juga mengurangi kelembaban dalam ruangan. Kelembaban tinggi dapat disebabkan karena uap air dari keringat manusia maupun pernapasan.
Kelembaban dalam ruang tertutup dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi kelembaban dibanding diluar ruang. Hal ini
semakin membahayakan kesehatan manusia.
10. Analisis Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan Gejala ISPA
pada Balita
Pada penelitian ini, variabel kepadatan hunian merupakan perbandingan luas kamar dengan jumlah anggota keluarga yang tidur
dalam satu kamar. Adapun hasil yang diperoleh yaitu didapatkan kepadatan hunian yang memenuhi syarat sebanyak 80,9 sedangkan
kepadatan hunian tidak memenuhi syarat sebanyak 19,1. Berdasarkan tabel 5.24. diketahui kepadatan hunian balita yang
lebih dari 2 orang dan mengalami ISPA adalah 50,9 serta kepadatan hunian yang lebih dari 2 orang dan tidak mengalami ISPA sebanyak
49,1. Sedangkan kepadatan hunian yang tidak lebih dari 2 orang dan mengalami ISPA sebanyka 84,6 serta kepadatan hunian yang tidak
lebih dari 2 orang dan tidak mengalami ISPA sebanyak 15,4. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,032 pvalue
0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan gejala ISPA pada balita di
desa tamansari tahun 2013.
Menurut Notoatmojo 2003 kondisi kepadatan hunian sangat penting terutama menyangkut dengan penularan penyakit infeksi antar
individu. Gangguan pernapasan yang disebabkan oleh virus, biasanya disebarkan antar penghuni dan dihantarkan melalui udara, dalam
kondisi dimana rumah dihuni oleh lebih dari batas hunian yang dipersyaratkan maka disamping mengakibatkan kurangnya konsumsi
oksigen juga apabila salah satu anggota keluarga menderita penyakit infeksi, akan mudah menularkan kepada anggota yang lain.
Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin. Ukuran kamar tidur anak yang berumur lebih
kurang 5 tahun minimal 4,5 m
2
dan yang lebih dari 5 tahun minimal 9 m
2
. Kepadatan hunia ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi jumlah penghuni.
Hasil perhitungan analisis bivariat diperboleh bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan gejala ISPA
pada balita. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Nuryanto 2012 yang mengatakan bahwa anak yang tinggal di rumah yang padat 10
m
2
orang akan mendapatkan risiko mengalami ISPA sebesar 3,09 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat
penghuninya. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Listyowati 2013 dan penelitian Angelina 2011 yang menyatakan
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA atau Pneumonia pada balita.
Terdapatnya hubungan antara kepadatan hunian dengan gejala ISPA karena 55 responden kepadatan hunian padat penghuni. Tingkat
kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah keluarga yang menempati
rumah. Luas rumah yang sempit dengan jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah tidak
seimbang. Kepadatan ini memungkinkan bakteri maupun virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke
penghuni yang lainnya. Rumah yang padat penghuni akan menyebabkan sirkulasi udara
dalam ruangan rumah tidak sesuai dengan kata lain pergerakan udara dalam ruangan tersebut akan terhambat mengakibatkan terjadinya
kepengapan, apalagi diperparah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat baik ukuran maupun letaknya akan semakin menyebabkan
terjadinya pencemaran udara di dalam ruang. Sehingga mempermudah penularan penyakit berbasis lingkungan yang salah satunya adalah
ISPA yang ditularkan melalui transmisi udara. Semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit
melalui udara akan semakin mudah dan cepat, oleh karena itu kepadatan hunian dalam tempat tinggal merupakan variabel yang
berperan dalam kejadian ISPA pada balita. Lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya ISPA pada balita yang tinggal didalamnya, untuk itu perlu dilakukan upaya pencegahan agar kejadian ISPA tidak tinggi.
104
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 68 responden di 5 posyandu desa Tamansari, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Gambaran balita di Desa Tamansari yang mengalami gejala ISPA ada 39 balita 57,4, sedangkan balita yang tidak mengalami
gejala ISPA ada 29 balita 42,6. 2. Rata-rata PM10 didalam kamar balita sebesar 162,50 µgm
3
dengan standar deviasi 134,202, nilai minimum 41 µgm
3
dan nilai maximum 628 µgm
3
. Artinya rata-rata konsentrasi PM10 dalam kamar balita melebihi nilai ambang batas yang ditentukan WHO
yaitu sebesar 70 µgm
3
. 3. Rata-rata suhu didalam kamar balita sebesar 28,66
C dengan standar deviasi 1,841 dengan nilai minimum 25
C dan nilai maximum 33
C. Artinya tingkat suhu kamar balita di Desa Tamansari memenuhi persyaratan yang telah ditentukan Depkes RI.
4. Rata-rata kelembaban kamar balita sebesar 86,12 dengan standar deviasi 11,230 dengan nilai minimum 58 dan nilai maximum
99. 5. Frekuensi status gizi balita adalah 10,3 balita di Desa Tamansari
mengalami gizi kurang dan 89,7 balita mengalami gizi baik.