Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an
Setelah menegasikan semua tuduhan negatif terhadap diri sang Nabi, pada jenjang berikutnya barulah Al-Qur’an menyatakan secara terperinci
kedudukan beliau sebagai pembawa wahyu Allah: Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya. yang diajarkan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat. QS An-Najm: 4-5.
Demikian beberapa contoh pola yang digunakan Al-Qur’an untuk menyampaikan pernyataan penting di dalam suatu cerita. Melalui pola-
pola tersebut, para pembaca ataupun pendengar akan mendapatkan keterangan secara jelas tentang pesan yang disampaikan, sekaligus
merasakan kesan yang mendalam tentang alur cerita dari cerita tersebut.
40
c. Pengulangan Cerita Cerita di dalam Al-Qur’an ada yang disampaikan secara tuntas di
satu tempat dalam Surah Al-Qur’an, seperti cerita Zulqarnain dalam Surah Al-Kahfi, cerita tentara gajah dalam surat Al-Fiil dan cerita Nabi
Yusuf dalam Surah Yusuf. Di sisi yang lain, sebagian besar cerita Al- Qur’an tidak disampaikan secara utuh sekaligus dalam satu tempat, tetapi
hanya bagian tertentu yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan dan tersebar di beberapa surah.
Cerita Nabi Adam misalnya tersebar di beberapa surah, antara lain: al-Baqarah: 30-38, Ali Imran: 59, an-Nisa: 1, al-A’raf: 11-25, al-Hijr: 26-
48, al-Isra: 61-65, al-Kahfi: 50, Taha: 115-123. Sad: 72-85, az-Zumar: 6 dan ar-Rahman: 14-15. Begitu juga dengan cerita Nabi Nuh, Nabi Hud,
dan Nabi Ibrahim. Walaupun di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa surah yang dinamakan Ibrahim surah ke-14, Nuh surah ke-71 dan
Hudsurah ke-11, tetapi cerita-cerita mereka bertiga tersebar di banyak surah dalam Al-Qur’an.
41
40
Ibid., h.190-191.
41
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012
hlm 7.
Kajian para psikolog membuktikan bahwa pengulangan sangatlah penting dalam proses pembelajaran, karena ini akan membuat pendapat
dan pemikiran yang ingin disampaikan menjadi lebih mudah untuk diingat.
Dalam Al-Qur’an didapatkan pengulangan ayat yang berhubungan dengan masalah akidah dan masalah gaib yang ingin ditanamkan pada
pikiran manusia seperti keimanan kepada hari akhir. Dalam Al-Qur’an, cerita para nabi banyak diulang untuk mempertegas bahwa semua agama
tauhid berasal dari Allah. Allahlah yang telah mengutus para nabi dan rasul dalam kurun waktu yang berbeda-beda untuk menyeru agar
mengesakan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain. Al- Qur’an menjelaskan kepada kaum kafir Quraisy tentang nasib umat-umat
terdahulu yang mendustakan para nabi, untuk memberi peringatan bahwa mereka pun akan mengalami nasib yang sama jika mendustakan Nabi
Muhammad SAW. Dalam surat Al-Mursalat ada kalimat, “Kecelakaan besarlah pada
hari itu bagi orang-orang yang mendustakan” sebanyak sepuluh kali. Surat ini mengingatkan terhadap nikmat dan azab Allah, agar mereka
tidak terus menerus mendustakan dan berada dalam kekafiran. Karena cara yang demikian ialah hal biasa bagi bangsa Arab, baik dalam pidato
maupun dalam pembacaan syair. Pengulangan cerita bukanlah pengulangan secara utuh. Sebab, Al-
Qur’an hanya menyebutkan peristiwa yang sesuai dengan konteks makna yang terdapat dalam surat. Jika Al-Qur’an mengulangi satu bagian dari
cerita, maka biasanya pada bagian itu ditambahkan sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak disebutkan. Dalam penggunaan kata terkadang
juga mengalami perubahan, baik dalam susunan, mengedepankan atau mengakhirkan, sesuai dengan tuntutan pengajaran yang dimaksudkan
cerita tersebut. Mengenai pengulangan dalam cerita Al-Qur’an, Dr. Muhammad
Mahmud Hijazi mengutip pernyataan Imam asy-Syathibi dalam al-
Muwaafaqaat, “Secara umum, pemaparan cerita para Nabi seperti Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Musa, Harun, dan sebagainya adalah dalam rangka
menghibur Nabi Muhammad SAW. dan mengokohkan hati beliau dalam menghadapi pembangkangan, pendustaan, maupun tindakan tidak terpuji
dari orang-orang kafir. Hal inilah yang membuat cerita-cerita tersebut berisi hal-hal yang juga dihadapi oleh Rasulullah SAW. dalam perjalanan
dakwahnya. Dengan demikian, tidak mengherankan jika alur atau gaya
pemaparan suatu kisah sering kali tidak sama. Hal ini disesuaikan dengan kondisi tertentu yang ketika itu dihadapi Rasulullah SAW. Walaupun
begitu, seluruh kisah tetap merupakan suatu yang hak dan tidak ada keraguan terhadap keshahihannya. Lebih lanjut, siapa yang ingin
mengkaji dan mendapatkan pemahaman yang baik tentang Al-Qur’an, maka tidak ada salahnya mengikuti metode atau model pemaparan
beberapa contoh yang telah dikemukakan.”
