Tujuan Cerita dalam Al-Qur’an

Islam dengan seluruh syariat Ilahiah yang diserukan oleh para rasul dan nabi keseluruhan, dan bahwa Islam sejatinya pelanjut syariat-syariat tersebut. Allah berfirman,                “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau Muhammad melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Aku, maka sembahlah Aku . al-Anbiya: 25 Ketiga, menegaskan kesatuan metode dan gaya dakwah para nabi. Al- Qur’an menegaskan betapa metode dan gaya dakwah para nabi itu satu, bahwa cara mereka dalam melawan dan menghadapi kaumnya itu serupa, dan bahwa faktor-faktor, sebab dan fenomena-fenomena yang dihadapi dakwah adalah satu. 32 Keempat, mengabadikan ingatan mengenai peristiwa yang dialami oleh para nabi dan tokoh-tokoh lain di masa silam agar tetap menjadi pelajaran. Serta memberikan kabar gembira kepada para penyeru kebenaran tentang akhir yang indah yang menunggu mereka di dunia dan di akhirat serta memotifasi mereka agar bersabar dalam berdakwah. Cerita-cerita itu menjelaskan bahwa orang yang mengingkari kebenaran risalah para nabi akan bernasib sama seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Samud, dan lainnya. Demikian juga para dai yang melanjutkan tugas nabi dan pengikutnya, diharapkan bersabar dan tidak bersedih hati mengalami penolakan dan perlawanan dari masyarakat karena Allah akan menolong para nabi-Nya di penghujung peristiwa dan mengalahkan kaum pendusta. Kelima, cerita adalah sarana penting yang digunakan Al-Qur’an untuk membangkitkan motivasi belajar. Ia mempunyai pengaruh yang bersifat 32 Muhammad Hadi Ma’rifat. Kisah-Kisah Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora, Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013, h. 47. mendidik, karena sejak dulu para pendidik mempergunakannya sebagai sarana untuk mengajarkan akhlak baik, nilai agama, dan etika dengan cara yang ringan dan menyenangkan, sehingga akal dan jiwa bisa mendapatkan hikmah, nasihat, pelajaran, serta keteladanan. 33

3. Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an

Sesungguhnya pada cerita-cerita mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. QS Yusuf: 111. Dari ayat tersebut dapat dipahami betapa cerita-cerita yang ada dalam Al- Qur’an memiliki faktualitas, kebenaran, hikmah dan pendidikan nilai-nilai luhur. 34 Keempat hal inilah yang membuat cerita-cerita yang ada dalam Al- Qur’an, berbeda dengan cerita pada umumnya. Faktualitas, dalam arti bahwa Al-Qur’an menyampaikan peristiwa- peristiwa, persoalan dan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan kebutuhan hidup mereka dalam bentangan sejarah kemanusiaan. Jadi, cerita dalam Al-Qur’an bukan sekedar cerita khayal yang ada di angan- angan. Penuturan cerita dan peristiwa-peristiwa di dalam Al-Qur’an bermaksud mengajak untuk “membaca ulang” sejarah kemanusiaan dan persoalan-persoalan rill yang telah dijalani umat manusia sebelumnya, yang dengan itu menjadi jelas hal-hal yang baik dari yang buruk, supaya itu semua dijadikan pelajaran bagi kehidupan yang sekarang dan yang akan datang. Sehingga umat dewasa ini tidak mengulang apa yang pernah dilakukan leluhur mereka yang berujung pada penyesalan. Dalam uraiannya, cerita Al- Qur’an juga memberikan penekanan lebih pada peristiwa, bukan tokoh. Kebenaran, dalam arti memerhatikan sisi kebenaran dalam menuturkan peristiwa-peristiwa dan fakta historis yang dihadapi oleh para nabi dan umatnya dalam kehidupan. Ini berseberangan dengan dongeng-dongeng 33 Muhammad Utsman Najati. Psikologi Qurani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni. Bandung: Penerbit MARJA, 2010, h. 155. 