1
BAB 1 PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi latar belakang masalah mencakup paparan fenomena yang terjadi serta hasil beberapa penelitian sebelumnya yang relevan dengan
penelitian kompetensi interpersonal, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk bisa mempertahankan hidupnya. Salah satu cara untuk bisa
mempertahankan hidup manusia adalah dengan berkomunikasi. Komunikasi merupakan suatu proses dua arah yang menghasilkan pertukaran informasi dan
pengertian antara masing-masing individu yang terlibat Berko, Aitken Wolvin, 2010. Komunikasi merupakan dasar dari seluruh interaksi antar
manusia. Karena tanpa komunikasi, interaksi antar manusia, baik secara perorangan, kelompok maupun organisasi tidak mungkin terjadi.
Ditinjau dari sudut perkembangan manusia, kebutuhan untuk berinteraksi yang paling menonjol terjadi pada masa remaja. Pada masa remaja, individu
berusaha untuk menarik perhatian orang lain, mendapatkan popularitas dan kasih sayang dari teman sebaya. Semua hal tersebut akan diperoleh apabila
remaja mampu berinteraksi secara efektif. Agar lebih berhasil dalam menjalin interaksi antar teman sebaya maupun
lingkungan sekitar, diperlukan adanya kompetensi atau kemampuan dalam diri remaja untuk menjalin hubungan secara efektif. Kemampuan tersebut disebut
dengan kompetensi interpersonal. Menurut Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis dalam Paulk, 2008, kompetensi interpersonal adalah keterampilan atau
kemampuan yang dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain, kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh individu tak
terkecuali para remaja. Secara umum, kompetensi interpersonal didefinisikan sebagai kemampuan
individu untuk berinteraksi dengan orang lain secara efektif Spitzberg Cupach, 2012. Individu yang mempunyai kompetensi interpersonal yang tinggi akan
mampu menjalin komunikasi yang efektif dengan orang lain, mampu berempati secara baik, mampu mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang
lain dan dapat dengan cepat memahami temperamen, sifat dan kepribadian orang lain, mampu memahami suasana hati, motif dan niat orang lain semua
kemampuan ini akan membuat remaja tersebut lebih berhasil dalam berinteraksi dengan orang lain. Fisher dan Adams 1994 menjelaskan bahwa dengan
kompetensi interpersonal akan mengembangkan perilaku empati yang memungkinkan individu untuk mengerti dan merespon perasaan orang lain.
Kesadaran kognitif akan pentingnya kompetensi interpersonal dalam diri individu ternyata tidak selamanya dapat tumbuh dan berkembang secara baik
pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Setidaknya secara empirik kerap ditemukan ada individu yang mengalami konflik dengan sesamanya tidak
berusaha menyelesaikan konflik dengan baik, namun justru memilih menyelesaikannya dengan pertengkaran. Kemampuan untuk mengatasi konflik
dengan baik merupakan indikasi adanya kompetensi interpersoanl, hal ini
sebagaimana diungkap oleh Buhrmester dalam Paulk, 2008 bahwa ciri adanya kompetensi interpersonal pada individu adalah kekampuan memulai kontak,
dukungan emosional, keterbukaan, bersikap asertif, dan mengatasi konflik. Problem kompetensi interpersonal juga terjadi pada diri siswa remaja
SMA N 6 Tangerang Selatan, hal tersebut sebagaimana dilaporkan dari hasil wawancara dengan salah satu guru SMA N 6 Tangerang Selatan, bahwa banyak
persoalan pribadi dan kompetensi interpersonal di kalangan siswa yang meliputi: kesulitan hubungan dengan sesama maupun lawan jenis, kurang mampu
mengendalikan emosi, sering terlibat konflik dengan teman. Selain itu banyak siswa yang mengeluhkan persoalan pribadi yang pada gilirannya dapat
menyulitkan mereka dalam melakukan hubungan interpersonal seperti, rendah diri, sikap tertutup, kecemasan tinggi, tidak mampu mengendalikan diri, dan
mudah dipengaruhi orang lain. Pentingnya kompetensi interpersonal ditujukan kepada para remaja dapat
dilihat dari banyaknya penelitian yang dilakukan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Chow, Ruhl, dan Buhrmester 2013. Dalam
penelitiannya Chow et al. 2013 menjelaskan bahwa kompetensi interpersonal penting bagi kualitas hubungan pertemanan pada remaja. Remaja yang miliki
kemampuan untuk berbagi perasaan dan mampu menempatkan diri sesuai dengan perspektif orang lain, dapat meningkatkan kesejahteraan dalam hubungan
pertemanannya. Penelitian lain yang mendukung pentingnya kompetensi interpersonal
