Penyampaian Pesan dalam Cerita

tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Juga yang terdapat dalam suratAl-Mu’min ayat 24:         Kepada Firaun, Haman dan Qarun; maka mereka berkata: Musa adalah seorang ahli sihir yang pendusta. Kedua pengulangan nama Qarun itu tidaklah mengulang cerita Qarun secara khusus, karena penyebutan nama Qarun juga disandingkan dengan Firaun dan Haman, yang mana mereka adalah umat Nabi Musa yang sama-sama mengingkari ajaran Nabi Musa, yang pada akhirnya Allah mengazab mereka akibat perbuatan mereka sendiri. Ini berarti cerita tentang Qarun memang hanya ada dan habis di satu tempat saja, Surat Al-Qashas ayat 76-81. Karena cerita tentang kaum yang binasa akibat ingkar dengan ajaran Nabinya sudah banyak di ulang dalam cerita Al-Qur’an. Sehingga cerita Qarun ini hanyalah “pengulangan” dari sekian cerita yang sama sebetulnya, hanya pelakunya saja yang berbeda.

G. Episode Kemunculan Tokoh

Dalam Al-Qur’an, tokoh Qarun diceritakan ‘tiba-tiba” sebagai seorang laki-laki dewasa yang kaya raya. Tidak disebutkan bagaimana kelahirannya, masa kecilnya, bahkan bagaimana usahanya sehingga menjadi kaya raya. Hal semacam ini banyak dijumpai di dalam cerita Al-Qur’an di mana tokoh-tokoh yang disebutkan dalam cerita Al-Qur’an tiba-tiba muncul dalam keadaan sudah dewasa. Masa kelahiran, kanak-kanak, dan remajanya tidak diceritakan. Seperti Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Luth, Nabi Syua’ib dari kalangan para nabi, atau Firaun dari kalangan orang-orang durhaka. Tentunya hal ini mempunyai tujuan tersendiri. Mungkin saja kalau tokoh Qarun diceritakan dari masa kelahiran, kanak- kanak, remaja hingga dewasa dan bagaimana ia mengumpulkan kekayaannya, hal ini akan mengurangi nilai keindahan bercerita Al-Qur’an. Lagi pula kalau tidak ada yang istimewa dan bisa diambil sebagai pelajaran pada masa-masa tersebut untuk apa diceritakan. Karena Al-Qur’an sekali lagi bukanlah buku cerita yang harus menceritakan dengan detail tokoh-tokohnya, melainkan hanya bercerita seperlunya saja, sesuai dengan tujuan Al-Qur’an itu sendiri. Hal ini berbeda dengan cerita Nabi Musa, di mana Al-Qur’an menceritakan dari masa kelahirannya. Sebab kelahirannya terjadi di saat semua bayi laki-laki dari Bani Israil dibunuh. Selamatnya bayi Musa, saat berada di tengah-tengah keluarga Firaun, mempunyai nilai khusus dalam menjelaskan pemeliharaan Allah terhadap Musa. Allah berkuasa untuk menyelamatkan Musa dari pembunuhan sebagaimana yang dialami anak laki-laki dari Bani Israil yang lainnya, bahkan memelihara Musa justru di dalam lingkungan istana Fir’aun. Di mana kelak dari situlah Allah mempersiapkan Musa untuk melaksanakan misi risalah. Atau dengan cerita Nabi Yusuf yang ceritanya diawali saat dia kanak- kanak, ketika menceritakan mimpi kepada ayahnya bahwa dia melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan sujud di hadapannya. Di mana kelak dari mimpi itulah ternyata bahwa Nabi Yusuf sudah mendapat “isyarat” yang diketahui oleh ayahnya Nabi Yakub bahwa kelak ia akan menjadi pemimpin yang besar nabi. 34 Cerita Qarun disebutkan dalam Al-Qur’an pada saat dewasa dan kematiannya, karena memang pada bagian itulah terdapat ibrah dari cerita tersebut. Al-Qur’an hendak menyampaikan bahwa orang yang sombong dan suka berbuat kerusakan di muka bumi akan bernasib seperti Qarun yang mati ditelan bumi bersama seluruh harta kekayaannya. Yang mana harta kekayaan tersebut sedikit pun tidak dapat menolong dan membantunya. Mengenai episode kematian yang diceritakan dalam Al-Qur’an, hal ini juga terjadi pada cerita Firaun dan Nabi Sulaiman, di mana saat-saat kematiannya diceritakan dalam Al-Qur’an, karena memang ada pelajaran yang dapat diambil dari kematian mereka. 34 Quthb, op. cit., h.182. “hingga bila Firaun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri kepada Allah. Yunus: 90 “Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.” Saba’: 14

H. Panjang Pendek Cerita

Cerita Al-Qur’an pada umumnya disampaikan secara singkat, bahkan tidak jarang sangat singkat, tetapi padat makna. Ini karena tujuan pemaparan cerita bukanlah sebagai bacaan hiburan, tetapi lebih sebagai penyampai pelajaran atau ibrah yang terkandung di dalamnya. Penekanan pada ibrah inilah yang membuat hal-hal yang tidak mendukung tujuan itu tidak perlu dirinci atau dijabarkan secara panjang lebar. Sebagai contoh, dalam cerita Nabi Nuh tidak ditemukan rincian mengenai besar kapal yang dibuat, karena tujuan dari pemaparan cerita itu adalah untuk menjelaskan bahwa orang yang ingkar terhadap Allah akan ditenggelamkan; bukan pembuatan kapal itu sendiri. Ini agak berbeda dengan Taurat yang memberikan keterangan panjang lebar tentang ukuran kapal Nabi Nuh. Dalam kitab kejadian disebutkan. “Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu gofir; bahtera itu harus kau buat berpetak-petak dan harus kau tutup dengan pangkal dari luar dan dari dalam. Beginilah engkau harus membuat kapal itu: tiga ratus hasta panjangnya, lima puluh hasta lebarnya, dan tiga puluh hasta tingginya. Buatlah atap pada bahtera itu dan selesaikanlah bahtera itu sampai sehasta dari atas, dan pasanglah pintunya pada lambungnya; buatlah bahtera itu bertingkat bawah, tengah dan atas.” Menurut Al-Qur’an, hal-hal teknis semacam itu tidak lebih penting dibandingkan pelajaran yang terkandung di dalamnya. 35 Mengenai panjang pendek cerita, cerita tentang Qarun di dalam Al-Qur’an termasuk cerita yang dalam penyebutannya pendek. Karena hanya terdapat dalam surat Al-Qashash dari ayat 76-81, di mana tidak ada pengulangan cerita 35 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kisah Para Nabi Pra Ibrahim dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012, h. 8.