LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah memberlakukan Syariat Islam selama tujuh tahun. Sejak saat itu kehidupan masyarakat di daerah berjuluk Serambi Mekah itu kental dengan nuansa Islam. Tidak hanya sebatas nuansa, tapi telah merasuk dalam semua sendi kehidupan masyarakatnya. Dengan Undang- Undang nomor 44 tahun 1999 tentang Daerah Istimewa Aceh dan Undang- Undang Otonomi Daerah Nomor 18 tahun 2001, Aceh resmi memberlakukan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya, selain tentunya, hukum positif yang berlaku nasional Indosiar.com, 2006. Peraturan syariat Islam memang tidak bisa langsung diterapkan secara keseluruhan. Peraturan Daerah atau Qonun misalnya, sampai kini baru empat yang disahkan, yaitu Qonun nomor 11 tentang aturan Syariat Islam, Qonun 12 soal judi atau maisir, Qonun 13 tentang khamar atau minuman keras, serta Qonun 14 tentang khalwat, larangan berduaan di tempat sepi bagi yang bukan muhrim. Namun hal ini jauh dari cukup untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Empat Qonun itupun dipercepat pemberlakuannya, karena dianggap mendasar dan berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indosiar.com, 2006. Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Dua tahun setelah Qonun Syariat Islam diberlakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, lembaga hukum baru sebagai penopang pemberlakuan Qonun Syariat Islam pun satu per satu dibentuk. Majelis Permusyawaratan Ulama MPU, yang berperan memberikan masukan dalam menentukan kebijakan daerah terkait syariat Islam melalui fatwa hukum, adalah lembaga yang pertama kali dibentuk. Selanjutnya dibentuk Dinas Syariat Islam yang berperan menyiapkan Qonun dan melakukan penyuluhan serta pengawasan. Indosiar.com, 2006. Dalam menjalankan fungsi pengawasan, Dinas Syariat Islam membentuk Wilayatul Hisbah pengawas wilayah, sering disebut polisi syariah. Wilayatul Hisbah WH adalah badan yang ditugaskan untuk mengawasi dan memantau pelaksanaan hukum Islam di dalam masyarakat Aceh khususnya, berkenaan dengan realisasi Qanun-Qanun tentang larangan khamar minuman keras, maisir judi dan khalwat berdua-duaan dengan lawan jenis Widyanto, 2007. WH juga disebut sebagai lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syariat Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar Himpunan Peraturan Daerah, 2004. Imam Mawardi dalam Marhaendy, 2008 menyatakan bahwa WH bertugas melaksanakan amar ma’ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya. Amar ma’ruf berarti menyerukan kepada kebajikan, yaitu mengajak, menghimbau, memerintahkan, menyuruh atau menuntut dilakukannya segala perbuatan yang baik menurut syariat Islam dan mendekatkan pelakunya kepada Allah SWT. Nahi Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. munkar berarti mencegah, melarang, menjauhkan, menentang, mengancam, melawan, menegur atau menyudahi terjadinya segala perbuatan yang buruk menurut syariat Islam dan menjauhkan pelakunya dari Allah SWT Kebun Hikmah Online, dalam Marhaendy 2008. Dengan demikian posisi WH sangat menentukan efektivitas jalannya penerapan Syariat Islam. Sebab, WH merupakan institusi yang terjun secara langsung memantau terjadinya pelanggaran- pelanggaran Syariat Islam tersebut di wilayah NAD Marhanedy, 2008. Tugas WH dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar diantaranya adalah menindak perempuan Islam yang tidak menggunakan busana muslim, menangkap pasangan beda kelamin yang berdua-duaan khalwat, dan meringkus pemabuk khamar serta penjudi maisir. Dalam melaksanakan tugas ini, WH dibantu oleh Paperda Tim Penertiban Peraturan Daerah, karena WH belum memiliki wewenang sebagaimana Paperda yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil Afrida, 2006. Berdasarkan Qanun Nomor 11 Pasal 14 ayat 3, apabila saat menjalankan tugasnya WH mendapatkan beberapa bukti bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran, maka WH diberi wewenang untuk menegurmenasehati orang yang melakukan pelanggaran tersebut. Apabila teguran dan nasihat yang dilakukan WH membuat seseorang tidak lagi mengulangi perbuatannya, maka penyelesaian dipadai pada tahap teguran dan nasihat, tetapi apabila tidak didengarkan maka WH menyerahkan kasusnya pada penyidik dan selanjutnya diserahkan kepada jaksa untuk dilimpahkan ke Mahkaman Syari’ah Abubakar, 2008. Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. WH mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas WH Provinsi, WH Tingkat KabupatenKota, WH Tingkat Kecamatan dan WH Kemukiman, bahkan memungkinkan di bentuk di Gampong dan lingkungan – lingkungan lainnya Qanun NAD Nomor 11 BAB VI, Pasal 14 ayat 2 Abubakar, 2008. Terdapat beberapa perbedaan kebijakan mengenai WH yang ditempatkan di kota dengan WH yang ditempatkan di desa. WH yang ditempatkan di kota berjumlah lebih dari 3 orang per kabupaten, sementara WH yang ditempatkan di desa berjumlah 2 sampai 4 orang per kecamatan. WH yang ditempatkan di kota juga dibekali dengan kendaraan dinas, sementara WH yang ditempatkan di desa menggunakan kendaraan pribadi. Wawancara personal, 10 Juli 2008 Berbeda dengan WH yang ditempatkan di kota, WH yang ditempatkan di desa seringkali terbentur dengan masalah adat kebiasaan masyarakat. Masyarakat desa pada umumnya cenderung memahami ajaran dan tuntunan Islam dalam kerangka budaya dan adat Aceh, dalam arti kata pelaksanaan Islam dilakukan dalam kerangka adat “lokal” Chaidar, 2008. Hal-hal yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dianggap sebagai hal yang sesuai dengan syariat islam, walaupun sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya adat kebiasaan perempuan desa yang akan pergi ke kebun tidak menggunakan jilbab sebagai penutup kepalanya, tetapi menggunakan ”kelubung”, sejenis kain penutup rambut. Jika menghadapi hal ini, WH yang ditempatkan di desa seringkali bingung harus berbuat apa, menindak atau membiarkan saja. Jika ditindak, WH takut dituduh tidak menghormati adat kebiasaan masyarakat, tetapi jika tidak ditegur, WH merasa perempuan tersebut telah melakukan pelanggaran Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. karena tidak menggunakan jilbab saat keluar rumah. Ketidakmampuan WH yang ditempatkan di desa untuk menindak kasus ini seringkali membuat mereka merasa tidak mampu menjalankan apa-apa dari tugasnya. Sementara WH yang ditempatkan di kota tidak menghadapi kasus ini karena adat menggunakan ”kelubung” tidak berlaku di kota. Wawancara personal, 10 Juli 2008. Hal ini seperti diungkapkan oleh Nofi bukan nama sebenarnya salah seorang WH yang ditempatkan di desa. ”cuman mungkin yang namanya kepala ya kalau kita larang pun kan, ada yang dari kebun, kayak mana gitu ya, gak bisa kita tekan kali pun, kalau orang- orang kampung pun kayak gini lah cuman model jilbabnya, nutup rambut cuma, pakek kelubung aja” R2.W2.b.25-31.h.5 Contoh lain adalah saat akan menegur pasangan beda kelamin yang melakukan ikhtilath bercampur baur antara laki-laki dan perempuan. WH yang ditempatkan di desa merasa sulit untuk menegur muda-mudi yang melakukan ikhtilath, karena ikhtilath biasa terjadi dalam pesta-pesta perkawinan yang diadakan oleh masyarakat, dimana telah menjadi adat kebiasaan untuk menyediakan acara khusus untuk pemuda dan pemudi dalam sebuah pesta yang menyebabkan terjadinya ikhtilath. Sementara di kota adat perkumpulan pemuda- pemudi ini tidak berlaku lagi. Hal ini seperti disampaikan oleh Dina bukan nama sebenarnya salah seorang WH yang ditempatkan di desa. ”kalau pesta pernikahan di kota ni kan agak lebih modern, gak ada lagi perkumpulan pemuda pemudinya, kalau di desa tu kan 2 hari sebelum hari H itu muda mudinya udah mulai berkumpul” R1.W2.b.34-38.h.15 Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. ”memang kalau dilihat dari apa memang kurang syar’i, cuma itulah kebiasaan mereka, nah kalau yang punya rumah tidak melakukan hal seperti itu mereka secara tidak langsung seperti dikucilkan, kalau di kota kan gak lagi” R1.W2.b.49-54.h.15 Selain itu, kurangnya dukungan dari pihak pemerintah juga sangat dirasakan oleh WH yang ditempatkan di desa. Kurangnya dukungan ini dirasakan oleh WH karena pemerintah tidak memberikan peralatan yang memadai untuk pelaksanaan tugas WH, seperti mobil untuk patroli dan dana operasional lapangan. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan WH untuk melakukan patroli. Begitu juga dengan dana operasional yang tidak diberikan oleh pemerintah. Jika membutuhkan dana untuk tugas-tugas, WH justru diinstruksikan untuk mengambil dana dari jumlah gaji yang diberikan pemerintah. Hal ini tentu saja akan mengurangi jumlah gaji yang mereka terima, padahal mereka merasa gaji yang mereka terima terlalu kecil jika dibandingkan dengan kerja yang mereka lakukan. Wawancara Personal, 10 Juli 2008 Hal lain yang menjadi kendalahambatan dalam menjalankan tugas di lapangan bagi petugas WH adalah masih terbatasnya kewenangan yang di miliki WH dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran Qanun syariat Islam. WH hanya memiliki wewenang untuk menegur atau menasehati. Hal ini membuat wewenang WH sangat lemah dalam menindaklanjuti pelanggar. Jika menemukan pelanggar dan ingin ditindaklanjuti, WH harus menghubungi pihak kepolisian terlebih dahulu, jika pihak kepolisian terlambat hadir, maka pelanggar dengan mudah dapat melarikan diri. Abubakar, 2007 Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Selain itu, WH yang ditempatkan di desa juga mengalami kendala dalam pelaksanaan tugasnya karena WH terkadang mengalami konflik dengan rekan sekantornya dan dengan atasannya. Ketiadaan jenjang kenaikan karir bagi WH juga dinilai sebagai kendala dalam pekerjaannya. Hambatan dan kendala yang dihadapi WH yang ditempatkan di desa ini menuntut mereka untuk bekerja lebih keras dalam menjalankan tugasnya. Beban pekerjaan yang terlalu berat, konflik, frustasi, jam kerja yang rutin, gaji yang tidak sesuai dengan pekerjaan, dan lingkungan pekerjaan dapat menimbulkan stres Ubaidillah, 2007. Kondisi pekerjaan yang terlalu kompleks, overload, terdapatnya kebingungan peran, dan kurangnya dukungan sosial, harapan akan kenaikan karir yang tidak didapatkan, struktur organisasi yang terlihat kaku dan keras juga dapat menyebabkan timbulnya stres Looker Gregson, 2005. Stres dapat didefenisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika terdapat sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya Looker Gregson, 2005. Menurut Cox, Lazarus, Folkman, dkk dalam Sarafino, 2006 stres adalah kondisi yang timbul akibat interaksi individu dengan lingkungan, dimana individu mempersepsikan adanya ketidaksesuaiankesenjangan antara tuntutan fisikpsikis dari suatu situasi dengan sumber biologis, psikologis, atau sistem sosial individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu respon fisiologis, kognitif, emosi, dan tingkah laku. Respon fisiologis dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan. Respon kognitif dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar. Respon emosi dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya. Dan respon tingkah laku dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan. Sarafino 2006 menyatakan bahwa sumber-sumber stres dapat berubah sesuai dengan perkembangan individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap waktu sepanjang kehidupan Sarafino, 2006. Sumber-sumber stres disebut dengan stresor. Stresor adalah bentuk yang spresifik dari stimulus, apakah itu fisik atau psikologis, menjadi tuntutan yang membahayakan well being individu dan mengharuskan individu untuk beradaptasi dengannya. Semakin besar perbedaan antara tuntutan situasi dengan sumber daya yang dimiliki, maka situasi tersebut akan dipandang semakin kuat menimbulkan stres Passer Smith, 2007. Stres dapat