34 Ma’rifat, Op. cit, h. 33. bohong, mitos, serta penyimpangan dalam pemahaman yang menghiasi cerita-cerita para nabi terdahulu dalam kitab Perjanjian Lama dan Baru. 35 Pendidikan nilai-nilai luhur, mungkin inilah salah satu fokus Al-Qur’an, karena Rasulullah pun diutus untuk meluruskan akhlak manusia. Dalam Al- Qur’an, cerita dituturkan dengan nuansa akhlak untuk beriman kepada Allah serta beramal saleh dan berperilaku baik dalam hidup,baik secara pribadi maupun sosial. Hikmah, karena di antara tujuan diutusnya para utusan Allah ialah mengajarkan kitab dan hikmah, sehingga dari cerita-cerita Al-Qur’an orang dapat mengambil manfaat darinya dalam membuat hidupnya lebih bermakna. Boleh jadi karena alasan ini Al-Qur’an membatasi diri dalam mengetengahkan cerita dan peristiwa-peristiwa sejarah, sebatas dengan yang memiliki kaitan dengan arah dan orientasinya itu sendiri. Tentu ini berbeda dengan cerita yang disampaikan sebagai hiburan dan kodifikasi kejadian dan peristiwa-peristiwa bersejarah, sebagaimana ciri khas buku-buku sejarah. 36 Itulah keunikan cerita Al-Qur’an yang membuatnya berbeda dengan cerita lainnya, bukan sekadar pemaparan cerita orang-orang yang telah mati tetapi tidak membawa makna yang berarti dan kebaikan di dalamnya. Atas dasar itu, Al-Qur’an disebut ahsan al-qashash, yakni “cerita terbaik” QS Yusuf: 3. a. Gaya Penyampaiannya Berbeda dengan Cerita Sastra. Metode cerita dalam Al-Qur’an berbeda dengan metode cerita dalam tradisi literer-sastrawi dan humaniora pada umumnya. Gaya bahasa Al- Qur’an menganut stilistika khithabi retorikal, bukan kitabi tulisan atau buku. Sehingga Al-Qur’an tidak harus menjelaskan persoalan-persoalan secara teratur dan sistematis, tidak perlu menjelaskan detail-detail, sebagaimana menjadi sebuah keharusan dalam sebuah buku. Karena itu, dalam menarasikan cerita, Al-Qur’an tidak perlu terjebak pada kronologi 35 Ibid., h. 35 36 Ibid., h. 37-38. waktu dan kesinambungan peristiwa. Tetapi, Al-Qur’an bebas bergerak dan berpindah dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, kemudian kembali mengulang lagi tijwal jika memang diperlukan. Malah terkadang secara terputus-putus dan tidak ada kelanjutannya, karena yang penting telah menunjukkan inti yang menjadi signifikansi dari cerita tersebut bayt al-qashid. Hal ini dikarenakan posisi Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk. Karenanya, Al-Qur’an memanfaatkan cerita hanya untuk tujuan hidayah petunjuk tersebut. Karena itu pula, untuk sampai pada tujuan utamanya, Al-Qur’an membatasi diri pada pemaparan hal-hal yang perlu saja, tanpa tergoda dengan aspek lain yang tidak berhubungan secara langsung dengan tujuan asalnya. 37 b. Penyampaian Pesan dalam Cerita Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa penyampaian pesan-pesan agama melalui cerita mempunyai maksud dan tujuan tersendiri. Karena cerita di dalam Al-Qur’an merupakan suatu metode untuk mencapai tujuan yakni memberi pelajaran bagi manusia, maka agar tujuan tersebut berhasil dengan baik, biasanya Al-Qur’an lebih dahulu menyebutkan kandungan suatu cerita secara umum melalui beberapa kata secara singkat. Setelah itu barulah Al-Qur’an menguraikan secara luas. Sementara itu jika Al-Qur’an hendak menyampaikan pesan-pesan penting yang terdapat di dalam suatu cerita, cara yang digunakan adalah mengemukakan pernyataan tegas secara berjenjang, baik berisi penolakan maupun pengukuhan isi cerita. Metode penyampaian pesan melalui cerita dapat dilihat antara lain ketika Al-Qur’an menceritakan cerita Nabi Yusuf, Musa, Adam, dan Penghuni Gua Ashabul Kahfi. 