Diskursus Pedagogi Kritis Kajian Tentang Pedagogi Kritis 1. Kemunculan Pedagogi Kritis

15 d. Respon terhadap pendidikan dalam relasi dengan kekuasaan yang menindas dan terjadinya ketidaksetaraan dalam lembaga pendidikan. Keesing, 2003 Melihat paparan di atas yang menyatakan bahwa Pedagogi Kritis merupakan suatu upaya membawa ide-ide kunci untuk memahami realitas serta gerakan politik yang berupaya untuk mengubah struktur masyarakat yang dinilai tidak adil, maka Pedagogi Kritis memiliki dua makna, yaitu : Pedagogi sebagai paradigma berpikir, yaitu dengan selalu mempertanyakan dan mengkritisi pendidikan itu sendiri dalam hal-hal fundamental tentang pendidikan baik tataran filosofis, teori, sistem, kebijakan, dan implementasi. Pedagogi Kritis juga sebagai gerakan sosial. Tujuan akhir Pedagogi Kritis adalah praksis pendidikan yang egaliter, humanis, dan berbasiskan critical thinking di kalangan pebelajar.

3. Diskursus Pedagogi Kritis

Manusia merupakan makhluk yang berakal, bebas menentukan pilihan, mengeluarkan gagasan dan ide, serta melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan produktif yang bersumber dari sikap otonom pada diri manusia. Sikap otonom tersebut bersumber dari akal budi manusia yang bebas dan bertanggung jawab. Perlu diingat pula bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesama dan alam. Menjadi manusia berarti menjalin hubungan dengan manusia dan dengan dunia, menjadi manusia adalah mengalami dunia sebagai realitas objektif 16 yang tidak tergantung kepada siapapun dan dapat mengerti Paulo Freire, 1984:3. Sebagai makhluk yang berakal dan menjalin hubungan dengan sesama dan dunia, manusia juga merupakan makhluk yang rentan. Yang dimaksud rentan dalam hal ini adalah pola hubungan yang mengkhawatirkan antar manusia yang timbul karena superioritas yang dimiliki oleh beberapa golongan. Superioritas tersebut akan dimanfaatkan untuk melakukan ketidakadilan terhadap golongan manusia lain yang lebih inferior. Praktik ketidakadilan tersebut dapat dikatakan sebagai praktik penindasan. Pola hubungan antara kedua golongan tersebut didasari oleh semangat penindasan yang mengedepankan prinsip ketidakadilan, dan akan menimbulkan dikotomi penindas superior dan tertindas inferior. Di dalam Praktik penindasan tersebut, penindas akan melakukan eksploitasi terhadap tertindas dalam berbagai bidang, baik ekonomi, sosial, politik, kebijakan, dan ideologi. Hal tersebut berujung pada tenggelamnya kesadaran manusia yang tertindas. Sebagai saluran yang mampu memberikan pencerahan kepada manusia terhadap adanya penindasan, ternyata pendidikan sendiri tidak luput dari praktik penindasan itu sendiri. Mula-mula praktik penindasan yang terjadi adalah dengan mengaburkan realitas objektif. Pendidikan seolah-olah terpisah dari realitas dan menjadi bagian yang independen dari dunia. Pendidikan yang seperti ini tidak mengakomodir fenomena sosial dan historitisas dari manusia sebagai suatu kajian untuk membangun 17 keilmuan. Budaya pendidikan seperti ini biasa disebut dengan budaya positivisme. Budaya positivisme merupakan penyerapan rasionalitas teknokratik yang sudah menjadi bentuk dari hegemoni kultural, dan merupakan bagian dari rasionalitas yang menjelaskan bahwa pengetahuan berkembang dengan dominasi metodologi ilmiah yang sangat ketat, pun mereduksi konstruksi pengetahuan menjadi sekedar ilmu yang dibangun berdasarkan pada generalisasi, dekskripsi, klasifikasi berbagai fenomena sosial Rakhmat Hidayat, 2013:77. Budaya Positivisme pada pendidikan mengklaim bahwa dirinya merupakan sesuatu yang bebas nilai, yaitu independen, tidak memiliki hubungan dengan aspek sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Maka sifat dari budaya positivisme adalah anti historisitas. Anti historisitas budaya positivisme diwujudkan dengan pemberian perlakuan yang sama terhadap semua pebelajar pada proses pembelajaran. Aspek-aspek seperti lingkungan sosial, budaya, ekonomi dari masing-masing pebelajar tidak mendapat perhatian dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Sehingga yang terjadi adalah tidak ada kesinambungan antara realitas dalam kehidupan pebelajar sehari-hari dengan apa yang ia pelajari di institusi pendidikan. Sifat-sifat positivisme tersebut yang akhirnya dimanfaatkan oleh kaum penindas untuk melanggengkan status quo dan bahkan saat ini budaya positivisme sudah menjadi hegemoni. Hegemoni menurut Gramsci dalam H.A.R Tilaar 2003:77 adalah kondisi sosial dalam semua aspek kenyataan sosial yang didominasi dan disokong oleh kelas tertentu. Ketika 18 budaya Positivisme telah menjadi hegemoni yang dilancarkan oleh kaum penindas, maka manusia akan tenggelam dalam realitas, tidak mampu menyadari atas kepentingan siapa dia bertindak, dan akan kehilangan daya