tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 56,5 kali untuk terjadi ISPA dibandingkan PM10 yang memenuhi syarat.
Melihat data diatas dengan adanya perbedaan dengan teori, hal ini dapat dimungkinkan karena jarak antara wawancara gejala ISPA
dengan saat dilakukan pengukuran terlalu lama yaitu satu minggu, bisa saja tidak terjadinya hubungan saat dilakukan wawancara balita dalam
kondisi sehat dan mempunyai daya tahan tubuh yang baik sehingga PM10 tidak menyebabkan gejala ISPA.
Meskipun tidak terdapat hubungan namun dengan demikian tetap perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi pencemaran
PM10 didalam kamar balita, karena PM10 berisiko terhadap kesehatan manusia khususnya pada anak-anak. Untuk itu perlu memberikan
penyuluhan dan pengetahuan kepada masyarakat tentang cara mengurangi pencemaran PM10 dalam kamar balita seperti ventilasi
menggunakan kawat penyaring debu, menanam pohon di depan rumah yang fungsi pohon tersebut sebagai penghambat agar PM10 tidak
masuk kedalam kamar, selalu membersihkan kamar balita secara rutin.
4. Analisis Hubungan Suhu dengan Gejala ISPA pada Balita
Pada penelitian ini variabel suhu merupakan data numerik hasil dari pengukuran menggunakan alat Thermometer. Berdasarkan tabel
5.18. diketahui nilai rata-rata suhu yang mengalami ISPA adalah 35,00 C dan nilai rata-rata suhu yang tidak mengalami ISPA adalah 33,83
C.
Berdasarkan hasil uji man whitney didapatkan nilai pvalue 0,809 pvalue 0,05. Sehingga dapat disimpulakn bahwa pada alpha 5
tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata suhu antara balita yang mengalami ISPA dengan yang tidak mengalami ISPA di 5
posyandu desa tamansari tahun 2013. Suhu udara memiliki peranan sangat penting, suhu akan
berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan manusia. Suhu ruangan, harus dijaga agar tetap memenuhi syarat
dengan cara membuka jendela atau pintu kamar. Suhu berbanding terbalik dengan kelembapan apabila suhu tinggi maka kelembapan
rendah dan sebaliknya. Suhu adalah kandungan uap air yang terdapat di dalam ruang yang besar diukur dengan menggunakan thermometer
dengan satuan pengukuran derajat celcius ºC. Suhu ruangan yang ideal
adalah berkisar
antara 18-30ºC
Keputusan Menteri
No.829MenkesSiuVII1999 tentang
persyaratan kesehatan
perumahan. Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara suhu dengan gejala ISPA pada balita. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Heru 2012
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara suhu dengan kejadian ISPA pada balita.
Melihat data diatas dengan adanya perbedaan dengan teori, hal ini dapat dimungkinkan saat melakukan pengukuran suhu ruangan
kamar balita dipengaruhi dengan intensitas hujan, karena saat dilakukan pengukuran suhu terjadi hujan, dilihat dari proporsi suhu bahwa rata-
rata suhu memenuhi syarat kesehatan rumah yaitu 28,66 C. Namun
suhu juga sebagai pemicu kejadian ISPA, untuk itu perlu dilakukan upaya agar suhu didalam kamar balita tetap memenuhi syarat yang telah
ditentukan seperti membuka jendela dan pintu setiap pagi, sehingga terjadi sirkulasi udara dan suhu tetap stabil.
5. Analisis Hubungan Kelembaban dengan Gejala ISPA pada Balita