a Bibir atau kulit membiru b Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
c Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah d Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas
e Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba f Tenggorokan berwarna merah
ISPA pada umumnya adalah infeksi bakteri pada berbagai area dalam saluran pernafasan, termasuk hidung, telinga tengah, pharynx, larynx, trachea,
bronchi dan paru. Gejalanya dapat bervariasi, antara lain meliputi WHO, 2009.
1 Batuk. 2 Sesak nafas.
3 Tenggorokan kering. 4 Hidung Tersumbat.
F. Masalah ISPA di Indonesia
Menurut Lindawaty 2010 Penyakit ISPA dan gangguan saluran pernafasan lain selalu menduduki peringkat pertama dari sepuluh penyakit
terbanyak yang dilaporkan oleh pusat pelayanan kesehatan masyarakat seperti puskesmas, klinik dan rumah sakit. Diketahui bahwa penyebab terjadinya
ISPA dan penyakit gangguan saluran pernapasan lain adalah rendahnya kualitas udara di dalam rumah dan atau di luar rumah baik secara biologis,
fisik, maupun kimia. Hampir semua penyebab penyakit dan kematian yang
terkait dengan pencemaran udara tersebut tercatat dan dilaporkan oleh Departemen Kesehatan melalui rumah sakit, puskesmas, dinas kesehatan
propinsi dan kotakabupaten. Program Pemberantasan Penyakit P2 ISPA di Indonesia mulai tahun
1984, bersamaan dengan dilancarkannya pemberantasan penyakit ISPA di tingkat global oleh WHO. Pola tatalaksana ISPA tahun 1984
mengklasifikasikan penyakit ISPA dalam 3 tingkatan keparahan, yaitu: ISPA ringan, ISPA sedang, dan ISPA berat. Klasifikasi ini menggabungkan
penyakit infeksi akut paru, infeksi akut ringan, dan infeksi tenggorokan pada anak dalam satu kesatuan.
Pada lokakarya ISPA Nasional tahun 1988 dalam Lindawaty 2010, disosialisasikan pola baru tatalaksana kasus ISPA. Tatalaksana pola baru ini
selain menggunakan cara klasifikasi gejala penyakit yang praktis dan sederhana dengan tepat guna, juga memisahkan antara tatalaksana penyakit
pneumonia dan tatalaksana penderita penyakit infeksi akut telinga dan tenggorokan.
Lokakarya Nasional ke 3 tahun 1990 di Cimacan telah menyepakati untuk menerapkan pola baru tatalaksana kasus ISPA di Indonesia dengan
melakukan adaptasi sesuai dengan situasidan kondisi setempat. Dengan menerapkan pola ini, sejak tahun 1990 Pengendalian Penyakit ISPA
menitikberatkan atau memfokuskan kegiatan penanggulangannya pada pneumonia balita, karena penyakit pernapasan merupakan penyebab yang
tertinggi kematian pada usia di bawah 5 tahun, dimana sebagian besar disebabkan karena pneumonia.
Pada tahun 1997 WHO mempublikasikan tatalaksana penderita balita dengan menggunakan pendekatan Integrated Management Childhood Illness
IMC atau Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS yang sekaligus merupakan model tatalaksana kasus untuk berbagai penyakit anak, yaitu
ISPA, diare, malaria, campak, gizi kurang dan kecacingan. Review Nasional Pelaksana MTBS tahun 2003 menyepakati perlunya
MTBS dilaksanakan diseluruh Puskesmas di Indonesia. Namun dalam penerapannya, untuk memperoleh jaminan pelayanan MTBS yang berkualitas
dan mencakup sasaran yang luas ternyata memerlukan dukungan sumber daya yang sangat besar, baik untuk biaya pelatihan, proses pelaksanaannya di
puskesmas maupun untuk monitoring dan pembinaan yang berkualitas, teratur dan berkelanjutan.
Belum meratanya ketersediaan sumber daya yang memadai menyebabkan pelaksanaan MTBS di daerah tersendat-sendat dan mengalami
banyak hambatan. Bagi kabupatenkota yang belum mampu melatih dan melaksanakan MTBS di puskesmas dan tetap harus menyediakan pelayanan
kesehatan yang bermutu bagi balita ISPA maka dapat memilih menggunakan prosedur Tatalaksana Standar Penyakit ISPA.
Prosedur lama ini, sejak awal dipublikasikan pada tahun 1988 tidak sepenuhnya ditinggalkan karena memiliki kelebihan yaitu membutuhkan
biaya yang relative lebih murah dalam penyelengaraan pelatihan maupun
pelaksanaan sehari-hari dipuskesmas. Tetapi harus disadari bahwa prosedur ini memiliki beberapa kekurangan dalam hal keterpaduan dengan penyakit
lain jika dibandingkan dengan MTBS. Proporsi penyakit sistem pernapasan sebagai penyebab penyakit
kematian pada bayi dan balita berdasarkan hasil ekstrapolasi dari Survei Kesehatan Rumah Tangga SKRT 2001 menunjukkan hasil bahwa angka
kematian balita akibat penyakit pernapasan adalah 4,91000 balita. Sekitar 80
– 90 dari kematian ini disebabkan oleh pneumonia. Sedangkan berdasarkan hasil Surkenas 2001 proporsi kematian karena sistem pernapasan
pada bayi usia1 tahun sebesar 23,9 di Jawa-bali, 15,8 di Sumatera serta 42,6 di kawasan Timur Indonesia. Pada anak balita usia 1
– 5 tahun sebesar 16,7 di Jawa-bali, 29,4 di Sumatera, 30,3 di kawasan Timur
Indonesia. Berdasarkan tempat tinggal, penyakit pernapasan lebih tinggi di pedesaan yaitu 14,5 dibandingkan dengan perkotaan sebesar 9,0 Depkes
RI, 2003. Dari hasil Survey Mortalitas Subdit ISPA Departemen Kesehatan RI
tahun 2005 yang dilakukan di 10 propinsi menunjukkan bahwa pneumonia masih merupakan penyebab kematian tertinggi pada balita 22,5. Angka
cakupan penemuan penderita pneumonia balita dari tahun ke tahun tidak menunjukkan adanya peningkatan yang berarti. Mulai tahun 2005, dalam
penentuan target Cakupan Penemuan Penderita Penumonia Balita, ditetapkan angka 5 dari jumlah penduduk balita target sebelumnya adalah 10
jumlah penduduk balita. Hal ini berdasarkan hasil Survey Morbiditas Subdit
ISPA Departemen Kesehatan RI tahun 2004 bahwa angka insiden balita batuk dengan napas cepat dalam dua minggu sebelum survey sebesar 5,12
Depkes RI, 2005.
G. Faktor Risiko ISPA