kritis. Menurut Gramsci, bahwa saat ini hegemoni tidak saja merupakan ideologi hegemonik yang berupa wacana tetapi juga praktik materi yang membentuk struktur pengalaman sehari-hari. Termasuk saat ini pengalaman-pengalaman praktis yang ada di sekolah. Praktik penindasan dalam institusi pendidikan juga dapat dilihat dalam relasi yang dibangun di dalam kelas. Dalam konteks ini yang dibicarakan adalah antara guru dan pebelajar. Relasi konvensional ini menempatkan guru sebagai suatu otoritas yang memiliki kekuasaan penuh terhadap pebelajar. Kekuasaan penuh tersebut diwujudkan dalam kontrol terhadap kurikulum, aturan-aturan ketat, dan hal-hal lain yang melemahkan dan mematikan daya kritis pebelajar. Pola-pola komu-nikasi antara guru dan pebelajar di dalam kelas juga merupakan pengejawantahan dari praktik penindasan yaitu dengan menempatkan pebelajar sebagai pendengar sedangkan guru sebagai pembicara yang bertugas untuk memberi ilmu pebelajar. Pola konvensional seperti ini diandaikan sebagai “gaya bank” oleh Paulo Freire. Gaya bank menurut paulo freire adalah pola komunikasi satu arah yang dilakukan oleh guru dengan menyampaikan pernyataan-pernyataan dan pebelajar diarahkan untuk menerima, mencatat, menghafal, dan mengulangi sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh guru. Maka 19 dari itu pola seperti ini persis dengan kegiatan menabung di bank. Dominasi dengan pola berceramah seperti itu oleh Ira Shor juga disebut dengan Teacher Talk. Pola komunikasi satu arah yang demikian akan menimbulkan dampak yang akan melemahkan pebelajar, sehingga akan tercipta suatu kebiasaan yang dinamakan culture of silence. Adapun ciri-ciri pembelajaran gaya bankteacher talk adalah sebagai berikut: a guru mengajar dan pebelajar diajar, b guru mengetahui segala sesuatu dan pebelajar tidak tahu apa-apa, c guru berpikir dan pebelajar dipikirkan, d guru bercerita dan pebelajar patuh mendengarkan, e guru menentukan peraturan dan pebelajar diatur, f guru memilih serta memaksakan pilihan dan pebelajar menyetujui, g guru berbuat dan pebelajar membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan guru, h guru memilih bahan serta isi pelajaran dan pebelajar tanpa diminta pendapat diminta menyesuaikan diri dengan pelajaran itu, i guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatan, yang guru lakukan untuk menghalangi kebebasan pebelajar, j guru adalah subjek dalam belajar dan pebelajar adalah objek belaka Paulo Freire, 1985:51-52. Kebiasaan tersebut memiliki be-berapa dimensi berdasarkan temuan dan pengalaman lapangan Ira Shor dalam Rakhmat Hidayat 2013:105 yaitu : pertama, berkembangnya peran yang pasif dari pebelajar dalam kelas-kelas tradisional dipengaruhi oleh model mengajar yang membosankan sehingga tidak menghasilkan daya tarik di kalangan pembelajar; kedua, terjadi pembelajaran pasif dikarenakan otoritas guru 20 yang dianggap sebagai kebenaran, sehingga pebelajar menjadi subordinasi dari guru. salah satu hal yang signifikan yang disebabkan dari kondisi seperti di atas adalah apa yang dinamakan oleh Ira Shor dengan sebutan Siberian Syndrome, yaitu kondisi yang tidak demokratis di dalam kelas sehingga menyebabkan pebelajar duduk menjauhi guru. Hal tersebut telah menjadi pola psikologis yang berulang-ulang, yang diakibatkan dari otoritas guru yang terlalu besar kepada pebelajar sehingga pebelajar menganggap hal tersebut sebagai ancaman. Praktik penindasan yang mengejawantah ke dalam praktik pendidikan, akan menimbulkan kekhawatiran terhadap kemanusiaan. Seharusnya lembaga pendidikan menjadi sarana dalam mengasah nilai- nilai kemanusiaan yang di dalamnya terdapat semangat perjuangan untuk melawan kebodohan, melawan penindasan, membela yang lemah, dan memberantas ketidakadilan. Pendidikan bukan sesuatu yang bebas nilai karena pendidikan mengandung kekuatan politis seperti disebutkan oleh john Storey dalam what is cultural studies H.A.R Tilaar, 2003:xxiii : ”...pedagogy does not represent a neutral site, free from the operations of power and politcs. Far from being the simple transmissiion of ready-made information, pedagogy is for Giroux a site of struggle, a terrain where the complex relations between knowledge and power are worked over”. Pedagogi Kritis adalah upaya untuk mengembalikan cita-cita pen- didikan sebagai arena perjuangan dalam melawan penindasan. Melawan penindasan dengan melakukan upaya-upaya penyadaran Pedagogi Kritis mencoba memperjelas posisi pendidikan sebagai sebuah gerakan 21 pendidikan yang konsen terhadap kemanusiaan. Pedagogi Kritis mengkaji bagaimana pendidikan dapat menyediakan alat bagi individu untuk mengembangkan potensi dan memperkuat demokrasi, serta mengembangkan sebuah masyarakat yang egaliter Rakhmat Hidayat, 2013:13.

4. Pembelajaran versi Pedagogi Kritis