Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
Konflik yang dialami responden dengan rekan sekantornya juga seringkali membuat responden merasa malas untuk masuk ke kantor. Responden merasa jika
hadir di kantor justru lebih banyak mudharat-nya, karena pembicaraan yang ada hanya seputar gosip saja. Namun responden mengesampingkan rasa malas ini jika
responden memang diwajibkan untuk hadir di kantor. Beban yang dialami responden seringkali membuat responden merasa jenuh
dan bosan, bahkan tidak jarang responden berfikir untuk keluar dari WH dan mencari pekerjaan lain, karena menurut responden, WH adalah pekerjaan yang
paling berat di Aceh Tengah, karena WH harus berhadapan dengan mental.
c. Sumber stres, appraisal, dan coping stres
Pada awalnya, responden sama sekali tidak mengetahui apa-apa mengenai WH. Setelah mengetahui tugas, kewajiban dan hak WH, responden kemudian
termotivasi untuk menjadi WH karena responden ingin membantu terwujudnya syariat Islam di Aceh Tengah. Responden kemudian juga berencana untuk
melaksanakan tugasnya dengan baik agar syariat Islam dapat tegak di Aceh Tengah.
“Gak ada, cuma merazia yang kakak tau” R2.W1.b.5-6.h.1
“Namanya kita apa ya, orang islam, pokoknya ingin membantu terwujudnya syariat Islam, itu cuman”
R2.W1.b.10-12.h.1 “Ya kakak sangat berkeinginan syariat Islam di sini bagus, berkeinginan
sekurang-kurangnya orang tu khususnya ibu-ibunya lah kan, bisa dekat ke anak-anak, jadi kan agak terbantu dikit, sekurang-kurangnya bisalah dia
ngayomi remajanya, suaminya,”
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
R2.W3.b.122-123.h.14 “Selalu melaksanakan tugas dengan bagus lah kan, pokoknya dulu ya kayak
mana biar syariat Islam di Aceh ni bagus gitu kan, kalau di Padang kan nuansa islamnya bagus, tapi kalau di Aceh ni kan kenapa nggak...”
R2.W1.b.17-22.h.1 Saat pertama kali menjadi WH, responden sangat berharap mampu bekerja
maksimal untuk membantu mewujudkan syariat Islam di Aceh, namun keinginan ini tidak bisa diwujudkan ketika responden merasa tidak mampu bekerja sama
dengan baik dengan atasannya, responden merasa kurang cocok dengan atasannya, yaitu Satpol PP. Responden memandang WH dan Satpol PP itu
berbeda, dimana Satpol PP bekerja dengan menggunakan fisik, mendidik dengan cara militer, sementara WH bekerja dengan cara lemah lembut. Apalagi responden
memandang tingkat pendidikan Satpol PP berada di bawah WH, sehingga terkadang responden juga mengalami konflik dengan atasannya.
“Kalau konflik bentrokan fisik enggak lah, cuman konfliknya tersinggung- tersinggung mungkin masalah sepele kan”
R2.W3.b.55-58.h.13 “bisa dibayangkan Satpol PP dan WH itu berbeda, kalau Satpol PP tu
mungkin agak arogan, mereka tu mungkin menindak atau apa kan dengan fisik, kalau WH ni kan dengan perkataan perkataan, yah kalau dengan satpol
PP yah kurang lebih kayak tentera lah cara didikannya kan, maunya kayak gini gini, kalau WH kan dengan lemah lembut”
R2.W2.b.84-92.h.6 “masak disamakan antara tamatan SMA dengan tamatan SI, itu pun kan
berbeda” R2.W2.b.97-100.h.5
“contohnya penulisan surat kayak gitu, kalau Satpol PP, yah…balik lagi ke masalah pendidikan kan, orang tu kan….ya…bikin suratnya tidak sesuai
dengan EYD bisa jadi, yang namanya WH kan SI jadi semuanya tau, kayak gitu”
R2.W3.b.58-64.h.13
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
Menghadapi perbedaan dengan atasannya, responden hanya bersabar terhadap apapun yang dikatakan atasannya, walaupun responden merasa kurang nyaman,
karena responden merasa bahwa responden hanyalah bawahan yang tidak memiliki kekuasaan.