pada remaja adalah penelitian yang dilakukan oleh Mahoney, Cairns, dan Farmer
2003, yang menjelaskan bahwa dengan kompetensi interpersonal mampu meningkatkan kesuksesan seorang remaja dalam bidang pendidikan. Mahoney et
al. 2003 menjelaskan bahwa remaja yang memiliki kompetensi interpersonal yang tinggi mampu mengatur dengan baik di bidang karir dan pendidikan ketika
mereka beranjak dewasa. Dari beberapa penelitian di atas, dapat dilihat bahwa pada masa remaja
penting untuk memiliki kompetensi interpersonal. Hal ini juga didukung penelitian yang dilakukan oleh Buhrmester 1990 yang menjelaskan bahwa
kompetensi interpersonal sangat penting di miliki oleh para remaja dibandingkan pra-remaja. Karena dibandingkan anak pra-remaja, pada masa remaja lebih di
tuntut untuk memiliki hubungan pertemanan yang dekat dan terbuka. Para remaja harus bisa memulai percakapan dan memiliki hubungan pertemanan di
luar kelas. Mereka harus memiliki kemampuan untuk membuka diri mengenai informasi pribadi dan dengan bijakasana dapat memberikan dukungan emosional
kepada teman-temannya. Namun, tidak banyak para remaja yang berhasil dalam hubungan
interpersonalnya. Banyak remaja yang gagal dalam mengembangkan kompetensi interpersonal sehingga mereka mengalami banyak hambatan dalam dunia
sosialnya. Akibatnya mereka mudah tersisihkan secara sosial. Seringkali konflik interpersonal juga menghambat remaja untuk mengembangkan dunia sosialnya
secara matang. Akibat dari hal ini, remaja merasa tidak memiliki harga diri dan suka mengisolasi diri. Pada akhirnya menyebabkan remaja mudah menjadi
depresi dan kehilangan kebermaknaan hidup. Dengan demikian diperlukan
hubungan yang baik antar teman sebaya agar perkembangan sosial remaja bisa berjalan dengan normal.
Hal ini sesuai dengan pendapat Santrock 2002, yang menjelaskan bahwa hubungan yang baik antarteman sebaya penting bagi perkembangan sosial yang
normal. Isolasi sosial, atau ketidakmampuan untuk “melebur” ke dalam suatu jaringan sosial, diasosiasikan dengan banyak kenakalan dan masalah. Dalam
suatu penelitian menjelaskan bahwa hubungan yang buruk di antara teman-teman sebaya pada masa remaja diasosiasikan dengan suatu kecenderungan untuk putus
sekolah dan perilaku nakal pada masa remaja. Dan pada penelitian lain menunjukkan bahwa hubungan yang harmonis di antara teman-teman sebaya
pada masa remaja diasosiasikan dengan kesehatan mental yang positif pada tengah baya Santrock, 2002.
Beberapa fenomena yang banyak terjadi saat ini mengenai buruknya hubungan teman sebaya yang diakibatkan rendahnya kompetensi interpersonal
pada remaja yaitu bisa dilihat dari kasus kenakalan remaja yang marak terjadi. Salah satunya adalah tawuran. Contoh tawuran yang dilakukan oleh pelajar dari
SMA N 6 dengan pelajar dari sekolah lain. Tawuran ini disebabkan aksi saling mengejek di media sosial yang mengakibatkan satu pelajar dari SMA N 6
mengalami luka di bagian keningnya sindonews.com, 2014 Contoh tawuran lainnya yaitu yang tejadi pada pelajar SMK Budi Murni
dengan SMK Pelayaran. Tawuran ini juga disebabkan karena saling mengejek. megepolitan.kompas.com, 2012. Selain tawuran kasus bullying juga merupakan
kasus remaja yang diakibatkan oleh hubungan yang buruk antar teman sebaya.
Contoh kasus bullying terjadi pada siswa SD di Bukittinggi. Kasus tersebut juga terjadi karena aksi saling mengejek. Karena tidak senang orang tuanya di hina,
maka pelaku memukul korban Republika.co.id, 2014. Hasil kajian Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter tahun 2014 menyebutkan, hampir
setiap sekolah di Indonesia ada kasus bullying, meski hanya bullying verbal dan psikologismental. Contoh bullying verbal seperti membentak, meneriaki,
memaki, menghina, mempermalukan, menolak, mencela, merendahkan, atau mengejek. Sedangkan bullying psikologismental seperti memandang sinis,
memelototi, mencibir, hingga mendiamkan. Melihat kompleksnya kasus-kasus bullying yang ada, Susanto selaku Ketua Konsorsium Nasional Pengembangan
Sekolah Karakter menilai bahwa Indonesia sudah masuk kategori “darurat bullying di sekolah”. Karena itu, negara perlu segera melakukan intervensi
beritasatu.com, 2014. Dilihat dari beberapa kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa seorang
remaja yang memiliki kompetensi interpersonal yang rendah akan memicu perilaku-perilaku buruk dan akan berdampak pada hubungan interpersonalnya.
