Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
Role ambiguity -
- -
-
2. Interpersonal
stress 1.
Masyarakat kurang mendukung kinerja
WH. 2.
Masyarakat kurang menghargai WH
3. Masyarakat protes
terhadap teguran WH 4.
Masyarakat selalu menyalahkan WH
Menganggap sebagai beban.
Sharing dengan rekan-rekan sesama WH kecamatan,
bersabar, ikhlas, a.
Menunjukkan ayat Al- Quran untuk
meyakinkan masyarakat
b. Menegur masyarakat
dengan lembut c.
Melakukan razia secara fardiyah saja.
3. Career
development Merasa karir di WH tidak
bisa meningkat Menerima sebagai
konsekuensi pekerjaan -
Mengikuti tes CPNS agar bisa mendapatkan
pekerjaan lain yang memiliki jenjang kenaikan
karir.
4. Dana
1. Merasa gaji yang
diberikan tidak sesuai dengan beban
kerjanya. Gaji yang diterima masih di
bawah UMR Upah Minimum Rata-rata
2. Tidak diberikan dana
transportasi oleh pemerintah untuk
melakukan Menganggap sebagai
beban. Menganggap pekerjaannya
untuk amal. a.
Mengajukan tuntutan penambahan gaji
kepada atasan b.
Melaksanakan tugas ke daerah-daerah yang
dapat dijangkau saja.
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
pengawasan ke daerah-daerah .
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
2. Responden II a. Hasil Observasi
1. Wawancara I Wawancara I dilakukan pada tanggal 30 Agustus 2009. Awalnya, peneliti
hendak mengkonfirmasi kesediaan responden untuk melakukan wawancara di hari tersebut sesuai dengan jadwal yang telah disepakati sebelumnya, namun pada
kesempatan ini, responden tidak mengizinkan peneliti untuk datang ke rumah responden dengan alasan rumah responden terlalu jauh ke pelosok dan responden
tidak mau merepotkan peneliti. Setelah disampaikan kesediaan peneliti untuk datang ke rumah responden, responden tetap tidak mengizinkan dan meminta
wawancara dilakukan melalui telepon saja. Untuk menghargai responden, peneliti kemudian menyetujui proses wawancara dilakukan melalui telepon saja.
Pada awal wawancara, peneliti mendengar gurauan-gurauan yang diberikan oleh suami responden kepada responden yang mengakibatkan proses wawancara
sedikit tersendat. Responden kemudian berusaha menenangkan suaminya sehingga gurauan tersebut tidak kedengaran lagi, dan wawancara kemudian
berjalan dengan lancar. Secara garis besar, pertanyaan-pertanyaan yang peneliti ajukan dijawab
responden dengan singkat. Hal ini sedikit menyulitkan peneliti untuk mengelaborasi jawaban-jawaban responden. Karena wawancara dilakukan melalui
telepon, peneliti tidak dapat melihat ekspresi dan gerakan tubuh responden, namun peneliti berusaha untuk mendengarkan dengan baik-baik bagaimana
intonasi suara responden. Saat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai beban
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
pekerjaannya, responden cenderung menjawab dengan intonasi suara yang tinggi, terkesan responden sedang memendam perasaan marah. Ketika menjawab
pertanyaan-pertanyaan mengenai kebijakan pemerintah, responden cenderung menurunkan intonasi suaranya, sehingga kedengaran seperti orang yang putus asa.
2. Wawancara II Wawancara II dilakukan di rumah saudara responden di daerah pasar
Takengon. Rumah saudara responden ini merupakan sebuah ruko yang kemudian direnovasi menjadi sebuah rumah sederhana tanpa teras. Rumah ini berbentuk
balok dengan panjang sekitar 30 meter dan lebar sekitar 3,5 meter. Pada sisi kiri bagian depan rumah, terdapat sebuah pintu yang menghubungkan ruang tamu
dengan jalan berlantai tembok di luarnya. Ruang tamu tersebut berukuran 3,5x3,5 meter dengan 2 dua sofa coklat yang disusun menjadi bentuk segi di sudut kanan
ruangan. Di depan kedua sofa tersebut diletakkan sebuah meja kayu dengan sebuah vas bunga kecil diatasnya. Di dinding belakang ruang tamu, diletakkan
sebuah televisi. Selain memiliki ruang tamu, rumah tersebut juga memiliki 2 kamar tidur, 1 dapur dan 1 kamar mandi yang tersusun memanjang ke belakang.
Pada pertemuan ini, responden yang memiliki tinggi badan sekitar 150 cm
dan berat sekitar 60 kg ini mengenakan sarung coklat bermotif kotak-kotak dengan baju daster lengan pendek berwarna merah bercorak bunga-bunga.
Responden memiliki bentuk wajah bulat dan kulit hitam manis, terlihat cantik dengan jilbab coklat muda yang dikenakannya. Responden terlihat sangat ramah
dan humoris walaupun masih belum terlalu lama mengenal peneliti.