“kalau untuk Satpol PP ya kakak jarang lah berhubungan sama mereka, cuman ya kakak orangnya ya terserah kalau orang tu ngomong apa, cuman kita kan
enggak, gitu..” R2.W2.b.151-156.h.7
“jadi Satpol PP, karena kita tinggal di kantornya, jadi kurang lebih mereka itu lebih menguasai, apalagi ketuanya dari orang itu…”
R2.W3.b.64-67.h.13 Responden juga terkadang mengalami konflik dengan rekan sekantornya.
Responden merasa malas untuk duduk bersama-sama dengan rekan-rekan di kantor, karena menurut responden di kantor lebih banyak hal mudharat kurang
baik-nya, pembicaraan yang ada hanya seputar gosip saja. “Konfliknya kalau sama kawan-kawan yang lain tu paling ya selisih-selisih
faham lah” R2.W2.b.132-134.h.7
“nanti ntah apa dia ngomong, trus tesinggung, gitu-gitu ntah apa kan” R2.W2.b.136-138.h.7
“kalau di kantor tu banyak mudharat hal buruk-nya kakak pikir, gosip…gosip…,gak gabung kita gak enak gitu kan”
R2.W2.b.251-254.9 Konflik dengan atasan dan rekan di kantor ini terkadang terlampiaskan ke
keluarganya, walaupun responden mengusahakan agar urusan di kantor tidak di bawa ke rumah. Konflik tersebut juga membuat responden merasa malas untuk
datang ke kantor, merasa malas untuk bekerja, namun rasa malas itu responden singkirkan ketika responden merasa memang diwajibkan untuk hadir di kantor.
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“Mau lah juga kadang sampek ke rumah, cuman ya kita usahakan urusan kantor ya di kantor, urusan rumah ya dirumah”
R2.W2.b.123-125.h.6 “mm..kadang adalah jadi malas kerja tu, mmck..malas, adalah malas malas tu,
cuman kayak mana lah, kalau namanya wajib masuk ya masuk,” R2.W2.b.144-147.h.11
Ketidakhadiran responden di kantor ini dinilai responden sebagai
ketidakmaksimalan responden dalam menjalankan tugas. Karena menurut responden, jika melaksanakan tugas dengan maksimal, maka seharusnya
responden hadir di kantor dan juga turun ke lapangan. “Belum, belum, kakak gak masuk kantor, orang tu kan ada yang masuk
kantor, tergantung kecamatannya lah, kalau kecamatan kakak yang dipelosok ni enaklah, lebih ke pengajiannya, bukan ke kantornya, sering ke lapangan lah,
padahal kan sebenarnya ke pengajian iya ke kantor iya” R2.W2.b.294-301.h.10
Keinginan untuk mewujudkan syariat Islam juga dirasakan terkendala karena
responden merasa pemerintah kurang mendukung kinerja WH. Responden merasa sangat terbebani dan sangat kesal karena WH hanya dijadikan tameng, tidak
dihargai keberadaannya, hukum perlindungannya belum jelas, bahkan seringkali pemerintah tidak menindaklanjuti pelanggar yang telah ditangkap oleh responden.
“dari pemerintah nya maupun masyarakatnya kayaknya gak mendukung adanya WH...”
R2.W2.b.25-27.h.1 “Ya kayaknya WH tu gak dianggap, gak di hargai, hanya sebagai tameng aja”
R2.W1.b.29-30.h.1 “Dan juga kayak kakak bilang kemaren tu kan dari PEMDA nya pun kurang
kalau masalah itu nya, kurang misalnya udah ketangkap ini udah ketangkap itu, kenapa lepas? berarti kan ada juga orang dalamnya, orang dalamnya tu
kan berarti dekat juga dengan PEMDA tu” R2.W2.b.194-200.h.8
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“Ya WH ni gak dianggap, kayak gak ada aja, hanya sebagai tameng, hukumnya belum jelas, perlindungannya gak ada, kayak dulu ada kasus kawan
kakak yang bertugas trus di tangkap sampek 4 bulan gitu, yang ditonjolkannya hukum pidananya, bukan hukum syariat Islamnya...”
