Adapun cara Al-Qur’an dalam menggambarkan percakapan didasarkan atas riwayat, atau menurut istilah tata bahasa ialah “direct speech” percakapan
langsung. Jadi Al-Qur’an menceritakan kata-kata pelaku dalam bentuk aslinya, seperti “Ia berkata ...”, “mereka berkata ...” dan sebagainya.
23
Meski begitu, pada hakikatnya mutakallim dalam Al-Qur’an jelas adalah Allah SWT. Allah dalam menyampaikan suatu makna, ada yang secara langsung,
atau melalui lisan para rasul-Nya, atau tokoh-tokoh yang namanya diabadikan dalam kitab suci ini, seperti Luqman al-Hakim, Maryam, dan sebagainya.
24
D. Hilangnya Unsur Waktu dan Tempat dalam Cerita Qarun
Cara penuturan cerita dalam Al-Qur’an ada yang ditunjukkan nama tempat dan tokoh pelakunya serta gambaran peristiwanya, ada yang hanya disebut
peristiwanya tanpa ditunjukkan tempat pelakunya. Ini karena kisah di dalam al- Qur’an dimaksudkan untuk menarik pelajaran darinya, bukan untuk menguraikan
sejarah kejadiannya.
25
Saat menuturkan cerita, Al-Qur’an banyak menghilangkan unsur waktu dan tempat, bahkan terkadang juga pelaku-pelakunya. Di dalam Al-Qur’an tidak
ada satu cerita pun yang fokus terhadap waktu kapan peristiwa itu terjadi. Untuk tempat, hampir-hampir Al-Qur’an mengabaikannya juga. Hanya beberapa tempat
saja yang disebutkan karena memang pengetahuan tentang tempat tersebut berkaitan dengan ajaran yang ingin disampaikan.
26
Cerita-cerita Al-Qur’an merupakan penginformasian kembali terhadap peristiwa tertentu yang telah terjadi pada kurun waktu yang lama, bahkan
sebagiannya sangat lama. Akan tetapi, Al-Qur’an tidak begitu menekankan secara detail kapan peristiwa itu terjadi; apakah seribu atau dua ribu tahun sebelum Nabi
Muhammad diutus, atau sesudahnya, dan sebagainya. Penekanan lebih diberikan kepada jalannya peristiwa itu sendiri, guna menyingkap berbagai pelajaran yang
23
Hanafi, op. cit., h.65.
24
D. Hidayat, op. cit., h.66.
25
M. Quraish Shihab, dkk. Ensiklopedi Alquran Kajian Kosakata dan Tafsirnya, Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002, jilid I, hal.1-2.
26
Ma’rifat, op. cit., h.56.
terkandung di dalamnya. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an bukan buku sejarah, melainkan kitab yang diturunkan sebagai petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang
yang bertakwa. Walaupun demikian, setiap cerita yang diceritakan tetap dirunut secara
kronologis dengan alur yang bergulir ke depan secara alami. Lebih lanjut, adakalanya waktu kejadian disinggung jika memang dipandang perlu dalam
rangka pencapaian misi ibarah di atas. Seperti pada cerita Nabi Nuh, Al-Qur’an tidak menyebut kapan pastinya ia diutus sebagai rasul, namun menerangkan
lamanya misi tersebut dijalankan, yaitu sembilan ratus lima puluh tahun. Pada cerita Nabi Yusuf disebutkan,
Supaya kamu bertanam tujuh tahun lamanya sebagaimana biasa; Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan
dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.” Yusuf: 47. Juga pada cerita
tentang ashabul kahfi disebutkan, “dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga
ratus tahun dan ditambah sembilan tahun lagi.” Adapun masalah tempat juga tidak disinggung secara detail, kecuali pada
saat-saat tertentu di mana penyebutannya dibutuhkan dalam cerita atau keberadaannya memiliki arti tersendiri. Sebagai contoh Firman Allah SWT dalam
hal Isra’ Nbi Muhammad SAW., yaitu, “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha....” Al-Isra’: 1
Pada ayat ini, tempat disebutkan secara eksplisit dikarenakan posisi khusus yang dimilikinya. Di mana kedua masjid itu merupakan dua kiblat umat Islam
dalam shalat. Dengan demikian, jika waktu dan tempat terjadinya suatu peristiwa dipandang tidak memiliki keistimewaan, maka Al-Qur’an tidak merasa butuh
untuk menyebutkannya secara eksplisit.
27
Sebagaimana yang terjadi pada cerita Qarun.
