Bahasa yang Digunakan Khas

Selain tak bermutu, syair itu pun tak jelas maksud dan tujuannya. Berbeda dengan al-Qur`an yang setiap katanya dipilih secara cermat dan membawa pesan- pesan tersendiri yang sering sekali menakjubkan. Al-Qur’an sendiri menantang mereka untuk membuat yang seumpama Al-Qur’an satu ayat saja. Namun telah ditegaskan bahwa manusia tidak akan pernah mampu untuk menandingi keindahan Al-Qur’an sampai kapanpun.                                     Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami Muhammad, buatlah satu surat saja yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuatnya - dan pasti kamu tidak akan dapat membuatnya, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.Al-Baqarah: 23-24. Salah satu contoh mengenai nilai keindahan sastra yang dimiliki Al-Qur’an ialah ketika al-Qur`an memilih kata tâbut untuk menyebut kotak yang digunakan Ibu Nabi Musa saat membuangnya ke sungai Nil. Dalam mitos bangsa Israel, tâbut bermakna kotak kematian dan identik dengan sesuatu yang kelam. Namun, kata itu justru digunakan al-Qur`an untuk membalik keyakinan mereka. Yakni, justru dari kotak itulah akan terbit sebuah kehidupan yang menjanjikan. Lebih menakjubkan lagi, adalah fakta bahwa al-Qur`an tak pernah menyebut sifat seorang tokoh secara transparan, tetapi justru dengan sebuah deskripsi yang dapat melukiskan sifat itu secara lebih tepat. Saat al-Qur`an melukiskan ketampanan Nabi Yusuf misalnya, tak ada satu pun kata tampan dalam kisah itu. Akan tetapi, yang ada adalah sebuah deskripsi bahwa saat melihat Yusuf, para wanita yang diundang Zulaikha menjadi lupa diri dan tak sadar telah mengiris-iris jari mereka sendiri. 14

9. Nama yang Diberikan Masyarakat Kepada Hasil Tertentu

Walaupun ada niatan dari pengarangnya untuk membuat karya sastra, tetapi jika masyarakat pembaca menolaknya dan menganggap itu bukan karya sastra, maka karya tersebut tidak bisa disebut dengan karya sastra. 15 Al-Qur’an bukan prosa, dan bukan puisi, tetapi Al-Qur’an adalah Al-Qur’an, tidak ada nama lain yang sesuai untuk Al-Qur’an selain nama Al-Qur’an. Disebut bukan puisi karena tidak terikat dengan aturan-aturan yang berlaku untuk penyusunan puisi. Disebut bukan prosa, karena ternyata terikat dengan ketentuan-ketentuan khusus yang tidak terdapat dalam prosa yang membuat Al-Qur’an bergaya puitis di akhir ayat dan mengandung irama dan rima khusus Al-Qur’an. 16 Umat Islam yang sehari-harinya membaca Al-Qur’an tidak lantas menganggap Al-Qur’an yang dibacanya -dengan segala keindahannya- sebagai sebuah karya sastra. Mereka tetap menganggap Al-Qur’an itu sebagai kitab suci yang membawa kepada jalan kebenaran. Dari penjelasan di atas jelaslah sudah bahwa Al-Qur’an bukanlah karya sastra. Kalaupun ada beberapa persamaan di dalamnya itu hanyalah sebagai alat untuk membuat kagum bangsa Arab yang pada saat itu sangat maju dalam bidang sastra, serta keistimewaan dan mukjizatnya. Juga sebagai alat bantu bagi manusia dalam memahami isi kandungan yang terdapat di dalamnya. Karena memang sifat alami manusia yang menyukai cerita.

C. Unsur-Unsur Cerita dalam Al-Qur’an

Pada pembahasan sebelumnya sudah disebutkan bahwa ada lima unsur yang terkandung dalam cerita sastra. Yang pertama ialah unsur peristiwa, kedua pelaku, ketiga waktu dan tempat, keempat gaya bahasa, dan terakhir gagasan pikiran. 14 Ibid., h. 23. 15 Siswanto, op. cit., h.81. 16 D. Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami’ wasy-Syawahid min Kalamil-Badi’ Balaghah untuk Semua, Tangerang Selatan: PT. Karya Toha Putra Bina Masyarakat Qur’ani, 2002, h.71.