R2.W2.b.71-78.h.2 Hal ini seperti kasus yang pernah dialami oleh responden, dimana responden
telah menangkap seseorang yang meminum-minuman keras, setelah di bawa ke kantor polisi, ternyata pelaku tersebut di bebaskan. Ketika responden menanyakan
hal ini kepada polisi, responden mendapat jawaban pelaku tersebut telah dilepaskan. Responden mengadukan hal ini kepada atasannya, kemudian
responden hanya mendapat jawaban bahwa kasus ini akan ditindaklanjuti, namun sampai sekarang kasus tersebut masih belum ditindak lanjuti. Tindak lanjut yang
tidak diberikan oleh atasan terhadap hasil kerjanya ini membuat responden merasa sangat jengkel.
“Coba lihat, kita udah pengen begini begini, abis tu ntah kemana, ilang, jujur kayak gitu, kayak kami dulu pernah razia dapat orang minum minuman keras,
diantar ke kantor polisi, trus tanya ke kantor polisi tu, udah lepas katanya, ntah kenapa lepas, ntah kenapa lepas ntah, ndak diikatnya gak taulah, pokoknya
udah jengkel-jengkel kayak gitu pulang WH ni, ngomong sama kepala kan, ya nanti akan kita selidiki, akan kita tindak lanjuti, ntah kayak mana, tindak
lanjutnya, kita tunggu sampai sekarang udah 3 tahun kakak jadi WH entah di mana lanjutnya”
R2.W3.b.74-89.h.13 “kita udah pengen begini begini, iya iya…abis tu ntah kemana orangnya, yang
di tangkap pun ilang orangnya..kita udah capek-capek…” R2.W2.b.362-365.h.11
“Kan jengkel ya, kakak jengkel, udah di bilang sama atasan gini gini yuk kita tindak lanjuti, ya kalau cuma sampai di situ kemampuan atasan ya kan kita
tunggu,” R2.W2.b.205-210.h.8
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
Kebijakan pemerintah berupa hak dan kewajiban WH yang masih sangat minim juga dirasakan oleh responden sebagai beban yang dapat menghambat
kinerjanya. Wewenang WH yang masih terbatas dalam menangkap pelanggar membuat responden merasa tidak mampu melakukan apa-apa terhadap pelanggar
yang terbukti melakukan pelanggaran syariat Islam, Responden juga merasa kesulitan memainkan perannya karena tidak berhak menentukan hukuman
terhadap pelanggar. Selain itu, gaji yang diterima dinilai masih sangat minim dibandingkan dengan beban pekerjaan yang harus dilakukan.
“kekuatan hukumnya gak jelas, kan WH gak bisa nangkap segala macam” R2.W1.116-118.h.3
“Pengennya kan iya, cuma balek lagi ke negara hukum, Qanun itu kalah kekuatannya dari pada hukum perdata pidana tu, jadi kalau kedapatan orang
misalnya kan, ini hukumannya, kalau kita pikir cambuk segala macam gitu kan, nanti kalau udah di bawanya ke konstitusi umum, kadang-kadang menang
orang tu, gitu tu makanya susah WH ni…” R2.W2.b.216-224.h.8
“ya kita bersyukur ya, ada masuk, cuman ya kalau dilihat itu...kurang memadai lah memang....”
R2.W1.b.125-127.h.3 Responden juga memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan kenaikan
karir, namun karena status WH hanyalah tenaga kontrak, maka responden hanya diam saja karena tidak mampu berbuat apa-apa.
“Kalau kakak kan mau, jadi presiden pun kakak mau, cuman kan kalau untuk jenjang-jenjang kayak gitu kan harus jadi pegawai dulu, kalau gak mana bisa
dari WH nya, kalau kakak sendiri sih pengen, cuman gimana lagi, belum ada jalurnya”
R2.W2.b.76-81.h.5 Menghadapi kendala yang berasal dari kebijakan pemerintah, melalui rekan-
rekannya, responden berusaha untuk menyampaikannya kepada atasan, namun
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
responden merasa kesal karena setelah beberapa kali disampaikan ternyata belum mendapat tanggapan positif dari pemerintah, responden kemudian mencoba untuk
menunggu kebijakan pemerintah dan tetap berusaha melaksanakan apa yang bisa dilaksanakannya.
