Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an

Setelah menegasikan semua tuduhan negatif terhadap diri sang Nabi, pada jenjang berikutnya barulah Al-Qur’an menyatakan secara terperinci kedudukan beliau sebagai pembawa wahyu Allah: Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. yang diajarkan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat. QS An-Najm: 4-5. Demikian beberapa contoh pola yang digunakan Al-Qur’an untuk menyampaikan pernyataan penting di dalam suatu cerita. Melalui pola- pola tersebut, para pembaca ataupun pendengar akan mendapatkan keterangan secara jelas tentang pesan yang disampaikan, sekaligus merasakan kesan yang mendalam tentang alur cerita dari cerita tersebut. 40 c. Pengulangan Cerita Cerita di dalam Al-Qur’an ada yang disampaikan secara tuntas di satu tempat dalam Surah Al-Qur’an, seperti cerita Zulqarnain dalam Surah Al-Kahfi, cerita tentara gajah dalam surat Al-Fiil dan cerita Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf. Di sisi yang lain, sebagian besar cerita Al- Qur’an tidak disampaikan secara utuh sekaligus dalam satu tempat, tetapi hanya bagian tertentu yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan dan tersebar di beberapa surah. Cerita Nabi Adam misalnya tersebar di beberapa surah, antara lain: al-Baqarah: 30-38, Ali Imran: 59, an-Nisa: 1, al-A’raf: 11-25, al-Hijr: 26- 48, al-Isra: 61-65, al-Kahfi: 50, Taha: 115-123. Sad: 72-85, az-Zumar: 6 dan ar-Rahman: 14-15. Begitu juga dengan cerita Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Ibrahim. Walaupun di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa surah yang dinamakan Ibrahim surah ke-14, Nuh surah ke-71 dan Hudsurah ke-11, tetapi cerita-cerita mereka bertiga tersebar di banyak surah dalam Al-Qur’an. 41 40 Ibid., h.190-191. 41 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012 hlm 7. Kajian para psikolog membuktikan bahwa pengulangan sangatlah penting dalam proses pembelajaran, karena ini akan membuat pendapat dan pemikiran yang ingin disampaikan menjadi lebih mudah untuk diingat. Dalam Al-Qur’an didapatkan pengulangan ayat yang berhubungan dengan masalah akidah dan masalah gaib yang ingin ditanamkan pada pikiran manusia seperti keimanan kepada hari akhir. Dalam Al-Qur’an, cerita para nabi banyak diulang untuk mempertegas bahwa semua agama tauhid berasal dari Allah. Allahlah yang telah mengutus para nabi dan rasul dalam kurun waktu yang berbeda-beda untuk menyeru agar mengesakan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain. Al- Qur’an menjelaskan kepada kaum kafir Quraisy tentang nasib umat-umat terdahulu yang mendustakan para nabi, untuk memberi peringatan bahwa mereka pun akan mengalami nasib yang sama jika mendustakan Nabi Muhammad SAW. Dalam surat Al-Mursalat ada kalimat, “Kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan” sebanyak sepuluh kali. Surat ini mengingatkan terhadap nikmat dan azab Allah, agar mereka tidak terus menerus mendustakan dan berada dalam kekafiran. Karena cara yang demikian ialah hal biasa bagi bangsa Arab, baik dalam pidato maupun dalam pembacaan syair. Pengulangan cerita bukanlah pengulangan secara utuh. Sebab, Al- Qur’an hanya menyebutkan peristiwa yang sesuai dengan konteks makna yang terdapat dalam surat. Jika Al-Qur’an mengulangi satu bagian dari cerita, maka biasanya pada bagian itu ditambahkan sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak disebutkan. Dalam penggunaan kata terkadang juga mengalami perubahan, baik dalam susunan, mengedepankan atau mengakhirkan, sesuai dengan tuntutan pengajaran