42
Diulang-ulangnya penyampaian satu cerita tertentu di berbagai tempat didasarkan pada beberapa sebab, di antaranya.
Sebab pertama, ada penambahan informasi baru yang tidak terdapat pada uraian sebelumnya.
Sebab kedua, agar cerita yang diceritakan Rasulullah SAW. bisa didengar oleh banyak orang. Karena tidak jarang ketika Rasulullah SAW.
menyampaikan cerita, pendengarnya ialah orang yang kebetulan lewat dan kemudian pergi. Selanjutnya ketika turun wahyu yang lain, orang
yang mendengarnya lain lagi. Sebab ketiga, dalam rangka menghibur hati nabi Muhammad SAW.
Sebab keempat, untuk menegaskan karakteristik cerita Al-Qur’an, di mana ada cerita yang dihimpun dalam satu surah saja, tetapi ada juga
42
Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam Al-Qur’an Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2010, h. 74.
yang diulang-ulang di tempat lain. Karena kalau semua sama maka tidak ada bedanya Al-Qur’an dengan kitab-kitab suci sebelumnya.
43
d. Episode Kemunculan Tokoh Utama 1. Dari Awal Kelahiran
Dalam bercerita adakalanya Al-Qur’an memunculkan tokoh utamanya dari episode pertama: episode kelahiran pemeran utamanya, karena
dalam kelahirannya mengandung nasihat, seperti cerita Nabi Adam sejak awal kejadiannya. Di dalam cerita itu ada fenomena kekuasaan Allah
dan kesempurnaan ilmu-Nya serta nikmat-Nya kepada Nabi Adam dan anak-cucunya. Juga ada dialog iblis dengan Nabi Adam, yang semuanya
mengandung pelajaran bagi umat manusia. Atau cerita kelahiran Nabi Isa yang dipaparkan dengan rinci dan sempurna. Sebab, kelahiran Nabi Isa
merupakan salah satu mukjizat kenabiannya. Bahkan menjadi penyebab terjadinya pertentangan yang berkenaan dengan Almasih, baik sebelum
maupun sesudah Islam datang. Tidak ketinggalan cerita Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Sebab dalam
kelahiran itu terdapat pelajaran. Nabi Ismail adalah karunia yang diberikan kepada Nabi Ibrahim, padahal dia sudah tua. Sedangkan Nabi
Ishaq merupakan kabar gembira yang diberikan kepada istrinya, padahal dia sudah sangat tua. Begitu juga dengan kelahiran Yahya, di mana
ayahnya Zakaria sudah rapuh dan rambutnya beruban. 2. Dari Masa Kanak-Kanak
Tokoh utama di dalam cerita Al-Qur’an adakalanya dipaparkan tidak dari awal kelahiran, tetapi setelahnya. Seperti cerita Ibrahim, ceritanya
berawal dari sejak dia masih muda. Memandang langit dan melihat bintang, bulan, dan matahari dalam rangka pencarian kepada Tuhannya,
yang pada akhirnya dia ber-tawajjuh menghadapkan diri kepada Allah yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala. Lalu dia mengajak bapak dan
43
Ibid., h.381-382.
kaumnya untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa ini, namun semua menolak. Hingga akhirnya strategi yang dilakukan Ibrahim ialah
menghancurkan semua berhala dan menyisakan satu berhala yang paling besar dengan meninggalkan kapak padanya.