“kalau untuk pemerintahnya ya....udah coba disampaikan ke atasan, udah coba disampaikan ke atasan, trus ke wakil bupatinya juga, cuma ya respon mereka
ya nanti-nanti aja...,” R2.W1.b.136-139.h.3
“Kalau kakak pribadi enggak, cuma kami kan kolektif sama kawan-kawan, kawan-kawan nanti yang menyampaikan sama kepala, kepala nanti
menyampaikan disampaikan disampaikan dari dulu sampai sekarang masih disampaikan, ntah kemana sampainya gak taulah, disampaikan, ntah sampai
ntah enggak….” R2.W2.b.227-234.h.9
“Ya apa yang bisa kami laksanakan ya kami laksanakan” R2.W2.b.96-07.h.6
“pokoknya udah jengkel-jengkel kayak gitu pulang WH ni, ngomong sama kepala kan,”
R2.W3.b.82.84.h.13 “jadi ya kalau kata pimpinan begini ya kita laksanakan, selama kalau menurut
kita gak bertentangan kan ya..apa..yang namanya tugas ya kan kita laksanakan”
R2.W2.b.99-103.h.6 “ya kalau cuma sampai di situ kemampuan atasan ya kan kita tunggu, kalau
WH ni kan cuma menunggu, kepastiannya belum tau… jadi di tunggu“ R2.W2.b.207-210.h.8
Selain merasa kurang mendapat dukungan dari pemerintah, responden juga
merasa kurang mendapat dukungan dari masyarakat. Masyarakat tidak mau menerima teguran WH, seringkali memberikan protes terhadap WH dan selalu
menyalahkan WH jika terjadi kemaksiatan. Hal ini membuat responden merasa sangat kesal dan dinilai sebagai beban dalam melaksanakan tugasnya.
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“kalau yang nggak tu kan ada yang protes dia, ngapain kamu urus-urus, ini kan urusan saya, kalau mau masuk neraka kan cuma saya yang masuk neraka,
ngapain kamu urus-urus...” R2.W1.b.53-57.h.2
“kalau bebannya ya, kalau orang gak terima itu beban sebenarnya, kayak yang kemaren tu, kemaren tu kita udah bilang gini gini tapi kadang kadang orang
melawan kan, jadi beban kan,” R2.W2.b.6-8.h.4
“tapi ada juga yang nggak, kalau dibilangin bandel... “ R2.W1.b.33-34.h.1
“Ya misalnya kan ada ibu-ibu yang pulang dari kebun, gak pakek jilbab, cuma pake kelubung aja, trus kalau di tegur ya jawabnya gak bisa, panas, payah
gitu” R2.W1.b.36-40.h.1-2
“namanya masyarakat kadang kadang ada yang cuek, kadang-kadang ada yang melawan, kan macam-macam”
R2.W2.b.188-191.h.8 “orang pun trus kalau ada kejahatan apa mmh, WH nya gak kerja, katanya
kan, padahal tiap-tiap kecamatan tu pasti ada program masing-masing kayak gitu, nanti kalau apa WH…WH...sikit sikit WH..WH…tah hapa”
R2.W2.b.173-179.h.7-8 “padahal kalau di pikir-pikir ada penyuluh agama, ada peradilan syariat islam,
orang tu pun…ckh..menyudutkan WH juga kadang-kadang begitu, WH begini-begini”
R2.W2.b.184-188.h.8 Respon negatif yang diberikan masyarakat ini membuat responden menjadi
marah, kesal dan jengkel. Tidak jarang responden mengungkapkan kemarahannya kepada masyarakat. Responden merasa wajar-wajar saja jika ia mengungkapkan
kemarahannya pada masyarakat karena marah merupakan hal yang manusiawi. “Ya kadang kakak marah, gondok kan, ya disini kan ada syariat islam, udah
pindah aja dari sini kalau gak mau, kadang udah sampek kasar kayak gitu kakak bilangnya,”
R2.W1.b.60-64.h.2
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“Ya namanya juga kita manusia kan, kalau digituin siapa yang gak marah” R2.W1.b.67-68.h.2
“cuman kadang-kadang ada lah juga, hiiihh kenapa ga bisa, kenapa gak mau dibilangin, gitu kan, ya sebatas kayak gitu cuman jengkel nya kan”
R2.W2.b.126-129.h.6-7 Namun terkadang responden juga hanya bersabar karena merasa tidak mampu
berbuat apa-apa terhadap masyarakat yang tidak memakai jilbab saat pulang dari kebun, responden melihat kelelahan yang sangat dari wajah-wajah masyarakat
tersebut sehingga responden menjadi tidak tega untuk terlalu menuntutnya menggunakan jilbab.
