2 Partikulat mode akumulasi diameter 0,1 µm sd 3 µm, berasal dari hasil pembakaran batubara, minyak, bensin, solar dan kayu bakar, hasil
transformasi NOx, SO
2
dan campuran organic, serta hasil proses pada temperature tinggi peleburan logam, pabrik baja.
3 Partikulat kasarcoarse 3 µm, berasal dari resuspensi partikulat industri, jejak tanah di atas jalan raya, suspensi dari kegiatan yang
mempengaruhi tanah pertanian, pertambangan dan jalan tak beraspal, kegiatan konstruksi dan penghancuran, pembakaran minyak dan
batubara yang tidak terkendali,percikan air laut serta sumber biologi.
L. Nilai Ambang Batas Partikulat PM10
Nilai ambang batas PM10 yang dipersyaratkan oleh WHO saat ini adalah sebesar 20 µgm
3
untuk rata-rata pajanan tahunan dan 50 µgm
3
untuk rata-rata pajanan harian selama 24 jam WHO, 2005. Sedangkan baku mutu
udara ambient di DKI Jakarta berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 551 tahun 2001 untuk PM10 adalah sebesar 150 µgNm
3
dalam waktu pengukuran selama 24 jam Gubernur Provinsi DKI Jakarta, 2001.
Nilai batas konsentrasi PM10 di udara untuk melindungi kesehatan masyarakat yaitu 70 µgm
3
WHO, 1987 dalam Purwana, 1999. Hal ini sesuai hasil penelitian yang menunjukkan tinggi konsentrasi PM10 paling
sensitif dan spesifik untuk menduga terjadinya gangguan pernapasan adalah 70 µgm
3
Purwana, 2005.
M. Hubungan Antara PM10 Dengan ISPA
PM10 dapat digunakan sebagai indikator perubahan nilai PEFR yang lebih baik dibandingkan PM 2,5, hal ini karena deposisi partikel yang lebih
besar PM10 terjadi pada saluran pernafasan bagian atas, yang kemudian mengaktifasi sekresi mucus dan menimbulkan konstruksi saluran pernafasan
serta pada akhirnyamenurunkan nilai PEFR Katiyar, et al., 2004. Berbagai studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara
pajanan PM10 terhadap gangguan saluran pernafasan telah banyak dilakukan, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Berdasarkan Penelitian Farieda 2009 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kadar PM10 dalam rumah dengan kejadian ISPA p
0,05 pada balita yang dipengaruhi oleh ventilasi dalam rumah, kepadatan hunian dan lubang asap dapur.
Penelitian Situmorang, 2003 di Kelurahan Cakung Timur, Jakarta Timur menyatakan bahwa kejadian ISPA pada balita yang tinggal di dalam
rumah yang konsentrasi PM10 lebih dari 70 µgm
3
adalah 6,1 kali dibanding balita yang tinggal di rumah yang konsentrasi PM10 kurang atau sama
dengan 70 µgm
3
. Dengan mengontrol faktor ventilasi rumah dan status gizi balita maka angka risiko tersebut akan berkurang menjadi 4,25 kali.
N. Suhu dan Kelembaban