Cerita Nabi Dawud juga dimulai ketika dia di ambang dewasa. Dimulai dengan dikalahkannya Jalut oleh Nabi Dawud berkat
pertolongan Allah. Begitu juga dengan Nabi Sulaiman, yang ceritanya dimulai sejak dia seusia bapaknya, saat dia duduk sebagai hakim dalam
permasalahan mengenai tanaman, “Karena tanaman ini dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu.” al-Anbiyaa’: 78. Hukum yang adil dari seorang pemuda inilah yang menjadi tanda bahwa Allah
kelak akan menjadikannya pemimpin kerajaan terbesar. 3. Sudah Dewasa atau Masa Kenabian
Kemudian juga terdapat beberapa cerita yang memunculkan tokohnya saat berada dalam usia dewasa, dalam artian saat menjadi nabi atau rasul.
Seperti Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Luth, Nabi Syua’ib, dan banyak lagi yang lainnya. Sebab, periode kenabian itulah yang terpenting
dari kehidupan mereka dan di dalamnya tersirat i’tibar.
44
e. Panjang Pendek Cerita
1.
Cerita yang Disebutkan Panjang Lebar Selain dari sisi awal cerita, Al-Qur’an juga memiliki gaya tersendiri
dalam hal panjang atau pendeknya cerita. Ada beberapa cerita yang disebutkan secara panjang lebar, termasuk rincian peristiwanya seperti
apa pun digambarkan. Seperti cerita Nabi Yusuf yang ceritanya sangat jelas dan rinci dijelaskan oleh Al-Qur’an dalam surah yang menggunakan
namanya, Yusuf, untuk mempertegas hal ini. Mulai dari cerita dia dan
44
Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, Jakarta: Gema Insani, 2004, h.181-184.
saudara-saudaranya. Juga apa yang terjadi di Mesir setelah dia diperjualbelikan dan dididik. Juga tentang cerita bujukan istri al-Aziz
terhadapnya, kisahnya di dalam penjara, tabir mimpi dua orang pelayan rajanya.
Kemudian tentang
tabir mimpi
raja, kesuksesan
kepemimpinannya, serta kedatangan saudara-saudaranya hingga akhirnya kedatangan ayahnya. Sekali lagi, semua cerita itu dipaparkan dengan
rinci sekali. Cerita Nabi Sulaiman juga dipaparkan dengan beberapa episode
panjang, dimulai dari keputusannya masalah tanaman, kerajaannya, keterpedayaannya dengan kuda yang bagus dan permohonan ampunnya
kepada Allah atas hal itu serta tentang tunduknya setan angin di hadapannya. Juga ceritanya dengan semut, burung hudhud, dan dengan
Ratu Balqis. Juga tentang kematiannya sambil berdiri memegang tongkatnya dan para setan tidak menyadari akan hal itu. Semuanya
mempunyai tujuan yang dituju. 2. Cerita yang Perinciannya Sedang
Ada juga cerita-cerita di dalam Al-Qur’an yang perinciannya sedang- sedang saja, seperti cerita Nabi Nuh. Cerita mengenai risalahnya, dakwah
kepada kaumnya, tentang pembuatan kapal, banjir besar hingga menenggelamkan kaum bahkan anaknya sendiri yang membuatnya
memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya tetapi tidak dikabulkan oleh Allah karena dia bukan bagian dari keluarganya
walaupun itu anaknya sendiri. Juga cerita Nabi Adam dirincikan hanya pada saat penciptaannya,
kesalahannya, turun ke bumi, dan tobatnya. Begitu juga dengan cerita Nabi Dawud tidak terlalu rinci, namun cukup banyak memuat cerita-
ceritanya.