“Ya kita mau gimana lagi, dari mukaknya nampak memang capeknya, kadang jilbabnya cuma di tarok di sendangnya aja, ya kita mau gimana lagi, yang
penting kita udah melaksanakan tugas kita ya kan, kita udah negur..” R2.W2.b.43-48.h.2
“lagian mereka tu alasannya ada, ke kebun katanya, kalau pakek jilbab kami payah, kalau pakek kelubung ini aja enak, kayak gitulah alasan mereka,”
R2.W3.b.40-44.h.12 Hal ini membuat responden merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Responden
merasa tidak mampu untuk memaksa masyarakat agar mau menjalnkan syariat Islam, karena menurut responden masyarakat belum mendapatkan hidayah
petunjuk dari Allah SWT sehingga responden mendiamkannya saja. Apalagi responden menilai bahwa manusia bukanlah benda mati yang bisa diatur sesuka
hati. “cuman mungkin yang namanya kepala ya kalau kita larang pun kan, ada yang
dari kebun, kayak mana gitu ya, gak bisa kita tekan kali pun,” R2.W2.b.25-31.h.4-5
“Karena kalau untuk jilbab susah lah, kalau kejahatan-kejahatan yang lain bisa kita keras-keras, tapi kalau untuk jilbab kayak susah…”
R2.W3.b.47-50.h.13
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“Itulah, kalau ke orang kita tekankan kali pun gak bisa, oh A kata kita harus A mereka ga bisa, harus ada prosesnya, prosesnya tu harus sampai kapan,
maunya cepat-cepat masuk hidayah Allah tu ke kepalanya baru bisa,” R2.W3.b.35-40.h.12
“kalau gak mau ya gak bisa kita paksa lah dek, kecuali kita berhadapan dengan benda yang bersifat mati, bisa kita atur, kalau orang gimana
ngaturnya” R2.W2.b.307-313.h.10
Perubahan masyarakat yang juga dirasakan minim menjadi beban tersendiri
bagi responden. Responden merasa jengkel, malas dan bosan terhadap masyarakat yang tidak menunjukkan perubahan walaupun telah berulang kali dinasehati,
walaupun telah berulang kali diingatkan saat mengisi pengajian. “Kalau bosan tu pastilah ada, kayak sekarang pun kakak bosan, kita udah
ngasih pengarahan gini gitu, pengajian segala macam, masih aja di buatnya kan kadang-kadang jengkel, males di buatnya, bosan juga”
R2.W2.b.160-165.h.7 “kita udah tiap minggu itu…terus, yang dianya kayak gitu…juga,
jengkel..lagi” R2.W2.b.305-307.h.10
Untuk memahamkan syariat Islam kepada masyarakat, responden mencoba
untuk selalu memberikan pengarahan kepada masyarakat, baik melalui pengajian maupun pertemuan langsung. Selain itu responden juga berusaha mendekati para
orang tua terutama para ibu. Jika hal ini juga belum memberikan jalan keluar, maka responden akan mendiamkannya saja.