muncul dari pekerjaan individu. Menurut Cary Cooper dalam Greenberg, 2004 di dalam pekerjaan terdapat 6 hal yang dapat menjadi sumber stress, yaitu kondisi pekerjaan, kebingungan peran, interpersonal stres, perkembangan dan struktur organisasi, serta hubungan pekerjaan dan rumah. Kondisi pekerjaan berupa beban tugas yang berat dialami oleh WH yang ditempatkan di desa. Hal ini seperti diungkapkan oleh WH yang ditempatkan di desa. “sebanyak tu kerja di Aceh Tengah ni yang paling berat tu lah WH, mental WH ni lho Mental di kenak nya kan?” R2.W2.b.169-173.h.7 Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. “kalau kita lihat-lihat memang pekerjaan WH tu berat, cuma di sisi lain banyak pahala” R1.W2.b.331-332.h.21 Kondisi pekerjaan lain berupa ancaman terhadap keselamatan fisik juga dialami oleh WH yang ditempatkan di desa. Sosialisasi peran WH yang masih sangat kurang dalam masyarakat, menyebabkan WH seringkali mendapat perlawanan dari masyarakat ketika menegur pelanggar Abubakar, 2007. Perlawanan yang diberikan masyarakat ini menyebabkan WH merasa terancam keselamatan fisiknya. Hal ini seperti diungkapkan oleh Dina bukan nama sebenarnya salah seorang WH yang ditempatkan di desa. “kalau terjadi sesuatu, misalnya kan kita berdakwah ke pemuda, apalagi pemuda-pemuda dia lagi senang-senangnya trus kita teriak “hey sini sini…” memanglah secara ahsan baik, nantikan orang tu tapi mudah-mudahan enggak pernah nanti orang tu kan kompak, kalau mereka mengeroyok kita apa segala macam kan nah itu kan menyangkut keselamatan kan” R1.W2.b.218-227.h.19 Stres yang dialami oleh individu disertai dengan ketegangan emosi dan ketegangan fisik yang menyebabkan ketidaknyamanan. Dalam situasi seperti ini, maka individu termotivasi untuk melakukan suatu tindakan yang bisa meredakan stres. Hal ini disebut coping. Coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain, coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya Mu’tadin, 2002. Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Menurut Lazarus dalam Sarafino, 2006 coping memiliki 2 fungsi utama, yaitu mengubah masalah sebagai penyebab stres problem focus coping atau mengatur respon emosi terhadap masalah tersebut Emotion-focused coping. Problem focus coping digunakan dengan mengurangi tuntutan dari situasi atau menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk menghadapinya. Emotion-focused coping digunakan untuk penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional. Taylor dalam Wangsadjaja menyatakan bahwa terkadang individu dapat menggunakan kedua fungsi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua fungsi coping pasti digunakan oleh individu. Carels, et.al dalam Passer Smith, 2007 menyatakan bahwa kegagalan dari fungsi coping yang digunakan dapat saja terjadi, jika individu tidak menggunakan coping skill yang cukup untuk menghadapi situasi yang berbahaya, sehingga hasilnya individu akan mengalami kepercayaan diri yang rendah dan percaya bahwa mereka tidak akan dapat menghadapi permasalahan. Selanjutnya individu akan merasa terganggu dan menyalahkan diri sendiri mengenai permasalahan yang dihadapinya dan berfikir memang tidak akan pernah mampu menghadapinya. Keputusasaan ini menyebabkan resiko yang berbahaya bagi individu yang menyebabkan individu lepas kendali dan dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan kegagalan total. Fungsi coping yang dilakukan masing-masing individu berbeda, ada individu yang tampaknya mampu menangani stres dengan lebih baik dibandingkan dengan individu yang lain Looker, Gregson, 2005. Begitu juga dengan Wilayatul Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Hisbah, tentunya cara Wilayatul Hisbah menghadapi kendala yang dialaminya berbeda pada masing-masing personel. Melihat fenomena di atas, peneliti tertarik untuk meneliti gambaran coping stress pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa.

B. PERUMUSAN MASALAH