3. Cerita yang Disebutkan Singkat Ada juga beberapa cerita pendek, seperti cerita Nabi Huud, Shaleh,
Luth, Syu’aib. Hanya diceritakan saat kenabian saja, yakni mencakup risalah, dialog dengan kaumnya, pendustaan kaum mereka, dan kemudian
tentang kebinasaan kaum mereka. Begitu juga dengan cerita Nabi Ismail yang hanya diceritakan saat kelahirannya, penebusannya, dan
keikutsertaan dalam membangun Ka’bah bersama bapaknya. Juga cerita Nabi Ya’qub hanya disebutkan dalam konteks cerita Nabi Yusuf. Lalu
disebut sekali lagi dalam ayat, ketika Yaqub kedatangan tanda-tanda maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya:
...Apa yang kamu sembah sepeninggalku? mereka menjawab: Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu... . al-
Baqarah: 133. Episode ini terpisah sendiri di sini dari yang lainnya karena ingin
menjelaskan pentingnya ketauhidan, seperti yang dipesankan oleh Ya’qub.
4. Cerita yang Disebutkan Sangat Singkat Ada lagi beberapa cerita yang sangat pendek sekali seperti cerita Nabi
Zakaria disebutkan ketika kelahiran Yahya dan ketika menanggung biaya Maryam saja. Cerita Nabi Ayub disebutkan ketika dia terkena penyakit.
Dan cerita Nabi Yunus saat ditelan oleh ikan dan ceritanya terlempar di padang tandus, serta dalam cerita tentang risalahnya kepada kaumnya
dan keimanan mereka dengannya. Ada juga beberapa cerita yang tidak disebutkan kecuali hanya sekilas
sifat pelakunya. Seperti Nabi Idris, Ilyasa’, Zulkifli, serta yang lainnya yang hanya nama mereka saja yang ada dalam pemaparan cerita-cerita
para nabi. Sedangkan cerita-cerita lain yang terpisah-pisah, seperti Ashabul
Ukhdud, Ashabul Kahfi, Qabil dan Habil, Qarun, dan lain-lain, semua itu
adalah murni cerita-cerita yang bersifat nasihat. Maka hanya dipaparkan sekadar nasihat sampai ke sasarannya.
45
f. Bentuk Dialog dalam Bercerita Mengenai format dialog dalam cerita-cerita Al-Qur’an, Sulaiman ath-
Tharawanah dalam bukunya Dirasah Nashshiyyah Adabiyyah fil Qishshah al-Qur’aniyyah
46
menjelaskan bahwa sering sekali dialog yang terjadi dalam cerita-cerita Al-Qur’an diangkat dalam bentuk cerita, yaitu
cerita antara tokoh yang terlibat dalam percakapan yang diceritakan. Percakapan yang ditampilkan dalam cerita-cerita Al-Qur’an kebanyakan
hanya berupa cerita percakapan. Artinya, tampilan dialog tersebut tidak diiringi dengan isyarat-isyarat estetika yang menggambarkan sikap
perilaku dialog. Bentuk percakapan dalam Al-Qur’an terdiri dari dua bentuk: pertama,
percakapan semi dialektis, yaitu percakapan yang cenderung mengarah pada bentuk perdebatan. Dialog semacam ini biasanya membawa misi
keagamaan, yaitu untuk memberikan informasi kepada kita akan kekerasan kaum terdahulu dalam menentang ajaran para nabi. Model
dialog seperti ini dapat dijumpai dalam cerita kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan Syu’aib. Kedua, model percakapan pengisahan, yaitu bentuk
percakapan di mana Al-Qur’an dengan sendirinya berperan sebagai mediator yang mengajak pembaca masuk ke dalam peristiwa melalui
sela-sela tempo cerita. Adapun beberapa kelebihan yang dimiliki Al-Qur’an dalam metode
dialog di antaranya. Pertama, dialog tersebut berfungsi menghidupkan suasana berbagai peristiwa yang diceritakan. Kedua, dapat melukiskan
kepribadian tokoh-tokoh cerita dengan sangat baik, seperti pada cerita Yusuf dan Musa dalam Surah al-Qashash. Ketiga, secara artistik sebagai
sarana untuk menyampaikan maksud dan tujuan cerita, bahkan terkadang
45
Quthb, op. cit., h. 184-188.
46
Sulaiman ath-Tharawanah, Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur’an, Jakarta: Qisthi Press, 2004, h. 217.
bermanfaat untuk mengungkap rahasia di balik peristiwa yang sedang diceritakan.
47