38 37 Najati, Op. cit, h. 156. 38 Abd. Rahman Dahlan. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1997, h. 188. Ketika bercerita tentang Nabi Yusuf AS., Al-Qur’an memulainya dengan ayat berbunyi: Kami menceritakan kepadamu cerita yang paling baik, dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu... QS Yusuf: 3. Setelah mengukuhkan kebaikan cerita yang hendak dikemukakan dan menceritakan secara singkat rangkuman cerita Nabi Yusuf, Al- Qur’an kemudian menegaskan: Sesungguhnya terdapat beberapa tanda kekuasaan Allah pada Yusuf dan saudara-saudaranya, bagi orang-orang yang bertanya QS Yusuf: 7. Setelah itu barulah Al-Qur’an menguraikan cerita Nabi Yusuf secara deskriptif sampai selesai. Adapun ketika Al-Qur’an hendak menyampaikan pesan penting di dalam suatu cerita, digunakannyalah bentuk pernyataan bersifat menegasikan atau mengukuhkan. Hal ini dapat dilihat antara lain ketika Al-Qur’an membantah dan membatalkan keyakinan orang-orang yang mempertuhankan berhala-berhala, di samping mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. 39 Al-Qur’an membantah keyakinan tersebut dengan menegaskan: Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan sesuatu kecuali dusta. QS Al-Kahfi: 5. Demikian juga ketika ketika menegaskan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW; mula-mula Al-Qur’an membantah tuduhan kaum kafir Quraisy yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad sesat dan mengada-ada: Demi bintang ketika terbenam. kawanmu Muhammad tidak sesat dan tidak pula keliru. dan tiadalah yang diucapkannya itu Al-Quran menurut kemauan hawa nafsunya. QS An-Najm: 1-3. 39 Ibid., h. 189. Setelah menegasikan semua tuduhan negatif terhadap diri sang Nabi, pada jenjang berikutnya barulah Al-Qur’an menyatakan secara terperinci kedudukan beliau sebagai pembawa wahyu Allah: Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. yang diajarkan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat. QS An-Najm: 4-5. Demikian beberapa contoh pola yang digunakan Al-Qur’an untuk menyampaikan pernyataan penting di dalam suatu cerita. Melalui pola- pola tersebut, para pembaca ataupun pendengar akan mendapatkan keterangan secara jelas tentang pesan yang disampaikan, sekaligus merasakan kesan yang mendalam tentang alur cerita dari cerita tersebut. 40 c. Pengulangan Cerita Cerita di dalam Al-Qur’an ada yang disampaikan secara tuntas di satu tempat dalam Surah Al-Qur’an, seperti cerita Zulqarnain dalam Surah Al-Kahfi, cerita tentara gajah dalam surat Al-Fiil dan cerita Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf. Di sisi yang lain, sebagian besar cerita Al- Qur’an tidak disampaikan secara utuh sekaligus dalam satu tempat, tetapi hanya bagian tertentu yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan dan tersebar di beberapa surah. Cerita Nabi Adam misalnya tersebar di beberapa surah, antara lain: al-Baqarah: 30-38, Ali Imran: 59, an-Nisa: 1, al-A’raf: 11-25, al-Hijr: 26- 48, al-Isra: 61-65, al-Kahfi: 50, Taha: 115-123. Sad: 72-85, az-Zumar: 6 dan ar-Rahman: 14-15. Begitu juga dengan cerita Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Ibrahim. Walaupun di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa surah yang dinamakan Ibrahim surah ke-14, Nuh surah ke-71 dan Hudsurah ke-11, tetapi cerita-cerita mereka bertiga tersebar di banyak surah dalam Al-Qur’an. 41 40 Ibid., h.190-191. 41 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012 hlm 7.