yang dimaksudkan cerita tersebut. Mengenai pengulangan dalam cerita Al-Qur’an, Dr. Muhammad Mahmud Hijazi mengutip pernyataan Imam asy-Syathibi dalam al- Muwaafaqaat, “Secara umum, pemaparan cerita para Nabi seperti Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Musa, Harun, dan sebagainya adalah dalam rangka menghibur Nabi Muhammad SAW. dan mengokohkan hati beliau dalam menghadapi pembangkangan, pendustaan, maupun tindakan tidak terpuji dari orang-orang kafir. Hal inilah yang membuat cerita-cerita tersebut berisi hal-hal yang juga dihadapi oleh Rasulullah SAW. dalam perjalanan dakwahnya. Dengan demikian, tidak mengherankan jika alur atau gaya pemaparan suatu kisah sering kali tidak sama. Hal ini disesuaikan dengan kondisi tertentu yang ketika itu dihadapi Rasulullah SAW. Walaupun begitu, seluruh kisah tetap merupakan suatu yang hak dan tidak ada keraguan terhadap keshahihannya. Lebih lanjut, siapa yang ingin mengkaji dan mendapatkan pemahaman yang baik tentang Al-Qur’an, maka tidak ada salahnya mengikuti metode atau model pemaparan beberapa contoh yang telah dikemukakan.” 42 Diulang-ulangnya penyampaian satu cerita tertentu di berbagai tempat didasarkan pada beberapa sebab, di antaranya. Sebab pertama, ada penambahan informasi baru yang tidak terdapat pada uraian sebelumnya. Sebab kedua, agar cerita yang diceritakan Rasulullah SAW. bisa didengar oleh banyak orang. Karena tidak jarang ketika Rasulullah SAW. menyampaikan cerita, pendengarnya ialah orang yang kebetulan lewat dan kemudian pergi. Selanjutnya ketika turun wahyu yang lain, orang yang mendengarnya lain lagi. Sebab ketiga, dalam rangka menghibur hati nabi Muhammad SAW. Sebab keempat, untuk menegaskan karakteristik cerita Al-Qur’an, di mana ada cerita yang dihimpun dalam satu surah saja, tetapi ada juga 42 Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam Al-Qur’an Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2010, h. 74. yang diulang-ulang di tempat lain. Karena kalau semua sama maka tidak ada bedanya Al-Qur’an dengan kitab-kitab suci sebelumnya. 43 d. Episode Kemunculan Tokoh Utama 1. Dari Awal Kelahiran Dalam bercerita adakalanya Al-Qur’an memunculkan tokoh utamanya dari episode pertama: episode kelahiran pemeran utamanya, karena dalam kelahirannya mengandung nasihat, seperti cerita Nabi Adam sejak awal kejadiannya. Di dalam cerita itu ada fenomena kekuasaan Allah dan kesempurnaan ilmu-Nya serta nikmat-Nya kepada Nabi Adam dan anak-cucunya. Juga ada dialog iblis dengan Nabi Adam, yang semuanya mengandung pelajaran bagi umat manusia. Atau cerita kelahiran Nabi Isa yang dipaparkan dengan rinci dan sempurna. Sebab, kelahiran Nabi Isa merupakan salah satu mukjizat kenabiannya. Bahkan menjadi penyebab terjadinya pertentangan yang berkenaan dengan Almasih, baik sebelum maupun sesudah Islam datang. Tidak ketinggalan cerita Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Sebab dalam kelahiran itu terdapat pelajaran. Nabi Ismail adalah karunia yang diberikan kepada Nabi Ibrahim, padahal dia sudah tua. Sedangkan Nabi Ishaq merupakan kabar gembira yang diberikan kepada istrinya, padahal dia sudah sangat tua. Begitu juga dengan kelahiran Yahya, di mana ayahnya Zakaria sudah rapuh dan rambutnya beruban. 