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
Wawancara dilakukan di ruang tamu, dimana responden duduk di samping kanan peneliti. Selama proses wawancara, responden duduk bersandar ke sisi
belakang kursi dan menekuk kaki kirinya ke bawah lutut kanannya. Tidak seperti wawancara sebelumnya, pada wawancara kali ini pertanyaan-pertanyaan yang
peneliti ajukan dijawab responden dengan lebih detail. Sekitar satu menit setelah wawancara di mulai, wawancara terhenti sejenak
karena anak responden yang berumur 1,5 tahun terbangun dari tidurnya. Saat wawancara dilanjutkan kembali, responden mendudukkan anaknya di
pangkuannya. Hal ini sedikit mengganggu jalannya wawancara karena anak responden memaksa memegang alat perekam yang peneliti gunakan. Namun
beberapa menit kemudian adik responden datang dan mengajak anak responden untuk bermain di ruang lain sehingga wawancara dapat dilanjutkan kembali.
Selama wawancara berlangsung, responden yang awalnya menekukkan kaki kiri ke bawah lutut kanannya mengubah posisi kakinya hingga kedua kakinya
menginjak lantai rumah, responden kemudian duduk sambil bersandar ke sisi belakang kursi. Sesekali responden menegakkan tubuhnya dan sedikit
mencondongkan tubuhnya ke depan sambil memberi penekanan pada kata-kata yang diucapkannya dengan diiringi gerakan tangan.
3. Wawancara III Wawancara ketiga dilakukan di ruang santai di rumah responden. Ruang
santai responden ini berbentuk ruangan lepas berukuran sekitar 3x2,5 meter tanpa
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
kursi, hanya terdapat sebuah TV di salah satu dinding dan sebuah kasur tanpa tempat tidur yang diletakkan memanjang di dinding di depan sisi kanan TV.
Saat pertemuan ini, responden menggunakan sarung coklat bermotif kotak- kotak dengan baju daster lengan pendek berwarna hijau muda, dan jilbab
berwarna coklat muda. Responden ditemani oleh anaknya yang berusia 1,5 tahun. Responden dan peneliti duduk berhadapan dengan jarak sekitar satu meter di
tengah ruangan. Pada awal wawancara dimulai, wawancara dapat berjalan dengan lancar.
Pertanyaan-pertanyaan yang peneliti ajukan dijawab dengan santai dan lancar, walaupun sesekali sebelum menjawab responden terdiam sambil berfikir, melihat
ke arah lantai dan bergumam pada dirinya sendiri dengan mengucapkan “ee…gimana tu ge mm…gimana tu ya”.
Beberapa menit setelah wawancara berlangsung, wawancara terhenti sejenak karena anak responden yang sebelumnya bermain sendiri datang menghampiri
responden dan meminta alat perekam yang dipegang oleh responden. Responden kemudian membujuk anak responden untuk kembali bermain sendiri dan
memberikan sebuah pisang sebagai alternatif alat permainan agar anak responden tidak meminta alat perekam yang digunakan. Namun anak responden tidak mau
bermain sendiri dan tetap berada di sekitar peneliti dan responden. Kemudian kami memutuskan untuk melanjutkan wawancara. Suara anak responden yang
menyahut kata-kata yang didengarnya membuat peneliti sedikit kesulitan untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh responden. Peneliti harus sedikit
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
mencondongkan badan kearah responden agar peneliti dapat mendengarkan dengan jelas apa yang disampaikan oleh responden.
b. Ringkasan Hasil Wawancara Responden bernama Novi bukan nama sebenarnya. Responden menempuh
pendidikan tingginya di Universitas X di Kota Padang-Sumatera Barat. Saat kuliah, responden merasakan nuansa islam yang sangat kuat di sana, sehingga
responden ingin mewujudkannya juga di tempat kelahirannya, yaitu di Kabupaten Aceh Tengah. Setelah menamatkan kuliahnya, responden kembali ke Kabupaten
Aceh Tengah dan mendaftar sebagai pegawai kontrak Wilayatul Hisbah. Responden benar-benar ingin mewujudkan harapannya yaitu menciptakan nuansa
islami yang kuat. Namun harapan responden ini belum mampu direalisasikannya, karena ternyata responden mendapatkan berbagai kendala yang dapat
menghambat kinerjanya. Beberapa kendala yang dihadapi responden diantaranya adalah adanya
perasaan kurang mampu bekerja sama dengan atasannya, kurangnya dukungan yang diberikan pemerintah dan masyarakat, serta konflik yang dialaminya dengan
rekan sekantornya. Responden merasa kurang mampu bekerja sama dengan atasannya, yaitu Satpol PP karena responden menganggap WH dan Satpol PP itu
bertolak belakang, cara bekerja Satpol PP yang keras, arogan dan seperti militer dinilai bertolak belakang dengan cara kerja WH yang menggunakan perkataan dan
dengan cara yang lembut. Apalagi responden menganggap bahwa dari segi pendidikan saja Satpol PP lebih rendah dibandingkan dengan WH. Untuk
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
menghadapi kendala ini responden hanya bersabar dan mendiamkannya, namun tetap berusaha melaksanakan tugasnya sebagai WH.
Kurangnya dukungan yang diberikan pemerintah terhadap WH dirasakan responden karena pemerintah kurang memberikan fasilitas yang maksimal
terhadap WH. Kekuatan hukum, perlindungan dan gaji yang dirasa minim dinilai sebagai kendala yang menghambat kinerja responden. Para pelanggar yang telah
ditangkap responden namun dilepaskan oleh pemerintah membuat responden merasa kesal dan jengkel. Hal ini dihadapi responden dengan mengajukan
tuntutan akan pertambahan hak dan kewajiban WH, namun Karena belum juga mendapatkan tanggapan yang positif dari pemerintah, responden mencoba untuk
bersabar saja, karena responden merasa tidak mampu melakukan apa-apa terhadap kebijakan pemerintah tersebut.
