Yusuf, para wanita yang diundang Zulaikha menjadi lupa diri dan tak sadar telah mengiris-iris jari mereka sendiri.
14
9. Nama yang Diberikan Masyarakat Kepada Hasil Tertentu
Walaupun ada niatan dari pengarangnya untuk membuat karya sastra, tetapi jika masyarakat pembaca menolaknya dan menganggap itu bukan karya
sastra, maka karya tersebut tidak bisa disebut dengan karya sastra.
15
Al-Qur’an bukan prosa, dan bukan puisi, tetapi Al-Qur’an adalah Al-Qur’an, tidak ada nama
lain yang sesuai untuk Al-Qur’an selain nama Al-Qur’an. Disebut bukan puisi karena tidak terikat dengan aturan-aturan yang berlaku untuk penyusunan puisi.
Disebut bukan prosa, karena ternyata terikat dengan ketentuan-ketentuan khusus yang tidak terdapat dalam prosa yang membuat Al-Qur’an bergaya puitis di akhir
ayat dan mengandung irama dan rima khusus Al-Qur’an.
16
Umat Islam yang sehari-harinya membaca Al-Qur’an tidak lantas menganggap Al-Qur’an yang dibacanya -dengan segala keindahannya- sebagai
sebuah karya sastra. Mereka tetap menganggap Al-Qur’an itu sebagai kitab suci yang membawa kepada jalan kebenaran.
Dari penjelasan di atas jelaslah sudah bahwa Al-Qur’an bukanlah karya sastra. Kalaupun ada beberapa persamaan di dalamnya itu hanyalah sebagai alat
untuk membuat kagum bangsa Arab yang pada saat itu sangat maju dalam bidang sastra, serta keistimewaan dan mukjizatnya. Juga sebagai alat bantu bagi manusia
dalam memahami isi kandungan yang terdapat di dalamnya. Karena memang sifat alami manusia yang menyukai cerita.
C. Unsur-Unsur Cerita dalam Al-Qur’an
Pada pembahasan sebelumnya sudah disebutkan bahwa ada lima unsur yang terkandung dalam cerita sastra. Yang pertama ialah unsur peristiwa, kedua
pelaku, ketiga waktu dan tempat, keempat gaya bahasa, dan terakhir gagasan pikiran.
14
Ibid., h. 23.
15
Siswanto, op. cit., h.81.
16
D. Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami’ wasy-Syawahid min Kalamil-Badi’ Balaghah untuk Semua, Tangerang Selatan: PT. Karya Toha Putra Bina Masyarakat Qur’ani, 2002, h.71.
A. Hanafi MA dalam bukunya Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an menyebutkan hanya ada tiga unsur dalam cerita-cerita Al-Qur’an, yaitu
pelaku, peristiwa, dan percakapan, tanpa adanya unsur waktu dan tempat serta unsur gagasan pikiran atau tujuan. Hal ini terjadi karena memang cerita dalam Al-
Qur’an itu sendiri berbeda dengan cerita sastra pada umumnya. Dalam cerita- cerita Al-Qur’an, peranan ketiga unsur itu tidaklah sama, boleh jadi salah satunya
saja yang menonjol, sedangkan unsur yang lain hampir menghilang. Satu-satunya pengecualian ialah cerita Nabi Yusuf.
Unsur peristiwa lebih dominan pada cerita yang dimaksudkan untuk mengancam atau menakut-nakuti, seperti cerita kaum Tsamud dengan Nabi Saleh
dalam surat Asy-Syams dan Al-Qamar. Sedangkan unsur pelaku lebih dominan pada cerita yang dimaksudkan untuk memberi kekuatan moral dan kemantapan
hati Nabi beserta pengikutnya. Adapun pada cerita yang dimaksudkan untuk mempertahankan dakwah Islamiyah dan membantah para penentangnya, unsur
yang lebih dominan ialah unsur percakapan.
17
1. Pelaku
Dalam cerita-cerita Al-Qur’an, pelaku tidak hanya manusia, tetapi juga malaikat, jin, bahkan hewan seperti semut dan burung. Dalam cerita Qarun ini,
pelakunya ialah manusia dalam bentuk orang laki-laki, yaitu Nabi Musa hanya disebutkan namanya di awal cerita, Qarun, dan umat-umat yang berdialog dengan
Qarun. Para pelaku tersebut tidak disebutkan sifat-sifat fisiknya, seperti tinggi
badannya, warna kulit, raut muka dan sebagainya yang biasa dipakai untuk membedakan seseorang dengan yang lainnya.
18
Bahkan umat yang berdialog kepada Qarun tidak disebutkan namanya. Yang terjadi justru penggambaran sifat
sombong dan kekayaan Qarun, bukan fisiknya itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa yang terpenting dari cerita Qarun ini bukan penggambaran fisiknya, tetapi
peristiwa yang terjadi dalam cerita tersebut.
17
Hanafi, op. cit., h.53.
18
Hanafi, op. cit., h.57.
Mengenai alasan dominannya unsur peristiwa dibanding unsur pelaku pada cerita Qarun akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan tentang peristiwa sebagai
berikut.
2. Peristiwa
Peristiwa dalam cerita sastra erat kaitannya dengan prolog, konflik dan klimaks. Di mana munculnya konflik dan klimaks membuat alur cerita menjadi
menarik dan tidak membosankan.