2. Dari Masa Kanak-Kanak Tokoh utama di dalam cerita Al-Qur’an adakalanya dipaparkan tidak dari awal kelahiran, tetapi setelahnya. Seperti cerita Ibrahim, ceritanya berawal dari sejak dia masih muda. Memandang langit dan melihat bintang, bulan, dan matahari dalam rangka pencarian kepada Tuhannya, yang pada akhirnya dia ber-tawajjuh menghadapkan diri kepada Allah yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala. Lalu dia mengajak bapak dan 43 Ibid., h.381-382. kaumnya untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa ini, namun semua menolak. Hingga akhirnya strategi yang dilakukan Ibrahim ialah menghancurkan semua berhala dan menyisakan satu berhala yang paling besar dengan meninggalkan kapak padanya. Cerita Nabi Dawud juga dimulai ketika dia di ambang dewasa. Dimulai dengan dikalahkannya Jalut oleh Nabi Dawud berkat pertolongan Allah. Begitu juga dengan Nabi Sulaiman, yang ceritanya dimulai sejak dia seusia bapaknya, saat dia duduk sebagai hakim dalam permasalahan mengenai tanaman, “Karena tanaman ini dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.” al-Anbiyaa’: 78. Hukum yang adil dari seorang pemuda inilah yang menjadi tanda bahwa Allah kelak akan menjadikannya pemimpin kerajaan terbesar. 3. Sudah Dewasa atau Masa Kenabian Kemudian juga terdapat beberapa cerita yang memunculkan tokohnya saat berada dalam usia dewasa, dalam artian saat menjadi nabi atau rasul. Seperti Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Luth, Nabi Syua’ib, dan banyak lagi yang lainnya. Sebab, periode kenabian itulah yang terpenting dari kehidupan mereka dan di dalamnya tersirat i’tibar. 44 e. Panjang Pendek Cerita 1. Cerita yang Disebutkan Panjang Lebar Selain dari sisi awal cerita, Al-Qur’an juga memiliki gaya tersendiri dalam hal panjang atau pendeknya cerita. Ada beberapa cerita yang disebutkan secara panjang lebar, termasuk rincian peristiwanya seperti apa pun digambarkan. Seperti cerita Nabi Yusuf yang ceritanya sangat jelas dan rinci dijelaskan oleh Al-Qur’an dalam surah yang menggunakan namanya, Yusuf, untuk mempertegas hal ini. Mulai dari cerita dia dan 44 Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, Jakarta: Gema Insani, 2004, h.181-184. saudara-saudaranya. Juga apa yang terjadi di Mesir setelah dia diperjualbelikan dan dididik. Juga tentang cerita bujukan istri al-Aziz terhadapnya, kisahnya di dalam penjara, tabir mimpi dua orang pelayan rajanya. Kemudian tentang tabir mimpi raja, kesuksesan kepemimpinannya, serta kedatangan saudara-saudaranya hingga akhirnya kedatangan ayahnya. Sekali lagi, semua cerita itu dipaparkan dengan rinci sekali. Cerita Nabi Sulaiman juga dipaparkan dengan beberapa episode panjang, dimulai dari keputusannya masalah tanaman, kerajaannya, keterpedayaannya dengan kuda yang bagus dan permohonan ampunnya kepada Allah atas hal itu serta tentang tunduknya setan angin di hadapannya. Juga ceritanya dengan semut, burung hudhud, dan dengan Ratu Balqis. Juga tentang kematiannya sambil berdiri memegang tongkatnya dan para setan tidak menyadari akan hal itu. Semuanya mempunyai tujuan yang dituju. 2. Cerita yang Perinciannya Sedang Ada juga cerita-cerita di dalam Al-Qur’an yang perinciannya sedang- sedang saja, seperti cerita Nabi Nuh. Cerita mengenai risalahnya, dakwah kepada kaumnya, tentang pembuatan kapal, banjir besar hingga menenggelamkan kaum bahkan anaknya sendiri yang membuatnya memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya tetapi tidak dikabulkan oleh Allah karena dia bukan bagian dari keluarganya walaupun itu anaknya sendiri. Juga cerita Nabi Adam dirincikan hanya pada saat penciptaannya, kesalahannya, turun ke bumi, dan tobatnya. Begitu juga dengan cerita Nabi Dawud tidak terlalu rinci, namun cukup banyak memuat cerita- ceritanya. 