“Kalau kakak pribadi pengarahan banyaknya, pengarahan-pengarahan, kalau memberikan jilbab kan gak mungkin ya, padahal kan kita pengen ngasih
jilbab” R2.W2.b.344-347.h.11
“Kakak masuknya dari pengajian-pengajian, tapi pengajian di sini kayak pengajian biasa cuma modelnya, kayak…apa….ta’lim, ta’lim biasa, jadi kalau
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
ngisi pengajian tu kakak sampaikan begini-begini, kalau kita cerita tentang Qanun gak ngerti orang tu, Qanun kan banyak pasal sekian pasal sekian ntah
hapa, kalau kita sampaikan ke orang tu gak ngerti orang tu, jadi kakak bilangnya menurut Al-Quran….baru ngerti orang tu, abis jelasin materi gitu
baru kakak masukkan aturan-aturan gitu, baru sosialisasi segala macam, gitu,” R2.W3.b.140-154.h.14
“Ya kakak bilang aja, seandainya dukun itu bagus, sesuai syariat, ga papa lah, cuman kalau seandainya kurang sesuai dengan syariat ya kita kan tau, kalau
seandainya ada bahasa arab yang aneh-aneh atau yang lain yang aneh-aneh kan berarti ada kemungkinan, kalau kita make brarti kita syirik, gitu”
R2.W3.b.102-109.h.14 “jadi kalau solusi dari kakaknya ya kalau gak Bapaknya ya Ibunya yang kita
dekati, ya berusaha kita pecahkan, kalau gak bisa ya udah, gitu, kalau kakak pendekatannya kebanyakan ke yang perempuan…”
R2.W2.b.333-338.h.11 “itulah kalau kakak disini kalau masuk ke bapak-bapak tu agak susah, kalau
masuk ke ibu-ibu agak mudah kakak, karena kita perempuan kan, jadi kan agak muda h dikit kerja kita, dari pada kita sendiri ke rumah-rumah”
R2.W3.b.131-136.h.14 Menghadapi kasus-kasus dalam pekerjaannya, untuk kasus yang ringan seperti
jilbab, maka responden berusaha menyelesaikannya sendiri dengan memberikan pengarahan, walaupun sebenarnya responden sangat ingin memberinya jilbab.
Untuk kasus yang berat, seperti minuman keras, judi dan zina, responden akan menyerahkan kepada masyarakat mengenai tindak lanjutnya.
“kalau jilbab tadi ya kalau kedapatan kita kasih pengarahan, atau kita kasih jilbab, ya sampek situ cuman, kalau kelanjutannya itu ya gak tau kita… kalau
yang besar-besar baru ada kelanjutannya, yang besar-besar kayak khamar, judi, zina, kalau kedapatan sama WH kita kasih sama masyarakat
kampungnya, nanti mau dinikahkan atau apa ya ditindaklanjuti” R2.W2.b.55-63.h.5
Responden juga seringkali merasa putus asa terhadap kasus-kasus yang tidak
mampu diselesaikannya. Namun responden berprinsip apapun yang dilakukan masyarakat, yang penting responden telah berusaha menjalankan tugas dengan
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
baik. Karena responden merasa mengatur manusia memang tidak semudah mengatur benda mati.
“kalau kakak prinsipnya ya terserah, udah kita laksanakan semampu kita gak mau orang tu laksanakan ya terserah”
R2.W2.b.191-194.h.8 “Itulah kayak mana lagi, udah kita kasih tau udah, terserah mereka gimana
lagi,” R2.W3.b.117-118.h.14
“cuma ya, balik-balik nya kayak gitu udah, kita udah laksanakan tugas kita, kalau gak mau ya gak bisa kita paksa lah dek, kecuali kita berhadapan dengan
benda yang bersifat mati, bisa kita atur, kalau orang gimana ngaturnya” R2.W2.b.307-313.h.10
Beban ini kemudian dirasakan semakin berat oleh responden karena
responden harus bertugas sebagai WH di Kecamatan X sendirian. Responden tidak memiliki rekan sesama WH di kecamatan X tersebut. Hal ini membuat
responden merasa sulit melaksanakan tugas dengan maksimal. “Ya kan jadi susah, kalau sendiri kan payah, kita susah pergi jauh-jauh...”