19
Al-Qur’an memiliki keanekaragaman cara penyampaian ceritanya. Pertama, ada yang disebutkan terlebih dahulu sinopsis ceritanya, kemudian
setelah itu dipaparkan rincian-rinciannya dari awal sampai selesai. Cara penyampaian seperti itu terdapat dalam cerita ashabul kahfi yang ceritanya
dimulai seperti ini. “atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan yang
mempunyai raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? ingatlah tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke
dalam gua, lalu mereka berdoa: Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam
urusan kami ini. Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara
kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal dalam gua itu.” Al-Kahfi: 9-12
Itu adalah sinopsis cerita tentang ashabul kahfi, seakan-akan sinopsis ini adalah pendahuluan yang mampu menimbulkan keinginan untuk mengetahui
cerita selanjutnya. Kedua, ada yang disebutkan kesimpulan cerita dan maksudnya, kemudian
dimulai cerita tersebut dari awal sampai akhir. Seperti yang terdapat dalam cerita Nabi Yusuf, di mana ceritanya dimulai dengan mimpi yang diceritakannya kepada
ayahnya, maka ayahnya memberitahukan bahwa dia akan memiliki kedudukan yang besar. Firman Allah SWT.,
“ingatlah, ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya
sujud kepadaku. Ayahnya berkata: Hai anakku, janganlah kamu ceritakan
19
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005, h.117.
mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar untuk membinasakan mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi
manusia. dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu untuk menjadi Nabi dan diajarkan-Nya
kepadamu sebahagian
dari tabir
mimpi-mimpi dan
disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Yaqub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu
sebelum itu, yaitu Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Yusuf: 4-6
Ketiga, ada yang disebutkan ceritanya langsung tanpa adanya pendahuluan atau sinopsis terlebih dahulu. Seperti cerita Maryam saat melahirkan Isa.
Keempat, ada yang seolah-olah cerita itu seperti sandiwara, karena hanya disebutkan beberapa kalimat yang menjadi prolog, dan selebihnya dialog antar
pelaku yang dominan.
20
Model semacam ini yang banyak sekali terdapat dalam cerita-cerita Al-Qur’an, salah satunya ialah cerita tentang Qarun.
Ayat 76 surat Al-Qashash menjadi prolog cerita Qarun, yang menjelaskan bagaimana keadaan Qarun yang merupakan kaum nabi Musa dengan segala
kekayaannya yang melimpah, yang diibaratkan kunci-kuncinya saja sungguh berat dipikul oleh orang yang kuat-kuat. Hanya segitu saja kalimat yang menjelaskan
keadaan Qarun, karena selanjutnya dialog antar pelaku saja yang dominan, yakni antara Qarun dengan kaumnya.
Dari pertengahan ayat 76 sampai ayat 80, bentuk cerita berubah menjadi dialog antara Qarun dengan kaumnya. Di sini muncul konflik ketika kaumnya
mengingatkannya agar tidak sombong. Tetapi kesombongan Qarun malah semakin menjadi-jadi. Sampai pada Qarun keluar kepada kaumnya dengan segala
kemegahannya. Yang mana hal ini membuat kaumnya terbagi dua. Yang pertama ialah mereka yang menginginkan harta yang banyak seperti Qarun dan
menganggap Qarun ialah orang yang sangat beruntung. Dan yang kedua ialah mereka yang menganggap bahwa kesombongan Qarun akan membawa
kebinasaan baginya. Pahala dan keridhaan Allah jauh lebih baik. Puncaknya klimaks pada ayat 81, di mana Allah membenamkan Qarun
beserta segala harta benda yang dimilikinya dikarenakan sifat sombongnya. Hal
20
Quthb, op. cit., h.206-211.
ini menjadi pelajaran bagi umat manusia agar tidak berlaku sombong sebagaimana Qarun.
Unsur peristiwa dalam cerita Qarun termasuk dominan, karena pada cerita tersebut Al-Qur’an bermaksud untuk mengancam atau menanamkan rasa takut,
seperti cerita kaum ‘Ad dalam surat Al-Qamar sebagai berikut:
Kaum Aad pun mendustakanKu. Maka bagaimana siksaKu dan ancaman- ancamanKu. Sesungguhnya Kami telah mengirimkan kepada mereka angin dingin
yang menderu-deru pada hari celaka yang terus menerus. Ia mencabut manusia seakan-akan mereka adalah akar pohon korma yang tercabut. Maka bagaimana
siksaKu dan ancaman-ancaman-Ku.Al-Qamar: 18-21
Jika diperhatikan isi cerita tersebut, maka akan terlihat bahwa Al-Qur’an tidak menyebutkan perincian, seperti keadaan kaum ‘Ad sebelum mendustakan
Tuhan dan bagaimana keadaan rumah-rumah mereka. Sampai masalah pengutusan Nabi Hud dan dialog yang terjadi antara kaum ‘Ad dengan Hud juga tidak
disebutkan. Tetapi Al-Qur’an dengan cepat menceritakan tentang siksa yang ditimpakan kepada mereka dengan memakai gambaran seram yang menakutkan;
yaitu angin dingin yang menderu-deru, celaka yang terus menerus. Demikian kuatnya angin yang mencabut dan menerbangkan mereka, sehingga seolah-olah
mereka itu pohon yang tidak berakar. Cara demikian ditempuh Al-Qur’an, hanya dan semata-mata karena Al-
Qur’an bermaksud menanamkan rasa takut terhadap siksa pada diri orang-orang yang hidup pada masa Nabi Muhammad. Diharapkan rasa takut tumbuh kuat
dalam jiwa mereka, sehingga gambaran di ataslah yang dipilih, dengan diawali dan diakhiri pertanyaan yang menusuk hati dan retorik, yaitu: Coba lihat
bagaimana siksaKu dan ancaman-ancamanKu. Dari sini dapat dilihat bahwa Al- Qur’an hanya memilih bahan-bahan cerita yang dapat mewujudkan tujuannya.