Kurangnya dukungan yang diberikan masyarakat dirasakan responden karena masyarakat seringkali memberikan protes terhadap nasihat-nasihat yang
responden berikan. Masyarakat juga belum menunjukkan perubahan yang berarti walaupun telah seringkali dinasihati. Responden merasa marah, kesal dan jengkel
terhadap masyarakat. Apalagi yang menjadi WH di wilayah tersebut hanya responden sendiri. Namun untuk menghadapi permasalahan tersebut responden
hanya diam saja dan menyenangkan diri dengan beranggapan bawha yang penting responden telah melaksanakan tugas dengan maksimal, terserah bagaimanapun
tanggapan masyarakat. Apalagi responden menilai bahwa untuk mengatur manusia itu tidaklah semudah mengatur benda mati.
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
Konflik yang dialami responden dengan rekan sekantornya juga seringkali membuat responden merasa malas untuk masuk ke kantor. Responden merasa jika
hadir di kantor justru lebih banyak mudharat-nya, karena pembicaraan yang ada hanya seputar gosip saja. Namun responden mengesampingkan rasa malas ini jika
responden memang diwajibkan untuk hadir di kantor. Beban yang dialami responden seringkali membuat responden merasa jenuh
dan bosan, bahkan tidak jarang responden berfikir untuk keluar dari WH dan mencari pekerjaan lain, karena menurut responden, WH adalah pekerjaan yang
paling berat di Aceh Tengah, karena WH harus berhadapan dengan mental.
c. Sumber stres, appraisal, dan coping stres
Pada awalnya, responden sama sekali tidak mengetahui apa-apa mengenai WH. Setelah mengetahui tugas, kewajiban dan hak WH, responden kemudian
termotivasi untuk menjadi WH karena responden ingin membantu terwujudnya syariat Islam di Aceh Tengah. Responden kemudian juga berencana untuk
melaksanakan tugasnya dengan baik agar syariat Islam dapat tegak di Aceh Tengah.
“Gak ada, cuma merazia yang kakak tau” R2.W1.b.5-6.h.1
“Namanya kita apa ya, orang islam, pokoknya ingin membantu terwujudnya syariat Islam, itu cuman”
R2.W1.b.10-12.h.1 “Ya kakak sangat berkeinginan syariat Islam di sini bagus, berkeinginan
sekurang-kurangnya orang tu khususnya ibu-ibunya lah kan, bisa dekat ke anak-anak, jadi kan agak terbantu dikit, sekurang-kurangnya bisalah dia
ngayomi remajanya, suaminya,”
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
R2.W3.b.122-123.h.14 “Selalu melaksanakan tugas dengan bagus lah kan, pokoknya dulu ya kayak
mana biar syariat Islam di Aceh ni bagus gitu kan, kalau di Padang kan nuansa islamnya bagus, tapi kalau di Aceh ni kan kenapa nggak...”
R2.W1.b.17-22.h.1 Saat pertama kali menjadi WH, responden sangat berharap mampu bekerja
maksimal untuk membantu mewujudkan syariat Islam di Aceh, namun keinginan ini tidak bisa diwujudkan ketika responden merasa tidak mampu bekerja sama
dengan baik dengan atasannya, responden merasa kurang cocok dengan atasannya, yaitu Satpol PP. Responden memandang WH dan Satpol PP itu
berbeda, dimana Satpol PP bekerja dengan menggunakan fisik, mendidik dengan cara militer, sementara WH bekerja dengan cara lemah lembut. Apalagi responden
memandang tingkat pendidikan Satpol PP berada di bawah WH, sehingga terkadang responden juga mengalami konflik dengan atasannya.
“Kalau konflik bentrokan fisik enggak lah, cuman konfliknya tersinggung- tersinggung mungkin masalah sepele kan”
R2.W3.b.55-58.h.13 “bisa dibayangkan Satpol PP dan WH itu berbeda, kalau Satpol PP tu
mungkin agak arogan, mereka tu mungkin menindak atau apa kan dengan fisik, kalau WH ni kan dengan perkataan perkataan, yah kalau dengan satpol
PP yah kurang lebih kayak tentera lah cara didikannya kan, maunya kayak gini gini, kalau WH kan dengan lemah lembut”
R2.W2.b.84-92.h.6 “masak disamakan antara tamatan SMA dengan tamatan SI, itu pun kan
berbeda” R2.W2.b.97-100.h.5
“contohnya penulisan surat kayak gitu, kalau Satpol PP, yah…balik lagi ke masalah pendidikan kan, orang tu kan….ya…bikin suratnya tidak sesuai
dengan EYD bisa jadi, yang namanya WH kan SI jadi semuanya tau, kayak gitu”
R2.W3.b.58-64.h.13
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
Menghadapi perbedaan dengan atasannya, responden hanya bersabar terhadap apapun yang dikatakan atasannya, walaupun responden merasa kurang nyaman,
karena responden merasa bahwa responden hanyalah bawahan yang tidak memiliki kekuasaan.
“kalau untuk Satpol PP ya kakak jarang lah berhubungan sama mereka, cuman ya kakak orangnya ya terserah kalau orang tu ngomong apa, cuman kita kan
enggak, gitu..” R2.W2.b.151-156.h.7
“jadi Satpol PP, karena kita tinggal di kantornya, jadi kurang lebih mereka itu lebih menguasai, apalagi ketuanya dari orang itu…”
R2.W3.b.64-67.h.13 Responden juga terkadang mengalami konflik dengan rekan sekantornya.
Responden merasa malas untuk duduk bersama-sama dengan rekan-rekan di kantor, karena menurut responden di kantor lebih banyak hal mudharat kurang
baik-nya, pembicaraan yang ada hanya seputar gosip saja. “Konfliknya kalau sama kawan-kawan yang lain tu paling ya selisih-selisih
faham lah” R2.W2.b.132-134.h.7
“nanti ntah apa dia ngomong, trus tesinggung, gitu-gitu ntah apa kan” R2.W2.b.136-138.h.7
“kalau di kantor tu banyak mudharat hal buruk-nya kakak pikir, gosip…gosip…,gak gabung kita gak enak gitu kan”
R2.W2.b.251-254.9 Konflik dengan atasan dan rekan di kantor ini terkadang terlampiaskan ke
keluarganya, walaupun responden mengusahakan agar urusan di kantor tidak di bawa ke rumah. Konflik tersebut juga membuat responden merasa malas untuk
datang ke kantor, merasa malas untuk bekerja, namun rasa malas itu responden singkirkan ketika responden merasa memang diwajibkan untuk hadir di kantor.
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“Mau lah juga kadang sampek ke rumah, cuman ya kita usahakan urusan kantor ya di kantor, urusan rumah ya dirumah”
R2.W2.b.123-125.h.6 “mm..kadang adalah jadi malas kerja tu, mmck..malas, adalah malas malas tu,
cuman kayak mana lah, kalau namanya wajib masuk ya masuk,” R2.W2.b.144-147.h.11
Ketidakhadiran responden di kantor ini dinilai responden sebagai
ketidakmaksimalan responden dalam menjalankan tugas. Karena menurut responden, jika melaksanakan tugas dengan maksimal, maka seharusnya
responden hadir di kantor dan juga turun ke lapangan. “Belum, belum, kakak gak masuk kantor, orang tu kan ada yang masuk
kantor, tergantung kecamatannya lah, kalau kecamatan kakak yang dipelosok ni enaklah, lebih ke pengajiannya, bukan ke kantornya, sering ke lapangan lah,
padahal kan sebenarnya ke pengajian iya ke kantor iya” R2.W2.b.294-301.h.10
Keinginan untuk mewujudkan syariat Islam juga dirasakan terkendala karena
responden merasa pemerintah kurang mendukung kinerja WH. Responden merasa sangat terbebani dan sangat kesal karena WH hanya dijadikan tameng, tidak
dihargai keberadaannya, hukum perlindungannya belum jelas, bahkan seringkali pemerintah tidak menindaklanjuti pelanggar yang telah ditangkap oleh responden.
“dari pemerintah nya maupun masyarakatnya kayaknya gak mendukung adanya WH...”
R2.W2.b.25-27.h.1 “Ya kayaknya WH tu gak dianggap, gak di hargai, hanya sebagai tameng aja”
R2.W1.b.29-30.h.1 “Dan juga kayak kakak bilang kemaren tu kan dari PEMDA nya pun kurang
kalau masalah itu nya, kurang misalnya udah ketangkap ini udah ketangkap itu, kenapa lepas? berarti kan ada juga orang dalamnya, orang dalamnya tu
kan berarti dekat juga dengan PEMDA tu” R2.W2.b.194-200.h.8
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“Ya WH ni gak dianggap, kayak gak ada aja, hanya sebagai tameng, hukumnya belum jelas, perlindungannya gak ada, kayak dulu ada kasus kawan
kakak yang bertugas trus di tangkap sampek 4 bulan gitu, yang ditonjolkannya hukum pidananya, bukan hukum syariat Islamnya...”
R2.W2.b.71-78.h.2 Hal ini seperti kasus yang pernah dialami oleh responden, dimana responden
telah menangkap seseorang yang meminum-minuman keras, setelah di bawa ke kantor polisi, ternyata pelaku tersebut di bebaskan. Ketika responden menanyakan
hal ini kepada polisi, responden mendapat jawaban pelaku tersebut telah dilepaskan. Responden mengadukan hal ini kepada atasannya, kemudian
responden hanya mendapat jawaban bahwa kasus ini akan ditindaklanjuti, namun sampai sekarang kasus tersebut masih belum ditindak lanjuti. Tindak lanjut yang
tidak diberikan oleh atasan terhadap hasil kerjanya ini membuat responden merasa sangat jengkel.
“Coba lihat, kita udah pengen begini begini, abis tu ntah kemana, ilang, jujur kayak gitu, kayak kami dulu pernah razia dapat orang minum minuman keras,
diantar ke kantor polisi, trus tanya ke kantor polisi tu, udah lepas katanya, ntah kenapa lepas, ntah kenapa lepas ntah, ndak diikatnya gak taulah, pokoknya
udah jengkel-jengkel kayak gitu pulang WH ni, ngomong sama kepala kan, ya nanti akan kita selidiki, akan kita tindak lanjuti, ntah kayak mana, tindak
lanjutnya, kita tunggu sampai sekarang udah 3 tahun kakak jadi WH entah di mana lanjutnya”
R2.W3.b.74-89.h.13 “kita udah pengen begini begini, iya iya…abis tu ntah kemana orangnya, yang
di tangkap pun ilang orangnya..kita udah capek-capek…” R2.W2.b.362-365.h.11
“Kan jengkel ya, kakak jengkel, udah di bilang sama atasan gini gini yuk kita tindak lanjuti, ya kalau cuma sampai di situ kemampuan atasan ya kan kita
tunggu,” R2.W2.b.205-210.h.8
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
Kebijakan pemerintah berupa hak dan kewajiban WH yang masih sangat minim juga dirasakan oleh responden sebagai beban yang dapat menghambat
kinerjanya. Wewenang WH yang masih terbatas dalam menangkap pelanggar membuat responden merasa tidak mampu melakukan apa-apa terhadap pelanggar
yang terbukti melakukan pelanggaran syariat Islam, Responden juga merasa kesulitan memainkan perannya karena tidak berhak menentukan hukuman
terhadap pelanggar. Selain itu, gaji yang diterima dinilai masih sangat minim dibandingkan dengan beban pekerjaan yang harus dilakukan.
“kekuatan hukumnya gak jelas, kan WH gak bisa nangkap segala macam” R2.W1.116-118.h.3
“Pengennya kan iya, cuma balek lagi ke negara hukum, Qanun itu kalah kekuatannya dari pada hukum perdata pidana tu, jadi kalau kedapatan orang
misalnya kan, ini hukumannya, kalau kita pikir cambuk segala macam gitu kan, nanti kalau udah di bawanya ke konstitusi umum, kadang-kadang menang
orang tu, gitu tu makanya susah WH ni…” R2.W2.b.216-224.h.8
“ya kita bersyukur ya, ada masuk, cuman ya kalau dilihat itu...kurang memadai lah memang....”
R2.W1.b.125-127.h.3 Responden juga memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan kenaikan
karir, namun karena status WH hanyalah tenaga kontrak, maka responden hanya diam saja karena tidak mampu berbuat apa-apa.
“Kalau kakak kan mau, jadi presiden pun kakak mau, cuman kan kalau untuk jenjang-jenjang kayak gitu kan harus jadi pegawai dulu, kalau gak mana bisa
dari WH nya, kalau kakak sendiri sih pengen, cuman gimana lagi, belum ada jalurnya”
R2.W2.b.76-81.h.5 Menghadapi kendala yang berasal dari kebijakan pemerintah, melalui rekan-
rekannya, responden berusaha untuk menyampaikannya kepada atasan, namun
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
responden merasa kesal karena setelah beberapa kali disampaikan ternyata belum mendapat tanggapan positif dari pemerintah, responden kemudian mencoba untuk
menunggu kebijakan pemerintah dan tetap berusaha melaksanakan apa yang bisa dilaksanakannya.
“kalau untuk pemerintahnya ya....udah coba disampaikan ke atasan, udah coba disampaikan ke atasan, trus ke wakil bupatinya juga, cuma ya respon mereka
ya nanti-nanti aja...,” R2.W1.b.136-139.h.3
“Kalau kakak pribadi enggak, cuma kami kan kolektif sama kawan-kawan, kawan-kawan nanti yang menyampaikan sama kepala, kepala nanti
menyampaikan disampaikan disampaikan dari dulu sampai sekarang masih disampaikan, ntah kemana sampainya gak taulah, disampaikan, ntah sampai
ntah enggak….” R2.W2.b.227-234.h.9
“Ya apa yang bisa kami laksanakan ya kami laksanakan” R2.W2.b.96-07.h.6
“pokoknya udah jengkel-jengkel kayak gitu pulang WH ni, ngomong sama kepala kan,”
R2.W3.b.82.84.h.13 “jadi ya kalau kata pimpinan begini ya kita laksanakan, selama kalau menurut
kita gak bertentangan kan ya..apa..yang namanya tugas ya kan kita laksanakan”
R2.W2.b.99-103.h.6 “ya kalau cuma sampai di situ kemampuan atasan ya kan kita tunggu, kalau
WH ni kan cuma menunggu, kepastiannya belum tau… jadi di tunggu“ R2.W2.b.207-210.h.8
Selain merasa kurang mendapat dukungan dari pemerintah, responden juga
merasa kurang mendapat dukungan dari masyarakat. Masyarakat tidak mau menerima teguran WH, seringkali memberikan protes terhadap WH dan selalu
menyalahkan WH jika terjadi kemaksiatan. Hal ini membuat responden merasa sangat kesal dan dinilai sebagai beban dalam melaksanakan tugasnya.
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“kalau yang nggak tu kan ada yang protes dia, ngapain kamu urus-urus, ini kan urusan saya, kalau mau masuk neraka kan cuma saya yang masuk neraka,
ngapain kamu urus-urus...” R2.W1.b.53-57.h.2
“kalau bebannya ya, kalau orang gak terima itu beban sebenarnya, kayak yang kemaren tu, kemaren tu kita udah bilang gini gini tapi kadang kadang orang
melawan kan, jadi beban kan,” R2.W2.b.6-8.h.4
“tapi ada juga yang nggak, kalau dibilangin bandel... “ R2.W1.b.33-34.h.1
“Ya misalnya kan ada ibu-ibu yang pulang dari kebun, gak pakek jilbab, cuma pake kelubung aja, trus kalau di tegur ya jawabnya gak bisa, panas, payah
gitu” R2.W1.b.36-40.h.1-2
“namanya masyarakat kadang kadang ada yang cuek, kadang-kadang ada yang melawan, kan macam-macam”
R2.W2.b.188-191.h.8 “orang pun trus kalau ada kejahatan apa mmh, WH nya gak kerja, katanya
kan, padahal tiap-tiap kecamatan tu pasti ada program masing-masing kayak gitu, nanti kalau apa WH…WH...sikit sikit WH..WH…tah hapa”
R2.W2.b.173-179.h.7-8 “padahal kalau di pikir-pikir ada penyuluh agama, ada peradilan syariat islam,
orang tu pun…ckh..menyudutkan WH juga kadang-kadang begitu, WH begini-begini”
R2.W2.b.184-188.h.8 Respon negatif yang diberikan masyarakat ini membuat responden menjadi
marah, kesal dan jengkel. Tidak jarang responden mengungkapkan kemarahannya kepada masyarakat. Responden merasa wajar-wajar saja jika ia mengungkapkan
kemarahannya pada masyarakat karena marah merupakan hal yang manusiawi. “Ya kadang kakak marah, gondok kan, ya disini kan ada syariat islam, udah
pindah aja dari sini kalau gak mau, kadang udah sampek kasar kayak gitu kakak bilangnya,”
R2.W1.b.60-64.h.2
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“Ya namanya juga kita manusia kan, kalau digituin siapa yang gak marah” R2.W1.b.67-68.h.2
“cuman kadang-kadang ada lah juga, hiiihh kenapa ga bisa, kenapa gak mau dibilangin, gitu kan, ya sebatas kayak gitu cuman jengkel nya kan”
R2.W2.b.126-129.h.6-7 Namun terkadang responden juga hanya bersabar karena merasa tidak mampu
berbuat apa-apa terhadap masyarakat yang tidak memakai jilbab saat pulang dari kebun, responden melihat kelelahan yang sangat dari wajah-wajah masyarakat
tersebut sehingga responden menjadi tidak tega untuk terlalu menuntutnya menggunakan jilbab.
“Ya kita mau gimana lagi, dari mukaknya nampak memang capeknya, kadang jilbabnya cuma di tarok di sendangnya aja, ya kita mau gimana lagi, yang
penting kita udah melaksanakan tugas kita ya kan, kita udah negur..” R2.W2.b.43-48.h.2
“lagian mereka tu alasannya ada, ke kebun katanya, kalau pakek jilbab kami payah, kalau pakek kelubung ini aja enak, kayak gitulah alasan mereka,”
R2.W3.b.40-44.h.12 Hal ini membuat responden merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Responden
merasa tidak mampu untuk memaksa masyarakat agar mau menjalnkan syariat Islam, karena menurut responden masyarakat belum mendapatkan hidayah
petunjuk dari Allah SWT sehingga responden mendiamkannya saja. Apalagi responden menilai bahwa manusia bukanlah benda mati yang bisa diatur sesuka
hati. “cuman mungkin yang namanya kepala ya kalau kita larang pun kan, ada yang
dari kebun, kayak mana gitu ya, gak bisa kita tekan kali pun,” R2.W2.b.25-31.h.4-5
“Karena kalau untuk jilbab susah lah, kalau kejahatan-kejahatan yang lain bisa kita keras-keras, tapi kalau untuk jilbab kayak susah…”
R2.W3.b.47-50.h.13
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“Itulah, kalau ke orang kita tekankan kali pun gak bisa, oh A kata kita harus A mereka ga bisa, harus ada prosesnya, prosesnya tu harus sampai kapan,
maunya cepat-cepat masuk hidayah Allah tu ke kepalanya baru bisa,” R2.W3.b.35-40.h.12
“kalau gak mau ya gak bisa kita paksa lah dek, kecuali kita berhadapan dengan benda yang bersifat mati, bisa kita atur, kalau orang gimana
ngaturnya” R2.W2.b.307-313.h.10
Perubahan masyarakat yang juga dirasakan minim menjadi beban tersendiri
bagi responden. Responden merasa jengkel, malas dan bosan terhadap masyarakat yang tidak menunjukkan perubahan walaupun telah berulang kali dinasehati,
walaupun telah berulang kali diingatkan saat mengisi pengajian. “Kalau bosan tu pastilah ada, kayak sekarang pun kakak bosan, kita udah
ngasih pengarahan gini gitu, pengajian segala macam, masih aja di buatnya kan kadang-kadang jengkel, males di buatnya, bosan juga”
R2.W2.b.160-165.h.7 “kita udah tiap minggu itu…terus, yang dianya kayak gitu…juga,
jengkel..lagi” R2.W2.b.305-307.h.10
Untuk memahamkan syariat Islam kepada masyarakat, responden mencoba
untuk selalu memberikan pengarahan kepada masyarakat, baik melalui pengajian maupun pertemuan langsung. Selain itu responden juga berusaha mendekati para
orang tua terutama para ibu. Jika hal ini juga belum memberikan jalan keluar, maka responden akan mendiamkannya saja.
“Kalau kakak pribadi pengarahan banyaknya, pengarahan-pengarahan, kalau memberikan jilbab kan gak mungkin ya, padahal kan kita pengen ngasih
jilbab” R2.W2.b.344-347.h.11
“Kakak masuknya dari pengajian-pengajian, tapi pengajian di sini kayak pengajian biasa cuma modelnya, kayak…apa….ta’lim, ta’lim biasa, jadi kalau
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
ngisi pengajian tu kakak sampaikan begini-begini, kalau kita cerita tentang Qanun gak ngerti orang tu, Qanun kan banyak pasal sekian pasal sekian ntah
hapa, kalau kita sampaikan ke orang tu gak ngerti orang tu, jadi kakak bilangnya menurut Al-Quran….baru ngerti orang tu, abis jelasin materi gitu
baru kakak masukkan aturan-aturan gitu, baru sosialisasi segala macam, gitu,” R2.W3.b.140-154.h.14
“Ya kakak bilang aja, seandainya dukun itu bagus, sesuai syariat, ga papa lah, cuman kalau seandainya kurang sesuai dengan syariat ya kita kan tau, kalau
seandainya ada bahasa arab yang aneh-aneh atau yang lain yang aneh-aneh kan berarti ada kemungkinan, kalau kita make brarti kita syirik, gitu”
R2.W3.b.102-109.h.14 “jadi kalau solusi dari kakaknya ya kalau gak Bapaknya ya Ibunya yang kita
dekati, ya berusaha kita pecahkan, kalau gak bisa ya udah, gitu, kalau kakak pendekatannya kebanyakan ke yang perempuan…”
R2.W2.b.333-338.h.11 “itulah kalau kakak disini kalau masuk ke bapak-bapak tu agak susah, kalau
masuk ke ibu-ibu agak mudah kakak, karena kita perempuan kan, jadi kan agak muda h dikit kerja kita, dari pada kita sendiri ke rumah-rumah”
R2.W3.b.131-136.h.14 Menghadapi kasus-kasus dalam pekerjaannya, untuk kasus yang ringan seperti
jilbab, maka responden berusaha menyelesaikannya sendiri dengan memberikan pengarahan, walaupun sebenarnya responden sangat ingin memberinya jilbab.
Untuk kasus yang berat, seperti minuman keras, judi dan zina, responden akan menyerahkan kepada masyarakat mengenai tindak lanjutnya.
“kalau jilbab tadi ya kalau kedapatan kita kasih pengarahan, atau kita kasih jilbab, ya sampek situ cuman, kalau kelanjutannya itu ya gak tau kita… kalau
yang besar-besar baru ada kelanjutannya, yang besar-besar kayak khamar, judi, zina, kalau kedapatan sama WH kita kasih sama masyarakat
kampungnya, nanti mau dinikahkan atau apa ya ditindaklanjuti” R2.W2.b.55-63.h.5
Responden juga seringkali merasa putus asa terhadap kasus-kasus yang tidak
mampu diselesaikannya. Namun responden berprinsip apapun yang dilakukan masyarakat, yang penting responden telah berusaha menjalankan tugas dengan
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
baik. Karena responden merasa mengatur manusia memang tidak semudah mengatur benda mati.
“kalau kakak prinsipnya ya terserah, udah kita laksanakan semampu kita gak mau orang tu laksanakan ya terserah”
R2.W2.b.191-194.h.8 “Itulah kayak mana lagi, udah kita kasih tau udah, terserah mereka gimana
lagi,” R2.W3.b.117-118.h.14
“cuma ya, balik-balik nya kayak gitu udah, kita udah laksanakan tugas kita, kalau gak mau ya gak bisa kita paksa lah dek, kecuali kita berhadapan dengan
benda yang bersifat mati, bisa kita atur, kalau orang gimana ngaturnya” R2.W2.b.307-313.h.10
Beban ini kemudian dirasakan semakin berat oleh responden karena
responden harus bertugas sebagai WH di Kecamatan X sendirian. Responden tidak memiliki rekan sesama WH di kecamatan X tersebut. Hal ini membuat
responden merasa sulit melaksanakan tugas dengan maksimal. “Ya kan jadi susah, kalau sendiri kan payah, kita susah pergi jauh-jauh...”
R2.W1.b.110-111.h.3 “di sini kakak paling cuma melakukan pembinaan aja, ngisi pengajian ibu-ibu
gitu kan, itupun cuma 2 kampung yang bisa kakak kerjain, di sini kan ada 9 kampung, karena kan jauh-jauh...”
R2.W1.b.95-100.h.3 “kalau di kabupaten kan banyak ya, jadi enak, kalau di sini kakak cuma
sendiri, jadi paling ya kakak tegur kalau jumpa-jumpa di jalan gitu” R2.W1.b.91-94.h.3
Terkadang responden menganggap masalah yang dihadapinya sebagai
tantangan. Misalnya saat responden akan membina kelompok pengajian yang baru, responden merasa tertantang untuk benar-benar mampu membinanya
dengan baik.