3. Cerita yang Disebutkan Singkat Ada juga beberapa cerita pendek, seperti cerita Nabi Huud, Shaleh, Luth, Syu’aib. Hanya diceritakan saat kenabian saja, yakni mencakup risalah, dialog dengan kaumnya, pendustaan kaum mereka, dan kemudian tentang kebinasaan kaum mereka. Begitu juga dengan cerita Nabi Ismail yang hanya diceritakan saat kelahirannya, penebusannya, dan keikutsertaan dalam membangun Ka’bah bersama bapaknya. Juga cerita Nabi Ya’qub hanya disebutkan dalam konteks cerita Nabi Yusuf. Lalu disebut sekali lagi dalam ayat, ketika Yaqub kedatangan tanda-tanda maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ...Apa yang kamu sembah sepeninggalku? mereka menjawab: Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu... . al- Baqarah: 133. Episode ini terpisah sendiri di sini dari yang lainnya karena ingin menjelaskan pentingnya ketauhidan, seperti yang dipesankan oleh Ya’qub. 4. Cerita yang Disebutkan Sangat Singkat Ada lagi beberapa cerita yang sangat pendek sekali seperti cerita Nabi Zakaria disebutkan ketika kelahiran Yahya dan ketika menanggung biaya Maryam saja. Cerita Nabi Ayub disebutkan ketika dia terkena penyakit. Dan cerita Nabi Yunus saat ditelan oleh ikan dan ceritanya terlempar di padang tandus, serta dalam cerita tentang risalahnya kepada kaumnya dan keimanan mereka dengannya. Ada juga beberapa cerita yang tidak disebutkan kecuali hanya sekilas sifat pelakunya. Seperti Nabi Idris, Ilyasa’, Zulkifli, serta yang lainnya yang hanya nama mereka saja yang ada dalam pemaparan cerita-cerita para nabi. Sedangkan cerita-cerita lain yang terpisah-pisah, seperti Ashabul Ukhdud, Ashabul Kahfi, Qabil dan Habil, Qarun, dan lain-lain, semua itu adalah murni cerita-cerita yang bersifat nasihat. Maka hanya dipaparkan sekadar nasihat sampai ke sasarannya. 45 f. Bentuk Dialog dalam Bercerita Mengenai format dialog dalam cerita-cerita Al-Qur’an, Sulaiman ath- Tharawanah dalam bukunya Dirasah Nashshiyyah Adabiyyah fil Qishshah al-Qur’aniyyah 46 menjelaskan bahwa sering sekali dialog yang terjadi dalam cerita-cerita Al-Qur’an diangkat dalam bentuk cerita, yaitu cerita antara tokoh yang terlibat dalam percakapan yang diceritakan. Percakapan yang ditampilkan dalam cerita-cerita Al-Qur’an kebanyakan hanya berupa cerita percakapan. Artinya, tampilan dialog tersebut tidak diiringi dengan isyarat-isyarat estetika yang menggambarkan sikap perilaku dialog. Bentuk percakapan dalam Al-Qur’an terdiri dari dua bentuk: pertama, percakapan semi dialektis, yaitu percakapan yang cenderung mengarah pada bentuk perdebatan. Dialog semacam ini biasanya membawa misi keagamaan, yaitu untuk memberikan informasi kepada kita akan kekerasan kaum terdahulu dalam menentang ajaran para nabi. Model dialog seperti ini dapat dijumpai dalam cerita kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan Syu’aib. Kedua, model percakapan pengisahan, yaitu bentuk percakapan di mana Al-Qur’an dengan sendirinya berperan sebagai mediator yang mengajak pembaca masuk ke dalam peristiwa melalui sela-sela tempo cerita. Adapun beberapa kelebihan yang dimiliki Al-Qur’an dalam metode dialog di antaranya. Pertama, dialog tersebut berfungsi menghidupkan suasana berbagai peristiwa yang diceritakan. Kedua, dapat melukiskan kepribadian tokoh-tokoh cerita dengan sangat baik, seperti pada cerita Yusuf dan Musa dalam Surah al-Qashash. Ketiga, secara artistik sebagai sarana untuk menyampaikan maksud dan tujuan cerita, bahkan terkadang 45 Quthb, op. cit., h. 184-188. 46 Sulaiman ath-Tharawanah, Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur’an, Jakarta: Qisthi Press, 2004, h. 217. bermanfaat untuk mengungkap rahasia di balik peristiwa yang sedang diceritakan. 47