Dari ayat 76 sampai dengan ayat 81 surat Al-Qashash, tidak didapati kalimat yang menjelaskan tahun berapakah masa hidupnya Qarun, apakah dua
ribu tahun sebelum masehi. Juga tidak ditemukan berapa usianya, apakah lima
27
Hijazi, op. cit., h.371-372.
puluh, atau sembilan puluh tahun. Dan juga tidak ditemukan kapan kejadian Qarun ditenggelamkan ke perut bumi bersama harta bendanya, apakah pagi, siang
atau malam. Begitu juga dengan tempat tenggelamnya Qarun, di mana letak istananya, tidak ada satu kalimat pun yang menjelaskan tentang itu.
Hal ini berbeda jika waktu atau tempat kejadian tersebut memiliki makna khusus, seperti cerita isra’ Nabi Muhammad, pertemuan Musa dengan Allah di
Gunung Sinai, atau penyebutan nama Mesir, Madyan, Mekah, dan sebagainya yang memiliki posisi penting dalam cerita secara keseluruhan. Ciri khusus lainnya
adalah, apabila suatu peristiwa yang diceritakan mengharuskan penyebutan waktu dan tempat kejadian, maka yang pertama kali disebut adalah waktunya dan baru
kemudian tempatnya.
28
E. Penyampaian Pesan dalam Cerita
Cerita di dalam Al-Qur’an merupakan salah satu cara yang digunakan Al- Qur’an untuk memberi pelajaran bagi manusia. Ketika Al-Qur’an hendak
menyampaikan pesan penting di dalam suatu cerita, cara yang digunakan ialah mengemukakan pernyataan tegas secara berjenjang, baik berisi penolakan maupun
pengukuhan isi cerita.
29
Letak pesan ini bisa di awal, di akhir, maupun di tengah- tengah cerita, tergantung dengan konteks ceritanya.
Di dalam cerita Qarun ini, penyampaian pesan terletak di tengah-tengah dan akhir cerita. Penyampaian pesan yang pertama terdapat dalam ayat 76, ucapan
kaumnya yang mengingatkan Qarun Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang terlalu membanggakan diri.
Pesan selanjutnya terdapat pada ayat 77, memperkuat pesan di ayat 76, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
para pembuat kerusakan. Di akhir ayat 81, disebutkan pesan penting terakhir yang hendak
disampaikan, yakni orang-orang yang sombong tidak akan mendapat pertolongan. Tidak ada suatu golongan pun yang menolongnya terhadap siksa Allah. Hal ini
28
Hijazi, op. cit., h.373.
29
Dahlan, op. cit., h.187.
kemudian dikukuhkan dengan pernyataan dan tidak pula ia termasuk orang-orang yang mampu membela dirinya. Pesan yang tersebar di tengah dan akhir cerita
seolah hendak memberitahu bahwa siksa Allah itu adil. Dia tidak akan menyiksa suatu kaum kecuali setelah ada peringatan.
30
Jika diperhatikan, kedua pesan yang terdapat pada ayat 76 dan 77 Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
terlalu membanggakan diri., dan dan janganlah kamu berbuat kerusakan di Bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan itu merupakan
ucapan kaumnya yang mengingatkan Qarun. Peringatan-peringatan tersebut sayangnya tidak mengubah sikap Qarun yang sombong, malah membuatnya
semakin menjadi-jadi hingga Allah kemudian mengazabnya. Dan pesan terakhir, yakni ayat 81 Tidak ada suatu golongan pun yang menolongnya terhadap siksa
Allah yang dikukuhkan dengan pernyataan dan tidak pula ia termasuk orang- orang yang mampu membela dirinya merupakan pernyataan Al-Qur’an yang
memuat pesan terakhir. Dua pesan di awal, yakni ayat 76 dan 77 seakan-akan hanya dikhususkan
kepada Qarun, karena memang dalam dialog tersebut ucapan itu ditujukan langsung kepadanya untuk mengingatkannya agar tidak bersikap sombong. Meski
begitu tetap dalam hal ini Al-Qur’an pada hakikatnya tidak hanya mengingatkan Qarun saja, melainkan semua manusia. Selanjutnya, setelah dua peringatan
tersebut diabaikan Qarun, maka Allah menurunkan azab kepadanya hingga pada ayat 81 kali ini Al-Qur’an yang seolah-olah langsung mengatakan kepada semua
manusia bahwa begitulah kesudahan orang yang menyombongkan diri. Pola penyampaian pesan di akhir cerita pada cerita Qarun di atas sama
dengan yang terdapat dalam surat Al-Ankabut ayat 39-40: Dan juga Qarun, Firaun dan Haman. dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka Musa dengan membawa bukti-bukti keterangan-keterangan yang nyata. akan tetapi mereka berlaku sombong di muka bumi, dan tiadalah mereka
orang-orang yang luput dari kehancuran itu. Maka masing-masing mereka itu Kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang Kami timpakan
kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras
30
Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, Jakarta: Gema Insani, 2004, h.189.