten Kapuas dengan karakteristik lahan kering dengan tanah mineral, kelerengan landai hingga terjal dan tutupan lahannya berupa kebun campuran dan hutan. Kondisi lahan gambut yang mengalami pengeringan telah meningkatkan risiko kebakaran dimana kebakaran secara luas terjadi di lahan gambut terutama pada tahun-tahun curah hujan di bawah normal Harrison et al. 2009. Langner dan Siegert 2009 juga menemukan bahwa terjadi kebakaran berulang selama terjadi pengeringan lahan gambut selama 15 tahun pada tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009 di areal ahan gambut di lokasi eks PLG.

3.3.3.8. Sebaran hotspot berdasarkan kedalaman gambut di Kabupaten Kapuas

Berdasarkan tingkat kedalaman gambut, kebakaran hutan dan lahan secara spasial juga menyebar di areal pada berbagai kedalaman gambut seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.15 dan Gambar 3.16. Gambar 3.15. Kepadatan Hotspot pada Berbagai Kedalaman Gambut di Kapuas Tahun 2001-2011 Berdasarkan Gambar 3.15 terlihat bahwa kebakaran hutan dan lahan yang diindikasikan dengan kepadatan hotspot sebagian besar terjadi di lahan gambut sedang 100 – 200 cm, sangat dalam 400 – 800 cm dan sangat dalam sekali 800 -1200. Pada tahun dengan kerapatan hotspot tertinggi area kedalaman gambut bergeser dari kedalaman sedang ke sangat dalam sekali. Pada tahun 2002 kerapatan hotspot tertinggi terdapat di lahan gambut dengan kedalaman sedang, namun pada tahun 2006 dan 2009 bergeser ke lahan gambut yang sangat dalam sekali. Hal yang berbeda ditemukan pada sebaran jumlah hotspot berdasarkan kedalaman gambut. Bila sebaran kepadatan hotspot tertinggi terdapat di area dengan kedalaman gambut sangat dalam sekali, namun jumlah hotspot terbanyak terdapat di lahan yang kedalamannya sangat dalam. Hal ini karena areal lahan dengan kedalaman gambut sangat dalam sekali relatif lebih sempit sehingga dengan hotspot yang tidak terlalu jauh selisihnya, kepadatannya menjadi tinggi. Gambar 3.16 menunjukkan bahwa pada tahun 2002, 2006 dan 2009 jumlah hotspot terbanyak terjadi di lahan dengan kedalaman sangat dalam. 0.0000 0.1000 0.2000 0.3000 0.4000 0.5000 0.6000 0.7000 0.8000 0.9000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 K e p ad atan Hot sp o t H S km 2 Tahun Dalam Dangkal Sangat Dalam Sekali Sangat Dalam Sangat Dangkal Sedang Kepadatan hotspot dan jumlah hotspot terendah umumnya berada di area non gambut sedangkan untuk jumlah hotspot terendah berada di area gambut dengan kedalaman sangat dangkal. Jumlah hotspot per tahun yang terjadi di area gambut sangat dangkal berkisar antara 0 – 35 hotspot per tahun. Berdasarkan waktu, kepadatan hotspot tertinggi berfluktuasi dari areal kedalaman dangkal, sedang dan sangat dalam. Pada rentang waktu tahun 2002 - 2009 areal dengan kepadatan hotspot tertinggi bergeser dari kedalaman sedang ke ke sangat dalam. Pada tahun 2011, areal dengan kepadatan hotpot tertinggi yang menggambarkan potensi aktivitas kebakaran yang tinggi bergeser ke areal kedalaman dangkal. Pergeseran areal kepadatan hotspot tertinggi diduga karena ketersediaan lahan di areal dengan gambut kedalaman sedang sudah semakin sempit atau sudah banyak digarap. Lahan-lahan yang belum dikelola masih tersedia di lahan gambut sangat dalam sehingga pengelola lahan mencari lahan- lahan baru yang akan dibuka dan diolah, termasuk dengan cara dibakar. Selanjutnya pada tahun 2011, areal dengan kedalaman gambut sangat dalam berkurang kepadatannya dibandingkan dengan areal dengan gambut dangkal. Pergeseran nilai kepadatan hotspot dari gambut sangat dalam ke dangkal karena di areal gambut sangat dalam sebagian besar merupakan areal Demontration Activities DA REDD+ yang diprakarsai oleh lembaga kerjasama pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia melalui Kalimantan Forest and Climate Partnership KFPC melalui SK Sekjen Kementerian Kehutanan No. KT.12II- KUM2010 yang meliputi areal Blok A dan Blok E areal Eks PLG di Kecamatan Mantangai dan Kecamatan Timpah Kabupaten Kapuas Gambar 3.17. Salah satu program KFCP yang dimulai sejak tahun 2010 di areal tersebut adalah pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Gambar 3.16. Jumlah Hotspot pada Berbagai Kedalaman Gambut di Kapuas Tahun 2001-2011 100 200 300 400 500 600 700 800 900 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Ju m lah Hot sp o t Tahun Dalam Dangkal Sangat Dalam Sekali Sangat Dalam Sangat Dangkal Sedang