Selain itu pada masa remaja juga rentan terhadap munculnya konflik, sehingga sangat penting bagi remaja untuk memiliki kompetensi interpersonal yang tinggi.
Hal ini sesuai dengan kesimpulan dari beberapa ahli Psikologi dalam Shantz dan Hartup, 1992 yang menjelaskan bahwa masa remaja memang rentan terhadap
munculnya berbagai konflik. Terdapat berbagai alasan yaitu pengaruh gelombang hormon pada masa remaja, remaja mulai mengantisipasi tuntutan
peran masa dewasa, perkembangan kemampuan kognitif remaja yang mulai
memahami ketidakkonsistenan dan ketidaksempurnaan orang lain dan mulai melihat persoalan-persoalan yang terjadi sebagai persoalan pribadi daripada
memberikannya pada otoritas orang tua, remaja mengalami transisi tahapan perkembangan
dan perubahan-perubahan
menuju kematangan
yang meningkatkan kemungkinan timbulnya konflik.
Dalam menjalin hubungan dengan lingkungan tentu kita harus mampu menyesuaikan diri agar terciptanya hubungan yang efektif. Maka dibutuhkan
konsep diri pada diri individu. Konsep diri merupakan kerangka acuan frame of reference dalam berinteraksi dengan lingkungan secara fenomenologis dan
ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia
menunjukkan sesuatu kesadaran diri self awareness dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti ia lakukan terhadap
dunia di luar dirinya Fitts Warren, 1996. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartanti 2006 yang
menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan kompetensi interpersonal pada pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas
Diponegoro UKM Undip. Semakin positif konsep diri yang dimiliki pengurus UKM Undip, maka semakin tinggi kompetensi interpersonal yang dimiliki.
Sebaliknya, semakin negatif konsep diri pengurus UKM Undip, maka semakin rendah kompetensi interpersonal yang dimiliki.
Hartanti 2006 menjelaskan bahwa dalam penelitiannya membuktikan bahwa konsep diri merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan
keberhasilan seorang pengurus dalam menjalin hubungan dengan rekannya, seorang pengurus yang mampu menerima diri apa adanya akan memiliki
penghargaan yang tinggi terhadap dirinya dan memiliki pandangan yang realistik tentang keterbatasannya akan lebih mampu menjalin hubungan interpersonalnya
dengan orang lain. Penelitian lain juga dilakukan oleh Kresnawati 2009 mengenai hubungan
antara konsep diri dengan kompetensi interpersonal pada anggota Rotaract Club Semarang. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan kompetensi interpersonal pada anggota Rotaract Club Semarang. Semakin positif konsep diri
yang dimiliki maka semakin tinggi pula kompetensi interpersonal, demikian pula sebaliknya.
Jika para remaja telah mengenal konsep dirinya dengan baik tentu akan berusaha menyesuaikan dan memposisikan diri dengan orang yang diajak
berbicara dengan menjaga sikap yang baik. Sehingga tidak menimbulkan perdebatan yang memacu timbulnya perkelahian. Remaja yang memiliki konsep
diri positif menunjukkan bahwa remaja tersebut memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu untuk menciptakan hubungan interpersonal yang baik, dengan
memposisikan diri dengan orang lain agar dapat saling menghargai satu sama lain. Sebaliknya, remaja yang memiliki konsep diri negatif tidak memiliki
keyakinan dengan kemampuan yang dimiliki, sehingga sulit untuk mengkomunikasi apa yang dirasakan dan dipikirkannya Rakhmat, 2005.
Selain konsep diri, trait kepribadian juga merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi kompetensi interpersonal. Seperti yang diungkapkan oleh Nashori 2008 kepribadian juga mempengaruhi kompetensi interpersonal.
Dalam penelitian ini peneliti memilih pendekatan trait kepribadian dari aspek big five yaitu neuroticism N, extraversion E, openness to experience O,
agreebleness A, dan conscientiousness C. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Frisbie, Fitzpatrick, Feng, dan Crawford 2000 mengenai “Women’s
Personality Traits, Interpersonal Competence and Affection for Dating Parteners: A Test of the Contextual Model”. Frisbie et al. 2000 menjelaskan salah satu
hipotesisnya yaitu sejauh mana Big Five Personality berkontribusi terhadap kompetensi interpersonal. Big Five Personality tersebut adalah extraversion,
neuroticism, agreeableness, conscientiousness dan openness to experience. Sedangkan aspek dari kompetensi interpersonal adalah self-disclosure, emotional
support, assertion, dan conflict resolution. Dari hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa agreeableness berhubungan dengan conflict resolution dan
emotional support, conscientiousness juga berhubungan dengan assertion dan neuroticism secara negatif berhubungan dengan conflict resolution. Sedangkan
ekstraversion dan openness secara signifikan tidak berhubungan dengan aspek kompetensi interpersonal. Berdasarkan penelitian tersebut, baru tiga dari lima
trait kepribadian big five yang ditemukan memiliki pengaruh dengan kompetensi interpersonal, yiatu agreeableness, conscientiousness, dan neuroticism.
