status imunisasi lengkap yaitu sebanyak 60 balita dan 8 balita tidak dengan imunisasi lengkap dengan begitu balita mempunyai daya tahan
tubuh yang kuat sehingga tidak terjadi gejala ISPA. Walaupun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara
status imunisasi dengan gejala ISPA, petugas posyandu tetap melaksanakan imunisasi kepada balita yang masih membutuhkan sesuai
dengan umurnya dan menghimbau kepada ibu balita agar membawa balitanya dalam pelaksanaan imunisasi dan diberikan imunisasi kepada
anaknya, selain itu petugas posyandu diharapkan melaksanakan imunisasi dengan menarik agar ibu-ibu tertarik untuk hadir mengikuti
posyandu agar balita dapat mendapatkan imunisasi dengan lengkap sehingga kejadian ISPA dapat berkurang.
3. Analisis Hubungan PM10 dengan Gejala ISPA pada Balita
Pada penelitian ini, data mengenai parameter PM10 dalam rumah diukur langsung pada setiap rumah yang diteliti dengan titik
sampling di ruangan balita sering tidur. Kadar PM10 hanya diukur 1 kali dengan metode sewaktu spot sampling yang digunakan untuk
memeriksa secara acak keadaan sewaktu zat pencemar udara pada tempat-tempat pemeriksaan, sehingga diperoleh gambaran kadar PM10
dalam setiap rumah balita. Berdasarkan tabel 5.17. diketahui nilai rata-rata PM10 yang
mengalami gejala ISPA adalah 35,49 µgm
3
dan nilai rata-rata PM10
yang tidak mengalami ISPA adalah 33,17 µgm
3
. Berdasarkan hasil uji man whitney didapatkan nilai pvalue 0,633 pvalue 0,05. Sehingga
dapat disimpulakn bahwa pada alpha 5 tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata PM10 antara balita yang mengalami ISPA dengan
yang tidak mengalami ISPA di 5 posyandu desa tamansari tahun 2013. Menurut Gertrudist 2010 PM10 mempunyai peran yang lebih
penting daripada sekedar iritan dan merupakan kelompok risiko kesehatan terbesar diantara berbagai ukuran partikulat. PM10
merupakan indikator yang paling cocok untuk pengukuran pencemaran partikulat yang dikaitkan dengan efek terhadap gangguan saluran
pernapasan sehingga kadarnya di dalam rumah tetap harus dijaga jangan sampai melebihi 70 µgm3.
Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa PM10 yang melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan dengan kejadian
ISPA. Semakin lama seorang balita terpajan PM10 maka akan berisiko terhadap kejadian ISPA, karena persyaratan PM10 dalam ruangan yaitu
sebesar 70 µgm3 sedangkan rata-rata PM10 hasil pengukuran yaitu sebesar 162,50 µgm3.
Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar PM10 dalam kamar
balita dengan gejala ISPA pada balita. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Farieda 2009 yang mengatakan ada hubungan yang
bermakna antara PM10 dengan kejadian ISPA pada balita, PM10 yang
tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 56,5 kali untuk terjadi ISPA dibandingkan PM10 yang memenuhi syarat.
Melihat data diatas dengan adanya perbedaan dengan teori, hal ini dapat dimungkinkan karena jarak antara wawancara gejala ISPA
dengan saat dilakukan pengukuran terlalu lama yaitu satu minggu, bisa saja tidak terjadinya hubungan saat dilakukan wawancara balita dalam
kondisi sehat dan mempunyai daya tahan tubuh yang baik sehingga PM10 tidak menyebabkan gejala ISPA.
Meskipun tidak terdapat hubungan namun dengan demikian tetap perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi pencemaran
PM10 didalam kamar balita, karena PM10 berisiko terhadap kesehatan manusia khususnya pada anak-anak. Untuk itu perlu memberikan
penyuluhan dan pengetahuan kepada masyarakat tentang cara mengurangi pencemaran PM10 dalam kamar balita seperti ventilasi
menggunakan kawat penyaring debu, menanam pohon di depan rumah yang fungsi pohon tersebut sebagai penghambat agar PM10 tidak
masuk kedalam kamar, selalu membersihkan kamar balita secara rutin.
4. Analisis Hubungan Suhu dengan Gejala ISPA pada Balita