kamar balita dipengaruhi dengan intensitas hujan, karena saat dilakukan pengukuran suhu terjadi hujan, dilihat dari proporsi suhu bahwa rata-
rata suhu memenuhi syarat kesehatan rumah yaitu 28,66 C. Namun
suhu juga sebagai pemicu kejadian ISPA, untuk itu perlu dilakukan upaya agar suhu didalam kamar balita tetap memenuhi syarat yang telah
ditentukan seperti membuka jendela dan pintu setiap pagi, sehingga terjadi sirkulasi udara dan suhu tetap stabil.
5. Analisis Hubungan Kelembaban dengan Gejala ISPA pada Balita
Hasil penelitian terkait variabel kelembaban didapatkan dengan melakukan pengukuran menggunakan alat Hygrometer. Berdasarkan
tabel 5.19. diketahui nilai rata-rata kelembaban yang mengalami gejala ISPA adalah 34,26 dan nilai rata-rata kelembaban yang tidak
mengalami ISPA adalah 34,83. Berdasarkan hasil uji man whitney didapatkan nilai pvalue 0,906 pvalue 0,05. Sehingga dapat
disimpulakn bahwa pada alpha 5 tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kelembaban antara balita yang mengalami gejala
ISPA dengan yang tidak mengalami ISPA di desa tamansari tahun 2013. Menurut Listyowati 2013 Faktor etiologi ini dapat tumbuh
dengan baik jika kondisi yang optimum. Virus, bakteri dan jamur penyebab ISPA untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya
membutuhkan suhu dan kelembapan optimal. Pada suhu dan kelembaban tertentu memungkinkan pertumbuhannya terhambat
bahkan tidak tumbuh dan mati. Tapi pada suhu dan kelembaban tertentu dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan sangat cepat. Hal inilah
yang membahayakan karena semakin sering anak berada dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka anak
terpapar risiko tersebut. Akibatnya makin besar peluang anak untuk terjangkit ISPA.
Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kelembaban dengan gejala
ISPA. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Heru 2012 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan secara signifikan antara
kelembapan dengan kejadian ISPA pada balita. Melihat data diatas dengan adanya perbedaan dengan teori, hal
ini dapat dimungkinkan karena saat melakukan pengukuran kelembaban berbarengan dengan hujan sehingga kelembaban dipengaruhi dengan
suhu hujan saat dilakukan pengukuran yang semestinya kelembaban memenuhi syarat karena terjadi hujan maka kelembaban menjadi tinggi.
Namun Kelembaban di dalam ruangan merupakan faktor yang berpengaruh tehadap kejadian ISPA karena kelembaban sangan erat
kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan faktor etiologi ISPA yang berupa virus, bakteri dan jamur.
Walaupun tidak terdapat hubungan, tetapi kondisi kelembaban yang tidak memenuhi syarat dapat mempengaruhi kejadian ISPA
sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan upaya-upaya:
a. Masyarakat perlu diberikan pengetahuan tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatur kelembapan dalam rumah sehingga
memenuhi syarat kesehatan seperti memperbaiki ventilasi, membuka jendela agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah, memasang
genteng kaca atau fiberglasa. b. Puskesmas diharapakan melakukan pengawasan dan pembinaan
terhadap masyarakat tentang syarat-syarat rumah sehat.
6. Analisis Hubungan Racun Nyamuk Bakar dengan Gejala ISPA