Penafsiran Secara Ringkas METODOLOGI PENELITIAN

Ayat 81                   Maka Kami benamkanlah ia beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap siksa Allah, dan tiada pula ia termasuk orang-orang yang mampu membela dirinya. Kemudian ayat terakhir menjelaskan karena kedurhakaan Qarun itu Kami benamkanlah ia yakni dilongsorkan tanah sehingga ia terbenam beserta rumahnya serta seluruh kekayaan dan perhiasannya ke dalam perut bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang dapat menolong terhadap siksa Allah, dan tiada pula ia termasuk orang-orang yang mampu membela dirinya. Jatuhnya siksa Allah atas diri dan harta benda Qarun mengingatkan semua pihak bahwa kebahagiaan ukhrawi tidak mungkin dapat diraih oleh orang-orang yang angkuh. Bukanlah karena ketaatan atau kekufuran yang menjadi penyebab sempit atau luasnya rezeki. Tetapi karena adanya sunnatullah yang ditetapkan- Nya di luar itu semua. 5

B. Berbeda dengan Cerita Sastra

Di bawah ini akan disebutkan 9 ciri umum karya sastra menurut Dr. Wahyudi Siswanto, dan perbandingannya dengan cerita Al-Qur’an.

1. Ada Niat dari Pengarangnya Untuk Menciptakan Karya Sastra

Sebuah karya sastra dapat dikatakan sebagai karya bila ada niat dari sastrawan untuk menciptakan karya sastra. Ini berarti jika yang membuat tidak berniatan menjadikan karyanya sebagai karya sastra, maka yang dibuatnya pun bukan sebuah karya sastra. 6 Allah jelas tidak berniat menjadikan Al-Qur’an hanya sebagai karya sastra. Lebih dari itu, Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa Al-Baqarah: 2. 5 Shihab. Op. cit, h. 413-415. 6 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: PT Grasindo, 2008, h.72.

2. Hasil Proses Kreatif

Karya sastra bukanlah hasil pekerjaan yang memerlukan keterampilan semata, seperti membuat sepatu, kursi, atau meja. Karya sastra memerlukan perenungan, pengendapan ide, pematangan, langkah-langkah tertentu yang akan berbeda antara sastrawan satu dengan sastrawan yang lain. Ketika turunnya wahyu pertama di Gua Hira, Nabi Muhammad memang sedang berkhalwat; menyendiri dan merenungi keadaan bangsa Arab. Tetapi Al- Qur’an bukanlah hasil dari perenungan itu, melainkan wahyu yang diturunkan Allah melalui malaikat Jibril yang menampakkan wujud aslinya. Al-Qur’an bukanlah syair yang dibuat oleh Nabi Muhammad sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang kafir Quraisy kepadanya, bukan juga perkataan yang berasal dari hawa nafsunya, melainkan ialah wahyu yang diturunkan kepadanya oleh Allah melalui malaikat Jibril. Sebagaimana Firman-Nya dalam surat An-Najm ayat 3-4:            Dan tiadalah yang diucapkannya itu Al-Quran menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya Al-Quran itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.

3. Diciptakan Bukan Semata-Mata Untuk Tujuan Praktis dan Pragmatis

Cerita Al-Qur’an tidak sama dengan cerita dalam pemahaman sastra. Hal itu disebabkan tujuan dan penekanannya berbeda. Cerita Al-Qur’an dimaksudkan untuk menggapai tujuan pendidikan, yaitu sebagai pelajaran atau ibrah bagi para audiensnya, baik pada peristiwa itu sendiri maupun pada para pelakunya. Sebaliknya, cerita dalam dunia sastra lebih dimaksudkan untuk membangkitkan emosi dan perasaan suka serta pendominasian perasaan para pembacanya sehingga mereka dapat digiring kepada keinginan penulisnya. 7 Meskipun di dalam cerita sastra terdapat ajaran moral, agama dan filsafat, karya sastra tidak sama dengan buku-buku agama dan filsafat. Hal ini kebalikan dari Al-Qur’an yang memang merupakan kitab suci umat Islam, yang isinya ialah petunjuk dan aturan hidup beragama. Jika dalam cerita sastra ajaran tersebut 7 Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2010, h.343. hanyalah selingan, bukan tujuan utama, karena tujuan utamanya ialah keindahan dan hiburan, maka di dalam Al-Qur’an pesan-pesan moral keagamaan itulah yang menjadi tujuan utama. Sehingga nilai-nilai keindahan yang terdapat dalam cerita Al-Qur’an hanyalah “selingan” agar manusia bisa memahami pesan-pesan tersebut dengan cara yang lebih mudah dicerna. Karena memang pada hakikatnya manusia senang dengan keindahan cerita.

4. Bentuk dan Gaya yang Khas

Khas di sini dimaksudkan sebagai bentuk dan gaya yang berbeda dengan bentuk dan gaya non sastra. Khas di sini juga masih harus dibedakan atas genre karya sastra prosa, puisi, dan drama yang setiap jenisnya memang mempunyai bentuk sendiri. Kekhasan bentuk dan gaya ini telah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Bentuk dan gaya ini terus berubah berkembang hingga akhirnya muncul genre-genre baru. 8 Walaupun karya sastra mempunyai bentuk dan gaya yang khas, Al-Qur’an juga mempunyai bentuk dan gaya yang khas yang membedakannya dengan karya sastra pada umumnya. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan selanjutnya.