D. Hasil penelitian yang relevan

Hasil penelitian yang terkait dengan pembahasan karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat 76-81 masih belum ditemukan. Setidaknya di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak ditemukan skripsi yang membahas mengenai karakteristik cerita dalam Al-Qur’an, sehingga tidak ada hasil penelitian yang dapat dijadikan perbandingan bagi penelitian ini. 47 Ibid., h. 218-219.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Metode Penelitian

Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menelusuri data- data kepustakaan library research dengan mengacu pada pendapat para ahli tafsir, ahli pendidikan dan ahli sastra yang tertuang dalam kitab-kitab, buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah penafsiran ayat dengan menggunakan metode tafsir tahlili analisis. Yakni, metode menafsirkan ayat- ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat- ayat yang ditafsirkan, dengan memperhatikan urutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana dalam mushaf, serta menerangkan makna-makna yang tercakup sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. 1

B. Sumber Data

1. Sumber Data Primer Sumber data primer yaitu literatur-literatur yang membahas objek permasalahan pada penelitian ini, berupa tafsir Al-Qur’an surat al-Qashash ayat 76-81 dari beberapa kitab tafsir. 2. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu data-data tertulis maupun sumber lain yang memiliki relevansi dengan pembahasan pada penelitian ini. Adapun sumber data sekunder yang dijadikan alat untuk membantu penelitian , berupa buku- buku atau sumber-sumber dari penulis lain yang berbicara tentang teori cerita sastra dan qashashul qur’an. 1 Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, Cet. 1, h. 31.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini ialah dengan teknik dokumentasi. Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang. 2 Metode dokumentasi merupakan sumber non manusia, sumber ini adalah sumber yang cukup bermanfaat sebab telah tersedia sehingga relatif murah pengeluaran biaya untuk memperolehnya, merupakan sumber yang stabil dan akurat sebagai cermin situasikondisi yang sebenarnya, serta dapat dianalisis secara berulang-ulang dengan tidak mengalami perubahan. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan dan menelaah sumber referensi berupa buku-buku, artikel, jurnal, dan literartur ilmiah lainnya yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

D. Teknik Analisis Data

Mengingat objek penelitian ini adalah karakteristik cerita dalam Al-Qur’an, berarti mengkaji teks Al-Qur’an itu sendiri, maka dalam menganalisis data yang terkumpul, penulis menggunakan metode analisis isi, atau dalam kajian tafsir dikenal dengan metode tafsir tahlili. Dimulai dengan menyebutkan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, menjelaskan makna lafadz yang terdapat di dalamnya, menjelaskan munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungan ayat yang kemudian dikaitkan dengan pembahasan pada skripsi ini.

E. Teknik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan FITK Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013”. 2 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Multidisipliner, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h. 368. BAB IV METODE PEMBELAJARAN CERITA DALAM AL- QUR’AN SURAT AL-QASHASH AYAT 76-81

A. Penafsiran Secara Ringkas

Ayat 76                                 Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, lalu ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya tumpukan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. Ingatlah ketika kaumnya berkata kepadanya: Janganlah engkau terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Ayat di atas memulai kisah Qarun, tanpa menyebut kapan dan di mana terjadinya peristiwa yang akan diuraikan ini. Menurut Ibn ‘Asyur, 1 Firman-Nya: Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, bukan dengan menyatakan termasuk kelompok Bani Israil, mengesankan adanya hubungan khusus antara Musa dengan Qarun. Hubungan tersebut yakni hubungan kekerabatan. Qarun hidup semasa dengan Nabi Musa dan konon adalah anak paman Nabi Musa. Kendati demikian ia durhaka lalu serta merta ia berlaku aniaya terhadap mereka yakni dia melampaui batas dalam keangkuhan dan penghinaan terhadapa Bani Israil. Kami telah menganugerahkan kepadanya tumpukan harta, yakni tempat- tempat gudang penyimpanan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. Itu baru kuncinya, adapun harta 1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007, Cet VIII, Vol. 10. h. 403. kekayaannya maka tidak mungkin dapat dipikul oleh orang yang sangat banyak sekalipun. Setelah ayat di atas menjelaskan sebab keangkuhannya, kini selanjutnya beberapa orang dari Bani Israil menasihatinya, yakni ketika kaumnya berkata kepadanya: “Hai Qarun Janganlah engkau terlalu bangga dengan hartamu sehingga melupakan Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. 2 Ayat 77                                “Dan carilah - pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu - negeri akhirat, dan janganlah melupakan bagianmu dari dunia dan berbuat baiklah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan.” Beberapa orang dari kaum Nabi Musa itu melanjutkan nasihatnya kepada Qarun bahwa nasihat ini bukan berarti engkau hanya boleh beribadah murni dan melarangmu memperhatikan dunia. Tidak Berusahalah sekuat tenaga dan pikiranmu sebatas yang dibenarkan Allah dalam memperoleh harta dan carilah secara sungguh-sungguh pada, yakni melalui apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dari hasil usahamu itu kebahagiaan negeri akhirat, dengan menginfakkannya di jalan Allah tanpa melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada semua pihak. Agar tidak terjerumus dalam kekeliruan ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, dalam pandangan Islam, hidup duniawi dan ukhrawi merupakan satu kesatuan. Kedua, pentingnya mengarahkan pandangan kepada 2 Ibid.