Meskipun begitu, peneliti juga ingin melihat kedua trait kepribadian big five lainnya. Peneliti mengambil pendekatan big five personality sebagai variabel
kepribadian yang mempengaruhi kompetensi interpersonal dikarenakan
pendekatan ini menggunakan trait kepribadian yang terdiri dari lima faktor besar yang telah diakui dan digunakan di berbagai negara.
Selanjutnya Paulk 2008, menjelaskan bahwa seseorang yang kompetensi interpersonalnya baik, dilaporkan memiliki kesejahteraan dan kecemasan-depresi
serta loneliness yang lebih rendah. Maka semakin tinggi kompetensi interpersonal pada diri seseorang maka semakin rendah kecenderungan seseorang
mengalami depresi dan loneliness. Loneliness menurut Peplau dan Perlman dalam Friedman, 1998. adalah pengalaman yang tidak menyenangkan yang
terjadi ketika seseorang memiliki hubungan sosial yang rendah, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Sedangkan loneliness menurut Salkind 2006 adalah seseorang yang memiliki kepuasan dalam berinteraksi yang rendah kepada teman dan
keluarganya. Lebih lanjut Salkind menjelaskan bahwa kesepian dan kesendirian aloneliness adalah berbeda; kesendirian dapat dinikmati ketika seseorang ingin
sendirian, sedangkan kesepian dapat dirasakan ketika seseorang yang sedang bersama teman-temannya namun dia tetap merasa kesepian. Kemudian dalam
bukunya, Salkind juga menjelaskan bahwa terdapat penelitian yang menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkat loneliness yang tinggi cenderung kurang
terampil dan lebih menolak untuk berinteraksi dengan orang asing dibandingkan individu yang memiliki tingkat loneliness yang rendah.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Buhrmester et al. 1988, terdapat hubungan negatif antara loneliness dengan kompetensi interpersonal.
Dalam penelitiannya, Buhrmester meneliti mengenai pengaruh tipe loneliness
yaitu state loneliness dan trait loneliness. Dari hasil penelitiannya menemukan bahwa state loneliness dan trait loneliness berhubungan secara negatif terhadap
kompetensi interpersonal. State loneliness adalah perasaan kesepian yang dirasakan dalam situasi yang spesifik, kesepian yang bersifat temporer
sementara yang seringkali disebabkan oleh perubahan yang dramatis dan akan hilang bila telah menemukan jaringan sosial baru. Sedangkan trait loneliness
adalah perasaan kesepian yang dirasakan dalam situasi secara umum, memiliki kemampuan sosial yang rendah, pola perasaan yang stabil, sedikit berubah
tergantung situasi, biasanya dialami oleh orang-orang yang memiliki self-esteem yang rendah Peplau dan Perlman, dalam Friedman, 1998. Dengan
berpengaruhnya tipe loneliness ini penelitipun tertarik untuk meneliti pengaruh tipe loneliness yaitu state loneliness dan trait loneliness terhadap kompetensi
interpersoal. Perlu ditekankan bahwa konsep dari trait pada loneliness dalam penelitian
ini, berbeda dengan konsep dari trait pada kepribadian big five. Trait pada loneliness merupakan perasaan kesepian yang dirasakan dalam waktu beberapa
tahun, sedangkan trait dalam kepribadian merupakan sifat-sifat kepribadian dalam diri individu yang menetap dan konsisten. Trait loneliness disini adalah
bagaimana seseorang merasa kesepian berdasarkan pengalaman dari ketidaksesuaian hubungan yang diharapkan dengan apa yang dialami dan
perasaan kesepian ini telah dirasakan paling sedikitnya dalam setahun. Sedangkan traits pada kepribadian adalah kekonsistenan perilaku yang
dimunculkan oleh individu pada stimulus yang berbeda sehingga menjadi
karakter bagi masing-masing individu. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini berjudul “Pengaruh konsep
diri, trait kepribadian big five dan tipe loneliness dan jenis kelamin terhadap kompetensi interpersonal pada remaja SMAN N 6 Tangerang Selatan”.
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah