Interpersonal stress Career development Interpersonal stress Career development Dana

Role ambiguity - - - rekan-rekan di kantor -

2. Interpersonal stress

a. Masyarakat kurang mendukung kinerja WH. b. Masyarakat kurang menghargai WH c. Masyarakat protes terhadap teguran WH d. Masyarakat selalu menyalahkan WH e. Tidak mampu terlalu memaksa masyarakat desa yang berkelubung untuk menggunakan jilbab Menganggap sebagai beban dan tantangan a. Sharing dengan rekan-rekan di kantor dan dengan suami. b. Mengungkapkan kemarahannya pada masyarakat Memberikan pengarahan kepada masyarakat melalui pengajian dan melakukan pendekatan terhadap para orang tua, terutama pada para Ibu.

3. Career development

Merasa karir di WH tidak bisa meningkat Menerima sebagai konsekuensi pekerjaan Merasa tidak mampu melakukan apa-apa - 4. Dana Merasa gaji yang diberikan tidak sesuai dengan beban kerjanya. Gaji yang diterima Menganggap sebagai beban. Mensyukuri apa yang ada Mengajukan tuntutan penambahan gaji kepada atasan masih minim

3. Responden III a. Hasil Observasi

1. Wawancara I Responden adalah seorang laki-laki paruh baya yang berkulit sawo matang dengan tinggi sekitar 160 cm dan berat sekitar 56 kg. Responden memiliki bentuk wajah bulat dan mata sipit. Responden membiarkan jambang tipisnya tumbuh di sekitar pipinya. Saat pertemuan ini, responden menggunakan sarung coklat bermotif kotak-kotak, kaus oblong coklat muda dan peci putih yang menutupi sebagian kepalanya. Wawancara pertama dilakukan di ruang tamu rumah responden. Ruang tamu responden berukuran sekitar 3x4 meter, dengan sofa coklat susu yang diletakkan di setiap dindingnya. Di tengah ruangan, di depan masing-masing sofa, diletakkan sebuah meja tamu dari kaca berukuran 0,5x1 meter dengan sebuah vas bunga kecil di atasnya. Responden dan peneliti duduk dibatasi oleh meja dengan jarak sekitar 1,5 meter, dengan membentuk sudut 30º. Pada awal wawancara, responden duduk bersandar ke sisi belakang sofa, dengan kaki kanannya disilangkan ke kaki kirinya sambil digoyang-goyangkan, tangan kiri responden memegang siku lengan kanan, untuk menopang tangan kanan yang di angkat ke arah mulut untuk merekam suaranya. Responden menjawab pertanyaan yang peneliti ajukan dengan tersenyum, sambil melihat ke berbagai sisi rumahnya, dan sesekali melihat ke arah peneliti. Setelah beberapa saat wawancara berlangsung, responden menyilangkan kaki kiri ke kaki kanannya dan memperbaiki posisi sarungnya sambil tetap menggoyang-goyangkan kakinya. Selain itu, responden juga memindahkan alat perekam ke tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang siku lengan kirinya. Selama proses wawancara berlangsung, tidak ada hambatan yang terjadi, hanya saja responden sering kali mengganti posisi kakinya dan memperbaiki posisi sarungnya sambil tetap menggoyang-goyangkan kakinya. Responden juga terlihat sering memandangi berbagai sisi rumahnya dan hanya sesekali melihat ke arah peneliti. 2. Wawancara II Wawancara kedua dilakukan di ruang tamu rumah responden. Pada pertemuan ini responden menggunakan celana jeans coklat tua dan baju kaus coklat muda. Seperti pertemuan sebelumnya, peneliti dan responden duduk dibatasi oleh meja dengan jarak sekitar 1,5 meter, dengan membentuk sudut 30º. Pada pertemuan ini, selama wawancara berlangsung, responden duduk bersandar ke sisi belakang kursi dan menyilangkan kaki kanannya ke kaki kirinya sambil sesekali menggoyang-goyangkannya, sementara tangan kanannya memegang bantalan kursi yang diletakkan di samping kanannya dan tangan kirinya memegang alat perekam. Saat menjawab pertanyaan yang peneliti ajukan, responden menjawab dengan tenang sambil memain-mainkan ujung bantalan kursi yang dipegang oleh reponden, dan sesekali responden meletakkan bantalan kursi tersebut di pangkuannya. Namun responden lebih sering melihat ke arah pintu dan hanya sesekali melihat ke arah responden. Lima puluh menit setelah wawancara berlangsung, wawancara sempat terhenti sejenak karena anak responden yang awalnya duduk di samping kanan responden berusaha mengambil alat perekam yang ada di tangan kiri responden. Wawancara dapat dilanjutkan kembali ketika istri responden datang dan mengajak anak responden untuk main di ruang belakang. Tidak ada hal khusus yang menghambat jalannya wawancara. Walaupun beberapa kali anak responden menghampiri responden untuk meminta alat perekan yang digunakan responden, responden tetap melanjutkan wawancara, dan anak responden yang menangis dapat ditenangkan oleh istri responden.

b. Ringkasan Hasil Wawancara Beberapa tahun setelah menamatkan pendidikannya di jurusan Teknik Mesin

di salah satu Universitas ternama di Pulau Jawa, responden pindah ke Aceh Tengah dan mendaftar menjadi pegawai kontrak Wilayatul Hisbah setelah mendapat informasi mengenai lowongan ini dari salah seorang temannya yang bekerja di kantor Dinas Syariat Islam. Awalnya responden tidak mengetahui apa- apa mengenai WH. Setelah responden mengetahui tugas dan kewajiban WH, responden semakin termotivasi untuk menjalankan tugasnya karena keinginan untuk berbuat baik terhadap masyarakat dan berusaha agar masyarakat memahami syariat Islam. Responden kemudian mempelajari buku-buku Qanun yang diberikan kepadanya. Setelah menjadi WH, responden merasa kesulitan untuk menjalankan tugasnya karena responden merasa tugas WH tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dan tupoksi yang jelas, sehingga responden seringkali merasa ragu-ragu dalam menjalankan tugasnya, responden takut jika ternyata responden melakukan tugas orang lain yang dapat memunculkan penilaian negatif dari masyarakat, walaupun responden yakin apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar. Ketidakjelasan tugas juga dirasakan semakin menjadi beban ketika responden mendapatkan tugas yang berbeda dengan tupoksi tugas pokok dan fungsi WH dari atasannya, Satpol PP. Responden menilai Satpol PP tidak memahami tupoksi WH yang menyebabkan Satpol PP seringkali memberi tugas yang tidak sesuai dengan tupoksi WH. Hal ini membuat responden merasa tidak nyaman sehingga melaksanakan tugasnya dengan setengah hati. Menghadapi hal ini responden berusaha untuk memberi pemahaman kepada Satpol PP mengenai tugas WH yang sebenarnya, namun responden menilai tingkat pendidikan Satpol PP yang rendah mengakibatkan Satpol PP tidak mampu memahami apa yang responden sampaikan. Hal ini membuat responden merasa kesal, namun responden memilih untuk mendiamkannya saja. Rasa ketakutan dialami responden ketika responden menindak pelaku pelanggar syariat Islam yang berasal dari tentara atau polisi. Responden menilai bahwa responden siap untuk melaksanakan tugas namun belum siap mati. Hal ini dirasakan responden karena responden menilai tentara atau polisi yang ditindak bisa saja melakukan tindakan balas dendam terhadap responden suatu saat nanti. Ketakutan ini menyebabkan responden memutuskan untuk tidak menindak tentara atau polisi yang melakukan pelanggaran syariat Islam jika sedang melakukan pengawasan seorang diri. Selain itu, responden juga merasa ketakutan ketika menindak pelaku khamar. Responden menilai pelaku khamar adalah orang-orang yang arogan yang bisa saja melakukan kekerasan terhadap responden sebagai bentuk balas dendam terhadap penangkapan yang pernah responden lakukan. Hal ini menyebabkan responden memutuskan untuk menyerahkan pelaku khamar kepada pihak kepolisian. Dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap busana muslim, responden seringkali mendapatkan protes dari masyarakat yang kedapatan tidak menggunakan pakaian muslim. Walaupun merasa kesal terhadap protes yang diberikan oleh pelaku, responden tetap berusaha melaksanakan tugasnya dengan memberi pengarahan dengan cara yang lembut. Responden berusaha membina pelaku dengan memberi pengarahan dan pengertian kepada orang tua pelaku agar lebih berhati-hati menjaga dan membimbing anaknya. Kondisi masyarakat yang belum sesuai dengan syariat Islam membuat responden merasa malu karena responden merasa belum mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal. Responden merasa ketidakjelasan tugas dan faktor keamanan yang mempengaruhi kinerja responden menyebabkan responden merasa takut sehingga tidak mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal. Apalagi responden merasa kesulitan melaksanakan tugasnya dengan jumlah personil WH yang hanya 3 tiga orang di kecamatannya. Responden merasa mengalami beban mental menghadapi kondisi ini. Kendala-kendala yang dialami responden kemudian responden sampaikan pada atasannya dan pada pemerintah. Walaupun belum ada perubahan positif yang responden dapatkan, responden mencoba untuk memahami bahwa tugas pemerintah bukan hanya mengurusi WH, masih banyak tugas lain yang juga menuntut perhatian pemerintah. Hal ini kemudian menyebabkan responden mendiamkan saja apa yang terjadi. Walaupun demikian, responden tetap menyampaikan usulan-usulannya mengenai kebijakan-kebijakan yang sebaiknya dilakukan pemerintah kepada paman responden yang memiliki jabatan lebih tinggi. Responden berharap paman responden inilah yang akan menyampaikan usulan responden kepada pemerintah.

c. Sumber stress, appraisal, dan coping stres

Beberapa tahun setelah menamatkan pendidikannya di jurusan Teknik Mesin di salah satu Universitas ternama di Pulau Jawa, responden pindah ke Aceh Tengah dan mendaftar menjadi pegawai kontrak Wilayatul Hisbah setelah mendapat informasi mengenai lowongan ini dari salah seorang temannya yang bekerja di kantor Dinas Syariat Islam. Awalnya responden tidak mengetahui apa- apa mengenai WH. “Sebelumnya wallahu a’lam saya gak mengetahui terlalu dalam, apa segala macam tentang WH itu gak tau, karena saya baru datang juga waktu itu ya, dari Jogja, saya gak paham” R3.W1.b.9-13.h.1 “Dari, ada yang kerja di dinas syariat islam, tetangga, katanya buka lowongan untuk polisi islam, ya coba aja lamar, gitu, kemudian melamar, alhamdulillah lulus” R3.W1.b.3-6.h.1 Setelah bergabung menjadi WH, responden kemudian memahami bahwa tugas WH adalah untuk memperbaiki akhlak masyarakat, responden kemudian mempelajari Qanun-Qanun dan berharap dapat merubah dan memperbaiki kondisi masyarakat Aceh Tengah. Responden juga termotivasi untuk berbuat baik pada masyarakat dan berusaha agar masyarakat mengetahui syariat Islam. “di kasih buku-buku tentang Qanun, nah terus saya belajar” R3.W1.b.13-15.h.1 “Ya, harapannya sebenarnya ya bisa memperbaiki masyarakat yang ada di Aceh Tengah khususnya ya, karena tugas WH itu ya untuk memperbaiki akhlak lah gitu ya, harapannya ya untuk masyarakat, bisa merubah” R3.W1.b.19-24.h.1 “Ya itu tadi, sebenarnya ingin mencegah...ya berbuat baiklah untuk masyarakat, tugas utamanya gitu ya, gimana biar masyarakat Aceh Tengah itu tau gimana syariat Islam,” R3.W1.b.27-31.h.1 “bagi saya, mudah-mudahan masyarakat Aceh ini bisa mengetahui gimana syariat Islam yang sebenarnya” R3.W1.b.207-210.h.5 Responden semakin termotivasi untuk menjadi WH karena responden merasa WH memiliki kekuatan hukum jika ingin menindak orang-orang yang melanggar syariat Islam. WH akan mendapatkan perlindungan jika melaksanakan tugasnya. Berbeda seandainya responden tidak berprofesi sebagai WH, responden tidak akan memiliki kekuatan hukum jika menegur orang yang melanggar syariat Islam. “trus kita sendiri...kan kenapa mesti masuk WH? Kalau bukan WH kan juga bisa, itu kan gak ada payung hukumnya, kalau kita masuk WH kan jelas ada payung hukumnya, jelas, kemudian kalau kita ada pelanggar, kita bisa menegakkannya langsung, dan ada badan hukumnya,” R3.W1.b.31-38.h.1 “kalau di daerah lain kita nangkap orang yang gak berjilbab kan gak dilindungi, kalau disini kan dilindungi, lho kamu kenapa gak pakek jilbab? Lho kamu siapa? Saya penegak hukum” R3.W1.b.212-217.h.5 Namun setelah menjadi WH, responden merasa kurang nyaman bekerja karena harapan responden akan kekuatan hukum yang dimiliki WH tidak responden dapatkan. Responden menilai kekuatan hukum mengenai tugas WH belum jelas. Qanun yang mengatur tugas WH belum sempurna, masih setengah- setengah, antara iya dan tidak. Responden menilai tugas WH hanya menunggu, namun responden juga merasa tidak nyaman jika hanya bekerja dengan menunggu. Responden merasa WH berhak mengawasi pelanggaran Syariat Islam, dan berhak menangani pelanggarnya, namun responden tidak boleh menindak pelanggar yang melanggar syariat Islam karena bukan tugas responden sebagai WH, tapi merupakan tugas polisi. “Kendalanya itu, belum sempurna, misal, dalam penangkapan kami gak boleh, kecuali tertangkap tangan, misal kami ada orang naik motor ya, gak berjilbab, itu gak boleh kami tangkap, harus sama polisi, kenapa gak boleh, karena gak ada Qanunnya, kendalanya yang terbesar itu sebenarnya. Qanunnya belum sempurna” R3.W2.b.110-117.h.3 “misal, orang yang boncengan tanpa apa…tanpa mengenakan busana muslim, katakan gitu ya, trus bepergian dengan yang bukan mahramnya, nah itu kan salah, itu salah sebenarnya menurut syariat Islamnya kan, nah tapi tidak bisa..WH itu tidak bisa menyetop, tidak bisa menyetop itu kekuatan hukumnya gak ada, hukum untuk itu tidak ada, jadi gak boleh WH itu nyetop, ha…itu, jadi yang boleh nyetop itu polisi, polisi juga harus polantas, gitu,” R3.W2.b.11-23.h.8 “sekarang ini kan umum masih dia, antara ia dan tidak, masih ditengah-tengah lah, kalau seandainya ada Qanun tersendiri untuk WH ini, seperti penangkapan tadi ya, misal, kita lebih..lebih baguslah” R3.W1.b.184-189.h.4 “Sebenarnya kalau sendiri WH itu kendalanya itu ya, jadi seperti setengah- setengah, yah, merasa seperti masih setengah-setengah, atau memang Qanun- nya masih di revisi, kan gitu, kita belum mengetahui, cuman memang gitu” R3.W2.b.27-33.h.8 “kalau sekarang inilah, menunggu, menunggu laporan orang, kan gitu, kalau tugasnya sekarang, tupoksinya sekarang gitu lho, kan membina, membimbing, mensosialisasikan, kan gitu kan, nah berarti kan menunggu, menunggu orang, oh ini..ini melakukan seperti ini, ini sini ni, nah kami membina, kan seharunya seperti itu, tapi kan gak mungkin orang kita….ya…gak mungkin…susah lah seperti itu kan, orang mau kerja seperti itu, kita hanya nungguin…jadi kan seakan-akan gak bekerja, kok kita pun bekerja kita stop juga salah…kan, harus sama polisi,” R3.W2.b.108-123.h.10 “terus ya…itulah beban….beban pekerjaan itu, tapi kalau seandainya hukumnya kuat tadi ya enaklah mengerjakannya kan, kita gak kerja juga gimana gitu kan, sebenarnya kalau sekarang kan kami nunggu seharusnya, nunggu dari pihak kepolisian, atau pihak mana yang membawa ke kantor terus kami nasehati, ini ini kesalahannya, itu yang tugas kami kan, kan membina, kan itu sebenarnya kan, bukan ini, nah itu kira-kira kekuatan hukumnya,” R3.W2.b.285-297.h.14-15 “Ya…ya..itu, maksudnya, kan nanti di keluarkan tugas-tugas WH tu, tupoksinya keluar, jelas, nah tu kan enak gitu ya, enak melaksanakannya gak setengah-setengah” R3.W2.b.87-91.h.9 “jadi kalau ada kekuatan hukumnya, Qanun-nya, Qanun tersendiri WH itu, ada tugasnya, ni ini ini…seperti ini tugasnya, jelas, jadi enak kerjanya,” R3.W2.b.126-130.h.10 Ketidakjelasan Qanun dan kekuatan hukum yang lemah ini dinilai responden sebagai beban dalam pekerjaannya, karena responden seringkali ragu-ragu untuk bertugas karena takut melakukan sesuatu yang dinilainya benar, namun ternyata bukanlah tugasnya sebagai WH, yang kemudian dikhawatirkan akan memancing respon negatif dari masyarakat. Hal ini menyebabkan responden bekerja dengan setengah hati. “perasaannya melaksanakan tugas itu menjadi beban, bebannya kita melaksanakan benar tapi takut-takut gitu, sebenarnya itu benar kan? Kita kerjakan itu benar, tapi kita takut, kita melarang orang seperti ini sebenarnya kita benar, nah tapi kita takut, takutnya ya disalahkan, bukan wewenang kamu katanya, jadi perasaan itu…apa ya…ya seperti itu, seperti saya bilang setengah-setengah lah, setengah hati gitu” R3.W2.b.154-165.h.11 “tapi kalau…kalau sampai ke razia-razia gitu, kita harus liat-liat juga, oh ini benar gak, gitu” R3.W2.b.297-300.h.15 “Kendala terbesar nya yang seperti tadi, misalnya liat orang naik kendaraan gitu ya, ada yang gak menutup aurat, atau ada yang boncengan dengan yang bukan mahramnya, nah itu kan kita takut-takut, takut melakukan yang bukan tugas kita, kita, ini salah gak ya, ini melanggar hukum gak ya, kalau kita melaksanakn tugas ini kita melanggar hukum gak ya, seperti naik motor orang gitu kan, sebenarnya itu salah, mestinya saya negor, tapi gak boleh, kan kendalanya besar tu ya, seharusnya ini tugas saya, saya di bayarnya untuk itu, biar orang berbusana muslim, akhlak nya bagus, kan jiwa itu kan gimana gitu ya, perasaan, tapi gak boleh, gak boleh dilaksanakan, gak boleh di tegor, gak boleh di stop” R3.W2.b.632-650.h.20-21 “tapi kalau kami turun ke lapangan apa kata orang gitu kan, alah WH juga itu kerjaannya, nah gitu” R3.W2.b.413-416.h.16 Bekerja dengan setengah hati dan kurang nyaman juga dialami responden ketika responden harus melaksanakan perintah atasannya, Satpol PP. Responden merasa tugas yang diberikan Satpol PP kepada WH tidak sesuai dengan tupoksi WH. “Ya…sebenarnya kalau mereka ke kami bisa, tapi kami ke mereka sebenarnya kan berat, karena ini tadi, bukan berat apa…ya bukan tugas kami, tupoksi kami bukan untuk membongkar lapak orang gitu kan, bukan itu tupoksi kami, nah tapi mereka karena merasa udah satu kantor, harus dilaksanakan juga, kan, dengan rasa berat hati sebagian orang gak enak sama pimpinan, gak enak sama ini gak enak sama ketua, gak enak sama sapa, jadi kadang-kadang ngikut, nah ikut itu, sebagian orang kan gak setuju, sebagian WH itu kan gak setuju, sebagian itu gak enak” R3.W2.b.359-374.h.15 “Yang gak enak tho, he…maksudnya gak enak melaksanakan tugas tu bukan karena gak…karena bukan tugas kami, gitu” R3.W2.b.377-380.h.15 Ketidak sesuaian instruksi Satpol PP terhadap WH dinilai oleh responden karena Satpol PP tidak memahami WH dan Qanun. Apalagi Satpol PP dan WH itu bertolak belakang. Satpol PP bekerja dengan cara militer, sementara WH tidak dengan cara militer, Satpol PP menghadapi pekerjaan manusia, sementara WH menghadapi akhlak manusia. Hal ini menjadi beban tersendiri bagi responden. “Kalau sekarang itu…gak tau ke depannya ya, sekarang itu bertolak belakang, bertolak belakang antara WH dengan Satpol PP, karena tugas dan fungsinya kan beda, nah seharusnya WH itu kan ada Kasi tersendiri dia, nah Kasi nya itu seharusnya bukan dari Satpol PP, bukan orang Satpol PP, atau….seharunya yang ngerti WH, seperti itu, jangan orang yang berada di dalam kantor Satpol PP, sementara ini kan yang sekarang ini kan yang dalam Satpol PP ini untuk Kasi-nya, berarti untuk panutan kan itu” R3.W2.b.305-319.h.14 “nah kenapa saya bilang bertolak belakang? Sama….ee…sama Pamong Praja ya, Satpol PP, mereka itu setengah militer, kerjaannya, kenapa setengah militer? Orang seperti tadi, pokoknya kamu mau tidak mau seperti ini, salah digusur, nah itu, seperti itu, sedangkan kami bukan,” R3.W2.b.319-327.h.14 “mereka menghadapi manusia itu…apa namanya…pekerjaannya, misal pedagang kaki lima tadi, pedagang kaki lima kerjaannya kan berdagang, nah berdagang kalau dia tempatnya benar, gak masalah kan, tapi kalau dia tempatnya salah, berarti itu yang dikasih tau sama Satpol PP kan, kerjaannya itu, sedangkan WH itu perbaikan akhlak, memperbaiki akhlak, akhlak manusia itu, bukan pekerjaannya” R3.W2.b.327-339.h.14 “sebenarnya juga gak masalah kalau mereka pimpinannya, maksudnya di bawah Satpol PP juga gak masalah, tapi Kasi nya seharunya tau agamalah, tau tentang WH lah” R3.W2.b.346-350.h.15 Hal ini membuat responden merasa tidak mampu bekerja sama dengan baik dengan Satpol PP, bahkan menyebabkan terjadinya konflik antara WH dengan Satpol PP. “tapi kan…ya itu, kan bertolak belakang gak sama-sama gitu ya, jadi gak berbarengan bekerja itu gak sekalian dengan WH” R3.W2.b.400-403.h.16 “Ya…sebenarnya kalau mereka ke kami bisa, tapi kami ke mereka sebenarnya kan berat” R3.W2.b.359-361.h.15 “jadi kan gak matching lah gitu kan, saling gak enak lah gitu, masak kami bantu WH itu, kan gitu kira-kira perasaan orang Satpol PP kan, orang tu gak membantu kami, nah kan ada perasaan seperti itu, kami juga tau itu kan,” R3.W2.b.407-413.h.16 “Satpol PP nya juga enggak, paling mereka bilang anu tadi, masak mereka kerja kami bantu mereka tapi kami kerja mereka gak bantu kami, gitu” R3.W2.b.519-522.h.18 “kalau kita ya…ini, memang gak enak gitu kan, sedangkan pimpinan mereka” R3.W2.b.526-528.h.18 Menghadapi kondisi ini, responden mencoba untuk memberi penjelasan kepada Satpol PP mengenai tupoksi WH. Responden berharap setelah diberi penjelasan Satpol PP akan memahami tugas WH dan tidak akan memberikan instruksi yang berbeda dengan tupoksi WH. Namun perbedaan tingkat pendidikan antara WH dan Satpol PP dinilai oleh responden menyebabkan Satpol PP salah memahami apa yang responden sampaikan. Hal ini membuat responden merasa kesal. Namun karena responden tidak mampu melakukan apa-apa responden memilih untuk diam saja. “terakhirnya ya gimana usaha nya mereka tau tupoksi kami, tugas WH ini apa, nah gitu aja, tapi walaupun sudah disampaikan mereka tidak memahami, kan kebanyakan mereka tamat SMP, SD, SMA, ya, kebanyakan tamat MP, jadi mereka kadang-kadang susah kita bilang seperti ini mereka menanggapinya bukan itu gitu, mereka orang lapangan kan gitu, kita bilang o seperti ini dengan cara yang halus, kita memang gimana mereka tidak tersinggung, tidak sakit hati, mereka tidak…perasaan mereka tidak tersakiti, menyampaikan dengan kata-katanya yang bagus, tapi mereka tidak mengartikan seperti yang kita maksud” R3.W2.b.529-546.h.19-20 “Ya terkendala, kendalanya itu tadi, untuk menyerap apa yang kita kasih tau ke dia, jadi mereka salah mengartikan apa yang kita kasih tau” R3.W2.b.549-522.h.19 “Ya…ya udahlah, seperti itu aja” R3.W2.b.559.h.11 Walaupun menghadapi kendala seperti itu, responden tetap berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan maksimal. Responden pernah menangkap pelaku judi, minuman keras, pelaku khalwat, membina dan memantau pelaksanaan syariat Islam, seperti yang tertuang dalam Qanun nomor 12, 13, dan 14. “Ya, kami kan tugas kami seperti Qanun 12, 13, 14, judi udah pernah kami bina dan kami lakukan ...pernah juga cambuk, minuman keras, khalwat, itu yang udah pernah dilakukan, tugas WH itu kan untuk pembinaan, trus pemantauan gimana pelaksanaan syariat islam, yang udah itu Qanun 12, 13, 14” R3.W1.b.41-48.h.2 “Membina masyarakat ya seperti itu tadi, kita datangkan orang tuanya, didatangkan orang tuanya, di kasih tau ke orang tuanya, Bapak seharusnya seperti inilah, anak Bapak ini jangan seperti ini, kalau kami mengawasi selalu kan bisa, nah Bapak yang selalu bersama dia, Bapak yang membimbing dia” R3.W2.b.655-663.h.21 “sebenarnya awalnya itu tugasnya sosialisasi Qanun, kita memberitahu bahwa Aceh itu sudah berlaku syariat Islam, jadi perbuatan yang gak baik itu di larang, nah itu kemasyarakat gitu ya, kedua ke sekolah-sekolah” R3.W1.b.126-131.h.3 “kemudian kalau memang ada razia gabungan, kita ngasih tau ke mereka itu bahwa di sini sudah berlaku syariat islam, bahwa mereka itu salah, itu aja” R3.W1.b.58-61.h.2 “datang dari Bener Meriah, datang ke sana, mungkin acaranya gak tau, entah acara main-main atau apa, nah kalau seandainya bukan mahramnya, kita tindak, kita kasih surat tilang, atau kita bawa ke kantor, di situ kita nasehati, kalau memang dia betul-betul udah melewati batas, itu mereka harus lapor setiap hari” R3.W1.b.175-183.h.11 Namun saat menjalankan tugas, selain mendapatkan respon positif, responden juga seringkali mendapat respon negatif berupa protes dari masyarakat. Hal ini seringkali membuat responden merasa kesal, geram dan tidak sabar pada masyarakat yang tidak mendengarkan pengarahan yang diberikan WH. “Ada positif ada negatif, ada yang seneng ada yang gak” R3.W1.b.73-74.h.2 “Ya protesnya paling.... itu kenapa gak?” R3.W1.b.83.h.2 “Sering, seringnya itu protesnya, orang itu kemarin berbuat seperti ini, kenapa mereka gak di tangkap,” R3.W1.b.87-89.h.2 “Ya protesnya…ya minta jangan di bawa ke kantor, jangan di panggil orang tuanya, paling itu protesnya” R3.W1.b.494-496.h.18 “Ya…mereka protesnya gini, alah orang seperti ini orang kemaren tu di situ juga iya” R3.W1.b.200-202.h.12 “Ya jengkel juga, hehe, ini manusia kok seperti ini gitu kan, dinasehati kok gak mau gini,” R3.W1.b.474-476.h.17 “Oh, ya ada sih, ada gerem gitu ada, kok seperti ni sih, gak sabar gitu ya, ada, gak sabar, di nasehatin kok kayak bukan dia gitu ya, ada” R3.W1.b.100-103.h.3 Untuk menghadapi protes dari masyarakat ini, responden mencoba untuk melihat dari sisi lain. Responden menganggap bahwa merupakan suatu hal yang wajar jika manusia yang terganggu kesenangannya memberikan protes. Responden juga mencoba untuk bersabar dalam menghadapi protes masyarakat ini. “Ya biasalah, namanya juga manusia ya, uda memang sifatnya gitu ya, ya gak masalah saya itu gak itu ya, bukan masalah besar” R3.W1.b.93-96.h.3 “Ya macam-macam, namanya manusia ya, terganggu kesenangannya kan, mereka berontak” R3.W1.b.51-53.h.2 “Ya harus sabar, menasehati lagi bahwa dia itu salah, ya memang harus sabar, kerjaan WH ini” R3.W1.b.106-108.3 “Kalau dari masyarakat tadi ya, ya kita harus sabar, harus melakukan terus sosialisasinya, membina orang itu kan memang gak segampang membalikkan telapak tangan” R3.W1.b.5.220-224 “Ya kita hanya…gak…gak anu…yang penting kita melaksanakan tugas, mereka besok-besok tidak melaksanakan itu lagi gitu, jadi mereka tau itu dulu gitu, mereka tau bahwa itu salah gitu, jangan besok-besok datang lagi, itu lagi kita anu kan” R3.W1.211-218.h.12 Selain sering mendapatkan protes dari masyarakat, responden juga sering mendapatkan protes dari tentara atau polisi yang ditegur oleh WH karena melakukan pelanggaran syariat Islam. Namun berbeda hal nya jika menghadapi protes yang diberikan oleh seorang tentara atau polisi. Jika responden menghadapi protes dari tentara atau polisi yang meakukan pelanggaran syariat Islam, maka responden akan mencoba untuk memanggil POM Polisi Militer atau rekan-rekan WH yang lain. Jika memang tidak bisa meminta bantuan kepada pihak lain, maka responden memutuskan untuk mundur saja, tidak menindak mereka. Hal ini disebabkan karena responden merasa takut jika menindak tentara atau polisi tersebut seorang diri. Responden merasa takut seandainya tentara atau polisi tersebut melakukan tindakan balas dendam terhadap responden jika mereka bertemu di lain waktu. Responden merasa responden siap untuk melaksanakan tugas, tapi belum siap untuk mati. “kalau yang marah-marah itu paling, kalau yang melaksanakan itu melakukan anggota, polisi, atau dari tentara, gitu, itu biasanya marah-marah” R3.W1.b.203-207.h.12 “Ya adalah, namanya dimarahin gitu, haha…masak…duh kok seperti ini ya…” R3.W1.b.230-232.h.12 “Ya…ya lumayan anu juga, tapi kan kita…kita punya nomor teleponnya kayak POM Polisi Militer, kalau memang terlalu marah-marah, kita panggil dia, biasanya mereka cepat datang” R3.W1.b.222-227.h.12 “memang kita siap melakanakan tugas, tapi kita belum siap mati, kan gitu, gitu kira-kira ya, hehehe, kan kita siap melaksanakan tugas, tapi kita belum siap mati, mereka kan…ya kita tau kan, mereka…gak hari itu ya besok, bisa aja kita ketemu di…jalan…gitu kan, kan itu yang kita takutkan, ketemu di jalan kita kan, kan mereka gak peduli siapa kita,” R3.W1.b.232-242.h.12 “Ya…kan rame-rame bukan sendiri gitu ya, semuanya itu menasehati dia, kalau sendiri teru terang saya gak berani, kan ada…apa ya..lebih besar ini nya, mudharat-nya lah hehe gitu kan, sisi negatifnya gitu kan, kalau sendiri kalau tau dia oh mereka itu anggota gitu ya, nah itu lebih baik kita mundur aja, mundur aja dulu, trus atau kita inikan teman-teman, apa namanya, kita koordinasikan sama teman-teman untuk datang ke sana, paling itu anu nya kan, kalau sendiri gak berani, karena itu tadi, siap melaksanakan tuga tapi belum siap mati” R3.W1.b.247-262.h.13 “kalau sendiri ya itu tadi kan, liat, duh anggota gitu kan, tapi kalau yang lain beranilah kita, maih anak-anak, masih lajang, gak masalah, tapi kalau itu tadi, kan mereka punya kekuatan penuh, tinggal tunjuk, ituloh orangnya, kan gitu kan, oh itu orangnya, besok-besok kita ya ketemu di jalan pun bisa aja mereka bertindak arogan gitu kan, kalau tentara kan tau kita” R3.W1.b.271-282.h.13 Begitu juga dengan pelaku khamar. Responden merasa tidak berani untuk menindak pelaku khamar, karena responden menilai pelaku khamar adalah orang- orang yang arogan yang bisa saja melakukan tindakan balas dendam terhadap responden. Responden merasa siap untuk melaksanakan tugas, namun belum siap mati. Hal ini menyebabkan responden untuk sering menyerahkan kasus khamar kepada pihak kepolisian. “Kalau yang khamar itu…dia harus sabar, harus sabar, intinya dia kan gak boleh kita interogasi waktu pas hari itu pas jam itu, mesti kita tunggu lagi kan, kita harus nunggu dia sampai dia itu sadar, kalau kita langsung kamu ini gini- gini, gak ada efeknya, karena memang dia gak tau, gak sadar, jadi kita tahan dulu, kita bawa ke kantor, sampai kira-kira 2 jam baru dinasehati, atau dilimpahkan ke kepolisian, kalau khamar sering dilimpahkan ke kepolisian” R3.W1.b.479-481.h.17 “dan biasanya orang yang melakukan khamar ini orang yang arogan, orang yang preman, gitu lah biasanya, gak mungkin orang-orang biasa yang melakukannya, jadi kita limpahkan ke polisi, kenapa dengan polisi ya karena itu tadi, siap melaksanakan tugas tapi belum siap mati” R3.W1.b.505-513.h.18 Beban mental semakin dirasakan kuat ketika responden merasa pemerintah kurang mendukung kinerja WH. Responden merasa pemerintah tidak serius dan tidak membantu WH dalam mewujudkan Syariat Islam, sehingga WH bekerja sendiri. Apalagi pemerintah belum mengeluarkan Qanun tentang WH yang menyebabkan WH tidak mampu bekerja maksimal. Hal ini menyebabkan responden merasa kecewa. “Ya, perhatian Pemda Aceh terhadap WH itu kurang, kenapa kurang? Ya kalau seandainya Pemda Aceh itu mendukung sepenuhnya, berarti bukan kami aja yang bekerja, semuanya, semuanya mengatakan bahwa kita itu harus bersyariat Islam, harus berpakaian sesuai dengan syariat Islam, berperilaku sesuai dengan syariat Islam, bupatinya sendiri yang ngomong seperti itu, dan beliau sendiri juga melaksanakan, melaksanakan mereka seperti apa? Yang kami tangkap itu diberitahu ke masyarakat, bahwa itu salah, ini hukumannya, bukan menutup-nutupi,” R3.W1.b.168-181.h.4 “trus kenapa Qanun untuk WH itu gak dikeluarkan sampai sekarang, kan mereka berhak untuk mengeluarkan Qanun tentang WH, sekarang ini kan umum masih dia, antara ia dan tidak, masih ditengah-tengah lah” R3.W1.b.182-187.h.4 “kalau dari PEMDA itu ya kalau mereka serius ya insya Allah akan diperhatikan lah WH ini” R3.W1.b.224-226.h.5 “ya itu tadi namanya kurang perhatian” R3.W1.b.267.h.6 “makanya saya gak terlalu kecewa gak diperhatikan, tapi kecewanya juga ada sih” R3.W1.b.210-212.h.5 “Ya kecewa sih sebenarnya, cuma ya mereka kan juga petugas ya” R3.W1.b.156-157.h.4 Ketidakseriusan pemerintah dalam memperhatikan WH dinilai oleh responden menyebabkan pemerintah tidak memberikan fasilitas yang memadai untuk WH yang menyebabkan kinerja WH terkendala dan terhambat. Jumlah personil yang sedikit, transportasi dan dana yang tidak diberikan pemerintah menyebabkan WH tidak bisa bekerja maksimal untuk mewujudkan harapannya menegakkan syariat Islam di Aceh Tengah. Apalagi pemerintah juga seringkali tidak menindaklanjuti pelanggar yang telah di tangkap oleh WH. “trus kendala yang lain itu....fasilitasnya lah, karena kan fasilitas seperti mobilisasi, kan kita butuh kendaraan, ke mana gitu ya” R3.W1.b.122-125.h.3 “Besar, besar nya kami mau pergi, kami mau pergi, kan beberapa orang ya, itukan butuh biaya, misal pergi satu hari, sedang dia punya keluarga, kalau seandainya gak ada anggaran, ya dia pergi, keluarga di rumahnya kan sengsara gitu ya, hehe, merana lah gitu ya, nah jadi kan butuh dana semua, kalau dana gak dikeluarkan kan kerja kami pasti mandeg, misal ni ada mobil mobil di kasih ya, tapi gak ada minyak, sapa yang mau mengeluarkan untuk minyak? Kan gak mungkin pribadi gitu ya, sedangkan ini kan termasuk tugas negara kan, tugas daerah, ya kan gak mungkin pribadi...” R3.W1.b.273-287.h.6 “Ya mandeg juga, jadi kami seandainya gak ada uang bensin gitu ya, kami gak pergi jauh” R3.W1.b.293-295.h.7 “kan, harus sama polisi, polisi juga kita bayar, bayarnya dari mana? Kan gak mungkin dari kantong sendiri” R3.W1.b.123-126.h.10 “Nah itu dari PEMDA, nah PEMDA itu seharusnya…apa istilahnya, memplotkan dana untuk hal-hal seperti itu” R3.W2.b.52-55.h.9 “termasuk orangnya juga dikit, saya di kecamatan Bebesen itu cuma 3 orang, kecamatan Bebesen itu besar, jalan yang kita lalui itu jauh” R3.W1.b.119-123.h.3 Selain itu, responden juga merasa gaji yang diberikan oleh pemerintah tidak sesuai dengan beban kerja yang ada, namun responden mencoba untuk menganggapnya bukan sebagai kendala dengan menerima kondisi ini sebagai konsekuensi dari pilihannya bekerja sebagai WH. “trus ya memang kesejahteraan WH itu kalau saya nilai ya masih kurang, jadi tolong diperhatikan” R3.W1.b.306-309.h.7 “Kalau dari gaji namanya tenaga honor itu kan….memang kita honor gitu kan, jadi ya uda h, gitu aja” R3.W2.b.567-569.h.19 “Bukan suatu kendala lah, kan kita udah tau, kita melamar suatu pekerjaan itu kita udah tau duluan, kalau memang gak siap dengan seperti itu jangan melamar, oh kita udah tau gajinya misalkan gajinya 200, kerjaannya lebih berat, ya jangan melamar ke situ, kan gitu kan” R3.W2.b.573-581.h.19 Menghadapi kondisi seperti ini, responden mencoba untuk menyampaikannya kepada atasan dan berharap atasanlah yang akan menyampaikannya kepada pemerintah, karena menurut responden atasan lah yang berhak memutuskan. “klo untuk keluhan tadi ya harapan kami ya cuma ngasih tau ke pimpinan, kan mereka yang berhak untuk memutuskan, kami kan gak berhak, kami menyampaikan ke pimpinan, ya pimpinan yang menyampaikan ke atasannya, nanti pimpinan kami mempertemukan dengan wakil bupati” R3.W1.b.243-250.h.6 “Sudah sering, sudah sering kami ketemu udah sering, DPR juga udah pernah, sama Bupati sendiri juga sudah pernah, sama Wakil Bupati sering sekali,” R3.W1.b.261-264.h.6 Selain itu responden juga mencoba untuk menyampaikannya kepada paman responden yang memiliki jabatan lebih tinggi di pemerintahan. Responden berharap paman responden inilah yang akan menyampaikan kepada pemerintah, karena menurut responden jika menunggu pertemuan dengan pemerintah langsung akan menunggu waktu yang lama. “Kebetulan saya punya Pak Cik paman yang memiliki jabatan yang lebih tinggi, jadi saya berdiskusi dengan beliau, saya berharap nanti beliau yang akan menyampaikan pada yang lebih di atas lagi, karena kalau kita mengharapkan pertemuan dengan Bupati atau Wakil Bupati bisa makan waktu lama, ntah kapan-kapan bisanya” R3.W2.b.794-803.h.22 Walapun belum mendapatkan perkembangan yang berarti dari pemerintah, responden mencoba untuk memahami situasi ini dengan berpikir positif bahwa pemerintah juga masih belajar dalam menerapkan Syariat Islam. Pemerintah masih bingung dan belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai bagaimana menerapkan syariat Islam, apalagi pemerintah belum memiliki tempat atau wilayah lain yang dapat dijadikan contoh dalam menerapkan syariat Islam. Kemudian responden juga berfikir bahwa pemerintah juga memiliki program lain yang juga menuntut perhatian dari pemerintah, sehingga pemerintah kurang memperhatikan WH. Menghadapi hal ini responden memutuskan untuk bersabar saja menunggu kebijakan pemerintah. “Ya, mereka bilang sih akan ditindak lanjuti, tapi seperti yang saya sampaikan tadi kan tugas mereka banyak ya, bukan hanya ngurusin WH aja, jadi ya, kita tunggu ajalah” R3.W2.b.811-815.h.23 “kemudian pimpinan kita juga bingung ya, WH ini mau studi banding kemana ya? Mereka ini mau dikasih pelatihan ke mana? Kan di daerah lain gak ada, nah mereka masih belajar, kita juga masih belajar” R3.W1.b.227-232.h.5 “mungkin bukan kita sendiri yang diperhatikan” R3.W1.b.268-269.h.6 “tapi kan kita juga tau, bukan hanya untuk WH saja, kita harus mengetahui di Takengon itu bukan hanya WH, bukan hanya program WH yang harus dijalankan, kan gitu, maih banyak program-program yang lain, jadi kita harus mengerti juga lah” R3.W1.b.55-62.h.9 “makanya saya bilang tadi harus sabar, kalau mintak sekarang harus dapat sekarang, kan gak mungkin, harus nunggu ABPD tahun sekian, gitu, jadi bukan berarti sabar saya diem, enggak, ya...sabar menunggulkah, gitu, hehe..” R3.W1.b.252-258.h.6 Belum terwujudnya syariat Islam di Aceh Tengah membuat responden merasa memiliki beban mental karena malu jika dilihat orang orang-orang di luar Aceh. Responden merasa malu karena belum bisa melaksanakan tugasnya dengan maksimal, karena belum bisa mewujudkan Syariat Islam di Aceh tengah. “Nah itu tadi, beban mental, beban, karena sebenarnya saya ini di bayar untuk itu” R3.W2.b.672-674.h.21 “Ya saya malu ya, saya malu, karena sebenarrnya ini kan tugas saya, tapi saya belum bisa melaksanakannya” R3.W1.b.784-786.h.22 “Kalau misalnya datang orang sekarang, kayak adeklah gitu ya, saya malu, o kayak gini ya syariat Islam di Aceh, kok sama aja dengan di Medan yang gak ada syariat Islamnya? Orang di jalan juga bisa peluk-pelukan? Gak ada bedanya? Saya sebenarnya malu” R3.W1.b.199-206.h.5 “Ya, pengennya kan melaksanakan syariat Islam, jadi kita pengennya orang itu tau bahwa di Aceh itu syariat Islam, ada bedanya, kalau kita misalnya dari sini pergi ke Jogja, sama aja dengan di sini, pergi ke Makassar, sama juga dengan di sini, nah gitu, jadi belum ada bedanya, tapi coba kalau kita pergi ke Arab, beda dengan di Indonesia, apa bedanya? Mereka menjalankan Syariat Islam, maunya gitu, jangan seperti sekarang, kalau kita pergi ke Lampung katakan gitu, sama dengan masyarakat Aceh Tengah” R3.W2.b.678-692.h.21 Beban yang responden rasakan semakin berat karena responden merasa WH bukanlah pekerjaan inti responden karena tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan responden. Hal ini menyebabkan responden mencoba untuk menyegarkan kembali ilmu yang didapat dari pendidikan tingginya dengan mengajar menjadi dosen. Selain itu, untuk menghilangkan kejenuhannya, responden mencoba untuk memanfaatkan waktu luangnya dengan memiliki usaha kerambah. Responden juga berusaha untuk keluar dari WH dengan mendaftarkan data base nya untuk mendapatkan SK dari WH dan kemudian setelah keluar SK responden berharap akan ditempatkan di bagian lain yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. “Ya, adanya ya ada sih, kan di pemerintah itu bukan hanya di WH kan, ada juga yang sesuai pendidikan kan ada, misal seperti PU, atau perindutrian, kan ada” R3.W2.b.607-611.h.20 “tapi saya berbenturan dengan pendidikan saya, saya kan teknik ya, teknik kok masuk ke sini, hehe, seharusnya yang bagus itukan sarjana-sarjana agama....” R3.W1.b.316-320.h.7 “tapi ya itu tadi, beban saya itu ilmu saya bukan di situ...” R3.W1.b.322-323.h.7 “waktu 2004 itu kan ada data base, nah saya udah masukkan data itu, SK nya SK WH, kan gitu” R3.W2.b.592-594.h.20-21 “Ya, kalau WH ini kan suatu kerjaan umat ya, jadi bukan kerjaan inti menurut saya, jadi selama ini saya juga ngajar, dosen, untuk menyegarkan kembali ini kan” R3.W2.b.615-619.h.20 “Ya yang sesuai dengan pendidikan saya, kayak sekarang juga bukan itu kerjaan inti saya, karena kalau gak ke kantor saya cari kegiatan lain” R3.W2.b.622-625.h.20 “Buka usaha, buka usaha kerambah” R3.W2.b.628.h.20 Tabel 5 Sumber Stres, Appraisal, dan Coping Stres Responden III No Sumber stress Appraisal Coping stress Emotion focus Problem Focus

1. Job Complexity

a. Physical danger

b. decision making, responsibility, and stress Merasa takut mendapatkan perilaku kekerasan dari tentara atau polisi atau pelaku khamar yang ingin balas dendam terhadap responden. a. Merasa bertolak belakang dengan atasan. Atasan tidak memahami agama dan Qanun.

b. Merasa tidak bisa

bekerja sama dengan atasan. Menganggap sebagai beban Menganggap sebagai beban yang dapat menghambat kinerjanya. - Bersabar, mendiamkannya saja. a. Tidak menindak tentara atau polisi yang melakukan pelanggaran jika sedang melakuakn razia sendirian. b. Memanggil POM untuk membantu menindak polisi atau tentara yang melakukan pelanggaran. c. Menyerahkan pelaku khamar kepada pihak kepolisian. a. Mencoba memberi penjelasan pada atasan mengenai tupoksi WH yang sebenarnya. c. Work overload d. Organizational structure and development

c. Merasa kesal

karena atasan member instruksi tugas yang tidak sesuai dengan tupoksi WH

d. Atasan kurang

mendukung kinerja WH

e. Atasan tidak

menindaklanjuti pelanggar yang telah ditangkap WH

f. Tingkat pendidikan

WH lebih tinggi dari pada atasan. Merasa memiliki tugas yang sulit. Merasa WH bukan merupakan inti pekerjaannya. a. Merasa sulit bekerja maksimal Menganggap sebagai beban yang dapat menghambat kinerja responden. Merasa tidak mampu melakukan apa-apa Mengalihkan pikirannya ke kegiatan lain. Bersabar b. Tetap melaksanakan instruksi atasan walaupun dengan setengah hati. a. Berusaha melaksanakan tugas semaksimal mungkin. b. Bekerja sebagai dosen c. Mengembangkan usaha kerambah. a. Mengajukan e. Role ambiguity karena jumlah personil WH hanya 3 orang di kecamatan X b. Merasa hak dan kewajibannya kurang. WH tidak berhak menangkap pelanggar yang kedapatan melakukan pelanggaran Qanun. a. Merasa Qanun dan hukum yang mengatur tugas- tugas WH belum jelas, di tengah- tengah, masih setengah-setengah b. Merasa tugas-tugas WH belum jelas, antara iya dan tidak. Menilai sebagai beban yang dapat menghambat kinerja responden. - tuntutannya untuk menambah hak dan kewajiban WH kepada pemerintah. b. Menyampaikannya kepada paman yang memiliki jabatan lebih tinggi dengan harapan akan disampaikan kepada pemerintah c. Menunggu kebijakan pemerintah terhadap WH Melaksanakan tugas dengan hati-hati, sebelum menindak, memikirkan dengan baik-baik apakah yang akan dilakukannya benar- benar tugas WH atau tidak, agar terhindar dari tanggapan negatif masyarakat.

2. Interpersonal stress

a. Masyarakat kurang Menganggap sebagai Bersabar Tetap melaksanakan mendukung kinerja WH. b. Masyarakat kurang menghargai WH c. Masyarakat protes terhadap teguran WH d. Masyarakat menganggap WH tidak bekerja beban tugasnya dengan memberikan pengarahan kepada masyarakat dengan cara yang lemah lembut,

3. Career development

Merasa karir di WH tidak bisa meningkat Menerima sebagai konsekuensi pekerjaan - Mengikuti data base.

4. Dana

Merasa gaji yang diberikan tidak sesuai dengan beban kerjanya. Gaji yang diterima masih minim Menganggap sebagai beban. Mencari rasionalisasi bahwa WH menang tenaga kontrak, jadi sudah sewajarnya memperoleh gaji seperti itu. -

B. Interpretasi 1. Responden I

a. Sumber Stres

Masalah-masalah yang di alami oleh responden secara garis besar dapat digolongkan pada sumber stres dari pekerjaan. Sarafino 2006 menyatakan bahwa banyak orang-orang yang mengalami stres yang berhubungan dengan pekerjaannya. Greenberg 2006 menyatakan bahwa occupational stress adalah kombinasi dari sumber stres yang berasal dari pekerjaan, karakteristik individu, dan sumber stres yang berasal dari luar organisasi. Stres yang dialami oleh responden adalah ketakutan responden akan keselamatan fisiknya saat menjalankan tugas, ketiadaan jenjang kenaikan karir, ketidaksesuaian dengan atasan, beban pekerjaan berat, ketiadaan dukungan dari atasan dan pemerintah, dan gaji yang dinilai tidak sebanding dengan beban pekerjaannya yang berat. Mengenai ancaman fisik dalam pekerjaannya, responden merasa ketakutan jika seandainya pelaku pelanggaran syariat Islam yang ditegur oleh responden melakukan tindakan kekerasan terhadap responden sebagai bentuk balas dendam. Karena menurut responden laki-laki bisa saja melakukan kekerasan jika kesenangannya terganggu. Ketidakmampuan responden untuk mengontrol ketakutan akan kekerasan ini low controllability menyebabkan responden merasa tidak mampu mengatasi situasi menekan ini sehingga selanjutnya menimbulkan stres pada responden. Lazarus dalam Wangsadjaya menyatakan bahwa penilaian individu mengenai bagaimana individu dapat mengatasi situasi menekan Coping-potential merupakan salah satu cara yang digunakan individu