5. Bahasa yang Digunakan Khas

Bahasa sastra lebih bersifat polisemantis banyak makna dan multitafsir banyak tafsir. Bahasa karya sastra lebih bersifat konotatif. Memang tidak menutup kemungkinan adanya kesamaan bahasa dalam karya sastra dengan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. 9 Bahasa yang digunakan Al-Qur’an juga memiliki banyak kesamaan dengan sastra, di mana kalimatnya polisemantis dan multitafsir. Nilai-nilai kesusastraan juga banyak terkandung di dalamnya. Namun hal ini tidak serta merta membuat bahasa cerita Al-Qur’an sama dengan cerita sastra. Ada beberapa hal yang membuat bahasa cerita Al-Qur’an mengungguli bahasa cerita sastra pada umumnya. 8 Siswanto, op. cit., h.75. 9 Ibid. h.75-76. Selain itu, gaya bahasa Al-Qur’an menganut stilistika khithabi retorikal, bukan kitabi tulisan atau buku. Sehingga Al-Qur’an tidak harus menjelaskan persoalan-persoalan secara teratur dan sistematis, tidak perlu menjelaskan detail- detail, sebagaimana menjadi sebuah keharusan dalam sebuah buku. Karena itu, dalam menarasikan cerita, Al-Qur’an tidak perlu terjebak pada kronologi waktu dan kesinambungan peristiwa. Tetapi, Al-Qur’an bebas bergerak dan berpindah dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, kemudian kembali mengulang lagi jika memang diperlukan. Dengan itu Al-Qur’an berbeda dari gaya tulis buku-buku sehingga bisa mengkomparasikan antara kebenaran kosmologis dengan ajaran- ajaran akidah, hukum-hukum syariat, nasihat, arahan, berita gembira, ancaman, dan sensitifitas jiwa, rasa, dan indera dengan akal dan pengetahuan. 10

6. Mempunyai Logika Tersendiri, Mencakup Isi dan Bentuk

Bentuk puisi pantun sangat khas, ada bentuk-bentuk khusus yang membuatnya seperti itu. Berubah sedikit saja, berubah pula logikanya. Misalnya jika semua bait berisi makna maka akan disebut syair, bukan pantun lagi. Banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an surat-surat maupun ayat-ayat yang berbentuk seperti pantun, di mana akhir kalimatnya memiliki bunyi yang sama. Atau ayat-ayat yang bercerita dengan alur yang singkat. Contoh dari kedua bentuk ini salah satunya ialah surat Al-Fil.                             Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka untuk menghancurkan Kabah itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu berasal dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun- daun yang dimakan ulat. 10 Muhammad Hadi Ma’rifat. Cerita-Cerita Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora. Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013, h. 33. Pada Surat Al-Fil, bunyi terakhir dari setiap ayatnya sama, yakni huruf lam. Ini sama dengan pantun, yang mana bunyi akhir dari tiap barisnya sama. Dan juga dalam menceritakan cerita tentang pasukan gajah yang hendak menghancurkan Ka’bah, Al-Qur’an hanya butuh 5 ayat yang terhimpun dalam satu surat saja. Namun tidak serta merta yang demikian itu membuat Al-Qur’an Surat Al-Fil disebut sebagai pantun atau cerpen. Al-Qur’an tetaplah kitab suci yang mempunyai logika tersendiri yang tidak dapat disamakan dengan karya manusia. 7. Merupakaan Rekaan Walaupun terkadang sebuah karya sastra merupakan hasil pengalaman pengarangnya, namun tetap ada unsur rekaan yang terkandung di dalamnya. Hal ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an yang mana peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah perkara dan fakta-fakta objektif yang tidak memuat dusta, kesalahan, atau pun kekaburan. Sebab ia merupakan wahyu Ilahi dan tak ada hal sekecil apapun yang luput dari ilmu-Nya, baik di langit dan di bumi. 11 Mengenai kebenarannya, beberapa sarjana muslim ada yang meragukan apakah kisah-kisah yang terdapat di dalam Al-Qur’an itu benar-benar terjadi. Seperti Thaha Husein, sastrawan Mesir ternama, dalam bukunya Fi asy-Syi’ral- Jahili berpendapat bisa saja kitab Taurat dan Al-Qur’an bercerita tentang Ibrahim dan Ismail, tetapi tidak cukup kuat bukti untuk menyatakan kedua orang itu benar- benar ada dalam sejarah. Atau Muhammad Khalaf dalam bukunya Al-Fann al- Qasasi mengatakan cerita dalam Al-Qur’an merupakan seni bercerita yang lebih menitikberatkan keindahan gaya, keterpautan ide dengan tujuan cerita. Cerita- cerita Al-Qur’an tidak harus kisah nyata, karena banyak di antaranya yang tidak ada bukti sejarahnya. Menurutnya tidak mengapa kalau kita mengatakan bahwa cerita-cerita Al-Qur’an merupakan dongeng belaka. 12 Tentu pandangan ini 11 Ma’rifat, op. cit., h.36. 12 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012 hlm 6.