dan status gizi kurang lebih besar status gizi baik yaitu sebesar 89,7 dan ini tidak sebanding dengan status gizi kurang yaitu sebesar
10,3. Sehingga tidak terjadi hubungan yang signifikan jika dibandingkan juga dengan distribusi gejala ISPA.
Walaupun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan gejala ISPA, petugas posyandu sebaiknya tetap
melakukan posyandu secara rutin sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dan menghimbau kepada ibu balita agar tetap menjaga
asupan makanan yang diberikan oleh anak, selain itu petugas posyandu juga dapat memberikan makanan pendamping asi kepada balita seperti
susu, biskuit dan bubur kacang hijau agar dapat mengurangi status gizi kurang.
2. Analisis Hubungan Status Imunisasi dengan Gejala ISPA pada
Balita
Pada penelitian ini, variabel status imunisasi merupakan imunisasi yang diteriama oleh balita sesuai dengan umurnya. Adapaun
hasil yang diperoleh yaitu balita dengan status imunisasi tidak lengkap yaitu sebesar 11,8 sedangkan balita dengan status imunisasi lengkap
sebanyak 88,2. Berdasarkan tabel 5.16. diketahui balita yang status imunisai
tidak lengkap dan menderita ISPA sebanyak 75,0 serta balita dengan status imunisasi tidak lengkap dan tidak mengalami ISPA sebesar
25,0, sedangkan balita yang imunisasi lengkap dan menderita ISPA adalah 55,0 serta balita dengan status imunisasi lengkap dan tidak
mengalami ISPA sebanyak 45,0. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,451 pvalue 0,05. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu desa tamansari
tahun 2013. Menurut Purnomo 2006 imunisasi sangat penting diberikan
pada anak untuk memperoleh kekebalan terhadap penyakit tertentu. Cakupan imunisasi yang lengkap, meliputi imunisasi BCG anti
tuberkulosis, DPT anti difteri, pertusis dan tetanus, polio anti poliomilitis dan campak anti campak. Imunisasi menjadi salah satu
faktor sangat penting bagi para ibu untuk menjaga agar bayi dan balitanya tetap dalam kondisi sehat dan terlindungi dari berbagai
penyakit. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan,
imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu, imunisasi DPTHB pada bayi
umur dua, tiga, empat bulan dengan interval minimal empat minggu, dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan Depkes RI,
2008. Imunisasi merupakan salah satu bentuk intervensi yang sangat
efektif menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi serta balita dari
berbagai jenis penyakit. Makin lengkap status imunisasi, semakin kecil risiko terkena penyakit yang dapat dicegah. Sebaliknya risiko terkena
penyakit infeksi juga akan lebih besar, bila imunisasi pada anak tidak lengkap.
Status imunisasi merupakan faktor yang menjadi risiko mengalami kejadian ISPA, Pemberian imunisasi pada balita sangat
bermanfaat, sejalan dengan penyakit ISPA sebagai penyebab utama kematian balita dapat dicegah dengan imunisasi. Meskipun dari hasil
statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna namun status imunisasi tidak lengkap berisiko dengan kejadian ISPA dibandingkan
dengan balita dengan imunisasi lengkap. Balita dikatakan baik jika balita mendapatkan imunisasi sesuai
dengan umur, sehingga diharapkan kepada ibu balita agar membawa anaknya untuk diberikan imunisasi sesuai dengan umur agar kesehatan
balita tetap terjaga. Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan gejala ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejala dengan penelitian Sugiharto
2012 yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan terjadinya ISPA pada balita.
Tidak adanya hubungan antara status imunisasi dengan gejala ISPA pada balita, hal ini diduga jika dilihat proporsi antara status
imunisasi lengkap dengan status imunisasi tidak lengkap lebih besar
status imunisasi lengkap yaitu sebanyak 60 balita dan 8 balita tidak dengan imunisasi lengkap dengan begitu balita mempunyai daya tahan
tubuh yang kuat sehingga tidak terjadi gejala ISPA. Walaupun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara
status imunisasi dengan gejala ISPA, petugas posyandu tetap melaksanakan imunisasi kepada balita yang masih membutuhkan sesuai
dengan umurnya dan menghimbau kepada ibu balita agar membawa balitanya dalam pelaksanaan imunisasi dan diberikan imunisasi kepada
anaknya, selain itu petugas posyandu diharapkan melaksanakan imunisasi dengan menarik agar ibu-ibu tertarik untuk hadir mengikuti
posyandu agar balita dapat mendapatkan imunisasi dengan lengkap sehingga kejadian ISPA dapat berkurang.
3. Analisis Hubungan PM10 dengan Gejala ISPA pada Balita