Gejala ISPA tak lepas dari faktor-faktor yang dapat memicunya. Kadar debu dalam rumah merupakan faktor penting
sebagai pencetus terjadinya gejala ISPA. Kadar debu dalam penelitian ini dipengaruhi oleh faktor lainya. Berdasarkan hasil pengukuran
PM10 didalam kamar balita, didapatkan kadar PM10 yang melebihi nilai ambang batas menurut standar WHO yaitu sebesar 70µgm
3
. Hal ini lah yang menjadi asumsi peneliti bahwa balita yang tinggal
disekitar industri batu kapur mengalami ISPA, dimana PM10 sebagai pemicu terjadinya ISPA pada balita tetapi juga dipengaruhi dengan
faktor risiko lainnya.
C. Analisis Bivariat
1. Analisis Hubungan Status Gizi dengan Gejala ISPA pada Balita
Status gizi anak balita dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan perbandingan berat badan menurut umur BBU
berdasarkan standar HAZ, WHO-NCHS. Adapun hasil yang diperoleh yaitu balita yang status gizi nya kurang berjumlah 10,3 sedangkan
balita dengan status gizi baik sebanyak 89,7. Berdasarkan tabel 5.15. diketahui balita yang status gizi kurang
dan menderita ISPA adalah 71,4 serta balita dengan status gizi kurang tidak mengalami ISPA adalah 28,6. sedangkan balita yang status gizi
baik dan menderita ISPA adalah 55,7 serta balita dengan status gizi baik tidak mengalami ISPA 44,3. Berdasarkan hasil uji chi square
didapatkan nilai pvalue 0,690 pvalue 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status
gizi dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu desa tamansari tahun 2013.
Menurut Almatsler 2003, timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan karena asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit.
Anak yang mendapatkan cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak
yang tidak memperoleh cukup makanan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah sehingga mudah terserang penyakit.
Status gizi merupakan faktor risiko terhadap kejadian ISPA. Berdasarkan Nuryanto 2012 menyatakan bahwa status gizi kurang
maka akan bersiko untuk terjadinya ISPA. Balita dikatakan status gizinya baik jika nilai perbandingan antara BB dan umur adalah dengan
SD 2 dan apabila nilai SD -2 maka dikatakan status gizi kurang. Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan gejala ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Nuryanto 2012 yang menyatakan bahwa status gizi kurang pada balita berisiko mengalami kejadian penyakit ISPA 8,40 kali
dibandingkan balita dengan status gizi baik. Tidak adanya hubungan antara status gizi dengan gejala ISPA
pada balita, hal ini diduga jika dilihat proporsi antara status gizi baik
dan status gizi kurang lebih besar status gizi baik yaitu sebesar 89,7 dan ini tidak sebanding dengan status gizi kurang yaitu sebesar
10,3. Sehingga tidak terjadi hubungan yang signifikan jika dibandingkan juga dengan distribusi gejala ISPA.
Walaupun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan gejala ISPA, petugas posyandu sebaiknya tetap
melakukan posyandu secara rutin sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dan menghimbau kepada ibu balita agar tetap menjaga
asupan makanan yang diberikan oleh anak, selain itu petugas posyandu juga dapat memberikan makanan pendamping asi kepada balita seperti
susu, biskuit dan bubur kacang hijau agar dapat mengurangi status gizi kurang.
2. Analisis Hubungan Status Imunisasi dengan Gejala ISPA pada