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“Kalau tantangan….mm…gimana ya, kalau tantangan kadang-kadang ada tantangannya, kadang-kadang enggak juga, kayak ngisi pengajian lah
misalnya, kalau ngisi pengajian baru ya kakak merasa ini tantangan, kayak mana ya, bisa gak nanti, gitu”
R2.W2.b.322-328.h.10-11 Responden juga berusaha untuk bersabar menghadapi permasalahan yang
dihadapinya, karena menurut responden WH ini berada di dalam lingkaran setan, jadi permasalahan yang ada akan terus berputar tanpa ada penyelesaian. Hal ini
karena responden menganggap bahwa syariat Islam tidak akan bisa diwujudkan jika mengharapkan kerja WH saja, responden menganggap diperlukannya
dukungan semua pihak, baik pemerintah, tokoh agama maupun masyarakat untuk mewujudkan syariat Islam.
“paling kita sabar aja, yang penting kita udah melaksanakan tugas” R2.W1.b.134-135.h.3
“mmch, ibarat nya WH ni udah dalam lingkaran setan, itu itu…” R2.W2.b.201-202.h.8
“Sebenarnya harus aplikatif kalau memang mau diberantas maksiat-maksiat nya tu, kalau pengarahan-pengarahan tu gak bisa, pokoknya harus
kuat..misalnya, masyarakatnya tu gak suka dengan itu, adat nya pun gak suka, pemuka adatnya gak setuju, pemda nya pun gak setuju, baru bisa maksiat tu di
berantas…..tapi kalau cuma mengharapkan WH aja gak bisa, mengharapkan masyarakat aja gak bias”
R2.W2.b.352-361.h.11 Kemudian responden berusaha melupakan permasalahan yang dihadapi karena
menganggap bahwa masalah tersebut akan terlupakan seiring dengan berjalannya waktu.
“Eleh, lama-lama nanti kan hilang bosan tu, nanti pengen lagi gabung, udah kayak gitu aja”
R2.W2.b.237-239.h.9
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
Beban berat dan rasa malas untuk bekerja terkadang membuat responden merasa bosan dan ingin keluar dari WH. Responden merasa WH adalah pekerjaan
yang paling berat di Kabupaten Aceh Tengah, karena WH berhubungan dengan konsekuensi mental.
“Kadang-kadang ada, jujur ya, gak mungkin WH ni pengen terus di WH, sebanyak tu kerja di Aceh Tengah ni yang paling berat tu lah WH, mental WH
ni lho, mental di kenak nya kan?” R2.W2.b.169-173.h.7
Segala keluh kesah yang dirasakan responden didiskusikan dengan teman di
kantor dan dengan suami responden. Responden sharing dengan suami dan rekan- rekan di kantor mengenai permasalahan yang dihadapinya.
“Ada, ada cerita-cerita sama orang tu, tapi kakak jarang masuk kantor…” R2.W2.b.242-243.h.9
“kalau cerita sama teman-teman di kantor ada yang positif tanggapannya ada yang pesimis, tulah”
R2.W2.b.261-263.h.9 “Kakak WH sendirian di Batu Lintang, curhatnya sama suami”
R2.W2.b.257-258.h.9
Tabel 4 Sumber Stres, Appraisal, dan Coping Stres Responden II
No Sumber stress
Appraisal Coping stress
Emotion focus Problem Focus
1. Job Complexity
a. decision making,
responsibility, and stress
a. Merasa kurang
sinkron dengan atasan. Atasan
dinilai memiliki cara memimpin yang
keras, arogan, dan mendidik dengan
cara militer, sementara WH
bekerja dengan perkataan dan cara
yang lembut. b.
Atasan kurang mendukung kinerja
WH c.
Atasan tidak menindaklanjuti
pelanggar yang telah ditangkap WH
d.
Tingkat pendidikan WH
lebih tinggi dari
Menganggap sebagai beban yang dapat
menghambat kinerjanya.
Bersabar, terkadang melampiaskan ke
keluarga. Membiarkan pimpinan
melakukan apa yang dilakukannya dan tetap
melakukan hal yang dianggap benar,
a. Mengisi pengajian
b. Work overload
c. Organizational
structure and development
pada atasan. a.
Merasa beban pekerjaannya sangat
berat b.
Merasa sulit bekerja maksimal
karena hanya sendirian di
kecamatan X
a. Merasa hak dan
kewajibannya kurang. WH tidak
berhak menagkap pelanggar yang
kedapatan melakukan
pelanggaran Qanun.
b. Pelanggar yang
telah ditangkap dengan susah payah
ternyata kemudian dilepaskan oleh atasan
c.
Mengalami konflik dengan rekan di
kantor Menerima sebagai
konsekuensi pekerjaan Menganggap sebagai
beban yang dapat menghambat
kinerjanya. Ingin melupakan segala
permasalahan, ingin smenghindari situasi ini
dengan berhenti dari WH Merasa tidak mampu
melakukan apa-apa
di daerah yang dapat dijangkau
saja b.
Melakukan razia secara
fardiyah saja.
a. Melalui rekan-
rekan sesama WH, responden
mengajukan tuntutannya untuk
menambah hak dan kewajiban
WH. b.
Menunggu kebijakan
pemerintah terhadap WH
c.
Mengurangi jam ke kantor,
sehingga lebih
banyak ke lapangan agar
tidak banyak menghabiskan
waktu dengan
Role ambiguity -
- -
rekan-rekan di kantor
-
2. Interpersonal stress