R2.W1.b.110-111.h.3 “di sini kakak paling cuma melakukan pembinaan aja, ngisi pengajian ibu-ibu
gitu kan, itupun cuma 2 kampung yang bisa kakak kerjain, di sini kan ada 9 kampung, karena kan jauh-jauh...”
R2.W1.b.95-100.h.3 “kalau di kabupaten kan banyak ya, jadi enak, kalau di sini kakak cuma
sendiri, jadi paling ya kakak tegur kalau jumpa-jumpa di jalan gitu” R2.W1.b.91-94.h.3
Terkadang responden menganggap masalah yang dihadapinya sebagai
tantangan. Misalnya saat responden akan membina kelompok pengajian yang baru, responden merasa tertantang untuk benar-benar mampu membinanya
dengan baik.
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“Kalau tantangan….mm…gimana ya, kalau tantangan kadang-kadang ada tantangannya, kadang-kadang enggak juga, kayak ngisi pengajian lah
misalnya, kalau ngisi pengajian baru ya kakak merasa ini tantangan, kayak mana ya, bisa gak nanti, gitu”
R2.W2.b.322-328.h.10-11 Responden juga berusaha untuk bersabar menghadapi permasalahan yang
dihadapinya, karena menurut responden WH ini berada di dalam lingkaran setan, jadi permasalahan yang ada akan terus berputar tanpa ada penyelesaian. Hal ini
karena responden menganggap bahwa syariat Islam tidak akan bisa diwujudkan jika mengharapkan kerja WH saja, responden menganggap diperlukannya
dukungan semua pihak, baik pemerintah, tokoh agama maupun masyarakat untuk mewujudkan syariat Islam.
“paling kita sabar aja, yang penting kita udah melaksanakan tugas” R2.W1.b.134-135.h.3
“mmch, ibarat nya WH ni udah dalam lingkaran setan, itu itu…” R2.W2.b.201-202.h.8
“Sebenarnya harus aplikatif kalau memang mau diberantas maksiat-maksiat nya tu, kalau pengarahan-pengarahan tu gak bisa, pokoknya harus
kuat..misalnya, masyarakatnya tu gak suka dengan itu, adat nya pun gak suka, pemuka adatnya gak setuju, pemda nya pun gak setuju, baru bisa maksiat tu di
berantas…..tapi kalau cuma mengharapkan WH aja gak bisa, mengharapkan masyarakat aja gak bias”
R2.W2.b.352-361.h.11 Kemudian responden berusaha melupakan permasalahan yang dihadapi karena
menganggap bahwa masalah tersebut akan terlupakan seiring dengan berjalannya waktu.
“Eleh, lama-lama nanti kan hilang bosan tu, nanti pengen lagi gabung, udah kayak gitu aja”
R2.W2.b.237-239.h.9
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
Beban berat dan rasa malas untuk bekerja terkadang membuat responden merasa bosan dan ingin keluar dari WH. Responden merasa WH adalah pekerjaan
yang paling berat di Kabupaten Aceh Tengah, karena WH berhubungan dengan konsekuensi mental.
“Kadang-kadang ada, jujur ya, gak mungkin WH ni pengen terus di WH, sebanyak tu kerja di Aceh Tengah ni yang paling berat tu lah WH, mental WH
ni lho, mental di kenak nya kan?” R2.W2.b.169-173.h.7
Segala keluh kesah yang dirasakan responden didiskusikan dengan teman di
kantor dan dengan suami responden. Responden sharing dengan suami dan rekan- rekan di kantor mengenai permasalahan yang dihadapinya.
“Ada, ada cerita-cerita sama orang tu, tapi kakak jarang masuk kantor…” R2.W2.b.242-243.h.9
“kalau cerita sama teman-teman di kantor ada yang positif tanggapannya ada yang pesimis, tulah”
R2.W2.b.261-263.h.9 “Kakak WH sendirian di Batu Lintang, curhatnya sama suami”
R2.W2.b.257-258.h.9
Tabel 4 Sumber Stres, Appraisal, dan Coping Stres Responden II
No Sumber stress
Appraisal Coping stress
Emotion focus Problem Focus
1. Job Complexity